Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Terapi Aktivitas Kelompok adalah upaya memfasilitasi kemampuan
sosialisasi sejumlah klien dengan masalah hubungan sosial. Salah satu
gangguan hubungan sosial pada pasien gangguan jiwa adalah gangguan
persepsi sensori: Halusinasi merupakan salah satu masalah keperawatan
yang dapat ditemukan pada pasien gangguan jiwa.
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana pasien
mengalami perubahan sensori persepsi yaitu merasakan sensasi palsu
berupa suara, penglihatan, pengecapan perabaan atau penghiduan. Pasien
merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Dampak dari halusinasi
yang diderita klien diantaranya dapat menyebabkan klien tidak
mempunyai teman dan asyik dengan fikirannya sendiri. Salah satu
penanganannya yaitu dengan melakukan Terapi Aktivitas Kelompok yang
bertujuan untuk mengidentifikasi halusinasi dan mengontrol halusinasi
yang dialaminya.
TAK (Terapi Aktivitas Kelompok) merupakan psikoterapi yang
dilakukan sekelompok klien bersama-sama dengan berdiskusi satu sama
lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang therapist (Yosep,2009).
Menurut Purwaningsih (2009) adalah terapi yang bertujuan untuk
membantu klien yang mengalami kemunduran orientasi, menstimulusasi
persepsi dalam upaya memotivasi proses berpikir dan afektif serta
mengurangi perilaku maladaptif.
B. Tujuan
1. Tujuan
a. Tujuan umum
Klien dapat meningkatkan kemampuan diri dalam mengenal
halusinasi dalam kelompok secara bertahap.
b. Tujuan khusus
1. Klien dapat mengenal halusianasi .
2. Klien mengenal waktu terjadinya halusianasi
3. Klien mengenal situasi terjadinya halusianasi
4. Klien mengenal perasaannya pada saat terjadi halusianasi
C. Rumusan Masalah
“Bagaimana Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) pada pasien Gangguan
Persepsi Sensori: Halusinasi”
D. Manfaat
1. Meningkatkan kemampuan uji realitas melalui komunikasi dan umpan
balik dengan atau dari orang lain.
2. Melakukan sosialisasi
3. Membangkitkan motivasi untuk kemajuan fungsi kognitif dan afektif.
4. Meningkatkan identitas diri.
5. Menyalurkan emosi secara konstruktif.
6. Meningkatkan keterampilan hubungan interpersonal atau sosial.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Definisi
Menurut Maramis (2005) dalam Eko Prabowo (2014) halusinasi
merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan
panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang
dialami suatu persepsi melalui panca indra stimulus eksteren: persepsi
palsu.
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang
ditandai dengan perubahan sensori persepsi: merasakan sensasi palsu
berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan (Budi
Anna Keliat dan Akemat, 2007).

B. Etiologi
1. Faktor predisposisi
Stuart dan Sundeen (1995) dalam Irkham Auliya (2016)
menjelaskan faktor predisposisi yang menyebabkan halusinasi adalah
a. Faktor Biologis
Abnormalitas yang menyebabkan respon neurobiologis yang
maladaptif termasuk hal-hal berikut:
1) Penelitian pencintraan otak yang menunjukkan keterlibatan
otak yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia, lesi
pada area frontal, temporal, dan limbic.
2) Beberapa kimia otak dikaitkan dengan skizoprenia seperti
dopamine neurotransmitter yang berlebihan dan masalah pada
respon dopamine.
b. Faktor psikologis
Teori psikodinamika yang menggambarkan bahwa halusinasi
terjadi karena adanya isi alam tidak sadar yang masuk alam sadar
sebagai suatu respon terhadap konflik psikologis dan kebutuhan
yang tidak terpenuhi sehingga halusinasi merupakan gambaran dan
rangsangan keinginan dan ketakutan yang dialami oleh klien.
c. Faktor sosial budaya
Stress yang menumpuk dapat menunjang terhadap awitan
skizofrenia dan gangguan psikotik lain tetapi diyakini sebagai
penyebab utama gangguan.

