Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Identifikasi Sistem Geothermal Menggunakan Metode Magnetotellurik 2-


Dimensi di Daerah Suwawa, Gorontalo

Oleh :

KELOMPOK 7
WA ODE NUR ILMA DARAJATIL (R1A1160
MUHAMMAD KHALID RASYID SILALAHI (R1A1160
CHESY NOVITASARI (R1A1160
ARMAN (R1A1160
APRIANSYAH NUR SAPUTRA (R1A117002)
AINUN AYU UTAMI (R1A1170
MELANI PUTRI PRATAMA (R1A1170
SALWAN JURDIL (R1A1170
ITA PUSPITA HANDAYANI (R1A1170

JURUSAN TEKNIK GEOFISKA


FAKULTAS ILMU & TEKNOLOGI KEBUMIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat


sehat-Nya, baik itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “Identifikasi
Sistem Geothermal Menggunakan Metode Magnetotellurik 2-Dimensi di Daerah
Suwawa, Gorontalo”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Kendari, 11 Juni 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................ i


KATA PENGANTAR ............................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................ iii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 1
C. Tujuan .................................................................................................. 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 3
A. Sumberdaya Geothermal ..................................................................... 3
B. Metode Magnetotellurik ...................................................................... 4
C. Pemodelan Data Magnetotellurik ........................................................ 4
BAB 3 PEMBAHASAN .......................................................................... 6
BAB 4 PENUTUP .................................................................................... 13

A. Kesimpulan .......................................................................................... 13
B. Saran .................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di indonesia sendiri sebagai negara yang memiliki iklim tropis, sangat
banyak sumber energi panas bumi, dan saat ini tercatat sudah puluhan perusahaan
menggunakan geothermal sebagai pembangkit tenaga listrik untuk kebutuhan
produksi. Secara garis besar apabila di indonesia bisa memanfaatkan energi panas
bumi ini, kemungkinan pembangkit listrik tenaga air dan tenaga diesel akan banyak
beralih ke geothermal, selain hasil panas bumi ini ramah lingkungan, juga bisa di
ambil langsung dari sumber daya yang ada di indonesia.

Magnetotellurik (MT) adalah metode pasif yang mengukur arus listrik alami
dalam bumi, yang dihasilkan oleh induksi magnetik dari arus listrik di ionosfer.
Metode ini dapat digunakan untuk menentukan sifat listrik bahan pada kedalaman
yang relatif besar (termasuk mantel) di dalam bumi. Dengan teknik ini, variasi
waktu pada potensi listrik diukur pada stasiun pangkalan dan stasiun survei.

Survey geofisika dengan metode magnetotellurik (MT) digunakan untuk


mengetahui kondisi bawah permukaan berdasarkan nilai resistivitas dan nilai
fasenya. Data mentah berupa data time series dari hasil pengukuran dengan
menggunakan unit peralatan Zonge. Kemudian data diolah lebih lanjut dalam
bentuk kurva resistivitas semu dan fase terhadap frekuensi. Dalam pengolahannya
dilakukan berbagai filterisasi dan koreksi. Hasil akhirnya berupa penampang 2-
dimensi dari masing-masing line pengukuran MT. Data hasil pemodelan MT
kemudian diinterpretasikan secara terpadu dengan data gravitasi, geologi, dan
geokimia yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil menunjukkan hubungan yang
cukup baik. Data yang satu dapat di-confirm dengan data yang lain, serta mampu
mendeliniasi keberadaan reservoir dan kemungkinan jumlah potensi geothermal di
daerah pengukuran. Daerah prospek diperkirakan berada di bagian tengah daerah
penelitian.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka terdapat beberapa rumusan masalah
sebagai berikut :

