Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN APLIKASI KLINIS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN FARINGITIS DI


RUANG NUSA INDAH RUMAH SAKIT TINGKAT III BHALADHIKA
HUSADA (DKT) JEMBER

oleh
Putri Hidayatur Rochmah
NIM 152310101074

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus aplikasi klinis yang dibuat oleh:

Nama : Putri Hidayatur Rochmah


NIM : 152310101074
Judul : Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan pada Anak dengan
Faringitis di Ruang Nusa Indah Rumah Sakit Tingkat III Bhaladhika Husada
(DKT) Jember

telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:

Hari :
Tanggal : Januari 2018

Jember, Januari 2018

TIM PEMBIMBING

Pembimbing Akademik, Pembimbing Klinik,

Ns. Eka Afdi M.Kep.


NIP. 760018005 NIP............................................

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL ......................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................. ii
DAFTAR ISI .......................................................................................... iii
BAB 1. TINJAUAN TEORI ........................................................... 4
A. Anatomi Fisiologi ........................................................... 4
B. Definisi Penyakit ......................................................................... 5
C. Epidemiologi ............................................................................... 6
D. Etiologi ........................................................................................ 7
E. Klasifikasi ................................................................................... 8
F. Patofisiologi ................................................................................ 11
G. Manifestasi Klinis ....................................................................... 12
H. Komplikasi .................................................................................. 12
I. Pemeriksaan Penunjang .............................................................. 13
J. Penatalaksanaan .......................................................................... 14
BAB 2. CLINICAL PATHWAY.......................................................... 16
BAB 3. PROSES KEPERAWATAN SECARA TEORI.................... 17
A. Pengkajian ................................................................................... 17
B. Diagnosa ..................................................................................... 20
C. Intervensi ..................................................................................... 21
BAB 4. DISCHARGE PLANNING ..................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 32

iii
BAB 1. TINJAUAN TEORI

1.1 Anatomi Fisiologi Faringitis


Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti corong
dengan bagian atas yang besar dan bagian bawah yang sempit. Faring
merupakan ruang utama dua sistem, yakni traktus resporatorius dan traktus
digestivus. Kantong fibromuskuler ini bermula dari dasar tengkorak ke
esophagus hingga setinggi vertebra servikalis ke-6. Dinding faring dibentuk
oleh selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia
bukofaringeal. Otot-otot faring tersusun dalam lapisan sirkular dan longitudinal.
Otot sirkular (konstriktor) terdiri dari m.constrictor pharyngis superior, media
dan inferior. Otot-otot ini terletak ini terletak di sebelah luar dan berbentuk
seperti kipas dengan tiap bagian bawahnya menutupi sebagian otot bagian
atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama lain
dan di belakang bertemu pada jaringan ikat. Kerja otot konstriktor ini adalah
untuk mengecilkan lumen faring dan otot-otot ini dipersarafi oleh Nervus
Vagus.
Berdasarkan letaknya maka faring dapat dibagi menjadi Nasofaring,
Orofaring dan Laringofaring (Hipofaring). Nasofaring merupakan bagian
tertinggi dari faring. Nasofaring yang relatif kecil mengandung serta
berhubungan erat dengan beberapa struktur penting seperti adenoid, jaringan
limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fossa
Rosenmuller, kantong ranthke, yang merupakan invaginasi struktur embrional
hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan
kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh Nervus
Glossopharyngeus, Nervus Vagus dan Nervus Asesorius spinal saraf cranial dan
vena jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan
muara tuba Eustachius. Fungsi faring adalah untuk respirasi, waktu menelan,
resonasi suara dan untuk artikulasi

4
Gambar 1.1 Faring

1.2 Definisi

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (2008) Faringitis merupakan


peradangan akut membrane mukosa faring dan struktur lain di sekitarnya. Karena
letaknya yang sangat dekat dengan hidung dan tonsil, jarang terjadi hanya infeksi
local faring atau tonsil. Oleh karena itu, pengertian faringitis secara luas mencakup
tonsillitis, nasofaringitis, dan tonsilofaringitis. Faringitis adalah peradangan pada
mukosa faring dan sering meluas ke jaringan sekitarnya. Faringitis biasanya timbul
bersama-sama dengan tonsilitis, rhinitis dan laryngitis. Faringitis banyak diderita
anak-anak usia 5-15 th di daerah dengan iklim panas. Faringitis dijumpai pula pada
dewasa yang masih memiliki anak usia sekolah atau bekerja di lingkungan anak-
anak (Dewi, 2016).

Faringitis akut merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan


semua infeksi akut pada faring, termasuk tonsillitis (tonsilofaringitis) yang
berlangsung hingga 14 hari dan merupakan peradangan akut membrane mukosa
faring dan struktur lain di sekitarny. Karena letaknya yang sangat dekat dengan
hidung dan tonsil, jarang terjadi hanya pada toonsilitis namun juga mencakup
nasofaringitis dan tonsilofaringitis dan ditandai dengan keluhan nyeri tenggorokan.