2. Faktor Presipitasi
Stuart dan Sundeen (1995) dalam Irkham Auliya faktor presipitasi
terjadinya gangguan halusinasi adalah :
a. Stressor Biologis
Stressor Biologis yang berhubungan dengan respon neurobiology
yang maladaptive, termasuk gangguan dalam putaran umpan balik
otak yang mengatur proses informasi dan abnormalisasi pada
mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk selektif menghadpi rangsangan.
b. Stress Lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap
stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan
perilaku.
c. Pemicu gejala
Pemicu yang biasanya terdapat pada respon neurobiologi yang
maladaptive berhubungan dengan kesehatan (gizi buruk, infeksi),
lingkungan rasa bermusuhan/lingkungan yang penuh kritik,
gangguan dalam hubungan interpersonal, sikap dan perilaku
(keputusan, kegagalan).
C. Manifestasi Klinis
Menurut Budi Anna Keliat dan Akemat menjelaskan tanda – tanda
halusinasi adalah sebagai berikut:

Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif

Dengar/ suara Bicara atau tertawa Mendengar suara –


sendiri, marah – marah suara atau kegaduhan,
tanpa sebab, mendengar suara yang
mencondongkan mengajak bercakap –
telinga kea rah tertentu, cakap, mendengar
menutup telinga suara memerintah
melakukan sesuatu
yang berbahaya
Penglihatan Menunjuk – nunjuk Melihat bayangan,
kea rah tertentu, sinar, bentuk
ketakutan pada geometris, bentuk
sesuatu yang tidak kartun, melihat hantu
jelas atau monster

Penghidu Tampak seperti Mencium bau – bauan,


sedang mencium bau (seperti bau darah,
– bauan tertentu, urine, feses, terkadang
menutup hidung bau yang
menyenangkan)

Pengecapan Sering meludah, Merasakan rasa seperti


muntah darah, urine atau feses

Perabaan Menggaruk – garuk Mengatakan ada


permukaan kulit serangga di permukaan
kulit, merasa seperti
tersengat listrik

D. Jenis-jenis Halusinasi
Halusinasi terdiri dari beberapa jenis, dengan karakteristik tertentu
diantaranya :
a. Halusinasi pendengaran (akustik, audiotorik): Gangguan stimulus
dimana pasien mendengar suara-suara terutama suara-suara orang,
biasanya pasien mendengar suara orang yang sedang membicarakan
apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan
sesuatu.
b. Halusinasi penglihatan (visual): Stimulus visual dalam bentuk beragam
seperti bentuk pancaran cahaya, gambaran geometric, gambar kartun
dan/atau panorama yang luas dan kompleks. Bayangan bisa
menyenangkan atau menakutkan.
c. Halusinasi penghidu (olfaktori): Gangguan stimulus pada penghidu,
yang ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang menjijikan
seperti: darah, urine atau feses. Kadang-kadang terhidu bau harum.
Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang, dan dementia.
d. Halusinasi peraba (taktil, kinaestatik): Gangguan stimulus yang
ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang
terlihat. Contoh: merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda
mati atau orang lain.
e. Halusinasi pengecap (gustatorik): Gangguan stimulus yang ditandai
dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikan (Yosep
Iyus, 2007)
E. Fase-fase dalam Halusinasi
Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase menurut Stuart dan Laraia
(2001) dan setiap fase memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu :
a. Fase I ( Fase Comforting)
Fase ini merupakan fase yang menyenangkan. Fase ini masuk dalam
golongan non psikotik. Karakteristik: klien mengalami stress, cemas,
perasaan perpisahan, rasa bersalah, kesepian yang memuncak, dan
tidak dapat diselesaikan. Klien mulai melamun dan memikirkan hal –
hal yang menyenangkan, cara ini hanya menolong sementara. Perilaku
klien: tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan bibir
tanpa suara, pergerakan mata cepat, respon verbal yang lambat jika
sedang asik dengan halusinasinya dan suka menyendiri.
b. Fase II (Fase Comdemming)
Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan. Pasien mulai lepas
kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan
sumber yang dipersepsikan. Di sini terjadi peningkatan tanda-tanda
sistem saraf otonom akibat ansietas sperti peningkatan tanda-tanda
vital (denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah), asyik dengan
pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan
halusinasi dengan realita.
c. Fase III (Fase Controlling)
Pasien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan
menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini pasien sukar berhubungan
dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi
perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang sangat
menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan orang lain.
d. Fase IV (Fase Conquering)
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika pasien mengikuti
perintah halusinasi. Disini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik
diri, tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak
mampu berespon lebih dari 1 orang. Kondisi pasien sangat
membahayakan.
F. Rentang Respon
Halusinasi merupakan gangguan dari persepsi sensori dan merupakan
gangguan respon neurobiology. Respon neurobiologis sepanjang rentang
sehat sakit berkisar dari adaptif pikiran logis, persepsi akurat, emosi
konsisten, dan perilaku sesuai sampai dengan respon maladaptif yang
meliputi delusi, halusinasi, dan isolasi sosial. Rentang respon dapat
digambarkan sebagai berikut:
Rentang respon neurobiologist
Adaptif Mal Adaptif

