Anda di halaman 1dari 30

DEPARTEMEN ILMU ANESTESI, PERAWATAN INTESIF

DAN MANAJEMEN NYERI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

Laporan Kasus 2

KEPUTUSAN EKSTUBASI PADA PASIEN MYASTENIA GRAVIS

Oleh :
Sukriyah A. Darise

Konsulen Pembimbing :
Dr. Faisal, Sp.An-KIC

DIBAWAKAN SEBAGAI SALAH SATU TUGAS PADA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1
PROGRAM STUDI ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR

0
I. Pendahuluan

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara
terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul
karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular
junction oleh karena penyakit autoimun.1
Pada penderita miastenia gravis, ditemukan kelainan pada neuromuscular
junction akibat defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR). Penyebab pasti MG
masih belum diketahui. Proses autoimun dipercaya sebagai penyebab yang paling
memungkinkan dan kelenjar thymus memiliki peran yang sangat penting pada
proses ini. Sel-sel myoid pada thymus dengan reseptor-reseptor asetilkolin pada
permukaannya merupakan sumber autoantigen yang dapat menstimulasi reaksi
autoimun.1
Kelemahan pada otot-otot okular, bulbar dan ekstremitas proksimal adalah
gejala yang sering ditemukan pada penyakit ini. Karakteristik penyakit ini adalah
munculnya kelemahan atau kelumpuhan otot-otot lurik pada saat penderita
melakukan aktifitas yang dapat membaik dengan istrahat dari beberapa menit
sampai beberapa jam. Uji farmakologis, teknik elektrodiagnostik dengan
elektromiografi, dan pemeriksaan serologi sering digunakan untuk membantu
penegakan diagnosis MG.2
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Angka
kejadiannya 20 dalam 100.000 populasi. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak
pada umur diatas 50 tahun.Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan
pria dan dapat terjadi pada berbagai usia. Pada wanita, penyakit ini tampak pada
usia yang lebih muda, yaitu sekitar 30 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini
sering terjadi pada usia 60 tahun. 3
Angka kejadian MG adalah 8 sampai 10 kasus per satu juta penduduk
dengan prevalensi 150-250 kasus per 1 juta penduduk, dan merupakan penyakit
neuromuskular dengan frekuensi terbanyak. Di negara maju, sindrom Guillain-
Barre dan myasthenia gravis menjadi penyebab utama kasus kegagalan pernapasan
akut yang terkait dengan penyakit neuromuskuler. Puncak pertama insiden penyakit
ini ditemukan pada usia 20 hingga 40 tahun dengan perbandingan pria dan wanita

1
1:3 dan puncak kedua pada usia diatas 50 tahun dengan perbandingan pria dan
wanita 3:2. Pasien Mystenia gravis yang mengalami gangguan pernapasan akut
harus segera diatasi. Tanda dan gejala gagal napas dan membutuhkan intubasi
endotrakeal seperti : 3,5
1. Tanda umum :
Meningkatkan kelemahan umum anggota gerak, disfagia, disfonia,
dispnea saat aktivitas dan saat istirahat
2. Penilaian Subyektif :
Napas cepat dan dangkal, Takikardia, Lemah atau sulit ketika batuk,
staccato speech, abdominal paradox, orthopnea, kelemahan otot leher,
batuk setelah mengkonsumsi makan/minuman.
3. Penilaian obyektif :
Kapasitas vital <15 mL/kgBB, Tekanan inspirasi maksimal ≥ 30 cmH2O,
Tekanan ekspirasi masimal < 40 cmH2O, nocturnal desaturasi

Setelah perbaikan neurologis, weaning ventilator dan ekstubasi menjadi


prioritas. Banyak membaik setelah terapi spesifik, banyak yang dilakukan
reintubasi kembali. Beberapa parameter dinilai sebelum dilakukan ekstubasi setelah
pengobatan dianggap berhasil. Keterlambatan pengobatan dapat meningkatkan
mortalitas dan morbiditas. Penyulit dilakukan weaning ventilator pada pasien
gangguan neuromuskuler berupa infeksi paru dan atelektasis. Faktor risiko yang
menyebabkan gagal ekstubasi pada pasien mystenia gravis adalah adanya
atelektasis pada rontgen dada.

2
II. LAPORAN KASUS

Data Pasien
Nama : Ny. P
Umur : 23 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
No. RM : 833214
Berat Badan : 50 kg
Tinggi Badan : 160 cm
BMI : 19,53 kg/m2 (normoweight)
Masuk RS : 19 Mei 2019
Masuk ICU : 19 Mei 2019

Anamnesis:

Perempuan 23 tahun dikonsul masuk ke ICU RS Wahidin Sudirohusodo


pada tanggal 19 Mei 2019 jam 19:00 dengan gagal nafas ec. Krisis Mystenia. Sesak
nafas dialami sejak 3 hari sebelum masuk RS disertai perasaan lemah pada seluruh
badan dan keringat dingin. Pasien mengeluh terjadi kelemahan otot mulai dari
wajah ke bagian kaki. Pasien dengan riwayat keluhan yang sama 1 bulan
sebelumnya dirawat di ICU RSWS dengan terapi rawat jalan Mestinon 50 mg/4
jam/oral.

