668b587c76342a9edf3216874931f089
668b587c76342a9edf3216874931f089
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan mengenai tinjauan pustaka. Secara terperinci bab ini
terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian 2.1 menguraikan mengenai landasan
Sub bab ini membahas mengenai Theory of Reasoned Action dan Theory
teori tindakan beralasan pertama kali diperkenalkan oleh Ajzen and Fishbein
niat (intention). Niat merupakan prediktor terbaik perilaku, artinya jika ingin
selalu berdasarkan kehendak). Konsep penting dalam teori ini adalah fokus
15
16
(intetion) ditentukan oleh sikap dan norma subyektif (Ajzen and Fishbein, 1980).
Ajzen (1991) menyatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses
pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan dan dampaknya terbatas hanya pada tiga
hal; Pertama, perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum tapi oleh sikap yang
spesifik terhadap sesuatu. Kedua, perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tapi juga oleh
norma-norma subyektif (subjective norms) yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang
lain inginkan agar kita perbuat. Ketiga, sikap terhadap suatu perilaku bersama norma
subyektif membentuk suatu niat berperilaku tertentu. Teori tindakan beralasan diperluas dan
dimodifikasi oleh Ajzen (1991) dinamai Theory of Planned Behavior (Teori Perilaku
Terencana). Inti teori ini mencakup 3 hal yaitu; yaitu keyakinan tentang kemungkinan hasil
dan evaluasi dari perilaku tersebut (behavioral beliefs), keyakinan tentang norma yang
diharapkan dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normative beliefs), serta
keyakinan tentang adanya faktor yang dapat mendukung atau menghalangi perilaku dan
Jogiyanto (2007) berpendapat bahwa intensi atau niat merupakan fungsi dari dua
determinan dasar, yaitu sikap individu terhadap perilaku (merupakan aspek personal) dan
persepsi individu terhadap intervensi dari lingkungannya untuk melakukan atau untuk tidak
melakukan perilaku yang disebut dengan norma subyektif. Secara singkat, praktik atau
perilaku menurut Theory of Reasoned Action (TRA) dipengaruhi oleh niat, sedangkan niat
dipengaruhi oleh sikap dan norma subyektif. Sikap sendiri dipengaruhi oleh keyakinan akan
hasil dari tindakan yang telah lalu. Norma subyektif dipengaruhi oleh keyakinan akan
17
pendapat orang lain serta motivasi untuk menaati pendapat tersebut. Secara lebih sederhana,
teori ini mengatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia
memandang perbuatan itu positif dan bila ia percaya bahwa orang lain ingin agar ia
melakukannya.
Sikap koh ngomong, norma subyektif dan niat melakukan whistleblowing dalam
penelitian ini mengintepretasikan faktor sikap, norma subjektif dan niat seperti yang terdapat
mengintepretasikan persepsi kontrol perilaku atau perceived behavioral control seperti yang
Theory of Planned Behavior (TPB) atau yang lebih dikenal dengan teori perilaku
terencana merupakan pengembangan lebih lanjut dari Theory of Reasoned Action (TRA).
Dalam TRA dijelaskan bahwa niat seseorang terhadap perilaku dibentuk oleh dua faktor
utama yaitu attitude toward the behavior dan subjective norms (Ajzen & Fishbein, 1980).
Sedangkan dalam TPB ditambahkan satu faktor lagi, yaitu perceived behavioral control
(Ajzen, 1991).
Konsep ini diusulkan oleh Ajzen (1991) untuk memperbaiki kekuatan prediksi dari
Theory of Reasoned Action (TRA) dengan memasukkan kontrol perilaku persepsian atau
keterbatasan dari kekurangan sumber daya yang digunakan untuk melakukan perilakunya.