5
Faringitis Streptokokus beta hemolitiku group A (SBHGA) adalah infeksi akut
orofaring dana tau nasofaring olh SBHGA (Rahajoe, 2012 dalam Nurarif dan
Kusuma. 2015)

Gambar 1.2 Faringitis Akut dan Kronis

1.3 Epidemiologi

Setiap tahunnya ± 40 juta orang mengunjungi pusat pelayanan kesehatan


karena faringitis. Anak-anak dan orang dewasa umumnya mengalami 3−5 kali
infeksi virus pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Frekuensi munculnya faringitis lebih sering
pada populasi anak-anak. Kira-kira 15−30% kasus faringitis pada anak-anak usia
sekolah dan 10% kasus faringitis pada orang dewasa. Biasanya terjadi pada musim
dingin yaitu akibat dari infeksi Streptococcus ß hemolyticus group A. Faringitis
jarang terjadi pada anak-anak kurang dari tiga tahun (Acerra, 2010 dalam Anonim,
2011).

Faringitis sebagai bagian dari infeksi saluran pernafasan atas yang


disebabkan virus atau sebagai manifestasi infeksi Streptococcal kelompok A beta
hemolitik (GAS), adalah salah satu keluhan paling umum dimana pasien hadir ke
kantor perawatan primer. Biasanya faringitis beresiko pada waktu tertentu
diantaranya akhir musim gugur, musim dingin, dan musim semi di daerah beriklim
sedang (Murphy dkk, 2013).

6
1.4 Etiologi

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus


(40−60%), bakteri (5−40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Faringitis bisa
disebabkan oleh virus maupun bakteri.

1. Virus yaitu Rhinovirus, Adenovirus, Parainfluenza, Coxsackievirus, Epstein –


Barr virus, Herpes virus.
2. Bakteri yaitu, Streptococcus ß hemolyticus group A, Chlamydia,
Corynebacterium diphtheriae, Hemophilus influenzae, Neisseria gonorrhoeae.
Jamur yaitu Candida jarang terjadi kecuali pada penderita imunokompromis yaitu
mereka dengan HIV dan AIDS, Iritasi makanan yang merangsang sering
merupakan faktor pencetus atau yang memperberat (Fitry, 2001).

Faktor risiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang dingin, turunnya
daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza, konsumsi makanan yang
kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan, merokok dan seseorang yang
tinggal di lingkungan kita yang menderita sakit tenggorokan atau demam (Gore,
2013 dalam Anonim, 2011).

Sebagian besar pasien faringitis pediatri adalah laki-laki dimana


perbandingan persentase pasien faringitis pediatri laki-laki dan wanita adalah 62%
dan 38%. Faringitis paling sering terjadi pada anak-anak dengan umur 2-4 tahun
(68,2%), diikuti dengan anak-anak pada umur lebih dari empat tahun sampai enam
tahun (28%). Diketahui persebaran umur anak yang paling sering terinfeksi
faringitis yaitu umur 2-4 tahun (68.2%). Streptococcus group A merupakan bakteri
yang paling sering menyebabkan gangguan saluran pernapasan, salah satunya
adalah faringitis. Imunoglobulin yang paling banyak terdapat pada saluran
pernapasan yaitu immunoglobulin A (IgA) (Abbas, 2007 dalam Dewi dkk, 2013 ).
Pada anak-anak immunoglobulin ini belum berkembang secara sempurna
dibandingkan dengan orang dewasa (Factor, 2005 dalan Dewi dkk, 2013). Hal
inilah yang menyebabkan faringitis lebih beresiko pada anak-anak.

7
1.5 Klasifikasi

Faringitis terbagi atas beberapa jenis antara lain:

1. Faringitis Akut
a. Faringitis viral
Dapat disebabkan oleh Rinovirus, Adenovirus, Epstein Barr Virus (EBV),
Virus influenza, Coxsachievirus, Cytomegalovirus dan lain-lain. Gejala dan
tanda biasanya terdapat demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit
menelan. Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus
influenza, Coxsachievirus dan Cytomegalovirus tidak menghasilkan
eksudat. Coxsachievirus dapat menimbulkan lesi vesikular di orofaring dan
lesi kulit berupa maculopapular rash. Pada adenovirus juga menimbulkan
gejala konjungtivitis terutama pada anak. Epstein bar virus menyebabkan
faringitis yang disertai produksi eksudat pada faring yang banyak. Terdapat
pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama retroservikal dan
hepatosplenomegali. Faringitis yang disebabkan HIV-1 menimbulkan
keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan, mual dan demam. Pada
pemeriksaan tampak faring hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut
di leher dan pasien tampak lemah.
b. Faringitis bakterial
Infeksi Streptococcus ß hemolyticus group A merupakan penyebab
faringitis akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%). Gejala dan
tanda biasanya penderita mengeluhkan nyeri kepala yang hebat, muntah,
kadang-kadang disertai demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai
batuk. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil
hiperemis dan terdapat eksudat dipermukaannya. Beberapa hari kemudian
timbul bercak petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa leher
anterior membesar, kenyal dan nyeri apabila ada penekanan. Faringitis
akibat infeksi bakteri Streptococcus ß hemolyticus group A dapat
diperkirakan dengan menggunakan Centor criteria, yaitu :
1. Demam

8
2. Anterior Cervical lymphadenopathy
3. Eksudat tonsil
4. Tidak adanya batuk
Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri skor satu. Bila skor 0−1 maka pasien
tidak mengalami faringitis akibat infeksi Streptococcus ß hemolyticus group
A, bila skor 1−3 maka pasien memiliki kemungkian 40% terinfeksi
Streptococcus ß hemolyticus group A dan bila skor empat pasien memiliki
kemungkinan 50% terinfeksi Streptococcus ß hemolyticus group A
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014 dalam Anonim, 2011).
c. Faringitis fungal
Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring. Gejala dan tanda
biasanya terdapat keluhan nyeri tenggorok dan nyeri menelan. Pada
pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan mukosa faring lainnya
hiperemis. Pembiakan jamur ini dilakukan dalam agar sabouroud dextrosa.
d. Faringitis gonorea
Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital.