Pemeriksaan Fisik :

B1: O2 via ETT on ventilator mode AC PC RR 18x/mnt, PEEP 12 cmH2O, Pins


15 cmH2O, FiO2 100% --> TV 312 cc, RR 26 x/mnt, BP vesikuler, Rh +/+ Wh -/-
SpO2 95 %

B2:TD 135/90 mmHg , MAP 105 mmHg, HR 119 x/menit, reguler, kuat angkat,
akral hangat CRT < 2 dtk

B3: GCS belum dapat dievaluasi (tersedasi), pupil bulat isokor ( Ø 2,5 mm/2,5 mm),
RC +/+ , T: 36,8 °C, BPS 3

B4: Urin per kateter, dikosongkan

3
B5: Datar, supel , Ikut gerak napas, peristaltik (+) 8x/mnt

B6: edema (-/-) fracture (-/-) sianosis (-/-), kekuatan otot 2/2

Keb. cairan : 1750 cc/24 jam

Keb. kalori : 1250 kkal/24 jam

Planning

Ventilator mekanik + Manajemen ventilator bundle

Proteksi lung strategi

Antibiotik spektrum luas

Monitoring Hemodinamik

Terapi

F : Puasa

A : Fentanyl 30 µg/jam/SP

S : Midazolam 2 mg/jam/SP

T:-

H : Head Up 30o

U : Ranitidin 50 mg/12 jam/IV

G : Target GDS 120 – 180 mg/dL

S : O2 via ETT on ventilator mode AC PC

B:-

I : IVFD RL 1000 cc/24 jam/iv

IVFD D5% 750 cc/24 jam

D : Ceftazidime 1gr/12 jam/iv (H1)

4
Tanda Vital

Gambar 1. Hemodinamik pada saat pasien masuk ICU

Pemeriksaan penunjang
Laboratorium tanggal 19-05-2019:

Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Hasil


Hb 12,2 gr/dl pH 7,446
WBC 11.700/mm3 pO2 144.1 mmHg
Trombosit 337.000/mm3 SO2 97.1 %
Ureum 15 mg/dl HCO3 24,9 mmo/L
Kreatinin 0,46 mg/dl PF Ratio 176,37
SGOT 27 U/L Lactat 2,2
SGPT 30 U/L
Albumin 2,4 gr/dl
Prokalsitonin 1,12 ng/ml
Natrium 141 mmol/L
Kalium 3,8 mmol/L
Clorida 104 mmol/L

Gambar 2. Foto thoraks 19-05-2019


Kesan : Terpasang ETT pada trachea dengan ujung tip setinggi CV Th3 -
Bronchoneumonia - Cardiomegaly disertai dilatatio aorta

5
19-5-2019 ICU Perawatan Hari ke-1
S : tidak dapat dinilai/ pasien terintubasi Terapi

O: F : Peptisol 3x150 kkal, bubur saring 3x150


kkal, jus buah 1x100 kkal
B1: O2 via ETT on ventilator mode AC
PC RR 18x/mnt, PEEP 12 cmH2O, Pins A : Fentanyl 30 µg/jam/SP
15 cmH2O, FiO2 80% --> TV 306 cc, RR
S : Midazolam 2 mg/jam/SP
26 x/mnt, BP vesikuler, Rh +/+ Wh -/-
SpO2 95 % T:-

B2:= TD 135/90 mmHg , MAP 105 H : Head Up 30o


mmHg, HR 119 x/menit, reguler, kuat
U : Ranitidin 50 mg/12 jam/IV
angkat, akral hangat CRT < 2 dtk
G : Target GDS 120 – 180 mg/dL
B3: GCS belum dapat dievaluasi
(tersedasi), pupil bulat isokor ( Ø 2,5 S : O2 via ETT on ventilator mode AC PC
mm/2,5 mm), RC +/+ , T: 36,8 °C, BPS 3
B:-
B4: Urin per kateter, dikosongkan
I : IVFD RL 1000 cc/24 jam/iv
B5: Datar, supel , Ikut gerak napas,
IVFD D5% 750 cc/24 jam
peristaltik (+) 8x/mnt
D : Ceftazidime 1gr/12 jam/iv (H1)
B6: edema (-/-) fracture (-/-) sianosis (-/-),
kekuatan otot 2/2 IVIG 20 gr/24 jam/iv (H1)

Assesment

Gagal nafas ec. Krisis Mystenia

Planning

Ventilator mekanik + Manajemen Keb. cairan : 1750 cc/24 jam


ventilator bundle
Keb. kalori : 1250 kkal/24 jam
Proteksi lung strategi

Antibiotik spektrum luas

Monitoring Hemodinamik

6
20-05-2019 ICU Perawatan Hari ke-2
S : tidak dapat dinilai/ pasien terintubasi Terapi

O: F : Peptisol 3x150 kkal, bubur saring


3x150 kkal, jus uah 2x100 kkal
B1: O2 via ETT on ventilator mode SIMV
PC RR 16x/mnt, PEEP 8 cmH2O, Pins 15 A : Fentanyl 30 µg/jam/SP
cmH2O, FiO2 80% --> TV 346 cc, RR 20
x/mnt, BP vesikuler, Rh +/+ Wh -/- SpO2 S : -
99 % T:-
B2:= TD 121/74 mmHg , MAP 90 mmHg, H : Head Up 30o
HR 70 x/menit, reguler, kuat angkat, akral
hangat CRT < 2 dtk U : Ranitidin 50 mg/12 jam/IV

B3: GCS 9x (E3M6Vx), pupil bulat isokor G : Target GDS 120 – 180 mg/dL
(Ø 2,5 mm/2,5 mm), RC +/+ , T: 36,8 °C,
BPS 3 S : O2 via ETT on ventilator mode SIMV
PC
B4: Urin per kateter, produksi 620
cc/8jam, balance cairan +239 cc/24 jam B:-

B5: Datar, supel , Ikut gerak napas, I : IVFD RL 1000 cc/24 jam/iv
peristaltik (+) 8x/mnt
D : Ceftazidime 1gr/12 jam/iv (H3)
B6: edema (-/-) fracture (-/-) sianosis (-/-),
IVIG 20 gr/24 jam/iv (H2)
kekuatan otot 2/2
Nebulizer NaCl 0,9% /8jam/inhalasi
Assesment

Gagal nafas ec. Krisis Mystenia.