1. Apa pengertian sumberdaya geothermal?


2. Apa pengertian metode magnetotellurik?
3. Bagaimana pemanfaatan metode MT dalam survei geothermal?

1
2

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui cara pengolahan data magnetotellurik
2. Untuk mengetahui cara mengidentifikasi sumberdaya geothermal
menggunakan metode MT
3. Untuk mengetahui daerah prospek geothermal di Suwawa Gorontalo
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sumberdaya Geothermal
Energi panas bumi adalah energi panas yang terdapat dan terbentuk di dalam
kerak bumi. Temperatur di bawah kerak bumi bertambah seiring bertambahnya
kedalaman. Suhu di pusat bumi diperkirakan mencapai 5400 °C. Menurut Pasal 1
UU No.27 tahun 2003 tentang Panas Bumi Panas Bumi adalah sumber energi panas
yang terkandung di dalam air panas, uap air, dan batuan bersama mineral ikutan
dan gas lainnya yang secara genetik semuanya tidak dapat dipisahkan dalam suatu
sistem Panas Bumi dan untuk pemanfaatannya diperlukan proses penambangan.

Energi panas bumi ini berasal dari aktivitas tektonik di dalam bumi yang
terjadi sejak planet ini diciptakan. Panas ini juga berasal dari panas matahari yang
diserap oleh permukaan bumi. Selain itu sumber energi panas bumi ini diduga
berasal dari beberapa fenomena:

 Peluruhan elemen radioaktif di bawah permukaan bumi.


 Panas yang dilepaskan oleh logam-logam berat karena tenggelam ke dalam
pusat bumi.
 Efek elektromagnetik yang dipengaruhi oleh medan magnet bumi.
Energi ini telah dipergunakan untuk memanaskan (ruangan ketika musim
dingin atau air) sejak peradaban Romawi, tetapi sekarang lebih populer untuk
menghasilkan energi listrik. Sekitar 10 Giga Watt pembangkit listrik tenaga panas
bumi telah dipasang di seluruh dunia pada tahun 2007, dan menyumbang sekitar
0.3% total energi listrik dunia. Energi panas bumi cukup ekonomis dan ramah
lingkungan, tetapi terbatas hanya pada dekat area perbatasan lapisan tektonik.

Pembangkit listrik tenaga panas bumi hanya dapat dibangun di sekitar


lempeng tektonik di mana temperatur tinggi dari sumber panas bumi tersedia di
dekat permukaan. Pengembangan dan penyempurnaan dalam teknologi pengeboran
dan ekstraksi telah memperluas jangkauan pembangunan pembangkit listrik tenaga
panas bumi dari lempeng tektonik terdekat. Efisiensi termal dari pembangkit listrik
tenaga panas umi cenderung rendah karena fluida panas bumi berada pada
temperatur yang lebih rendah dibandingkan dengan uap atau air mendidih.
Berdasarkan hukum termodinamika, rendahnya temperatur membatasi efisiensi
dari mesin kalor dalam mengambil energi selama menghasilkan listrik. Sisa panas
terbuang, kecuali jika bisa dimanfaatkan secara lokal dan langsung, misalnya untuk

3
4

pemanas ruangan. Efisiensi sistem tidak memengaruhi biaya operasional seperti


pembangkit listrik tenaga bahan bakar fosil.

B. Metode Magnetotellurik
Magnetotellurik (MT) adalah metode pasif yang mengukur arus listrik alami
dalam bumi, yang dihasilkan oleh induksi magnetik dari arus listrik di ionosfer.
Metode ini dapat digunakan untuk menentukan sifat listrik bahan pada kedalaman
yang relatif besar (termasuk mantel) di dalam bumi. Dengan teknik ini, variasi
waktu pada potensi listrik diukur pada stasiun pangkalan dan stasiun survei.

Gambar 1. Contoh kurva resistivitas vs frekuensi metode MT


Perbedaan pada sinyal tercatat digunakan untuk memperkirakan distribusi
resistivitas listrik bawah permukaan. Teknik prospeksi tahanan listrik untuk
menentukan kedalaman formasi batuan sedimen yang berada jauh di dalam bumi
dengan cara mengukur tahanan jenis formasi batuan tersebut berdasarkan
pengukuran serempak medan listrik dan medan magnet yang berosilasi pada lokasi
yang sama, yaitu dengan mencatat rentang frekuensi yang tergantung dari
kedalaman sasaran.