Dengan tambahan faktor ke tiga tersebut, Ajzen menamai ulang teorinya menjadi Theory of
Planned Behavior (TPB). Perceived behavioral control menunjuk suatu derajat dimana
18
seorang individu merasa bahwa terjadi atau tidaknya suatu perilaku yang dimaksud adalah
dibawah pengendaliannya. Orang cenderung tidak akan membentuk suatu intensi yang kuat
untuk menampilkan suatu perilaku tertentu jika ia percaya bahwa ia tidak memiliki sumber
atau kesempatan untuk melakukannya meskipun ia memiliki sikap yang positif dan ia
percaya bahwa orang-orang lain yang penting baginya akan menyetujuinya. Perceived
behavioral control dapat mempengaruhi perilaku secara langsung atau tidak langsung
melalui intensi. Theory of Planned Behavior dapat digambarkan melalui gambar 2.1:
determinan perilaku tertentu selain itu tujuan dan manfaat dari teori ini adalah untuk
Menurut Ajzen (1991), faktor sentral dari perilaku individu adalah bahwa perilaku
itu dipengaruhi oleh niat individu (behavior intention) terhadap perilaku tertentu tersebut.
Faktor utama dari suatu perilaku yang ditampilkan individu adalah niat individu tersebut
untuk menampilkan perilaku tertentu. Park & Blenkinsopp (2009), mengatakan bahwa niat
indikasi seberapa keras seseorang berusaha atau seberapa banyak usaha yang dilakukan
untuk menampilkan suatu perilaku. Jadi semakin keras niat seseorang untuk terlibat dalam
suatu perilaku, semakin besar kecenderungan orang tersebut untuk melakukan perilaku
tersebut (Buchan, 2005). Niat untuk berperilaku dipengaruhi oleh tiga komponen yaitu (1)
sikap terhadap perilaku (attitude toward the behaviour), (2) norma subyektif (subjective
oleh Ajzen (1991) membagi tiga komponen yang dapat mempengaruhi tindakan yang
kemungkinan akan terjadinya suatu sikap terhadap perilaku (attitude toward the behaviour).
Sikap terhadap perilaku (attitude toward behaviour) dalam hal ini mengacu pada sejauh
mana seseorang memiliki evaluasi menguntungkan atau tidak menguntungkan dari perilaku
yang ditampilkan. Menurut Kreshastuti (2014), sikap merupakan suatu kecenderungan untuk
mendekat atau menghindar, merespon positif atau negatif berbagai keadaan sosial. Individu
akan bertindak sesuai dengan sikap yang ada dalam dirinya terhadap suatu perilaku. Sikap
20
terhadap perilaku yang dianggap positif, nantinya akan dijadikan pilihan individu untuk
2) Norma subyektif.
Norma subyektif (subjective norm) adalah persepsi seseorang mengenai tekanan sosial
untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku (Ajzen & Fishbein, 1988). Norma subyektif
menilai sejauh mana seseorang memiliki motivasi untuk mengikuti pandangan orang
terhadap perilaku yang akan dilakukannya (normative belief). Kalau individu merasa itu
adalah hak pribadinya untuk menentukan apa yang akan dia lakukan, bukan ditentukan oleh
orang lain disekitarnya, maka dia akan mengabaikan pandangan orang tentang perilaku yang
akan dilakukannya. Norma subyektif ini mengacu pada keyakinan tentang apakah
kebanyakan orang menyetujui atau menolak perilaku. Hal ini terkait dengan keyakinan
seseorang tentang apakah rekan-rekan dan orang-orang yang penting bagi orang berpikir dia
(beliefs) bahwa individu pernah melaksanakan atau tidak pernah melaksanakan perilaku
tertentu, individu memiliki fasilitas dan waktu untuk melakukan perilaku itu, kemudian
individu melakukan estimasi atas kemampuan dirinya apakah dia punya kemampuan atau
tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan perilaku itu. Control beliefs, yaitu
keyakinan atas keberadaan hal-hal yang mendukung atau menghambat perilaku yang
ditampilkan dan persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal tersebut mendukung atau
menghambat perilakunya (perceived power). Hal yang mungkin menghambat saat perilaku
21
ditampilkan dapat berasal dari diri pribadi maupun dari eksternal, faktor lingkungan. Dalam
TRA, variabel ini belum ada, maka ditambahkan pada TPB, disebut dengan perceived
Sikap koh ngomong atau sungkan berbicara adalah manifestasi dari kaidah dasar kehidupan
masyarakat Bali. Bentuk perasaan ketidakenakan yang hampir menyerupai rasa enggan dan
malas. Adanya rasa tersebut menyebabkan seseorang akan merasa khawatir jika perilaku
atau ucapannya akan menyinggung atau membuat seseorang akan menjadi tersinggung
(Soeharjono, 2011). Sikap ini merupakan faktor personal seseorang yaitu adanya keyakinan
bahwa perilaku yang dipikirkannya memiliki dampak yang menguntungkan atau merugikan
dirinya. Kemudian, terjadi proses pertimbangan evaluasi atau penilaian konsekuensi yang
dihasilkan dari perilaku tersebut. Apabila penilaian tersebut positif, maka orang akan
cenderung memiliki intensi melakukan perilaku yang dipikirkannya (Suryono & Chariri,
2016).