Planning
Keb. cairan : 1750 cc/24 jam
Ventilator mekanik + Manajemen
ventilator bundle Keb. kalori : 1250 kkal/24 jam

Proteksi lung strategi

Antibiotik spektrum luas

Monitoring Hemodinamik

Pemeriksaan penunjang (20-05-2019 )

Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Hasil


pH 7,542 HCO3 34,1 mmo/L
pO2 106,2 mmHg PF Ratio 200
SO2 99.1 % Lactat 1,2

7
23-05-2019 ICU Perawatan Hari ke-5
S : tidak dapat dinilai/ pasien terintubasi Terapi

O: F : Peptisol 4x150 kkal, bubur saring 3x150


kkal, jus buah 2x200 kkal, madu 1x80 kkal
B1: O2 via ETT on ventilator mode SIMV
PC RR 12x/mnt, PEEP 5 cmH2O, Pins 12 A : Fentanyl 30 µg/jam/SP
cmH2O, FiO2 50% --> TV 326 cc, RR 20
S:-
x/mnt, BP vesikuler, Rh +/+, Wh -/- SpO2
99 % T:-

B2:= TD 130/76 mmHg , MAP 95 mmHg, H : Head Up 30o


HR 83 x/menit, reguler, kuat angkat, akral
U : Ranitidin 50 mg/12 jam/IV
hangat CRT < 2 dtk
G : Target GDS 120 – 180 mg/dL
B3: GCS 10x (E4M6Vx), pupil bulat
isokor (Ø 2,5 mm/2,5 mm), RC +/+ , T: S : O2 via ETT on ventilator mode SIMV
36,8 °C, BPS 3 PC

B4: Urin per kateter, produksi 80 cc/jam, B : -


balance cairan +439 cc/24 jam
I : IVFD RL 1000 cc/24 jam/iv
B5: Datar, supel , Ikut gerak napas,
D : Ceftazidime 1gr/12 jam/iv (H6)
peristaltik (+) 8x/mnt
IVIG 20 gr/24 jam/iv (H5)
B6: edema (-/-) fracture (-/-) sianosis (-/-),
kekuatan otot 3/3 Pyridostigmine 60 mg/12 jam/NGT

Assesment Nebulizer NaCl 0,9% /8jam/inhalasi

Gagal nafas ec. Krisis Mystenia Metilprednisolon 125 mg/8jam.iv

Planning

Ventilator mekanik + Manajemen


ventilator bundle, Proteksi lung strategi
Keb. cairan : 1750 cc/24 jam
Antibiotik spektrum luas
Keb. kalori : 1250 kkal/24 jam
Monitoring Hemodinamik

8
28-06-2019 ICU Perawatan Hari ke-10
S : tidak dapat dinilai/ pasien terintubasi Terapi

O: F : Peptisol 4x150 kkal, bubur saring 3x150


kkal, jus buah 2x200 kkal, madu 1x80 kkal
B1: O2 via ETT on ventilator mode CPAP,
PS 8 cmH2O, PEEP 5 cmH2O, FiO2 40 % A : Fentanyl 30 µg/jam/SP
--> TV 368 cc, RR 20 x/mnt, BP vesikuler,
S:-
Rh +/+, Wh -/- SpO2 99 %
T:-
B2:= TD 107/58 mmHg , MAP 81 mmHg,
HR 96 x/menit, reguler, kuat angkat, akral H : Head Up 30o
hangat CRT < 2 dtk
U : Ranitidin 50 mg/12 jam/IV
B3: GCS 10x (E4M6Vx), pupil bulat
G : Target GDS 120 – 180 mg/dL
isokor (Ø 2,5 mm/2,5 mm), RC +/+ , T:
36,8 °C, BPS 3 S : O2 via ETT on ventilator mode SIMV
PC
B4: Urin per kateter, produksi 80 cc/jam,
balance cairan +439 cc/24 jam B:-

B5: Datar, supel , Ikut gerak napas, I : IVFD RL 1000 cc/24 jam/iv
peristaltik (+) 8x/mnt
D : Ceftazidime 1gr/12 jam/iv (H11)
B6: edema (-/-) fracture (-/-) sianosis (-/-),
Pyridostigmine 60 mg/4 jam/NGT
kekuatan otot 4/4

Nebulizer NaCl 0,9% /8jam/inhalasi


Assesment
Metilprednisolon 125 mg/8jam/iv
Gagal nafas ec. Krisis Mystenia

Planning

Ventilator mekanik + Manajemen


ventilator bundle

Proteksi lung strategi Keb. cairan : 1750 cc/24 jam

Antibiotik spektrum luas Keb. kalori : 1250 kkal/24 jam

Monitoring Hemodinamik

9
31-05-2019 ICU Perawatan Hari ke-13
S : tidak dapat dinilai/ pasien terintubasi Terapi

O: F Peptisol 4x150 kkal, bubur saring 3x150


kkal, jus buah 1x200 kkal, madu 1x160
B1: O2 via ETT on ventilator mode CPAP,
kkal
PS 8 cmH2O, PEEP 5 cmH2O, FiO2 40 %
--> TV 348 cc, RR 20 x/mnt, BP vesikuler, A : Fentanyl 30 µg/jam/SP
Rh +/+, Wh -/- SpO2 99 %
S:-
B2:= TD 114/66 mmHg , MAP 78 mmHg,
T:-
HR 93 x/menit, reguler, kuat angkat, akral
hangat CRT < 2 dtk H : Head Up 30o

B3: GCS 10x (E4M6Vx), pupil bulat U : Ranitidin 50 mg/12 jam/IV


isokor (Ø 2,5 mm/2,5 mm), RC +/+ , T:
G : Target GDS 120 – 180 mg/dL
36,8 °C, BPS 3
S : O2 via ETT on ventilator mode CPAP
B4: Urin per kateter, produksi 85 cc/jam,
balance cairan -112 cc/24 jam B:-

B5: Datar, supel , Ikut gerak napas, I : IVFD RL 1000 cc/24 jam/iv
peristaltik (+) 8x/mnt
D : Ceftazidime 1gr/12 jam/iv (H13)
B6: edema (-/-) fracture (-/-) sianosis (-/-),
Pyridostigmine 60 mg/4 jam/NGT
kekuatan otot 5/5

Nebulizer NaCl 0,9% /8jam/inhalasi


Assesment
Metilprednisolon 125 mg/8jam/intravena
Gagal nafas ec. Krisis Mystenia
Rencana weaning ventilator
Planning: Antibiotik spektrum luas