Pikiran logis Pikiran kadang Halusinasi


Persepsi akurat menyimpang Kerusakan proses
Emosi konsisten ilusi emosi
dengan Reaksi emosional Perilaku tidak
pengalaman berlebihan/kura lazim
Perilaku sesuai ng Isolasi sosial
Hubungan sosial Perilaku tidak Kelainan pikiran
harmonis lazim
Menarik diri
G. Mekanisme Koping
Klien halusinasi berupaya melindungi diri dari pengalaman
menakutkan yang disebabkan oleh gangguan yang dialami. Regresi
merupakan upaya untuk mengatasi rasa cemas. Proyeksi sebagai upaya
untuk menjelaskan kerancuan persepsi. Menarik diri berhubungan dengan
masalah membangun rasa percaya dan perenungan terhadap pengalaman
internal.

H. Penatalaksanaan
Pengobatan harus secepat mungkin harus diberikan, disini peran
keluarga sangat penting karena setelah mendapatkan perawatan di RSJ
pasien dinyatakan boleh pulang sehingga keluarga mempunyai peranan
yang sangat penting didalam hal merawat pasien, menciptakan lingkungan
keluarga yang kondusif dan sebagai pengawas minum obat (Maramis,
2004).
a. Farmakoterapi
Obat psikotropik (psikofarma) adalah obat yang bekerja secara selektif
pada susunan saraf pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap
aktivitas mental dan perilaku (mind and behavior altering drugs),
digunakan pada gangguan psikiatrik (psychotherapeutic medication).
Penggunaan klinis obat psikotropik ditujukan untuk meredam
(suppression) gejala sasaran tertentu dan pemilihan jenis obat
disesuaikan dengan tampilan gejala sasaran yang ingin ditanggulangi
misalnya, antipsikotik, anti depresi, anti mania, anti anxietas, anti
insomnia, dan anti obsesif kompulsif.

Salah satu penanganan skizofrenia dengan menggunakan pengobatan


antipsikotik. Antipsikotik merupakan terapi obat-obatan pertama yang
efektif mengobati skizofrenia. Antipsikotik bekerja mengontrol
halusinasi, delusi dan perubahan pola pikir yang terjadi pada
skizofrenia.

Obat antipsikotik terdiri dari antipsikotik tipikal dan antipsikotik


atipikal. Mekanisme kerja obat antipsikotik tipikal adalah memblokade
dopamine pada reseptor pasca-sinaptic neuron di otak khususnya di
system limbic dan system ekstrapiramidal (dopamine D2 receptor
antagonists) sehingga efektif untuk gejala positif, contohnya
chlorpromazine, perphenazine, trifluoperazine, fluphenazine,
thioridazine, haloperidol, pimozide, dan lain-lain. Sedangkan obat
antipsikotik atipikal disamping berafinitas terhadap dopamine dan juga
terhadap serotonin (serotonin-dopamine antagonists), sehingga efektif
juga untuk gejala negative, contoh supiride, clozapine, olanzapine,
zotepine, risperidone, dan lain-lain.

KELAS KIMIA NAMA GENERIK DOSIS HARIAN


(DAGANG)

Fenotiazin Asetofenazin (Tidal) 60-120 mg


Klorpromazin (Thorazine) 30-800 mg
Flufenazine (Prolixine, 1-40 mg
Permiti)
30-400 mg
Mesoridazin (Serentil)
12-64 mg
Perfenazin (Trilafon)
15-150 mg
Proklorperazin
(Compazine) 40-1200 mg
Promazin (Sparine) 150-800 mg
Tiodazin (Mellaril) 2-40 mg
Trifluoperazin (Stelazin) 60-150 mg
Trifluopromazine
(Vesprin)

Tioksanten Kloprotiksen ( Tarctan) 75-600 mg


Tiotiksen (Navane) 8-30 mg

Butirofenon Haloperidol (Haldol) 1-100 mg


Dibenzondiazepin Klozapin (Clorazil) 300-900 mg

Dibenzokasazepin Loksapin (Loxitane) 20-150 mg

Dihidroindolon Molindone (Moban) 225-225

Sumber: Asuhan Keperawatan Jiwa (Eko Prabowo)