Gambar 1.3 Faringitis Bacterial dan Viral

2. Faringitis Kronik
a. Faringitis kronik hiperplastik
Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding
posterior faring. Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral
hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata,

9
bergranular. Gejala dan tanda biasanya pasien mengeluh mula-mula
tenggorok kering dan gatal dan akhirnya batuk yang bereak.
b. Faringitis kronik atrofi
Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada
rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta kelembapannya
sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring. Gejala dan
tanda biasanya pasien mengeluhkan tenggorokan kering dan tebal serta
mulut berbau. Pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir
yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.

3. Faringitis Spesifik
a. Faringitis tuberkulosis
Merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru. Pada infeksi kuman
tahan asam jenis bovinum dapat timbul tuberkulosis faring primer. Cara
infeksi eksogen yaitu kontak dengan sputum yang mengandung kuman atau
inhalasi kuman melalui udara. Cara infeksi endogen yaitu penyebaran
melalui darah pada tuberkulosis miliaris. Bila infeksi timbul secara
hematogen maka tonsil dapat terkena pada kedua sisi dan lesi sering
ditemukan pada dinding posterior faring, arkus faring anterior, dinding
lateral hipofaring, palatum mole dan palatum durum. Kelenjar regional leher
membengkak, saat ini penyebaraan secara limfogen. Gejala dan tanda
biasanya pasien dalam keadaan umum yang buruk karena anoreksi dan
odinofagia. Pasien mengeluh nyeri yang hebat di tenggorok, nyeri di telinga
atau otalgia serta pembesaran kelenjar limfa servikal.
b. Faringitis luetika
Treponema pallidum (Syphilis) dapat menimbulkan infeksi di daerah faring,
seperti juga penyakit lues di organ lain. Gambaran klinik tergantung stadium
penyakitnya. Kelainan stadium primer terdapat pada lidah, palatum mole,
tonsil dan dinding posterior faring berbentuk bercak keputihan. Apabila
infeksi terus berlangsung akan timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus
pada genitalia yaitu tidak nyeri dan didapatkan pula pembesaran kelenjar

10
mandibula yang tidak nyeri tekan. Kelainan stadium sekunder jarang
ditemukan, namun dapat terjadi eritema pada dinding faring yang menjalar
ke arah laring. Kelainan stadium tersier terdapat pada tonsil dan palatum,
jarang ditemukan pada dinding posterior faring. Pada stadium tersier
biasanya terdapat guma, guma pada dinding posterior faring dapat meluas
ke vertebra servikal dan apabila pecah akan menyebabkan kematian. Guma
yang terdapat di palatum mole, apabila sembuh akan membentuk jaringan
parut yang dapat menimbulkan gangguan fungsi palatum secara permanen.
Diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan serologik, terapi penisilin dengan
dosis tinggi merupakan pilihan utama untuk menyembuhkan nya
(Rusmarjonno dan Hermani, 2007 dalam Anonim, 2011).

1.6 Patofisiologi

Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara
langsung menginvasi mukosa faring menyebabkan respon inflamasi lokal. Kuman
menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid
superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian edema dan
sekresi yang meningkat. Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan
kemudian cendrung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan
hiperemi, pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang
berwarna kuning, putih atau abu-abu terdapat dalam folikel atau jaringan limfoid.
Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior,
atau terletak lebih ke lateral, menjadi meradang dan membengkak. Virus-virus
seperti Rhinovirus dan Coronavirus dapat menyebabkan iritasi sekunder pada
mukosa faring akibat sekresi nasal. Infeksi streptococcal memiliki karakteristik
khusus yaitu invasi lokal dan pelepasan extracellular toxins dan protease yang dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat karena fragmen M protein dari Group
A streptococcus memiliki struktur yang sama dengan sarkolema pada myocard dan
dihubungkan dengan demam rheumatic dan kerusakan katub jantung. Selain itu

11
juga dapat menyebabkan akut glomerulonefritis karena fungsi glomerulus
terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi (Price, 2005).

1.7 Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala yang ditimbulkan faringitis tergantung pada mikroorganisme


yang menginfeksi. Secara garis besar faringitis menunjukkan tanda dan gejala
umum seperti lemas, anorexia, demam, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher.