Monitoring Hemodinamik
Keb. cairan : 1750 cc/24 jam
Ekstubasi

Keb. kalori : 1250 kkal/24 jam

10
Laboratorium tanggal 31-05-2019:

Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Hasil


Hb 11 gr/dl pH 7,432
WBC 9.910 /mm3 pO2 165,4 mmHg
Trombosit 316.000/mm3 SO2 99.1 %
Ureum - HCO3 37,0 mmo/L
Kreatinin - PF Ratio 330
SGOT - Lactat 1,2
SGPT -
Albumin 3,0 gr/dl
Prokalsitonin -

Parameter ekstubasi dan nilai prefiktif


Tes Yang Dilakukan Prediksi
Uji coba T-piece Baik
Sinar-X dada normal Bagus Baik

Pemeriksaan neurologis (fungsi orofaringeal, fleksi kepala) Baik

Tes kartu putih Baik


Tes fungsi paru Baik

Kemampaun mengendalikan sekret

Batuk dan Kuantitas Karakter Vikositas Frekuensi


Derajat
Suction sputum sputum sputum pengisapan
0 Tidak ada Tidak ada Bening Berair > 3 jam
Setiap 2 -3
1 Moderate 1 Tan Berbuih jam
Setiap 1-2-
2 Lemah 2 Kuning Kental jam
3 Tidak ada >3 Hijau Sangat kental < 1 jam

Kemampuan mengendalikan sekret pada pasien ini nilainya 5

11
Ekstubasi

Minute volume stabil 7,3 L/mnt


TD 107/56
Hemodinamik Stabil mmHg, HR 81
kali/menit
Tidak ada
Dengan support minimal
support

Oksigenasi Adekuat PaO2/FiO2 > 200 330


Readiness PEEP <5-8 cmH2O 5
criteria
FiO2 <0,5 40%
Usaha napas pasien spontan Ada
Suhu < 38 36,4 C
pH >7,25 7,432
Kriteria lain :
Hb >8,0 gr/dl 10,6 gr/dl
10x
GCS >13
(E4M6Vx)
Terputus dari ventilator
dihubungkan dengan Selama 60
Tpieces selama 30-120 menit
Tpieces menit
Spontaneous
breathing trials Kelelahan Tidak ada
Evaluasi :
Dyspneu Tidak Ada
6-8 cmH2O 6 cmH2o
Pressure Support
PEEP <5-8 cmH2O 5 cmH2O
RSBI RR/VT < 100 54,3
Prediktor Minutes Ventilation < 10 L/mnt 7,3 L/mnt
penyapihan RR < 35 kali/menit 20
Max Inspiratory pressure - 30 cmH2O

12
01-06-2019 ICU Perawatan Hari ke-14
S : tidak ada keluhan Terapi

O: F : Diet lunak

B1: O2 via NRM 10 ltr/menit, Rh -/-, Wh A : -


-/- SpO2 99 %
S:-
B2:= TD 114/66 mmHg , MAP 78 mmHg,
T:-
HR 93 x/menit, reguler, kuat angkat, akral
hangat CRT < 2 dtk H : Head Up 30o

U : Ranitidin 50 mg/12 jam/IV

B3: GCS 10x (E4M6Vx), pupil bulat G : Target GDS 120 – 180 mg/dL
isokor (Ø 2,5 mm/2,5 mm), RC +/+ , T:
S : O2 via NRM
36,8 °C, BPS 3
B:-
B4: Urin per kateter, produksi 85 cc/jam,
balance cairan -112 cc/24 jam I : IVFD RL 1000 cc/24 jam/iv

B5: Datar, supel , Ikut gerak napas, D : Ceftazidime 1gr/12 jam/iv (H11)
peristaltik (+) 8x/mnt
Pyridostigmine 60 mg/4 jam/NGT
B6: edema (-/-) fracture (-/-) sianosis (-/-),
Nebulizer NaCl 0,9% /8jam/inhalasi
kekuatan otot motorik 5/5

Assesment
Keb. cairan : 1750 cc/24 jam
Post gagal nafas ec. Mysthenia gravis.
Keb. kalori : 1250 kkal/24 jam
Planning

Antibiotik spektrum luas

Monitoring Hemodinamik

13
III. DISKUSI

Mystenia gravis (MG) adalah sindrome autoimun yang disebabkan oleh


kegagalan transmisi neuromusklar, karena pengikatan autoantibodi terhadap
protein yang terlibat dalam transmisi signal saraf pada neuromuscular junction.
Perkiraan jumlah orang yang terkena bervariasi. Paling umum terjadi pada wanita
dewasa muda (dibawah usia 40 tahun) dan laki-laki (usia diatas 60 tahun). 6

Gejala utama MG adalah kelemahan dan kelelahan otot tanpa disertai


gangguan sensoris dan sistem otonom, dapat berubah gejala okular, bulbar maupun
gejala generalisata. Pada awalnya muncul gejala okular diantaranya berupa ptosis
atau diplopia hingga ekstenal ophtalmoplegia yang menunjukkan MG yang berat.
Gejala okular khas pada pasien Mystenia gravis adalah keterlibatan lebih dari satu
otot-otot ekstra okuler yang tidak terbatas pada satu inervasi saraf. 7

Gejala bulbar menjadi perhatian serius karena dapat mengancam jiwa,


gejalanya dapat berubah nasal speech, kesulitan menelan dan regurgitasi, atropi
lidah dan gangguan respirasi (pemendekan napas hingga gagal napas). Otot-otot
fasial, menelan, berbicara pertama kali terkena. Ekspresi wajah berubah, sulit
mengunyah dan menelan. Dapat pula terjadi paralisis pita suara yang ditandai
dengan gejala stridor dan serak. Bicara semakin sengau (Nasal speech) dan suara
mengecil. Rasa lelah setelah aktivitas ringan. Kelemahan otot-otot pernapasan
dengan gejala berupa aspirasi, hipoventilasi, ancaman gagal napas hingga
penurunan kesadaran.8

Gagal napas pada pasien Mystenia gravis merukan suatu kondisi yang
ekstrim dari kelemahan dan kelelahan otot-otot pernapasan yang memerlukan
bantuan pernapasan mekanik. Kondisi ini dapat terjadi karena beberapa pencetus
seperti infeksi terutama infeksi jalan napas atas oleh karena virus, bronkhitis,
pneumonia bakterial dan pneumonia aspirasi. 9