TRA dan TPB. Individu yang percaya bahwa individu yang cukup berpengaruh terhadapnya
akan mendukung ia untuk melakukan tingkah laku maka hal ini akan menjadi tekanan sosial
bagi individu tersebut. Hal ini muncul berdasarkan persepsi terhadap sejauh mana
lingkungan sosial dalam organisasi cukup berpengaruh terhadap perilaku tertentu. Orang
cenderung akan mematuhi pendapat orang yang menjadi panutannya (Suryono & Chariri,
2016). Apabila yang dipersepsikan ialah panutannya akan melakukan perilaku yang
22
dipikirkan, maka orang tersebut memiliki intensi kuat untuk melakukan perilaku yang
dipikirkannya.
persepsian. Seorang individu tidak dapat mengontrol perilaku sepenuhnya dibawah kendali
individu tersebut atau dalam suatu kondisi dapat sebaliknya seorang individu dapat
yakin bahwa yang dilakukannya adalah hasil dari kontrol dirinya sendiri maka individu
Teori Perilaku Terencana atau TPB (Theory of Planned Behavior) didasarkan pada
asumsi bahwa manusia adalah makhluk yang rasional dan menggunakan informasi-
informasi yang mungkin baginya secara sistematis. Orang memikirkan implikasi dari
tindakan mereka sebelum mereka memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan
perilaku-perilaku tertentu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dengan semakin baik sikap dan
perilaku individu yang sejalan dengan persepsi etis yang dirasakan dalam menjalankan
profesinya, seperti menjalankan etika atau standar yang berlaku dalam profesi akuntansi,
satu dari tiga belas bentuk prosocial organizational behavior. Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Dozier and Miceli (1985) yang menyatakan bahwa tindakan whistleblowing dapat
dipandang sebagai perilaku prososial karena secara umum perilaku tersebut akan
memberikan manfaat bagi orang lain (atau organisasi) disamping juga bermanfaat bagi
anggota sebuah organisasi terhadap individu, kelompok, atau organisasi yang ditujukan
untuk meningkatkan kesejahteraan individu, kelompok, atau organisasi tersebut (Brief and
Motowidlo, 1986). Perilaku prososial bukanlah perilaku altruistik. Menurut Miceli and Near
(1985), perilaku prososial adalah perilaku sosial positif yang dimaksudkan untuk
memberikan manfaat pada orang lain. Namun tidak seperti altruisme, pelaku prososial juga
aspek yang berasal dari individu pelaku tindakan prososial seperti kemampuan individu
cara penalaran moral dan perasaan empati terhadap orang lain. Kedua, kontekstual
anteseden, merupakan aspek dari konteks organisasi dan lingkungan kerja seperti faktor
komitmen organisasi, dan hal-hal lain yang dapat memengaruhi suasana hati, rasa kepuasan
sebagai pengungkapan oleh mantan atau anggota organisasi atas suatu praktik-praktik ilegal,
tidak bermoral, atau tanpa legitimasi dibawah kendali pimpinan kepada individu atau
organisasi yang dapat menimbulkan efek tindakan perbaikan. Dengan demikian praktik atau
tindakan kecurangan dapat dilakukan oleh karyawan atau oleh manajemen perusahaan.
atau lebih dikenal dengan istilah whistleblower. Menurut PP No.71 Tahun 2000 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan
Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, whistleblower adalah orang yang memberi
suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana
korupsi.