Gejala khas berdasarkan jenisnya, yaitu:


a. Faringitis viral (umumnya oleh rhinovirus): diawali dengan gejala rhinitis dan
beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam disertai rinorea
dan mual.
b. Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, muntah, kadang disertai demam
dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk.
c. Faringitis fungal: terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan.
d. Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula tenggorok kering, gatal dan
akhirnya batuk yang berdahak.
e. Faringitis atrofi: umumnya tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau.
f. Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat pada faring dan tidak berespon dengan
pengobatan bakterial non spesifik.
g. Bila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis luetika, ditanyakan riwayat
hubungan seksual (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

1.8 Komplikasi
a. Otitis media akut
b. Abses peri tonsil
c. Abses para faring
d. Toksenia
e. Septikinia
f. Bronkitis
g. Nefritis akut

12
h. Miokarditis
i. Artritis

Beberapa komplikasi lain dari faringitis ini yaitu:

a. Demam scarlet, yang ditandai dengan demam dan bintik kemerahan


b. Demam reumatik, yang dapat menyebabkan inflamasi sendi atau kerusakan
pada katup jantung. Pada negar berkembang, sekitar 20 juta orang mengalami
demam reumatik akut yang mengakibatkan kematian.Demam reumatik
merupakan komplikasi yang paling sering terjadi dari faringitis.
c. Glomerulonefritis; Komplikasi berupa glomerulonefritis akut merupakan
respon inflamasi terhadap protein M spesifik. Kompleks antigen-antibodi yang
terbentuk berakumulasi pada glomerulus ginjal yang akhirnya menyebabkan
glomerulonefritis ini.
d. Abses peritonsilar biasanya disertai dengan nyeri faringeal, disfagia, demam,
dan dehidrasi.
e. Shok (Fauci et al., 2008)
FfgggFFFFGGGmmmmmmmmkk
1.9 Pemeriksaan Penunjang
a. Pada pemeriksaan dengan mempergunakan spatel lidah, tampak tonsil
membengkak, hiperemis, terdapat detritus, berupa bercak (folikel, lakuna,
bahkan membran). Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan,
terutama pada anak
b. Pemeriksaan Biopsi
Contoh jaringan untuk pemeriksaan dapat diperoleh dari saluran pernapasan
(sekitar faring) dengan menggunakan teknik endoskopi. Jaringan tersebut
akan diperiksa dengan mikroskop untuk mengetahui adanya peradangan
akibat bakteri atau virus.
c. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum makroskopik, mikroskopik atau bakteriologik penting
dalam diagnosis etiologi penyakit.Warna bau dan adanya darah merupakan
petunjuk yang berharga.

13
d. Pemeriksaan Laboratorium
a) Leukosit : terjadi peningkatan (Nilai normal 9000-12.000/mm3)
b) Hemoglobin : terjadi penurunan (Nilai normal 10-16 gr/dL)
c) Usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri dan tes sensitifitas obat
(Nurarif dan Kusuma, 2015)

1.10 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan farmokologi
a. Topikal
1) Obat kumur antiseptik
2) Menjaga kebersihan mulut
3) Pada faringitis fungal diberikan nystatin 100.000−400.000 2
kali/hari.
4) Faringitis kronik hiperplastik terapi lokal dengan melakukan
kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan nitras argentin
25%.
b. Oral sistemik
1) Anti virus metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi virus
dengan dosis 60−100 mg/kgBB dibagi dalam 4−6 kali
pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak kurang dari lima
tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4−6 kali
pemberian/hari.
2) Faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya
Streptococcus group A diberikan antibiotik yaitu penicillin G
benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau amoksisilin 50
mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama sepuluh hari dan pada
dewasa 3x500 mg selama 6−10 hari atau eritromisin 4x500
mg/hari. Selain antibiotik juga diberikan kortikosteroid karena
steroid telah menunjukkan perbaikan klinis karena dapat menekan
reaksi inflamasi. Steroid yang dapat diberikan berupa
deksametason 3x0,5 mg pada dewasa selama tiga hari dan pada

14
anak-anak 0,01 mg/kgBB/hari dibagi tiga kali pemberian selama
tiga hari.
3) Faringitis gonorea, sefalosporin generasi ke-tiga, Ceftriakson 2 gr
IV/IM single dose.
4) Pada faringitis kronik hiperplastik, jika diperlukan dapat diberikan
obat batuk antitusif atau ekspektoran. Penyakit hidung dan sinus
paranasal harus diobati.
5) Faringitis kronik atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofi.
6) Untuk kasus faringitis kronik hiperplastik dilakukan kaustik sekali
sehari selama 3−5 hari.

b. Penatalaksanaan non farmakologi


a. Terapi Pokok
Penatalaksanaan komprehensif penyakit faringitis akut, yaitu:
1. Istirahat cukup
2. Minum air putih yang cukup
3. Berkumur dengan air yang hangat
4. Konseling dan Edukasi :
a) Memberitahu keluarga untuk menjaga daya tahan tubuh dengan
mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga teratur.
b) Memberitahu keluarga untuk berhenti merokok.
c) Memberitahu keluarga untuk menghindari makan-makanan yang
dapat mengiritasi tenggorok.
d) Memberitahu keluarga dan pasien untuk selalu menjaga kebersihan
mulut.
e) Memberitahu keluarga untuk mencuci tangan secara teratur
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

15
BAB 2. CLINICAL PATHWAY
Faktor Presdisposisi : asap
rokok, jenis makanan,
hiegene mulut buruk, Rendahnya sistem Invasi kuman patogen (bakteri /
pengaruh cuaca, kelelahan imun virus)
fisik, riwayat pengobatan
tidak adekuat
Penyebaran limfogen