b. Terapi ECT (Electro Convulsif Therapi) Kejang Listrik
Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang
grandmall secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui
electrode yang dipasang pada satu atau dua temples, terapi kejang
listrik dapat diberikan pada skizoprenia yang tidak mempan dengan
terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5
joule/detik.
c. Psikoterapi dan Rehabilitasi
Psikoterapi suportif individual atau kelompok sangat membantu karena
berhubungan dengan praktis dengan maksud mempersiapkan pasien
kembali ke masyarakat, selain itu terapi kerja sangat baik untuk
mendorong pasien bergaul dengan orang lain, pasien lain, perawat dan
dokter. Maksudnya supaya pasien tidak mengasingkan diri karena
dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik, dianjurkan untuk
mengadakan permainan atau latihan bersama, seperti terapi modalitas
yang terdiri :
1) Terapi aktivitas
a) Terapi musik
Fokus : mendengar, memainkan alat musik, bernyanyi. Yaitu
menikmati dengan relaksasi musik yang disukai pasien.
b) Terapi seni
Fokus : untuk mengekspresikan perasaan melalui berbagai
pekerjaan seni.
c) Terapi menari
Fokus : pada ekspresi perasaan melalui gerakan tubuh.
d) Terapi relaksasi
Belajar dan praktek relaksasi dalam kelompok.
Rasional : untuk koping/perilaku mal adaptif/deskriptif,
meningkatkan partisipasi dan kesenangan pasien dalam
kehidupan.
2) Terapi sosial
Pasien belajar bersosialisasi dengan pasien lain.
3) Terapi Kelompok
a) Terapi group (kelompok terapeutik)
b) Terapi aktivitas kelompok (adjunctive group activity therapy)
c) TAK Stimulus Persepsi: Halusinasi
- Sesi 1 : Mengenal halusinasi
- Sesi 2 : Mengontrol halusinasi dengan menghardik
- Sesi 3 : mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan
- Sesi 4 : Mencegah halusinasi dengan bercakap-cakap
- Sesi 5 : Mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat
d) Terapi lingkungan
Suasana rumah sakit dibuat seperti suasana di dalam keluarga
(home like atmosphere).

I. Pohon Masalah
Resiko perilaku kekerasan Effect

Perubahan sensori persepsi: Halusinasi Core Problem

Isolasi sosial: Menarik diri Causa


F. Asuhan Keperawatan
Pengkajian
1. Faktor predisposisi
a. Faktor Biologis
Terdapat lesi pada area frontal, temporal dan limbik.
b. Faktor perkembangan
Rendahnya control dan kehangatan keluarga menyebabkan
individu tidka mampu mandiri sejak kecil, mudah frutasi, hilang
percaya diri, dan lebih rentan terhadap stress adalah merupakan
salah satu tugas perkembangan yang terganggu.
c. Faktor sosiokultural
Individu yang merasa tidak diterima lingkungannya akan merasa
disingkirkan, kesepian dan tidak percaya pada lingkungannya.
d. Faktor biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya
stress yang berlebihan dialami individu maka didalam tubuh akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusnogenik neurokimia
seperti Buffofenon dan Dimetytransferase (DMP). Akibat stress
berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter
otak. Misalnya terjadi ketidakseimbangan Acetylcholin dan
Dopamin.
e. Faktor Psikologis
Tipe kepribadian yang lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Selain itu ibu yang
pencemas, overprotektif, dingin, tidak sensitif, pola asuh tidak
adekuat, konflik perkawinan, koping tidak adekuat juga
berpengaruh pada ketidakmampuan individu dalam mengambil
keputusan yang tepat demi masa depannya. Individu lebih memilih
kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam nyata.
f. Faktor genetic
Penelitian menunjukkan bahwa anak yang diasuh oleh orangtua
skizofrenia cenderung akan mengalami skizofrenia juga.
2. Faktor Presipitasi
a. Biologi
Stressor biologis yang berhubungan dengan respons neurobiologik
yang maladaptive termasuk gangguan dalam putaran umpan balik
otak yang mengatur proses informasi dan adanya abnormalitas
pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi rangsangan.
b. Pemicu gejala
Pemicu atau stimulus yang sering menimbulkan episode baru suatu
penyakit yang biasanya terdapat pada respons neurobiologist yang
maladaptive berhubungan dengan kesehatan, lingkungan, sikap dan
perilaku individu.
1) Kesehatan, seperti gizi buruk, kurang tidur, keletihan, infeksi,
obat Sistem Syaraf Pusat, gangguan proses informasi, kurang
olahraga, alam perasaan abnormal dan cemas.
2) Lingkungan, seperti lingkungan penuh kritik, gangguan dalam
hubungan interpersonal, masalah perumahan, stress,
kemiskinan, tekanan terhadap penampilan, perubahan dalam
kehidupan dan pola aktivitas sehari-hari, kesepian (kurang
dukungan) dan tekanan pekerjaan.
3) Perilaku, seperti konsep diri rendah, keputusan, kehilangan
motivasi, tidak mampu memenuhi kebutuhan spiritual,
bertindak berbeda dengan orang lain, kurang keterampilan
sosial, perilaku agresif dan amuk.
Menurut Rawlins dan Heacokck (dalam Yosep, 2010), penyebab
halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi berikut:
1) Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik,
seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan,
demam hingga delirium, intoksikasi alcohol dan kesulitan
untuk tidur dalam waktu yang lama.
2) Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar masalah yang tidak
dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari
halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan.
Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut, sehingga
klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.