Klasifikasi Mystenia gravis untuk menentukan prognosis dan pengobatannya,


dibagi menjadi 4 golongan yaitu : 9

1. Golongan I : Mystenia Okuler

14
Pada kelompok ini terdapat gangguan pada satu atau beberapa otot okular yang
menyebabkan timbulnya ptosis dan diplopia. Golongan ini biasanya ringan
seringkali resisten terhadap pengobatan.
2. Golongan II : Mystenia bentuk umum yang ringan
Timbulnya gejala perlahan-lahan dimulai dengan gejala okuler yang kemudia
menyebar ke wajah, anggota badan dan otot-otot bulbar.
3. Golongan III : Mystenia bentuk umum yang berat
Pada golongan ini gejala yang timbul biasanya cepat, dimulai dari gangguan
otot okuler, anggota badan dan kemudian otot pernapasan. Kasus yang
mempunyai reaksi buruk terhadapa terapi antikolinesterasi berada dalam
golongan bahaya dan dapat berkembang menjadi krisis mystenia.
4. Golongan IV : Krisis Mystenia
Kadang-kadang terdapat keadaan yang berkembang menjadi kelemahan otot
yang menyeluruh disertai dengan paralisis otot-otot pernapasan. Beberapa
faktor yang mempengaruhi perjalanan penyakit ini, penderita akan bertambah
lemah pada saat demem, dan pada golongan III biasanya akan terjadi krisis
Mystenia karena adanya infeksi saluran nafas bagian atas.

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), Myasthenia


gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 7,8

Tabel 1: Klasifikasi Myasthenia Gravis berdasarkan stadium.

Kelas subkelas Gejala

I Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat


menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.
II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta
adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot
okular.
Kelas Subkelas Gejala

15
IIa Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau
keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal
yang ringan

IIb Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau


keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-
otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.
III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular.
Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami
kelemahan tingkat sedang.
IIIa Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot
orofaringeal yang ringan.
IIIb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat
ringan.
IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan
dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular
mengalami kelemahan dalam berbagai derajat

IVa Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh


dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami
kelemahan dalam derajat ringan.
IVb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau
keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat
kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial,
atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita
menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Tabel 1. Dikutip dari Fauci SA, Kasper LD, Longo LD, et al. Ch 381 Myasthenia Gravis in
Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th Ed : United States of America: The
McGraw-Hill Companies: 2008.

16
Berdasarkan klasifikasi Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA),
Myasthenia gravis pasien ini termasuk klasifikasi kelas V.

Etiologi

Pada penyakit Myasthenia gravis yaitu kelemahan otot yang berbahaya telah
ditemukan adanya antibodi yang menempati reseptor acetylcholine dari motor end
plate sehingga ia tidak dapat merangsang kontraksi serabut-serabut otot skeletal.
Antibodi tersebut dikenal sebagai antiacetylcholine reseptor antibodi yang
dihasilkan oleh kelenjar timus yang dihasilkan oleh proses imunologik. Ketepatan
konsep ini telah dikonfirmasi oleh tindakan operatif pngangkatan timus
10
(timektomi) untuk melenyapkan penyakit Miasthenia gravis.

Membran postsinaptik dari sinaps itu menjadi atrofik akibat reaksi


imunologik, karena itu penyerapan acetylcholine sangat menurun jarak antar
membran ujung terminal akson motoneuron dan membran motor end plate menjadi
lebih panjang sehingga cholinesterase mendapat kesempatan yang lebih besar untuk
menghancurkan lebih banyak acetylcholine sehingga potensial aksi postsinaptik
yang dicetuskan menjadi lebih kecil. Sehingga kontraksi otot skeletal pertama-tama
terjadi secara normal, tetapi kontraksi-kontraksi berikutnya menjadi semakin lemah
dan berakhir pada kelumpuhan total. Setelah istirahat, kontraksi otot pulih kembali
untuk kemudian melemah dan lumpuh lagi. Kelemahan yang bergelombang seperti
itu dikenal sebagai kelemahan miastenik. 10

Gambar 1. a. Neuromuskuler junction normal; b. AchR antibodies pada pasien MG.

17
Gambaran Klinis

Gambaran klinis Myasthenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan lokal
yang ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33%
hanya terdapat gejala kelainan okular disertai dengan kelemahan otot-otot lainnya.
Kira-kira 15% ditemukan kelemahan ektremitas tanpa disertai dengan gejala
kelainan okular. Yang lainnya kira-kira 20% penderita didapati kesulitan
mengunyah dan menelan. 11

Anamnesis dari penderita dengan Myasthenia okular adalah adanya gejala


diplopia yang timbul pada sore hari atau pada waktu sore dan menghilang pada
waktu pagi harinya. Dapat pula timbul ptosis pada otot-otot kelopak mata. Bila otot-
otot bulbar terkena, suaranya menjadi suara basal yang cenderung berfluktuasi dan
suara akan memburuk bila pembicaraan berlangsung terus. Pada kasus yang berat
akan terjadi afoni temporer. Adanya kelemahan rahang yang progresif pada waktu
mengunyah dan penderita seringkali menunjang rahangnya dengan tangan sewaktu
mengunyah. 7,8

Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius


sering menjadi keluhan utama penderita Myasthenia gravis. Walaupun otot levator
palpebra jelas lumpuh pada Myasthenia gravis, otot-otot okuler adakalanya masih
bisa bergerak normal, tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okuler kedua belah
sisi akan melengkapi ptosis. Mula timbulnya dengan ptosis (90%) unilateral atau
bilateral. 12

Kelemahan otot non bulbar baru dijumpai pada tahap yang sudah lanjut sekali.
Yang pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan
dengan tangan, kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal.
Atropi otot dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih
memburuk lagi. 2,7