Faring & tonsil

Proses inflamasi Demam hipertermi

Tonsilitis akut Faringitis

Sulit makan &


Pembesaran tonsil Pembesaran faring
minum
(adenoid)
Nyeri Akut
Produksi mukus
Gangguan kelemahan meningkat, sesak nafas Penyempitan nasofaring Terbatasnya gerakkan torus tubarius
Menelan
Sirkulasi udara terhambat

16
Obstruksi mekanis dan penekanan pada
Intoleransi lumen tuba
aktifitas Ketidakefektifan bersihan
jalan nafas Otitis Media Efusi (OME)

17
BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN

1.1 Pengkajian
2.1.1 Identitas Pasien
Frekuensi munculnya faringitis lebih sering pada populasi anak-anak. Kira-kira
15−30% kasus faringitis pada anak-anak usia sekolah dan 10% kasus faringitis pada
orang dewasa. Faringitis jarang terjadi pada anak-anak kurang dari tiga tahun
(Acerra, 2010 dalam Anonim, 2011). Sebagian besar pasien faringitis pediatri
adalah lakilaki dimana perbandingan persentase pasien faringitis pediatri laki-laki
dan wanita adalah 62% dan 38%. Faringitis paling sering terjadi pada anak-anak
dengan umur 2-4 tahun (68,2%), diikuti dengan anak-anak pada umur lebih dari
empat tahun sampai enam tahun (28%). Diketahui persebaran umur anak yang
paling sering terinfeksi faringitis yaitu umur 2-4 tahun.
2.1.2 Pengkajian Riwayat Keperawatan
Pengkajian Riwayat Keperawatan meliputi beberapa pengkajian antara lain :
1. Keluhan Utama
Pada pengkajian ini didata mengenai keluhan utama yang dirasakan oleh
pasien. Biasanya pasien mengeluh sakit tenggorokkan, nyeri ketika menelan
makanan, demam dan lain-lain.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengkajian pada penyakit sekarang yaitu pasien dikaji mengenai apa yang
dikeluhkan dan bagaimana keadaan pasien saat ini. Keluhan yang diderita
pasien dengan faringitis dari awal keluhan dirumah sebelum masuk ke
rumah sakit sampai yang dirasakan keluhan di rumah sakit.
3. Riwayat Kesehatan Dahulu
Pengkajian pada riwayat penyakit dahulu yaitu pengkajian mengenai
penyakit yang pernah diderita pasien pada masa sebelumnya. Riwayat
kesehatan dahulu dapat diketahui dengan menanyakan mengenai riwayat
kelahiran, imunisasi, penyakit yang pernah diderita (faringitis berulang,
ispa, otitis media), dan riwayat hospitalisasi yang pernah dialami pasien.

18
Selain itu ditanyakan juga riwayat penyakit yang berhubungan dengan
imunitas seperti malnutrisi.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Pengkajian riwayat kesehatan keluarga diperlukan untuk mengetahui
apakah dari keluarga pasien pernah menderita penyakit yang serupa atau
penyakit keturunan seperti : hipertensi, diabetes melitus, kanker, dan lain
sebagainya. Selain itu juga ditanyakan apakah ada anggota keluarga lain
yang menderita sakit saluran pernafasan
2.1.3 Pengkajian Pola Kesehatan
Pengkajian pola kesehatan meliputi berikut :
1. Presepsi dan pemeliharaan kesehatan.
Adanya tanda dan gejala yang dapat menyebabkan Pasien mencari
pertolongan mengenai kesehatan seperti: nyeri pada tenggorokan, susah
untuk menelan, peningkatan suhu tubuh, kelemahan hebat, kehilangan
perhatian pada lingkungan.
2. Pola nutrisi atau metabolik.
Pasien mengeluhkan mual-muntah, anoreksia, berat badan menurun karena
intake makanan berkurang, nyeri menelan, dan nafas berbau.
3. Pola eliminasi.
Pola eliminasi klien yang harus dikaji oleh perawat meliputi :

a. Kebiasaan pola buang air kecil : frekuensi, jumlah (cc), warna, bau, nyeri,
mokturia, kemampuan mengontrol BAK, adanya perubahan lain.
b. Kebiasaan pola buang air besar :frekuensi, jumlah (cc), warna, bau, nyeri,
mokturia, kemampuan mengontrol BAB, pengggunaan obat-obatan
untuk melancarkan BAB, adanya perubahan lain, adadarah dalam feces
dan di rektum.
c. Kemampuan perawatan diri : kekamar mandi, kebersihan diri.
d. Penggunaan bantuan untuk ekskresi
4. Pola aktivitas dan latihan.