3) Dimensi Intelektual
Bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan
adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi
merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang
menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien
dan tidak jarang akan mengontrol semua perilaku pasien.
4) Dimensi sosial
Klien mengalami interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di
alam nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan
halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk
memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, control diri, dan
harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi
halusinasi dijadikan system control oleh individu tersebut,
sehingga jika diperintah halusinasi berupa ancaman, dirinya
atau orang lain individu cenderung untuk itu. Oleh karena itu,
aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan
klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang
menimbulkan pengalama interpersonal yang memuaskan, serta
mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu
berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak
berlangsung.
5) Dimensi Spiritual
Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan
hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktifitas ibadah dan
jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri. Irama
sirkadiannya terganggu karena sering tidur larut malam dan
bangun sangat siang. Saat terbangun merasa hampa dan tidak
jelas tujuan hidupnya. Individu sering memaki takdir tetapi
lemah dalam upaya menjemput rezeki, menyalahkan
lingkungan dan orang lain yang menyebabkan takdirnya
memburuk.
3. Perilaku
Berikut adalah berbagai gangguan fungsi yang akan berpengaruh pada
perilaku klien halusinasi:
a. Fungsi kognitif
1) Terjadinya perubahan daya ingat
2) Sukar untuk menilai dan menggunakan memorinya, sehingga
terjadi gangguan daya ingat jangka panjang atau pendek
3) Menjadi pelupa dan tidak berminat
4) Cara berpikir magis dan primitive
5) Perhatian terganggu, yaitu tidak mampu mempertahnkan
perhatian, mudah beralih dan konsentrasi buruk.
6) Isi pikir terganggu, yaitu tidak mampu memproses stimulus
internal dan eksternal dengan baik.
7) Tidak mampu mengorganisir dan menyusun pembicaraan yang
logis dan koheren, seperti berikut:
a) Kehilangan asosiasi, yaitu pembicaraan tidak ada hubungan
antara satu kalimat dengan kalimat lainnya dan klien tidak
menyadarinya.
b) Tangensial, yaitu pembicaraan yang berbelit-belit tapi tidak
sampai pada tujuan.
c) Inkoheren, yaitu pembicaraan yang tidak nyambung
d) Sirkumstansial, yaitu pembicaraan yang berbelit-belit tapi
sampai pada tujuan pembicaraan.
e) Flight of ideas, yaitu pembicaraan yang meloncat dari satu
topic ke topik lainnya, masih ada hubungan yang tidak logis
dan tidak sampai pada tujuan.
f) Blocking, yaitu pembicaraan berhenti tiba-tiba tanpa
gangguan eksternal kemudian dilanjutkan kembali.
g) Perseverasi, yaitu pembicaraan yang diulang berkali-kali.
b. Fungsi Emosi
1) Mood adalah suasana emosi yang mempengaruhi kepribadian
dan fungsi kehidupan.
2) Afek adalah ekspresi emosi, seperti ekspresi wajah, gerakan
tubuh dan tangan, nada suara.
3) Afek maladaptive adalah:
a) Afek tumpul, yaitu kurang respon emosional terhadap
pikiran/pengalaman orang lain, seperti klien apatis.
b) Afek datar, yaitu tidak tampak ekspresi, suara monoton,
tidak ada keterlibatan emosi terhadap stimulus
menyenangkan atau menyedihkan.
c) Afek tidak sesuai, yaitu emosi yang tidak
sesuai/bertentangan dengan stimulus yang ada.
d) Afek labil, yaitu emosi yang cepat berubah-ubah.
e) Reaksi berlebihan, yaitu reaksi emosi yang berlebihan
terhadap suatu kejadian.
f) Ambivalensi, yaitu timbulnya dua perasaan yang
bertentangan pada waktu bersamaan.
c. Fungsi Motorik
1) Agitasi adalah gerakan motorik yang menunjukkan
kegelisahan.
2) Tik adalah gerakan-gerakan kecil pada otot muka yang tidak
terkontrol.
3) Grimasen adalah gerakan otot muka yang berubah-ubah yang
tidak dapat dikontrol klien.
4) Tremor adalah jari-jari yang tampak gemetar ketika klien
menjulurkan tangan dan merentangkan jari-jari.
5) Kompulsif adalah kegiatan yang dilakukan berulang-ulang
seperti berulang-ulang mencuci tangan, mencuci muka, mandi,
mengeringkan tangan dan sebagainya.
d. Fungsi sosial :
1) Kesepian : seperti perasaan terisolasi, terasing, kosong dan
merasa putus asa, sehingga individu terpisah dengan orang lain.
2) Isolasi sosial : terjadi ketika klien menarik diri secara fisik dan
emosional dari lingkungan. Isolasi klien tergantung pada
tingkat kesedihan dan kecemasan yang berkaitan dalam
berhubungan dengan orang lain. Pengalaman hubungan yang
tidak menyenangkan menyebabkan klien menganggap
hubungan saat ini membahayakan. Individu merasa terancam
setiap ditemani orang lain karena menganggap orang lain akan
mengontrolnya, mengancam atau menuntutnya. Oleh sebab itu
individu memilih tetap mengisolasi dari pada pengalaman yang
menyedihkan terulang kembali.
3) Harga diri rendah : individu mempunyai perasaan tidak
berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan
sehingga akan mempengaruhi hubungan interpersonal.
Format Pengkajian Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi

Persepsi:

Halusinasi

1. Pendengaran
2. Penglihatan
3. Perabaan
4. Pengecapan
5. Penghidu
Jelaskan:

1. Isi halusinasi :
2. Waktu terjadinya :
Diagnosa Keperawatan
3. Frekuensi halusinasi :
1. 4.Gangguan
Respons klien :
persepsi sensori : Halusinasi pendengaran/ penglihatan/
penciuman/ perabaan/ pengecapan
2. Isolasi sosial
Masalah keperawatan:
3. Harga diri rendah
4. Ketidakberdayaan
5. Koping individu tidak efektif
6. Defisit perawatan diri

Rencana Keperawatan
Selanjutnya, setelah diagnosis keperawatan ditegakkan, perawat
melakukan tindakan keperawatan bukan hanya pada pasien, tetapi juga
keluarga.

Tindakan keperawatan pasien halusinasi, yaitu sebagai berikut.

a. Tindakan keperawatan pada pasien


1. Tujuan keperawatan
a) Pasien dapat mengenali halusinasi yang dialaminya
b) Pasien dapat mengontrol halusinasinya
c) Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal
2. Tindakan keperawatan
a) Bantu pasien mengenali halusinasi
Untuk membantu pasien mengenali halusinasi, perawat dapat
berdiskusi dengan pasien tentang isi halusinasi (apa yang di
dengar, dilihat atau dirasa), waktu terjadi halusinasi, frekuensi
terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi
muncul dan respons pasien saat halusinasi muncul.
b) Melatih pasien mengontrol halusinasi
Untuk membantu pasien agar mampu mengontrol halusinasi,
perawat dapat melatih pasien empat cara yang sudah terbukti
dapat mengendalikan halusinasi. Keempat cara mengontrol
halusinasi adalah sebagai berikut.