Elias (2008) menyatakan bahwa terdapat dua jenis whistleblowing, yaitu internal
mencegah pengungkapan publik atas tindakan tidak etis dari organisasi. Pembalasan dendam
organisasi dapat berupa kehilangan pekerjaan, pencemaan nama baik dan isolasi dalam
25
bekerja. Tindakan ini dapat dikenakan oleh para manajer lini dengan atau tanpa
sepengetahuan eksekutif perusahaan. Keenan and Krueger (1992) menemukan bahwa hanya
53% dari survei terhadap eksekutif perusahaan yang memiliki keyakinan bahwa
penelitian yang dilakukan Kreshastuti (2014) mengungkapkan bahwa 89% dari pelapor
Istilah Sikap koh ngomong terdiri atas tiga suku kata, yakni; Sikap, Koh dan
Ngomong. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sikap didefinisikan sebagai perilaku,
gerak-gerik atau perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada pendirian dan keyakinan.
Menurut Nikmah (2014) Sikap merupakan suatu kecenderungan untuk mendekat atau
menghindar, merespon positif atau negatif terhadap berbagai keadaan sosial. Sikap terhadap
perilaku yang dianggap positif yang nantinya akan dijadikan pilihan seseorang untuk
Minor (2002) sikap merupakan afeksi atau perasaan terhadap sebuah rangsangan. Dari
beberapa penjelasan mengenai sikap, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah keadaan dalam
diri manusia yang dapat menggerakkan manusia tersebut untuk bertindak atau tidak
berperilaku, dimana sikap akan memunculkan niat seseorang untuk melakukan atau tidak
melakukan yang pada akhirnya manusia tersebut dapat memilih apakah akan berperilaku
26
atau tidak. Jadi, seseorang akan memiliki niat untuk berperilaku sesuai dengan sikapnya
Kata Koh yang dalam Bahasa Bali berarti sungkan. Istilah sungkan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan sebagai malas (mengerjakan sesuatu);
enggan melakukan sesuatu; merasa tidak enak hati; menaruh hormat; ada perasaan segan.
Istilah Ngomong yang juga berasal dari Bahasa Bali yang berarti berbicara atau tutur kata.
Sehingga dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Sikap koh ngomong merupakan
sikap yang mencerminkan tindak tanduk seseorang dalam konteks keengganan untuk
berbicara atau cenderung bersikap diam. Koh ngomong adalah salah satu bentuk bentuk
sikap yang menunjukaan perasaan ketidakenakan yang hampir menyerupai rasa sungkan
dalam hal mengungkapkan sesuatu, dengan adanya rasa tersebut maka seseorang akan
merasa khawatir jika perilaku atau ucapannya akan menyinggung atau membuat seseorang
Sikap koh ngomong dalam birokrasi pemerintahan, yaitu pola sikap enggan
bersuara di lingkungan birokrasi yang dilakukan oleh pegawai atau pejabat. Sikap ini dapat
terjadi karena seorang bawahan akan merasa segan atau sungkan menyatakan pendapatnya
yang mungkin bersifat bertentangan, demi menghindari konflik dan menjaga jalinan
hubungan baik dengan para atasan atau senior mereka yang dianggap lebih tinggi kedudukan
sosialnya (Fatmawati, 2016). Dyne, Ang, & Botero (2003) mendefinisikan sikap diam suatu
kekhawatiran mereka tentang potensi masalah organisasi. Mereka berpendapat bahwa dalam
sebuah organisasi dengan budaya diam yang sistematis, karyawan tidak mengekspresikan
27
gagasan mereka dan tidak berbicara kebenaran karena takut akan dampak negatif dan karena
keyakinan bahwa pendapat mereka tidak dihargai. Dyne et al. (2003) juga mengungkapkan
terdapat 3 (tiga) motif sikap diam karyawan (employee silence motive) antara lain
Secara umum orang Bali tumbuh dan besar dalam tradisi yang begitu menakuti
kritik. Sebisa mungkin jangan sampai ada kritik demi keharmonisan dan kestabilan
komunitas. Dalam tradisi kolot itu, kritik yang muncul harus diberangus, dan pencetus kritik
harus dipuikang (dimusuhi). Malasnya orang Bali berdebat juga tertuang dalam salah satu
ungkapan dalam sastra Bali, yaitu “merebut balung tanpa isi”, yang artinya
sesuatu yang tidak ada hasilnya. Hal ini bisa dilihat dalam pergaulan masyarakat Bali sehari-
hari. Orang Bali cenderung menghindari perdebatan. Mereka cenderung memilih diam dan
tidak merespon jika percakapan sudah mengarah pada perdebatan sehingga sikap koh
Sikap koh ngomong atau ”tutup mulut” atau “malas berbicara” ini sering kali
menjadi perlawanan orang-orang Bali terhadap kekuasaan yang mapan. Koh ngomong yang
sebenarnya diturunkan dari ajaran sekar alit “eda ngaden awak bisa, depang anake
ngadanin” yang berarti ”jangan mengira diri pintar, biarkan oraang lain yang menilai”.