19
Pasien dengan tonsilofaringitis biasanya ketika melakukankan aktivitas
mudah lelah dan lemah karena intake makanan dan cairan berkurang.
5. Pola tidur dan istirahat.
Pasien sering mengeluhkan gelisah saat tidur karena adanya rasa nyeri di
tenggorokkan.
6. Pola kognitif dan perseptual.
Pasien dengan tonsilofaringitis yang tidak segera ditangani (parah)
biasanya pendengaran dan fokus perhatiannya berkurang atau menyempit,
kemampuan berfikir abstrak menurun, kehilangan perhatian untuk
lingkungan.
7. Pola presepsi diri.
Pasien dengan tonsilofaringitis sering mengalami penurunan harga diri,
perubahan konsep diri dan body image, menurunnya harga diri,
menurunnya tingkat kemandirian dan perawatan diri.
8. Pola peran dan hubungan.
Tonsilofaringitis apabila tidak ditangani dapat membuat Pasien tidak dapat
menjalankan sekolah sehingga dapat menyebabkan penurunan kontak
sosial dan aktivitas pada Pasien.
9. Pola manajemen koping-stress.
Kecemasan Pasien terhadap hospitalisasi.
10. Sistem nilai dan keyakinan.
Latar belakang etnik dan budaya pasien, status ekonomi, perilaku
kesehatan terkait nilai atau kepercayaan, tujuan hidup pasien,
pentingnya agama bagi pasien, akibat penyakit terhadap aktivitas
keagamaan. Adanya kecemasan dalam sisi spiritual akan menyebabkan
masalah yang baru yang ditimbulkan akibat dari ketakutan akan kematian
dan akan mengganggu kebiasaan ibadahnya.
2.1.4 Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
a. Inspeksi : bagaimana keadaan persebaran rambut dan keadaan wajah.
b. Palpasi : diraba apakah ada benjolan di kepala.

20
2. Leher
a. Inspeksi : biasanya ada pembesaran di daerah leher.
3. Palpasi : teraba adanya pembesaran di daerah leher.
4. Mulut dan faring
a. Inspeksi : keadaan mukosa bibir kering atau lembab, biasanya nafas
Pasien berbau, adanya pembesaran di daerah faring atau tonsill.
5. Thotax / dada
a. Inspeksi : dilihat apa dada simetris, tampak atau tidak menggunakan
otot bantu pernafasan.
b. Palpasi : adanya benjolan massa atau tidak.
c. Perkusi : bagimana bunyi jantung dan paru-paru.
d. Auskultasi : bagaimana sura S1 dan S2, tunggal atau terdapat bunyi
tambahan.
6. Abdomen
a. Inspeksi : simetris atau tidak bentuk abdomen, ada jejas atau tidak.
b. Palpasi : ada benjolan atau tidak, ada distensi abdomen atau tidak.
c. Auskultasi : berapa bising usus.
7. Ekstremitas
a. Inspeksi : adanya edema apa tidak di bagian ekstremitas atas maupun
bawah.
b. Palpasi : terdapat massa dan penimbunan cairan atau tidak.

1.2 Diagnosa Keperawatan


1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan
nafas (penyempitan nasofaring).
2. Nyeri akut berhubungan dengan iritasi jalan nafas atas sekunder
3. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
4. Gangguan menelan berhubungan dengan kesulitan menelan karena adanya
edema pada tonsil
5. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan

21
1.3 Intervensi

N Diagnosa NOC NIC Rasional


o.
1 Ketidakefekt Setelah dilakukan tindakan 3140 Manajemen 1. Untuk
ifan bersihan keperawatan selama 2 x 24 Jalan Nafas mengetah
jalan nafas jam diharapkan pasien ui status
1. Monitor status
akan mempertahankan pernafasan
pernafasan, sesuai
jalan nafas yang paten klien dan
dengan kebutuhan
dengan bunyi nafas bersih mengetah
2. Posisikan pasien
atau jelas. ui saat
untuk
Kriteria Hasil : terjadi
memaksimalkan
gangguan
1. Frekuensi pernafasan ventilasi
2. Agar
kembali normal dari 3. Regulasi
pasien
skala 3 ditingkatkan keseimbangan
menjadi
menjadi 4 cairan untuk
lebih
2. Irama pernafasan mengoptimalkan
nyaman
kembali normal dari keseimbangan
3. Agar
skala 2 ditingkatkan cairan
melanjark
menjadi 4 4. Berikan informasi
an
3. Pasien tidak dan ajarkan pada
kepatenan
mengeluhkan batuk dari keluarga bagaimana
jalan nafas
skala 2 ditingkatkan cara melakukan
pada
menjadi 4 suction
tubuh
5. Kolaborasi
klien
pemberian terapi
4. Agar
farmakologis
keluarga
dengan tim medis
mengerti
lain
dan bisa
melakuka

22
n mandiri
bagaimana
membersi
hkan
mulut dari
lendir
5. Agar
pemberian
terapi
farmakolo
gis tepat
saran.
2. Nyeri Akut Tujuan : Setelah dilakukan 6680 Monitor Tanda- 1. Agar
tindakan keperawatan Tanda Vital mengetah
selama 3x24 jam pasien ui saat
1400 Manajemen
dapat mengurangi nyeri terjadi
Nyeri
yang dialami ketidaknor
Kriteria hasil : 1. Lakukan malan
1. Pasien dapat mengenali pengkajian nyeri pada TTV
kapan terjadinya nyeri komprehensif yang pasien,
dari skala 2 meliputi lokasi, karena
ditingkatkan menjadi 4. karakteristik, frekuensi
2. Pasien dapat onset/durasi, tekanan
menggambarkan faktor frekuensi, kualitas, darah juga
penyebab nyeri dari intensitas atau mempeng
skala 1 ditingkatkan beratnya nyeri dan aruhi nyeri
menjadi 3. faktor pencetus. seseorang
3. Pasien dapat 2. Gunakan 2. Untuk
melaporkan perubahan komunikasi mengetah
terhadap gejala nyeri terapeutik untuk ui sejauh
mengetahui mana