C. Pemodelan Data Magnetotellurik


Model 1D berupa model berlapis horizontal, yaitu model yang terdiri dari
beberapa lapisan, dimana tahanan jenis tiap lapisan homogen. Dalam hal ini
parameter model 1D adalah tahanan jenis dan ketebalan tiap lapisan. Teknik
modeling dari metode magnetotellurik ini adalah:
1. Teknik pemodelan forward

Dilakukan dengan menghitung respon dari suatu model untuk dibandingkan


dengan data impedansi (tahanan jenis semu dan fasa) pengamatan. Dengan cara
coba - coba dapat diperoleh suatu model yang responnya paling cocok dengan data,
sehingga model tersebut dapat dianggap mewakili kondisi bawah permukaan.
2. Teknik pemodelan inversi
5

Teknik ini memungkinkan untuk memperoleh parameter langsung dari data.


a. Transformasi Bostick

Pemodelan 1D data magnetotellurik menggunakan inversi Bostick. Inversi


Bostick ini merupakan suatu perkiraan yang digunakan untuk mendapatkan
kurva resistivitas semu ρa (T) dan juga sebagai pertimbangan pola
persebaran resistivitas terhadap kedalaman, dimana informasi fasa tidak ada
(tidak dapat dipercaya).
b. Pemodelan 2D Nonlinear Conjugate Gradient (NLCG)

Untuk dapat merepresentasikan kondisi bawah permukaan secara lebih


realistis maka digunakan model 2D dimana resistivitas bervariasi terhadap
kedalaman (z) dan jarak dalam arah penampang atau profil (y) sehingga r
(y, z). Dalam hal ini resistivitas medium tidak bervariasi dalam arah sumbu
x yang merupakan arah struktur (strike).
Untuk pemodelan 2D berupa model bawah permukaan yang terdiri dari
blok-blok dengan ukuran berbeda. Dalam hal ini parameter 2D adalah nilai tahanan
jenis dari tiap blok yang mempunyai dimensi lateral (x) dan vertikal (z). Untuk
dapat merepresentasikan kondisi bawah permukaan secara lebih realistis maka
digunakan model 2D dimana resistivitas bervariasi terhadap kedalaman (z) dan
jarak dalam arah penampang atau profil (y) sehinga x(y, z). Dalam hal ini
resistivitas medium tidak bervariasi dalam arah sumbu x yang merupakan arah
struktur (strike).

Persamaan yang berlaku pada kondisi 2D adalah persamaan medan EM


yang didefinisikan sebagai polarisasi TE (Tranverse Electric) dan TM (Tranverse
Magnetic). Pada polarisasi TE medan listrik medan listrik E dan medan magnet Hyx
masing-masing sejajar dan tegak lurus dengan arah struktur.

Gambar 2. TE mode dan TM mode


BAB 3
PEMBAHASAN

Pemodelan Data MT

Pemodelan dilakukan pada 3 line pengukuran yang melewati titik


kemunculan mata air panas Libungo, Lombongo, dan line yang melewati kedua
mata air tersebut. Pemodelan dilakukan dalam beberapa tahapan hingga akhirnya
didapatkan penampang vertikal 2-dimensi dari masing-masing line pengukuran.
Model hasil inversi dari data MT untuk line 1 dapat dilihat pada Gbr 3. Penampang
tersebut melintang dari Stasiun 13 hingga Stasiun 18 dari arah timur laut ke barat
daya. Line ini melalui satu manifestasi air panas Libungo yang berada dekat dengan
Stasiun 17, hingga selanjutnya line ini disebut sebagai line Libungo.

Di bagian utara terdapat body dengan nilai resistivitas yang tinggi. Batuan
resistif ini terletak pada kedalaman yang masih dangkal (< 1000 m). Pada bagian
tengah terdapat anomali nilai resistivitas rendah. Nilai resistivitas ini membentang
cukup luas hingga hampir mencapai 3 kilometer, dengan ketebalan mencapai 1000
m. Dapat diperkirakan bahwa ini merupakan lapisan clay cap atau batuan alterasi.