Ajaran tersebut membuat penganutnya dilarang untuk takabur dan menganggap bahwa
dirinya yang paling hebat. Penganut ajaran ini akan cenderung memiliki sikap koh ngomong,
Brinsfield (2012) terkait dengan employee silence menyatakan bahwa sikap diam
tersebut dapat muncul akibat individu sudah mengenal atau banyak menerima suatu
kebaikan dari orang lain sehingga bagi individu itu akan sulit untuk menolak atau
mengabaikan permintaan orang tersebut, bahkan pendapat orang tersebut. Sikap koh
ngomong ini juga bisa muncul dikarenakan adanya faktor perbedaan usia. Koh ngomong
biasanya cenderung dihadapi orang yang lebih muda terhadap orang yang lebih tua. Ia
melakukan pengembangan terhadap penelitian yang dilakukan oleh Dyne et al., (2003), yang
mengungkapkan bahwa terdapat 4 (empat) motif sikap diam karyawan (employee silence
motive), yakni: self-protective silence, acquiescent silence, prosocial silence, dan deviant
silence.
Norma subyektif dalam Theory of Reasoned Action (TRA) dan Theory Of Planned
Behaviour (TPB) adalah sejauh mana seseorang memiliki motivasi untuk mengikuti
pandangan orang terhadap perilaku yang akan dilakukannya (Ajzen, 1991). Seseorang akan
memiliki keinginan terhadap suatu obyek atau perilaku seandainya ia terpengaruh oleh
yang menunjukkan adanya tekanan yang dipersepsikan untuk memutuskan atau tidak
tidak dianggap penting keputusan itu bisa gagal. Menurut Ajzen (1991), individu yang
29
berpikir bahwa ia harus melakukan suatu perilaku tertentu dan ia akan merasakan tekanan
bahwa ia harus melakukan perilaku tersebut. Sebaliknya, bila individu meyakini bahwa
tersebut, maka ia akan memiliki keyakinan untuk menolak melakukan perilaku tersebut.
yaitu kepercayaan tentang harapan yang dimiliki oleh individu yang melakukan perilaku
terhadap pandangan orang lain agar dapat menerima dan melakukan motivasi terhadap
perilaku yang ditunjukkan. Jadi, norma subyektif adalah persepsi seseorang tentang
pengaruh sosial dalam membentuk perilaku tertentu. Seseorang bisa terpengaruh atau tidak
pandangan pegawai terhadap risiko pembalasan atau balas dendam atau sanksi dari anggota
organisasi, yang dapat mengurangi minat pegawai untuk melaporkan wrongdoing. Anggota
organisasi yang dimaksud dapat saja berasal dari manajemen, atasan, rekan sejawat maupun
bawahan. Beberapa pembalasan dapat terjadi dalam bentuk tidak berwujud (intagible),
misalnya penilaian kinerja yang tidak seimbang, hambatan kenaikan gaji, pemutusan kontrak
satu alasan kekhawatiran seseorang akan adanya personal cost menyebabkan seseorang
memilih untuk diam. Mereka menyadari bahwa mereka memiliki kebutuhan akan rasa aman
silence). Kebutuhan akan rasa aman ini dapat berupa rasa aman dari ancaman fisik dan
emosional. Seseorang tidak ingin melaporkan dugaan pelanggaran karena mereka meyakini
bahwa laporan mereka tidak akan ditindak lanjuti, mereka akan mengalami retaliasi, atau
manajemen tidak akan melindungi mereka dari ancaman retaliasi, khususnya dalam jenis
adalah pembalasan dari orang-orang dalam organisasi yang menentang tindakan pelaporan.
Personal cost berkurang ketika bantuan dalam persiapan dan presentasi argumen kritis
tersedia dan diberikan perlindungan pembalasan. Sifat dan besarnya retaliasi atau sanksi
yang dikenakan oleh manajemen terhadap whistleblower merupakan faktor penentu yang
organisasional.