23
dari skala 2 3. Dukung nyeri yang
ditingkatkan menjadi 4. istirahat/tidur yang dialami
4. Episode nyeri pasien adekuat untuk oleh
dapat memendek dari membantu pasien.
skala 2 ditingkatkan penurunan nyeri. 3. Komunika
menjadi 4. 4. Ciptakan si
5. Pasien tidak lingkungan yang terpeutik
menunjukkan ekspresi mendukung bias
nyeri wajah dari skala 1 5. Ajarkan metode membuat
ditingkatkan menjadi 4. non farmakologi hubungan
6. Pasien dapat untuk menurunkan ina saling
beristirahat dengan nyeri (tehnik percaya
normal dipertahankan relaksasi seperti tercipta.
pada skala 4 nafas dalam) 4. Untuk
6. Berikan informasi menguran
mengenai nyeri gi rasa
seperti penyebab, nyeri
berapa lama nyeri dengan
akan dirasakan, dan beristiraha
antisipasi dari t
ketidaknyamanan 5. Lingkunga
akibat prosedur n yang
2210 Pemberian nyaman
Analgesik akan
menurunk
7. Kolaborasi
an nyeri
dengan tim
yang
medis lain
dialami
dalam
pasien
pemberian obat
6. Untuk
analgesik
menguran

24
gi nyeri
yang
dialami
klien
7. Agar
keluarga
juga
mengetah
ui terkait
nyeri yang
dialami
klien
8. Agar tepat
sasaran
dan sesuai
dengan
yang
pasien
butuhkan

3. Hipertermi Tujuan : Setelah dilakukan 3740 Perawatan 1. Untuk


tindakan keperawatan Demam mengetah
selama 2x24 jam ui suhu
1. Pantau suhu dan
hipertermi yang dialami dan TTV
tanda-tanda vital
pasien dapat berkurang pasien.
lainnya.
Kriteria hasil : 2. Untuk
2. Monitor warna kulit
1. Suhu tubuh dalam mengetah
dan suhu.
rentang normal ui apakah
3. Monitor asupan dan
(normalnya suhu pada pasien
keluaran, sadari
anak 36,6-37,2 derajat dalam
perubahan
Celcius) dari skala 2 keadaan

25
ditingkatkan menjadi kehilangan cairan normal
skala 4. yang dirasakan. atau masih
2. Nadi dan RR dalam mengalam
3900 Pengaturan
rentang normal i
Suhu
3. Pasien tidak berkeringat hipertermi
saat panas dari skala 2 3. Monitor
4. Monitor suhu
ditingkatkan menjadi apa saja
paling tidak 2 jam,
skala 4. berapa
sesuai kebutuhan
4. Pasien tidak lagi liter yang
5. Berikan informasi
mengalami hipertermi sudah
pada keluarga
dari skala 2 klien
untuk
ditingkatkan menjadi minum
meningkatkan
skala 4. dan
intake cairan dan
5. Tidak ada perubahan bagaimana
nutrisi yang
warna kulit dan tidak dengan
adekuat
ada pusing dari skala 2 BAKnya
6. Kolaborasi dengan
ditingkatkan menjadi 4. Agar suhu
tim medis lain
skala 4. lingkunga
dalam pemberian
n disekitar
pengobatan
pasien
antipiretik sesuai
sama
kebutuhan
dengan
suhu
pasien dan
untuk
menstabil
kan suhu
apabila
pasien
mengalam
i demam

26
yang naik
turun
5. Agar
keluarga
bias
memaham
i apa saja
yang
dibutuhka
n untuk
tubuh
pasien
6. Agar
dapat
menurunk
an suhu
dan tepat
saran
dalam
pemberian
obat

4. Gangguan Tujuan : Setelah dilakukan 1.Monitor tingkat 1. Untuk


menelan tindakan keperawatan kemampuan menelan. mengetah
selama 2 x24 jam ui
0840 Pengaturan
gangguan menelan yang bagaimana
Posisi
dialami pasien dapat keadaan
2.Posisikan pasien
berkurang dan
sesuai kesejajaran
kemampu
Kriteria hasil : tubuh pasien yang
an
tepat

27
1. Reflek menelan pasien 1050 Pemberian menelan

sesuai dengan Makan pasien.

waktunya dari skala 2 3.Atur makan sesuai 2. Untuk

ditingkatkan menjadi keinginan pasien menguran

skala 4. 4.Berikan air minum gi resiko

2. Kemampuan menelan saat makan jika pasien

adekuat dari skala 2 diperlukan tersedak

ditingkatkan menjadi 4. 5.Dorong makanan

3. Mampu mengontrol orangtua/keluarga yang telah

mual muntah dari skala untuk menyuapi ditelannya

1 ditingkatkan menjadi pasien 3. Agar

skala 4. 1860 Terapi Menelan meningkat

4. Jumlah menelan pasien kan nafsu


6.Monitor hidrasi
sesuai dengan ukuran makan
tubuh (intake, output,
atau tekstur bolus dari klien
turgor kulit, membrane
skala 2 ditingkatkan 4. Agar
mukosa)
menjadi 3. memudah

5. Pasien tidak tersedak 7.Berikan kan saat


informasi
lagi saat menelan dari keluarga makan
untuk
skala 2 ditingkatkan menjaga kepala tempat jika klien

menjadi 4. kesusahan
tidur ditinggikan 30
saat
sampai 45 menit
menelan
setelah pemberian
5. Agar
makan.
nafsu
2380 Manajemen makan
Pengobatan lebih
banyak
8.Kolaborasi
6. Untuk
pemberian obat dengan
mengethui
tim medis lain
status

28
hidrasi
pada
tubuh
klien
7. Agar
makanan
mudah
mauk dan
menguran
gi
ketidakny
amanan
yang
dirasakan
pasien saat
menelan
8. Agar
pemberian
obat
sesuai
kebutuhan
klien dan
tepat
sasaran

5. Intoleransi Setelah dilakukan tindakan 0180 Manajemen 1. Untuk


aktifitas keperawatan selama 2 x 24 Energi mengeta
jam diharapkan pasien hui
1.Monitor
dapat melakukan aktivitas tingkat
intake/asupan nutrisi
seperti biasa dan tidak nutrisi
untuk mengetahui
mudah merasa lelah.

29
Kriteria Hasil: sumber nutrisi yang dari
adekuat klien
1. Masalah kelelahan
2. Agar
pasien teratasidari 2.Pilih intervensi untuk
didapatk
skala 2 ditingkatkan ke mengurangi kelelahan
an
skala 4 baik secara
intervens
2. TTV normal dari skala farmakologis maupun
i yang
2 ditingkatkan ke skala nonfarmakologis
tepat
4 dengan tepat
sesuai
3. Selera makan pasien
tubuh
kembali normal dari 3.Monitor lokasi dan
klien
skala 2 ditingkatkan ke sumber
3. Untuk
skala 4 ketidaknyamanan /
mengeta
4. Sakit tenggorokkan nyeri yang dialami
hui
berkurang dari skala 1 pasien selama aktivitas
ketidakn
ditingkatkan ke skala 3
4.Berikan kegiatan yamanan
5. Kualitas istirahat
pengalihan yang klien
kembali normal dari
menenangkan untuk saat
skala 2 ditingkatkan ke
meningkatkan relaksasi melakuk
skala 4.
an
5,Konsulkan
aktivitas
denganahli gizi 4. Untuk
mengenai cara
meningk
meningkatkanasupan atkan
energi dari makanan
ketenang
an dalam
diri klien
5. Untuk
mengatu
r gizi
klien

30
untuk
energi
klien
dengan
tepat

31
BAB 4. DISCHARGE PLANNING

a. Menghindari makanan dan minuman yang bersifat dingin,


b. Menghindari makanan yang memakai perasa dan bahan pengawet
c. Memakai masker di kawasan yang berdebu dan berpolusi
d. Minum suplemen dan olahraga secara teratur untuk menjaga daya tahan
tubuh
e. Berkumur-kumur dengan air garam minimal 3-4 kali sehari
f. Mengkompres dengan air hangat pada leher
g. Istirahat dan tidur yang cukup (Nurarif dan Kusuma, 2015).

32
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Faringitis akut. [serial online].


digilib.unila.ac.id/6550/14/BAB%20II.pdf. [diakses pada 23 Januari 2018].

Dewi, A. F. 2016. Asuhan Keperawatan Pada An.D Dengan Gangguan Sistem


Pernafasan : Faringitis Akut Di Ruang Mina Rs Pku Muhammadiyah
Surakarta. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Semarang [serial online].
http://eprints.ums.ac.id/21879/14/NASKAH_PUBLIKASI.pdf. [diakses pada
23 Januari 2018].

Dewi, A.A.A.S., R. Noviyani, R. Niruri, F.S. Suherman, dan I. P. Triyasa. 2013.


Penentuan Streptococcus Group A Penyebab Faringitis pada Anak
Menggunakan Mcisaac Score Dan Rapid Antigen Detection Test (Radt)
Dalam Upaya Penggunaan Antibiotika Secara Bijak. Jurnal Biologi. XVII (1)
: 6 – 9. [serial online]
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=151077&val=975.
[diakes pada 23 Januari 2018]

Fauci A.S, Kasper D.L,Longo D.L, Braundwald E., Hauser S.L., Jameson J.L.
2008. Harrison Priniples of Internal Medicine. Philadhelphia: McGraw-Hill.

Fitry, Finny Yani. 2001. Faringitis akut. [serial online].


https://fkunand2010.files.wordpress.com/2012/12/02-ffy-faringitis-akut.pdf.
[diakses pada 23 Januari 2018].

Kementerian Kesehatan RI. 2013. Panduan memperingati hari kanker sedunia di


Indonesia tahun 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Murphy, T.P., R.V. Harrison, A,J. Hammoud, G. Yen, & K.C. Klein. 2013.
Pharyngitis. [serial online].
http://www.med.umich.edu/1info/FHP/practiceguides/pharyngitis/pharyn.pdf.
[diakses pada 23 Januari 2018].

33
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardhi. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic Noc. Jogja: Mediaction.
Penyakit. Edisi Keenam. Jakarta: EGC.
Price, S. A. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses- Proses

Price, S.A. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit. Edisi 4.
Jakarta EGC

Smeltzer C. Suzanne, Brunner, & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan


Medikal Bedah. EGC : Jakarta

34

Anda mungkin juga menyukai