Gambar 3. Hasil inversi data MT pada line Libungo

Di sebelah selatan dari lapisan ini terdapat titik kemunculan mata air
Libungo, sehingga kemungkinan terdapat struktur patahan yang memotong lapisan
clay cap, dimana struktur inilah yang menyebabkan kemunculan manifestasi
tersebut. Sementara di ujung selatan terdapat batuan resistif pada kedalaman > 1000
m dan memiliki jejak kemenerusan kearah utara pada kedalaman yang lebih dalam.
Secara umum, dari penampang ini terlihat adanya struktur seperti graben pada
daerah sekitar line Libungo.

6
7

Selanjutnya pada Gbr 4 ditampilkan hasil pemodelan inversi dari line 2 atau
line Lombongo (line ini memotong lokasi mata air panas Lombongo). Pada line ini
terlihat body nilai resitivitas rendah pada bagian tengah atas agak ke selatan. Body
ini dapat diperkirakan merupakan lapisan clay cap yang sama dengan yang
sebelumnya telah di identifikasi pada line Libungo, hanya saja disini lebar
lapisannya menyempit.

Dengan kata lain, dapat dimungkinkan bahwa lapisan batuan yang


teralterasi menerus dari sekitar mata air Libungo ke arah timur. Sementara dibagian
selatan, masih terdapat batuan resistif pada kedalaman lebih dari 1000 m.
Kemungkinan besar batuan ini masih merupakan batuan yang sama dangan batuan
resistif yang terdeteksi pada model hasil inversi line Libungo.

Gambar 4. Hasil inversi data MT pada line Lombongo

Gambar 5. Hasil inversi data MT pada line Gabungan

Penampang model berikutnya adalah penampang yang melalui kedua titik


kemunculan mata air, yang kemudian disebut sebagai line Gabungan (Gbr 5). Line
8

ini membentang dari arah timurlaut ke baratdaya. Pada penampang ini masih
terlihat pola yang sama dengan line Libungo. Keberadaan lapisan yang konduktif
masih terdeteksi memiliki karakteristik yang hampir sama dengan lapisan clay cap
yang terdeteksi pada line Libungo. Besar kemungkinan reservoir geothermal berada
di bawah kedua lintasan ini. Sementara itu di bawah stasiun 26 terdapat struktur
yang cukup jelas. Kemungkinan struktur inilah yang mengontrol manisfestasi air
panas Lombongo. Pada bagian timurlaut terdapat batuan resistif yang cukup tebal
namun pada kedalaman yang masih dangkal.

Untuk mempermudah identifikasi juga dilakukan visualisasi 3-D dari model


penampang yang telah dibuat. Hasilnya seperti terlihat pada Gbr 6. Dari visualisai
3-D ini terlihat adanya lapisan konduktif yang cukup lebar pada arah barat-timur,
hingga mencapai lebih dari 3 km dengan penyempitan ke arah timur sesuai hasil
inversi. Hal ini menguatkan indikasi bahwa kemungkinan reservoir berada di
bagian tengah lebih ke barat, di antara lintasan Gabungan dan lintasan Libungo. Hal
yang juga perlu untuk dianalisis adalah keberadaan batuan resistif di sebelah
selatan. Batuan ini menunjukkan pola yang sama pada ketiga lintasan tersebut:
muncul di selatan dan menerus ke utara. Kemungkinan batuan inilah yang
merupakan batuan yang memiliki sisa panas dari aktivitas vulkanik termuda, hingga
berperan sebagai heat source bagi sistem panas bumi daerah Suwawa.