Personal cost bukan hanya dampak tindakan balas dendam dari pelaku kecurangan,
melainkan juga keputusan menjadi pelapor dianggap sebagai tindakan tidak etis, misalnya
melaporkan kecurangan atasan dianggap sebagai tindakan yang tidak etis karena menentang
personal cost of reporting, tanggung jawab untuk melapor, dan komitmen profesi terhadap
niat pelaporan pelanggaran oleh para auditor menyatakan bahwa pria dan wanita berbeda
31
2001).
Dyne et al. (2003) melakukan penelitian mengenai konseptualisasi sikap diam karyawan
penelitiannya menyajikan kerangka konseptual yang menunjukkan bahwa sikap diam karyawan
dan suara karyawan paling baik dikonsepkan sebagai konstruksi multidimensi terpisah.
Berdasarkan motifnya, Dyne et al. membedakan tiga motif sikap diam karyawan (acquiescent
silence, defensive silence, dan prosocial silence) dan tiga jenis pendapat karyawan (acquiescent
voice, defensive voice, dan prosocial voice). Berdasarkan perbedaan mendasar dalam isyarat
perilaku positif yang diberikan oleh karyawan yang diam dan karyawan yang mau bersuara,
dapat diprediksi bahwa sikap diam karyawan lebih ambigu daripada karyawan yang bersuara.
perilaku terencana. Penelitiannya dilakukan dengan mengumpulkan data dari petugas Kepolisian
Korea Selatan. Hasil dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa Theory of Planned Behavior
valid digunakan sebagai teori utama dalam menjelaskan niat melakukan whistleblowing.
pakewuh” terhadap efektivitas sistem pengendalian intern. Hasil dari penelitian ini diperoleh
hasil bahwa secara empirik budaya birokrasi “ewuh-pakewuh” menjadikan sistem pengendalian
intern tidak efektif, walaupun dalam situasi tertentu dapat memunculkan sikap asertif yang penuh
kehatihatian dari bawahan terhadap atasan (kondisional dan situasional). Terdapat hal yang perlu
32
digaris bawahi yaitu uncertainty avoidance (menghindari ketidakpastian) yang tinggi. Hal ini
dapat diartikan bahwa bawahan “menunggu petunjuk atasan” karena merasa atasan lebih berhak
untuk memutuskan suatu persoalan ketidakpastian atau persoalan ambiguitas. Dalam suatu pra-
Ahmad et al. (2012) melakukan penelitian mengenai Auditor internal dan niat
melakukan Internal whistleblowing. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui niat
whistleblowing internal oleh auditor internal terhadap pelanggaran yang terjadi dalam perusahaan
di Malaysia. Model yang dikembangkan untuk penelitian ini meliputi empat faktor yang dapat
mempengaruhi niat whistleblowing internal, yaitu: faktor organisasi, faktor individu, faktor
situasional dan faktor demografi. Hasil dari penelitian ini diperoleh temuan bahwa penelitian ini
tindakan, dan pemeriksaan faktor terkait dengan sikap diam karyawaan. Ia melakukan
pengembangan terhadap penelitian yang dilakukan oleh (Dyne et al., 2003), yang
mengungkapkan bahwa terdapat 4 (empat) motif sikap diam karyawan (employee silence
motive), yakni: self-protective silence, acquiescent silence, prosocial silence, dan deviant silence.
Hasilnya menunjukkan bahwa sikap diam karyawan bersifat merata, multi dimensi, dapat diukur
dengan andal, dan secara signifikan terkait dengan fenomena perilaku organisasi penting lainnya.
Aliyah (2015) meneliti tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi minat pegawai
dalam melakukan tindakan whistleblowing. Aliyah (2015) menguji pengaruh faktor sikap
33
terhadap whistleblowing, komitmen organisasi, personal cost, dan tingkat keseriusan kecurangan
terhadap minat whistleblowing pegawai tetap di lingkungan UNISNU Jepara. Hasil penelitian ini
personal cost, tingkat keseriusan kecurangan, dan tanggung jawab personal berpengaruh
terhadap minat pegawai dalam melakukan tindakan whistleblowing. Namun secara parsial, faktor
tanggung jawab personal tidak berpengaruh terhadap minat pegawai dalam melakukan tindakan
whistleblowing. Hanya faktor personal cost yang berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
Zakaria, Abd Razak, and Yusoff (2016) meneliti mengenai pengaruh sikap, norma
subyektif dan kontrol perilaku terhadap niat melakukaan whistleblowing internal dan eksternal.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada
petugas polisi di kantor polisi yang terletak di salah satu dari 14 negara bagian di Malaysia.