Tabel 2: Frekuensi Keterlibatan Otot dan Gejala pada Myasthenia Gravis

Sering terjadi Otot-otot Gejala


Ocular Ptosis dan pengelihatan ganda

18
Wajah Kesulitan mengunyah, menelan dan
berbicara
Leher Kesulitan mengangkat kepala saat posisi
telentang
Ekstremitas Kesulitan mengangkat lengan setinggi
proksimal bahu dan kesulitan berdiri dari posisi
duduk dengan bantuan tangan
Jarang terjadi Pernapasan Gangguan pernapasan dan kesulitan untuk
bangun dari posisi tertidur
Ekstremitas distal Kelemahan saat mengenggam dan
kelemahan pada pergelangan dan kaki
Diagnosis

Prosedur diagnosti dimulai dari anamnesis yang cermat dan dilanjutkan


dengan pemeriksaan fisis sederhana untuk menilai berkurangnya kekuatan otot
setelah aktivitas ringan tertentu, kemudian ditegakkan dengan pemeriksaan
farmakologik yaitu tes endrofonium atau dengan tes neostigmin. 2,8

Tes klinik, didasarkan pada kelelahan otot-otot yang terkena 8,10

1. Memandang objek diatas level bola mata akan timbul ptosis pada
Myasthenia okular.

2. Mengangkat lengan akan mengakibatkan jatuhnya lengan bila otot-otot


bahu yang terkena.
3. Pada kasus-kasus bulbar, penderita disuruh menghitung 1 sampai 100
maka volume suara akan menghilang atau timbul disartria.

4. Sukar menelan bila terdapat gejala disfagia.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium 11,12

1. Anti-asetilkolin reseptor antibodi. Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan


untuk mendiagnosis suatu Myasthenia gravis, dimana terdapat hasil yang
postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita Myasthenia gravis generalisata
dan 50% dari penderita dengan Myasthenia okular murni menunjukkan hasil

19
tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa
Myasthenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibodi.
2. Antistriated muscle (anti-SM) antibody. Merupakan salah satu tes yang penting
pada penderita Myasthenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada
sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun.
Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat
menunjukkan hasil positif.
3. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies. Hampir 50% penderita
Myasthenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (Myasthenia
gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.
4. Antistriational antibodies. Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien
thymoma dengan Myasthenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR
antibodi merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada
pasien muda dengan Myasthenia gravis.

Imaging13

1. Chest x-ray (foto roentgen thorak). Dapat dilakukan dalam posisi


anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi
sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.
2. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan
rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis Myasthenia gravis tidak dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari
penyebab defisit pada saraf otak.

Pendekatan Elektrodiagnostik

Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi


neuromuscular melalui 2 teknik : 12,14

1. Repetitive Nerve Stimulation (RNS). Pada penderita Myasthenia gravis


terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak
terdapat adanya suatu potensial aksi.

20
2. Single-fiber Electromyography (SFEMG). Menggunakan jarum single-fiber,
yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG
dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara
2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber
density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh
jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada
neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal

Tes Farmakologik 15

1. Uji Tensilon (edrophonium chloride). Dengan pemberian injeksi 2 mg


edrofonium, bila tidak ada efek samping dilanjutkan dengan 8 mg yang
diberikan intravena. Gejala miastenis gravis akan membaik dalam waktu 30
detik sampai 1 menit dan efek akan hilang dalam beberapa menit.
2. Uji Prostigmin (neostigmin). Dengan pemberian 1,25 mg neostigmin secara
intramuskularis, dapat dikombinasi dengan atropi 0,6 mg untuk mencegah efek
samping. Gejalanya akan membaik dalam waktu 30 detik dan akan berakhir
dalam 2 atau 3 jam.
3. Uji Kinin Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu
benar disebabkan oleh Myasthenia gravis, maka gejala seperti ptosis,
strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya
disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah
berat.

Penatalaksaan

Dasar pengobatan adalah dengan menggunakan obat-obat antikolinesterase


misalnya neostigmin dan piridostigmin. Obat-obat ini berperan menghambat
kolinesterase yang kerjanya menghancurkan asetilkolin. Biasanya dimulai dengan
1 Tablet neostigmin atau piridostigmin 3 kali perhari, kemudian dosisnya
ditingkatkan bergantung pada reaksi penderita. Obat-obat antikolinesterase ini
mempunyai aktivitas muskarinik dan nikotinik. Efek muskarinik yaitu

21
mempengaruhi otot polos dan kelenjar, sedangkan efek nikotinik yaitu
mempengaruhi ganglion autonom dan myoneural junction. 12,13

Efek muskarinik seperti kolik abdomen, diare dan hiperhidrosis dapat


diatasi dengan pemberian atropin. Karena terapi steroid dapat menimbulkan efek
samping selam 2 minggu pengobatan, maka perlu perawatan di rumah sakit,
terutama bila timbul gejala-gejala bulbar. Obat antikolinesterase harus diteruskan
dan prednison diberikan serta ditingkatkan perlahan-lahan dari dosis inisial 25 mg
sampai 100 mg perhari dan diberikan selang satu hari, tergantung pada reaksi
penderita. Setelah ada perbaikan, dosis neostigmin dan piridostigmin dapat
diturunkan perlahan-lahan. Kombinasi baik piridostigmin dan prednison yang
diberikan selang 1 hari merupakan terapi inisial pilihan untuk penderita dengan
timoma.14

Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut 13,14

1. Plasma Exchange (PE). Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-


asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer
antibodi. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang
mengalami masa krisis. Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi
banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali
terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Efek pemberian akan muncul pada
24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu.
2. Intravenous Immunoglobulin (IVIG). Produk tertentu dimana 99% merupakan
IgG adalah complement-activating aggregates yang relatif aman untuk
diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara
pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun.. Dosis
standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1
gram/kgbb/hari selama 2 hari.

Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang 15

1. Kortikosteroid. Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan


paling murah untuk pengobatan Myasthenia gravis. Respon terhadap

22
pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah
inisiasi terapi. Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari
kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya.
2. Azathioprine. Biasanya digunakan pada pasien Myasthenia gravis yang secara
relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3
mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis
optimafl tercapai.
3. Cyclosporine. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari
terbagi dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat
dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping
berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.