Gambar 6. Penampang gabungan distribusi nilai resistivitas di daerah


pengukuran Pemodelan Terintegrasi
Berdasarkan hasil investigasi geologi, penyebaran batuan di daerah
panasbumi Suwawa di bagian utara disusun oleh batuan Plutonik seperti Granit, dan
Diorit. Sedangkan di bagian selatan didominasi batuan produk Bilungala dan batuan
vulkanik Pinogoe berumur Tersier Atas hingga Kuarter Bawah berupa andesit,
piroklastik. terdapat sekitar 8 buah sesar utama yang merupakan struktur kontrol
geologi dan pemunculan manifestasi panasbumi yang berkembang dibeberapa
tempat akibat dari proses tektonik. Peranan struktur sesar dalam suatu daerah panas
9

bumi sangat penting sebagai kontrol geologi dan panas bumi, yang merupakan
media naiknya panas ke permukaan dan berfungsi sebagai tempat berakumulasi
panas serta terbentuknya tubuh reservoir pada zona sesar/rekahan. Kontrol struktur
yang sangat berperan adalah struktur yang terbentuk pada periode keempat ditandai
dengan dua tegasan utama yaitu penunjaman Sulawesi Utara dan penunjaman
Sangihe Timur. Tegasan struktur berarah barat – timur yang terbentuk kembali
akibat proses tektonik akhir diduga kuat memicu pemunculan manifestasi panas
bumi, dan pembentukan sistem rekahan (fracture system) sebagai reservoir (Rezky
et al., 2005). Ditinjau dari peta geologi, sistem rekahan ini terbentuk pada zona
lemah di sekitar sungai Bone. Kemungkinan sistem sesar dan rekahan ini berada
pada komplek batuan alluvial, batuan produk vulkanik Pinogoe, dan vulkanik
Bilungala, sehingga menjadi batuan yang berkaitan dengan proses hidrogeologi dari
sistem panasbumi di daerah ini.

Dari interpretasi geologi, diperkirakan terdapat tubuh vulkanik Pinogoe


aktivitas termuda berumur Kuarter bawah diduga sebagai sumber panas dari magma
sisa yang masih dangkal pada sistem panasbumi Libungo. Batuan wadah tempat
berakumulasinya fluida panas bumi (reservoir), diperkirakan berupa rekah-rekah
pada tubuh vulkanik dan formasi Tinombo yang memiliki permeabilitas tinggi.

Gambar 7. Manifestasi air panas dan karakteristiknya pada peta geologi

Dari data geokimia diperkirakan mata air panas di daerah penelitian berada
di daerah immature water, dapat diperkirakan bahwa sistem air panas yang muncul
di daerah panas bumi Suwawa seperti Libungo, Lombongo dan Pangi dan terletak
pada zona upflow dengan suhu bawah-permukaan sebesar 150 - 188 ºC dan
merupakan water dominated system. Dari data geokimia, diperkirakan daerah
recharge berada pada daerah struktur horst yang terletak di sisi utara dan selatan
lembah depresi dengan ketinggian mencapai hingga 1600 mdpl.
10

Dari data gravitasi dapat dilakukan berbagai interpretasi terkait dengan


kemungkinan sistem geothermal yang ada di daerah pengukuran melalui analisis
terhadap penampang anomali Bouguer, regional, residual, serta hasil forward
modeling secara vertikal.

Penampang anomali Bouguer pada Gbr 8 menunjukkan kemungkinan


adanya suatu struktur graben berarah baratlaut-tenggara. Hal tersebut jelas terlihat
dari kelurusan kontur dengan harga anomali rendah di bagian tengah dan anomali
tinggi dibagian utara dan selatan. Dari penampang anomali regional terlihat pola
struktur berarah tenggara-baratlaut, mendekati arah barat-timur. Pola kontur
anomali gaya berat regional ini merupakan efek tarikan batuan bawah permukaan
yang didominasi oleh batuan yang lebih dalam dan besar yang relatif mempunyai
rapat massa yang lebih besar dibandingkan dengan batuan di bagian yang lebih
dangkal.

Gambar 8. Anomali Bouguer (atas), anomali residual (kiri bawah) dan anomali
regional (kanan bawah) [Karim, 2013]
11

Gambar 9. Hasil forward modelling data gravitasi di sekitar line Gabungan


[Karim, 2013]

Di bagian barat daerah penyelidikan terlihat harga anomali rendah yang


mencolok, dan berangsur-angsur membesar secara rapi ke arah utara dan selatan.
Anomali paling tinggi terdapat dibagian utara dan sedikit dibagian selatan.
Sementara itu, hasil forward modeling pada Gbr 9 menunjukkan pola graben
yang jelas dan memiliki keselarasan dengan hasil pemodelan MT yang telah
dilakukan. Nilai densitas dari lapisan-lapisan pada forward modeling ini dibuat
mendekati range densitas batuan yang terkait dengan sistem geothermal seperti
batuan beku, lapisan penutup, dan kemungkinan batuan reservoir geothermal.