1) Menghardik halusinasi
Menghardik halusinasi adalah cara mengendalikan diri
terhadap halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang
muncul. Pasien dilatih untuk mengatakan tidak terhadap
halusinasi yang muncul atau tidak memedulikan
halusinasinya. Jika ini dapat dilakukan, pasien akan mampu
mengendalikan diri dan tidak mengikuti halusinasi yang
muncul. Mungkin halusinasi tetap ada, tetapi dengan
kemampuan ini, pasien tidak akan larut untuk menuruti
halusinasinya. Berikut ini tahapan intervensi yang
dilakukan perawat dalam mengajarkan pasien.
(a) Menjelaskan cara menghardik halusinasi
(b) Memperagakan cara menghardik
(c) Meminta pasien memperagakan ulang
(d) Memantau penerapan cara, menguatkan perilaku pasien.
2) Bercakap-cakap dengan orang lain
Bercakap-cakap dengan orang lain dapat membantu
mengontrol halusinasi. Ketika pasien bercakap-cakap
dengan orang lain, terjadi distraksi; focus perhatian pasien
akan beralih dari halusinasi ke percakapan yang dilakukan
dengan orang lain.
3) Melakukan aktivitas yang terjadwal
Untuk mengurangi risiko halusinasi muncul lagi adalah
dengan menyibukkan diri melakukan aktivitas yang teratur.
Dengan beraktivitas secara terjadwal, pasien tidak akan
mengalami banyak waktu luang sendiri yang sering kali
mencetuskan halusinasi. Oleh karena itu, halusinasi dapat
dikontrol dengan cara beraktivitas secara teratur dari
bangun pagi sampai tidur malam. Tahapan intervensi
perawat dalam memberikan aktivitas yang terjadwal,
yaitu :
(a) Menjelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk
mengatasi halusinasi
(b) Mendiskusikan aktivitas yang biasa dilakukan pasien
(c) Melatih pasien melakukan aktivitas
(d) Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai dengan
aktivitas yang telah dilatih. Upayakan pasien
mempunyai aktivitas mulai dari bangun pagi sampai
tidur malam.
(e) Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan; memberikan
penguatan terhadap perilaku pasien yang positif.
4) Minum obat secara teratur
Minum obat secara teratur dapat mengontrol halusinasi.
Pasien juga harus dilatih untuk minum obat secara teratur
sesuai dengan program terapi dokter. Pasien gangguan jiwa
yang dirawat di rumah sering mengalami putus obat
sehingga pasien mengalami kekambuhan. Jika kekambuhan
terjadi, untuk mencapai kondisi seperti semula akan
membutuhkan waktu. Oleh karena itu, pasien harus dilatih
minum obat sesuai program dan berkelanjutan. Berikut ini
intervensi yang dapat dilakukan perawat agar pasien patuh
minum obat.
(a) Jelaskan kegunaan obat
(b) Jelaskan akibat jika putus obat
(c) Jelaskan cara mendapatkan obat/berobat
(d) Jelaskan cara minum obat dengan prinsip 5 benar
(benar obat, benar pasien, benar cara, benar waktu, dan
benar dosis
Evaluasi

Evaluasi dilakukan dengan berfokus pada perubahan perilaku klien


setelah diberikan tindakan keperawatan. Keluarga juga perlu dievaluasi
karena merupakan system pendukung yang penting.

1. Apakah klien dapat mengenal halusinasinya, yaitu isi halusinasi,


situasi, waktu dan frekuensi munculnya halusinasi
2. Apakah klien dapat mengungkapkan perasaannya ketika halusinasi
muncul
3. Apakah klien dapat mengontrol halusinasinya dengan menggunakan
empat cara baru yaitu menghardik, menemui orang lain dan bercakap –
cakap, melaksanakan aktivitas yang terjadwal dan patuh minum obat
4. Apakah klien dapat mengungkapkan perasaannya mempraktikkan
empat cara mengontrol halusinasi
5. Apakah klien dapat memberdayakan system pendukungnya atau
keluarganya untuk mengotrol halusinasinya
6. Apakah klien dapat mematuhi minum obat
BAB III
TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK
GANGGUAN PERSEPSI SENSORI; HALUSINASI
A. Pelaksanaan
Topik : Sp 3 dengan melakukan aktifitas fisik
Hari/ Tanggal : Jum’at 10 Januari 2020
Waktu : 09.00-10.00
Tempat : RSJD Sui. Bangkong Pontianak Ruangan Melati
Sasaran : Pasien Kelolaan dan Resume di Ruang Melati
B. Metode
Sosialisasi
C. Nama Klien
Klien yang mengikuti kegiatan berjumlah 7 orang, sedangkan sisanya
adalah cadangan jika klien ditunjuk berhalangan. Adapun nama-nama
klien yang akan mengikuti TAK yaitu:
1. Nafiah
2. Yuni
3. Yessie
4. Demonika
5. Natalia
6. Desti
7.
D. Nama Pengisi TAK
Yang bertugas dalam TAK kali ini disesuaikan dengan petugas setiap sesi
yang telah di sepakati. Sebagai berikut:

1. Leader
a.
2. Co. leader
a.
3. Observer
a
4. Fasilitator 1 :
a. Yuni
b. Demonika
c. Desti
d. Natalia
e. Nafiah
f. Misnah
E. Uraian Tugas Pelaksanaan
1. Leader
Tugas:
a. Memimpin jalannya terapi aktivitas kelompok
b. Merencanakan, mengontrol, dan mengatur jalannya terapi
c. Menyampaikan materi sesuai tujuan TAK
d. Memimpin diskusi kelompok
2. Co. leader
Tugas:
a. Membuka acara
b. Mendampingi leader
c. Mengambil alih posisi leader jika leader bloking
d. Menyerahkan kembali posisi kepada leader
e. Menutup acara diskusi
3. Fasilitator
Tugas:
a. Ikut serta dalam kegiatan kelompok
b. Memberikan stimulus dan motivator pada anggota kelompok
untuk aktiv mengikuti jalannya terapi
4. Observer
Tugas:
a. Mencatat serta mengamati respon klien (dicatat pada format yang
tersedia).
b. Mengawasi jalannya aktifitas kelompok dari mulai persiapan,
proses, hingga penutupan.
F. StukturTempat