Pasien Mystenia gravis yang mengalami gangguan pernapasan akut harus


segera diatasi. Gagal pernapasan akut Pneumonia yang berulang yang
menyebabkan aspirasi merupakan penyebab tersering pencetus terjadi Krisis
Mytenia. Krisis Mystenia sebuah kondisi dari kelemahan dan kelelahan otot-otot
pernapasan yang membutuhkan bantuan pernapasan mekanik. Kondisi yang
mencetus yaiu infeksi jalan napas atas oleh karena virus, bronkhitis, pneumonia
bakterial dan pneumonia aspirasi. Stres fisik, stres emosional, pembedahan dan
perubahan medikasi tertentu dapat mencetuskan krisis Mystenia. Periode krisis
17
dapat terjadi selama 7-39 hari.
Manajemen Mystenia gravis bersifat farmakologi. Dalam kasus ini terapi
farmakologi berupa IVIG 0,4 mg/kgBB/iv selama 5 hari, pyridostigmin 60
mg/4jam/NGT, metilprednisolon 125 mg/8 jam/iv selama 5 hari. Setelah perbaikan
neurologis, penyapihan dari ventilator menjadi prioritas. Namun, membebaskan
pasien miastenia gravis dari ventilator sangat bervariasi tantangan terlebih lagi
infeksi paru dan atelektase dapat menyebabkan gagal lepas dari ventilator.
Tingkat kegagalan ekstubasi berkisar 27-44%. Faktor yang mempengaruhi
gagal ektubasi yaitu atelektasis, usia tua, jenis kelamin laki-laki, riwayat penyakit
yang sama sebelumnya, durasi intubasi > 10 hari, pH arteri rendah. Sebagian besar
ahli saraf akan mencoba menemukan dosis pyridostigmine yang memadai dan

23
kembali kekuatan otot dan fungsi orofaringeal sehingga dapat membantu pasien
12,13
untuk lepas dari ventilator.
Namun pada saat yang sama dosis pyridostigmine tidak menyebabkan
sekresi yang berlebihan. Sekresi kental akan mempengaruhi terjadi sumbatan akibat
produksi lendir yang berlebihan. Pada kasus ini dievaluasi pasien memiliki produksi
lendir yang berlebihan namun dengan kekuatan motorik atas membaik pasien bisa
melakukan pembersihan lendir secara pribadi saat masih terpasang endotrakeal
tube.

Ada beberapa prasyarat untuk dipertimbangkan pada saat melakukan


ektubasi pada pasien Mystenia gravis. Prioritas pertama pengobatan mystenia
gravis yang dianggap berhasil. Beberapa parameter ekstubasi dijelaskan dalam
kegagalan pernapasan neuromuskuler dan nilai prediktifnya berupa :

Tabel 2. Parameter ektubasi dan nilai prediktif 13

Tes Yang Dilakukan Prediksi


Uji coba T-piece Baik
Sinar-X dada normal Bagus Baik

Pemeriksaan neurologis (fungsi orofaringeal, fleksi kepala) Baik/Tidak

Tes kartu putih Baik


Tes fungsi paru Baik
Tabel 2. Dikutip dari Wijdicks EF, Rabinstein AA. Neurocritical care In Weaning of the
Ventilator in Myasthenia Gravis. Oxford University Press Inc. New York. 2012: 134-7

Pada pasien ini telah dilakukan uji T-piece sebelum dilakukan ekstubasi
RSBI selama 2 menit dengan RR 20 kali/menit, volume tidal 348 c, PEEP 5 cmH20,
FiO2 40% hasilnya < 100. Dilakukan evaluasi tanda-tanda kelelahan, dispneu,
takipnea, sianosis dan kecemasan. Pada pasien ini pada saat dilakukan RSBI tidak
tampak gejala di atas. Foto thoraks pada pasien ini dilakukan pada tanggal
19/05/2019 kesan Terpasang ETT pada trachea dengan ujung tip setinggi CV Th3
– Bronchoneumonia.

24
Pada pasien ini pemeriksaan refleks menelan baik dan fleksi kepala
dilakukan dengan sangat baik. Pemeriksaan tes kartu putih yaitu dengan posisi
pasien dengan kepala 30-45 derajat dan diletakkan kartu sekitar 1-2 cm dari ujung
tabung endotrakeal pada diminta batuk 2 sampai 3 kali. Jika pada kartu putih
terdapat kelembapan hasil tes dianggap positif dengan kualitatif diklasifikasikan
tidak ada, lemah, kuat. Pada pasien ini tes kartu putih kuat. Uji fungsi paru yang
dimaksud yaitu dilakukan percobaan pernapasan spontan dan amati frekuensi
pernapasan dan volume tidal selama 60 menit, pada pasien ini baik.

Untuk menilai kemampuan mengendalikan sekret dengan menggunakan


ACS (Airway Care Score) 14

Tabel 3. Kemampaun mengendalikan sekret

Batuk dan Kuantitas Karakter Vikositas Frekuensi


Derajat
Suction sputum sputum sputum pengisapan
0 Tidak ada Tidak ada Bening Berair > 3 jam
Setiap 2 -3
1 Moderate 1 Tan Berbuih jam
Setiap 1-2-
2 Lemah 2 Kuning Kental jam
3 Tidak ada >3 Hijau Sangat kental < 1 jam
Total skor 15, apabila setelah dilakukan penilaian secara subjektif nilai <7, pasien
bisa untuk masuk ke proses ekstubasi.

Dikutip dari Mehmet AT, Ethem MA, Tijen C. Prediction of extubation success in Myasthenic Crisis
using bedside functional residual capacity measurement: A prospective feasibility study. Yogun
Bakim Derg. 2012: 36-42.

Pada pasien ini skor ACS adalah 5. Dan rencanakan untuk dilakukan ekstubasi.

Kriteria lain yang digunakan sebelum dilakukan ekstubasi yaitu, Tabel 4.14

No. Kriteria Kondisi

Keadaan akut yang menyebabkan terjadi


1 Tidak ada
MCI

PaO2 ≥ 60 mmHg dengan FiO2 ≤


2 Pertukaran gas
40% dan PEEP ≤ 5-8 cmH2O

Perfusi jaringan baik, tanpa


3 Evaluasi hemodinamik
vasopressor, tidak ada aritmia

25
4 Kemampuan untuk inspirasi Ada

Sadar baik, tanpa agitasi


5 Tingkat kesadaran
psikomotor

6 Batuk Efektif

7 Ph ≥ 7.30

8 Keseimbangan cairan Terkoreksi

9 K, Ca, Mg, P Nilai normal

10 Intervensi pembedah selanjutnya Tidak ada

Dikuti dari: Leonardo R. Invasive Mechanical Ventilation in Adults with Neuromuscular Disease in
Emergency and Intersive Care. Journal of Intensive and Critical Care. 2015; 1(1): 1-4

Pada pasien ini tidak ada keadaan akut yang bisa menyebabkan terjadi gagal
jantung akut. Pasien sebelum ekstubasi PaO2 165,4 mmHg, FiO2 40%, PEEP 5
cmH2O. Hemodinamik pasien stabil tanpa menggunakan vasopressor, pasien
dengan kemampuan inspirasi yang baik, kesadaran baik. Pasien batuk efektif, jika
merasa lendirnya banyak dan butuh dihisap, pasien melakukan suction sendiri. Pada
pemeriksaan analisa gas darah, pH 7,432. Balance cairan pasien baik, Kalium 3,5
mmol/L dan tidak ada rencana intervensi pembedahan. Sehingga pasien dilakukan
ektubasi.

Selain hal tersebut kemampuan motorik dari pasien Mystenia gravis yang
terintubasi dinilai kembali. Dilihat kembali apakah jika pasien memandang objek
diatas level bola mata akan timbul ptosis. Evaluasi kembali ketika pasien bisa
mengangkat kedua ektremitas. Dan pasien merasa bahwa kemampuan nafas tanpa
alat bantu nafas bisa.

Faktor risiko yang menyebabkan gagal ekstubasi pada pasien mystenia


gravis adalah adanya atelektasis pada rontgen dada. Pasien juga bisa gagal ekstubasi
jika volume sekret berlebihan, edema paru sebelum dilakukan ekstubasi, dan stridor
post ektubasi. Pengobatan miastenia gravis dengan gagal pernapasan
neuromuskuler akut dibutuhkan membutuhkan waktu. Pasien dengan myasthenia
gravis dan kesulitan keluar dari ventilator sering mengalami episode krisis
sebelumnya, dan dalam kasus ini pasien memang pernah dilakukan perawatan
dengan penyakit yang sama.

26
Kesimpulan
Nilai prediktif kriteria yang banyak digunakan mungkin tidak lebih dari
moderat untuk menilai kelayakan dilakukan ekstubasi pada pasien gagal napas ec.
Mystenia gravis. Sekret dan status pasien bisa batuk merupakan parameter yang
penting. Selain itu keberhasilan terapi farmakologi juga berperan dalam ekstubasi.
Evaluasi nilai motorik dan pasien merasa kalau tanpa alat bantu napas. Pencegahan
terjadi infeksi sekunder post ekstubasi harus diperhatikan agar tidak terjadi
reintubasi

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Ropper AH, Brown, Robert H. ,. Adam And Victor's Principles of


Neurology. In: Myasthenia Gravis And Related Disorders Of The
Neuromuscular Junction 8 th ed. United State of America: McGraw-Hill
Medical Publishing Division; 2015. P. 1262-1271
2. Elaine N, Katja H Ch9 Motor Neurone Disease, Peripheral neuropathy,
Myasthenia Gravis and muscle disease, in Essential Neurology 4th Ed
United States of America: BlackWell Publishing 2017 P 343-369
3. Goday DA, Leonardo JV, Luca M. The mystenic patient in crisis : an update
of the management in Neurointensive Care Unit: Arq Neuropsiquiatr. 2013:
7: 627-39
4. Manno EM, Souter MJ. Ventilatory Management and Extubation Criteria
of the Neurological Patient. The Neurohospitalist. 2013:3: 39-45
5. Lemmitte BM, Garfiel MJ. Weaning from mechanical ventilation.
Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain of the British
Journal of Anasesthesia. 2005: 5: 113-7
6. Mani RK, Mishra V, Sarma U. Pitfaals in the ventilator management of
Myasthenia gravis, autonomic instability and anticholinesterase induce
airway resistance. MOJ Clinical Medical Case Reports. 2017: 6; 66-9.
7. Mehmet AT, Ethem MA, Tijen C. Prediction of extubation success in
Myasthenic Crisis using bedside functional residual capacity measurement:
A prospective feasibility study. Yogun Bakim Derg. 2012: 36-42.
8. Seneviratne J, Mandrekar J, Wijdicks M, et all. Prediction of extubation
failure in Mystenic crisis. American Medical Assosiation Arch Neurol.
2008: 929-33
9. Sangeeta M. Neuromuscular disease causing acute respiratory failure.
Respir Care. 2006; 51(9): 1016-21.
10. Souter MJ, Manno EM. Ventilatory management and extubation criteria of
the neurological patients. The Neurophospitalist. 2013; 3(1): 39-45

28
11. Ramesh VJ. Umamaheswara GS. Weaning from mechanical ventilation in
a neurological disease. American Society of Anesthesiologist. 2012; 97(2):
515-7
12. Koyama Y, Yoshida T, Uchiyama A. Monitoring diaphragm function in a
patient with myasthenia gravis: electrical activity of the diaphragm vs.
maximal inspiratory pressure. Journal of Intensive Care. 2017; 5(66): 1-5.
13. Chawla R, Varma V, Sharma R. Weaning in ICU Protocols. Springer
Dordrect Heidelberg. New York. 2012. 54-67
14. Wijdicks EF, Rabinstein AA. Neurocritical care In Weaning of the
Ventilator in Myasthenia Gravis. Oxford University Press Inc. New York.
2012: 134-7
15. Leonardo R. Invasive Mechanical Ventilation in Adults with
Neuromuscular Disease in Emergency and Intersive Care. Journal of
Intensive and Critical Care. 2015; 1(1): 1-4

29

Anda mungkin juga menyukai