Data lain yang dapat digunakan untuk membantu pembuatan model


konseptual adalah data hasil pemboran landaian suhu SWW-1 yang dilakukan oleh
PSDG, pada tahun 2006. Lokasi pemboran berada di sebelah barat titik manifestasi
panas bumi Libungo. Dari hasil pemboran diketahui litologi sumur SWW-1 terdiri
dari endapan alluvial (0 - 34 m), breksi polimik tidak teralterasi hinggga teralterasi
lemah pada kedalaman 34 - 120 m, dan lapisan breksi polimik teralterasi sedang
hingga sangat kuat pada kedalaman 120 - 250 m. Gradien kenaikan suhu mencapai
pertambahan 14 oC setiap 100 m kedalaman sumur (Nanlohi dan Dikdik, 2006).

Dari semua data yang telah dianalisis maka dapat dibuat model konseptual
sistem geothermal seperti terlihat pada Gbr 10. Daerah prospek berada di bagian
tengah daerah penelitian. Air meteorik masuk ke dalam reservoir sistem geothermal
melalui struktur horst di lembah sebelah selatan dan utara. Air tersebut kemudian
masuk dalam rekahan-rekahan pada batuan lava andesit Bilungala yang menjadi
permeable akibat proses tektonik, hingga batuan tersebut berperan sebagai reservoir
geothermal. Air yang masuk ke dalam reservoir terpanasi oleh batuan panas
(vulkanik) di bawah tubuh lava andesit Pinogoe.
12

Gambar 10. Model konseptual sistem geothermal daerah panasbumi Suwawa

Dari hasil interpretasi dapat diketahui bahwa sistem geothermal di daerah


pengukuran memiliki heat source berupa batuan vulkanik yang sudah tua dan aktif
akibat proses tektonik. Panas ini merambat ke atas melalui zona struktur yang
menyebar di sekitar sungai Bone. Fluida yang terpanasi secara konveksi tersebut
kemudian mengubah mineral-mineral dalam batuan aliran piroklastik dan aliran
lava andesit Pinogoe hingga batuan tersebut menjadi batuan impermeable dan
berperan sebagai cap rock. Akibat densitas yang berkurang, fluida kemudian keluar
ke permukaan melalui patahan di bawah daerah kemunculan manifestasi.
Estimasi Potensi

Potensi energi panasbumi yang telah diidentifikasi dapat diestimasi dengan


menggunakan formula (Daud, 2008)

𝑃𝑜𝑡𝑒𝑛𝑠𝑖 = 𝐴 × 𝑘 × (𝑇𝑟𝑒𝑠𝑒𝑟𝑣𝑜𝑖𝑟 − 𝑇𝑐𝑢𝑡𝑜𝑓𝑓)

dimana A adalah luasan daerah reservoir, k adalah koefisien reservoir dengan nilai
0,1 (faktor konversi untuk energi panas yang hanya berasal dari fluida) atau 0,19
(untuk energi panas yang dikandung dalam fluida dan formasi), Treservoir adalah
suhu reservoir yang didapat dari hasil perhitungan temperatur reservoir dengan
menggunakan geothermometer, dan Tcutoff adalah nilai ambang temperatur
reservoir.