Keterangan:

: Ruangan Elang

: Leader

: Co. Leader

: Observer

: Fasilitator
: Pasien

G. SESI 1 Mengenal Halusinasi


1. Persiapan
 Memilih klien sesuai indikasi, yaitu klien dengan perubahan
sensori persepsi: halusinasi
 Membuat kontrak dengan klien
“kita disini akan melakukan aktivitas yaitu membersihkan kaca
diruangan aktivitas ya ibu ibu”
 Persiapkan alat dan tempat pertemuan
2. Orientasi
a. Salam Terapeutik
 Salam terapeutik kepada klien
“assalamuallaikumwr.wb. selamat siang bapak ibu “
 Perkenalan nama lengkap nama panggilan semua stuktur (beri
papan nama)
“perkenalkan nama saya
 Menanyakan nama lengkap dan nama panggilan dari semua
klien (beri papan nama)
“baiklah giliran bapak dan ibu memperkenalkan diri masing-
masing. Mungkin ibu bisa berdiri saat memperkenalkan diri”
b. Evaluasi/validasi
Menanyakan perasaan klien saat ini.
“bagaimana perasaan ibu-ibu saat ini?”
c. Kontak
 Leader menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan
yaitu melakukan aktivitas yaitu membersihkan kaca diruangan
aktivitas untuk megalihkan halusinasi yang bapak rasakan”
 “disini kita akan mendengar cerita teman-teman kita tentang
suara yang di dengar atau mendengar cerita tentang mahluk
yang mereka gambar.
 Tujuan dari aktivitas ini agar bapak dapat mengendalikan
halusinasi nya dengan cara membersihkan kaca untuk
mengendalikan halusinasi yang muncul”.
 Leader menjelaskan aturan main
Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok harus minta
izin kepada leader.
Lama kegiatan 30 menit.
Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir
3. Tahap Kerja
 Leader menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan yaitu
melakukan aktivitas terjadwal untuk mengendalikan halusinasi
yang muncul.
 Beri pujian pada klien yang sedang melakukan aktivitas
terjadwal tersebut.

4. Tahap Terminasi
a. Evaluasi
 Leader menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
“sekarangkan kita sudah selesai melakukan aktivitas.
Bagaimana yang ibu rasakan setelah melakukan aktivitas
yang kita jalani.”
 Leader memberikan pujian atas keberhasilan kelompok
“anggota kelompok yang mengikuti kegiatan ini sangat
pandai dalam melakukan aktivitas, kita beri applause yang
meriah untuk kelompok kita.”

b. Tindak lanjut
Leader meminta untuk melaporkan isi, waktu, situasi dan
perasaan jika halusinasi muncul “baiklah ibu pesan saya, jika
ibu mulai mendengar suara dan melihat mahluk yang tidak ada
wujudnya ibu bisa melakukan kegiatan kita hari ini sesuai
jadwal ya ibu, sampai suara yang ibu dengar tersebut hilang”
5. Kontrak yang akan dating
 Menyepakati TAK yang akan datang: cara mengontrol
Evaluasi : halusinasi
“sekarang kegiatan kita sudah selesai. Kira-kira kapan kita bisa
melaksanakan kegiatan selanjutnya? Bagimana kalau tanggal
sekian?Dimana kira-kira ibu melakukan kegiatan selanjutnya?”
 Menyepakati waktu dan tempat
“baiklah kita akan melaksanakan kegiatan selanjutnya pada
tanggal 11 Januari 2020?
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B. A., & Akemat. (2007). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta: EGC.
Auliya, I. (2016). Asuhan Keperawatan Jiwa Gangguan Persepsi Sensori:
Halusinasi Pendengaran Pada Tn. M di Wisma BAsukarna RSJ Prof. DR.
Soerojo Magelang. Pekalongan: STIKES Muhammadiyah Pekajangan.
Stuart & Laraia. (2001). Principle and Practice of Pshychiatric Nursing Ed.7.
Mosby: Philadelpia.

Prabowo, E. (2014). Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:


Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai