Dosen Pengajar :
Muh. Muhsin Ghazali
Di Susun Oleh :
Badrus Sholeh (33311701003)
Rico Rizqi A.L.M (33311701005)
Samsuri (33311701003)
Arifah Amanatu R. (33311701029)
Abdurrahman (33311701041)
Ii | P a g e
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................... i
BAB I ........................................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 1
BAB II ....................................................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ......................................................................................................................................... 2
Pancasila dalam Sudut Pandangan Islam ............................................................................................ 2
Bukti Pancasila Dalam Syariat Islam.................................................................................................... 4
BAB III ...................................................................................................................................................... 8
PENUTUP ................................................................................................................................................. 8
Kesimpulan.......................................................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................... 9
Ii | P a g e
BAB I
PENDAHULUAN
1|Page
BAB II
PEMBAHASAN
Dihapuskannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada tahun 1945 adalah pengorbanan
umat Islam yang amat besar demi mengangkat tali persaudaraan ditengah masyarakat
multikultur di Indonesia. Hal seperti ini bukanlah hal pertama yang dilakukan para tokoh Islam.
Jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tahun 6 H terjadi hal yang kurang lebih
sama. Pada saat itu adalah saat dimana perjanjian Hudaibiyah disepakati. Perjanjian yang
mengangkat nilai perdamaian antara umat Islam yang dipimpin oleh Muhammad SAW dan
kaum Quraisy memaksa Muhammad SAW menghapuskan lafadz basmallah pada awal naskah
perdamaian. Sejatinya tak ada seorang sahabatpun yang berani menghapuskan lafadz itu yang
amat sakral bagi umat islam, namun Rasulullah SAW lebih memilih nilai perdamaian dan
menggantikan lafadz basmallah dengan lafadz bismika Allahumma yang dapat diterima oleh
semua pihak.
Becermin dari hal tersebut, sekali lagi umat Islam mendapatkan ujian untuk
menggantikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, guna menyatukan seluruh rakyat Indonesia yang
multikultur dalam satu koridor, satu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila tidak
diagamakan juga bukan buah pikir isme sekuler yang bertentangan dengan ideologi bangsa
Indonesia yang religius. Pancasila adalah produk Indonesia asli yang senantiasa mengangkat
nilai religi. Lalu seperti apakah hubungan timbal balik antara agama (Islam) dengan nilai-nilai
dalam Pancasila?
Pancasila adalah bagian ajaran agama untuk menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian
dan persamaan hak serta pengamalan agama dalam konteks bernegara. Dengan begitu,
mengamalkan nilai-nilai pancasila berarti mengamalkan nilai yang diajarkan agama. Nilai-nilai
dalam pancasila yang sesuai dengan ajaran Islam dapat diidentifikasikan dalam ajaran Islam.
Pada sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, bisa kita identifikasikan
kedalam firman Allah SWT yang terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah “katakanlah
2|Page
Muhammad bahwa Allah itu esa”. Hal ini menandakan bahwa ada kesesuaian antara ajaran
Islam dengan nilai sila pertama ini. Pada sila kedua, “kemanusiaan yang adil dan beradab”,
sejalan dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Ar-Rahman ayat 8 yang apabila
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “tegakkanlah timbangan dengan keadilan dan jangan
sekali-kali kamu berlaku curang dalam timbangan”. Pada sila yang ketiga, “persatuan
Indonesia” berkaitan erat dengan firman Allah SWT “berpegang teguhlah kamu dengan agama
Allah dan jangan kamu berpecah belah” (Q.S Ali-Imran : 103). Begitu juga dengan dua sila
berikutnya yang masing-masing bisa diidentifikasikan dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat
125 dan hadits nabi Muhammad SAW yang shahih. Dengan menjalankan kehidupan berbangsa
dan bernegara berlandaskan Pancasila semoga tidak menjadikan kita melenceng dari agama.
Sesungguhnya apa yang ada pada Pancasila dijiwai oleh hukum Islam yang memang harus
dijunjung tinggi oleh umat.
Dalam Pancasila, tidak ada sila-sila yang dapat menjerumuskan ke dalam sistem
kesyirikan atau ke-thagut-an. Coba perhatikan baik-baik lima sila dalam Pancasila. Semuanya
merupakan pesan-pesan yang bersesuaian dengan nilai universal Islam.
Bagi kita yang akrab dengan pemikiran al-Ghazali, as-Syatibi, Izzudin bin Abd Salam, al-
Qaffal, Ibnu Asyur, Allal al-Fasi, ar-Raysuni dan lain-lain, ketika membandingkan semangat
nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 45 dengan nilai-nilai universal Islam lewat
kacamata pemikiran mereka, niscaya kita akan sampai kepada kesimpulan bahwa kedua dasar
negara ini sesuai dengan maqasid syariah.
3|Page
Bukti Pancasila Dalam Syariat Islam
Sila pertama, ke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Sila ini dulu menjadi perdebatan yang
hangat di kalangan pendiri bangsa. Dulu sebutannya ialah ‘ketuhanan dengan menjalan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ atau sering juga disebut sebagai Piagam Jakarta. Namun
karena ada ketidaksetujuan di sana-sini, sila ini kemudian diubah menjadi ‘ke-Tuhan-an Yang
Maha Esa’. Jika dibandingkan antara redaksi ‘ke-Tuhan-an Yang Maha Esa dan redaksi
‘ketuhanan dengan menjalan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’, ternyata yang lebih
bernilai tauhid atau yang lebih bersemangat keesaan Tuhan ialah yang pertama. Sedangkan
yang kedua, penyebutan ketuhanan, apalagi dengan t kecil, tidak menekankan makna tauhid
yang sebenarnya. Karena itu, sila yang sekarang digunakan jelas sangat bersesuaian sekali
dengan semangat kemahaesaan Tuhan yang digaungkan dalam berbagai ayat-ayat al-Quran.
Hal demikian misalnya dapat dilihat pada beberapa ayat seperti QS. An-Nisa: 36, QS. al-
An’am: 151, QS. an-Nur: 55, QS. Yusuf: 40, QS. Ali Imran: 64 dan masih banyak lainnya.
Semua ayat ini mengandung arti perintah selalu untuk mengesakan Tuhan. Sementara itu
musuh utama kemahaesaan Tuhan dan keserbamutlakannya ialah sikap mengesakan suatu
pendapat sebagai satu-satunya kebenaran dan sikap memutlakkan yang seharusnya tidak
berhak dimutlakkan. Gerakan mengkafir-kafirkan orang hanya karena berpaham Pancasila
jelas merupakan lawan dari semangat tauhid.
Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Jika kita menolak semangat yang
terkandung dalam sila kedua dari Pancasila ini, berarti dengan sendirinya kita menolak
menjalin hubungan baik dengan manusia secara beradab dan berakhlak. Konsekwensi logisnya,
kalau kita menolak berhubungan baik dengan manusia, sebutan yang pas untuk kita ialah
manusia tak bermoral, barbar dan biadab. Na’udzu billah!Dalam al-Quran, banyak sekali ayat-
ayat yang berbicara mengenai posisi manusia dan kemanusiaan. Hal demikian misalnya seperti
yang dapat kita perhatikan pada QS. At-Taghabun: 3, Hud: 61, Ibrahim: 32-34, Luqman: 20,
ar-Rahman: 3-4, al-Hujurat: 13, al-Maidah: 32 dan lain-lain. Membunuh manusia hanya karena
alasan mereka kafir, musyrik menurut pandangannya jelas sangat bertentangan dengan ayat ini.
Nabi saja diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia agar mereka menjadi manusia
seutuhnya. Jika ada seorang muslim yang tidak memiliki sifat perikamanusiaan, maka dia
bertentangan dengan al-Quran dan hadis nabi. Dalam hadis-hadisnya, Nabi sering
mendefinisikan seorang muslim sebagai man salima al-muslimun min yadihi wa
4|Page
lisanihi “orang yang mampu menjaga lidah dan tangannya untuk tidak menyakiti sesama.” Jadi
orang yang tidak menjaga lidah dan tangannya, dalam definisi hadis Nabi ini, layak disebut
sebagai bukan muslim. Artinya sebagai manusia muslim kita harus berperikemanusiaan.
5|Page
Qaf: 45 sering disebut sebagai wa ma anta alayhim bi-jabbar“Kamu bukanlah tipe orang yang
bertindak semena-mena terhadap mereka” dan dalam QS. al-Ghasyiyah: 22 sebagai lasta
alayhim bi-musaytir “Kamu bukanlah tipe orang yang otoriter”. Dua ayat ini cukup untuk
dijadikan rujukan bahwa dalam Islam, tipe kepemimpinan yang otoriter sangatlah dilarang.
Ditambah lagi dengan penegasan untuk selalu bermusyawarah seperti yang dapat dilihat pada
QS. al-Baqarah: 233, Ali Imran: 159 dan as-Syura: 38 dan semangat pembagian kerja atau
perwakilan seperti yang dapat kita temukan pada QS. an-Nisa: 35 dan QS. Yusuf: 55. Jika kita
menolak sila keempat dari Pancasila ini, berarti dengan sendirinya kita menolak sistem
perwakilan dan musyawarah serta mendukung sistem otoriter dan itu artinya kita mengadopsi
sistem otoritarianisme yang kufur. Semangat perwakilan dan
Sila kelima, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika mereka menolak Pancasila,
berarti mereka mengabaikan keadilan dan membela kezaliman. Sila kelima dalam Pancasila
sangat menjunjung tinggi keadilan, semangat yang selalu digaungkan al-Quran dalam berbagai
ayat-ayatnya. Dalam al-Quran, menjunjung tinggi keadilan merupakan bentuk amal yang dekat
dengan ketakwaan. Ayat-ayat yang berbicara mengenai keadilan dapat dilihat pada QS. An-
Nisa: 58, 135, al-Maidah: 8, al-An’am: 152-153, al-A’raf: 29, Hud: 84-86 dan lain-lain. Lebih
jauh lagi, jika kita menolak UUD 45 yang bersemangat anti-penindasan dan penjajahan, berarti
dengan sendirinya kita pro-penindasan dan pro-penjajahan. Jika demikian halnya, sebagian kita
yang melakukan aksi-aksi penindasan yang mengatasnamakan Islam sebenarnya merupakan
musuh Islam yang nyata dan musuh bagi Indonesia yang islami ini. Dengan pendasaran
teologis terhadap Pancasila dan UUD 45 melalui semangatnya yang sangat quranik, jelaslah
bahwa tidak tepat jika kedua dasar sistem kenegaraan kita ini dianggap sebagai tidak Islami.
Meski secara nama, Pancasila dan UUD 45 tidak ada dalam al-Quran dan as-Sunnah, namun
seperti yang ditegaskan imam al-Ghazali, yang islami itu bukan sekedar yang ma nataqa an-
nash‘apa yang ada dalam al-Quran dan Sunnah’ tapi lebih dari itu, yakni, yang ma wafaqa as-
syar’a‘yang sesuai dengan semangat syariat’. Pandangan ini cukup untuk membantah
keyakinan bahwa semua hukum buatan manusia itu produk kekufuran. Selagi hukum tersebut
bersesuaian dengan syariat, tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang
halal, maka jelas Pancasila dan UUD 45 sangatlah islami.
Singkatnya, siapa pun orangnya dan apapun pahamnya yang tegas-tegas menolak
keesaan Allah, menentang kemanusiaan, memecah belah persatuan, mengadopsi
otoritarianisme dan menghancurkan sendi-sendi keadilan itulah thagut sebenarnya. Jika
6|Page
jaringan teroris yang mengatasnamakan Islam melawan ini semua, bukankah dengan
sendirinya mereka itu salah satu thagut yang harus kita perangi? Wallahu a’lam.
7|Page
BAB III
PENUTUP
kesimpulan
8|Page
DAFTAR PUSTAKA
www.pancasila-dalam-sudut-pandang-islam.com
www.lima-bukti-pancasila-dalam-syariat-islam.com
www.wikipedia.com
9|Page