Mereka memilih polisi sebagai responden karena menganggap kebijakan disiplin polisi yang
ketat dan etika kerja yang mengharuskan setiap anggota polisi untuk mematuhi dan menjunjung
tinggi tindakan moral dan peraturan. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa Theory Planned of
Behavior diakui keberhasilannya dalam memprediksi dan menjelaskan perilaku niat dalam
whistleblowing. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa teori ini lebih efektif dalam
eksternal. Selain itu, temuan menunjukkan bahwa di antara tiga komponen, sikap dan norma
subyektif adalah faktor yang paling penting untuk dipertimbangkan untuk mendorong niat
34
whistleblowing internal. Di sisi lain, sikap dan persepsi kontrol perilaku yang ditemukan variabel
reporting yang memungkinan adanya ancaman yang menyebabkan seorang enggan untuk
menjadi whistleblower. Hasil dari penelitian Sonnier et al. (2016) menunjukkan bahwa
kemungkinan pelaporan meningkat secara signifikan ketika personal cost yang dikenakan
semakin rendah. Ketika whistleblower diperlukan untuk memberikan namanya ke hotline sudah
dan komponen perilaku terencana terhadap niat melakukan whistleblowing internal. Variabel
dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah niat melakukan whistleblowing, sedangkan
variabel independennya adalah komitmen profesional, pertimbangan etis, sikap, norma subyektif
dan kontrol perilaku. Hasil dari penelitian ini adalah komitmen profesional, pertimbangan etis,
sikap, dan persepsi kontrol perilaku terbukti tidak berpengaruh terhadap niat melakukan
whistleblowing internal. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi norma
subyektif yang mempengaruhi seseorang, maka semakin tinggi tingkat intensi atau niat
whistleblowing orang tersebut. Hal ini menunjukkan pentingnya dukungan dari orang-orang
sekitar khususnya teman dan keluarga dalam mengungkapkan kasus kecurangan yang terjadi.
Semakin tinggi adanya norma subyektif yang menuntut sesorang berperilaku etis
(whistleblowing), semakin tinggi pula niat orang untuk memenuhi tuntutan tersebut.
35
Parianti (2016) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi niat dan
perilaku whistleblowing mahasiswa akuntansi. Parianti (2016) menguji tentang pengaruh sikap,
norma subyektif, kontrol perilaku persepsian pada niat melakukan whistleblowing serta menguji
pengaruh kontrol perilaku persepsian dan niat melakukan whistleblowing pada perilaku
whistleblowing. Hasil dari penelitian ini menunjukkan sikap, norma subyektif serta kontrol
perilaku persepsian berpengaruh positif pada niat mahasiswa melakukan whistleblowing. Begitu
juga dengan kontrol perilaku dan niat melakukan whistleblowing berpengaruh positif terhadap
perilaku whistleblowing.
Saud (2016) meneliti mengenai pengaruh sikap dan persepsi kontrol perilaku terhadap
pemoderasi. Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan dapat disumpulkan bahwa faktor
individual, yaitu sikap dapat digunakan untuk menprediksi niat seseorang melakukan
whistleblowing internal dan persepsi dukungan organisasi yang dirasakan terbukti sebagai
sebagai variabel pemoderasi yang mem-perkuat pengaruh persepsi kontrol perilaku terhadap niat
whistleblowing internal-eksternal.
melakukan internal whistleblowing di sektor publik. Dalam penelitian ini diteliti pengaruh
budaya, sikap, kontrol perilaku tingkah laku, tanggung jawab pribadi terhadap pelaporan, dan
biaya pelaporan pribadi terhadap niat melakukan whistleblowing antar pegawai negeri di
Direktorat Jenderal Pajak dan dukungan organisasi sebagai variabel moderasi. Penelitian ini
terbagi dalam dua skenario: kasus korupsi yang kurang serius dan kasus korupsi yang serius.
36
Hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang beragam. Tampaknya tingkat pelanggaran bisa
mempengaruhi hasilnya.