Perhitungan luasan daerah reservoir dilakukan identifikasi terhadap bagian


dasar dari batuan alterasi, karena bagian ini diperkirakan sebagai batas aktivitas
reservoir. Nilai luasan reservoir A diperkirakan mencapai 9 km2, dengan temperatur
reservoir mencapai 150 - 188°C. Untuk sistem dengan temperatur reservoir
golongan intermediate digunakan Tcutoff sebesar 120°C. Dari hasil perhitungan
maka didapat estimasi potensi dari sistem geothermal Suwawa mencapai 61,2
MWe.
BAB 4
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian tentang Identifikasi Sistem Geothermal
Dengan Menggunakan Metode Magnetotellurik 2-Dimensi di Daerah Suwawa,
Gorontalo adalah sebagai berikut :

1. Dari data magnetotellurik yang telah diolah dapat diketahui persebaran nilai
resistivitas yang mampu mendeteksi kemungkinan keberadaan clay cap,
reservoir, dan hot rock.
2. Gabungan dari metode MT dan gravitasi, serta beberapa data survey yang
telah dilakukan sebelumnya mampu menghasilkan korelasi yang baik. Data-
data yang ada saling mendukung dan mengkonfirmasi data yang lainnya,
karena semuanya merujuk pada satu kesimpulan yang sama. Hasil ini cukup
efektif dan efisien untuk mengidentifikasi sistem geothermal di daerah
pengukuran.
3. Daerah prospek berada di bagian tengah daerah penelitian. Dari hasil
interpretasi dapat diketahui bahwa sistem geothermal di daerah pengukuran
memiliki heat source berupa batuan vulkanik yang aktif akibat proses
tektonik. Luas daerah prospek diperkirakan mencapai 9 km2 dengan
kemungkinan suhu bawah-permukaan sebesar 188°C. Sistem ini memiliki
potensi sekitar 61 MWe.

B. Saran
Sebaiknya pembuatan makalah ini dibuat lebih runtut lagi agar
memudahkan pembaca untuk memahami isi dari makalah ini.

13
DAFTAR PUSTAKA

Cumming, William. 2009. Geothermal Resource Conceptual Models Using Surface


Exploration Data. Proceedings 34th Workshop on Geothermal Reservoir
Engineering. Stanford University, California. SGP-TR-187.

Daud, Yunus. 2005. Lecturer Notes – Geophysical Exploration I: DC Resistivity,


SP, and MT/CSAMT. Departemen Fisika. Universitas Indonesia.

Daud, Yunus. 2008. Modul Kuliah Eksplorasi Geothermal. Departemen Fisika.


Universitas Indonesia.
Daud, Yunus. 2013. Identifikasi Sistem Geothermal Menggunakan Metode
Magnetotellurik 2-Dimensi di Daerah Suwawa, Gorontalo. Departemen Fisika.
Universitas Indonesia

Gupta, H. dan Roy, S. 2007. Geothermal Energi An Alternative Resource for the
21st Century. Netherland : Elsevier.

Karim, Abdul. 2013. Identifikasi dan Pemodelan Data Gravitasi Dua Dimensi di
Daerah Suwawa, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Skripsi S-1. Departemen
Fisika, Universitas Indonesia.

Naidu, G.D. 2012. Deep Crustal Structure of The Son-Narmada-Tapti Lineament,


Central India. Springer, pp 13-35.

Nanlohi, F., dan Dikdik, R. 2006. Pemboran Sumur Landaian Suhu SWW-1
Lapangan Panasbumi Suwawa Kabupaten Bone Bolango – Gorontalo. Proceeding
Pemaparan Hasil Kegiatan Lapangan dan Non-lapangan tahun 2006, PSDG.

Rezky, Y., Hasan, A.R., dan Dirasutisna, S. 2005. Penyelidikan Geologi Daerah
Panasbumi Suwawa Kabupaten Bone Bolango – Gorontalo. PSDG, Bandung.

Rosid, Syamsu. 2010. Catatan Kuliah – Teori Inversi. Departemen Fisika.


Universitas Indonesia.

Simpson, F., dan Bahr, K. 2005. Practical Magnetotellurics. Australia: Cambridge


University Press.

Sulaeman, B., Asngari. 2005. Geokimia Daerah Panasbumi Suwawa Kab. Bone
Bolango – Gorontalo. PSDG, Bandung.
Telford, W.M., Geldart, L.P., and Sheriff R.E. 1990. Applied Geophysics 2nd
Edition. Australia: Cambridge University Press.

Anda mungkin juga menyukai