Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan mengenai tinjauan pustaka. Secara terperinci bab ini

terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian 2.1 menguraikan mengenai landasan

teori dan bagian 2.2 menguraikan mengenai penelitian sebelumnya. Secara

terperinci bagian 2.1 menguraikan mengenai Theory of Reasoned Action

dan Theory Of Planned Behaviour, Niat melakukan whistleblowing, sikap koh

ngomong, norma subyektif serta personal cost of reporting. Bagian 2.2

menguraikan mengenai penelitian sebelumnya yang mendukung penelitian ini.

2.1 Landasan Teori

Sub bab ini membahas mengenai Theory of Reasoned Action dan Theory

Of Planned Behaviour, niat melakukan whistleblowing, sikap koh ngomong,

norma subyektif serta personal cost of reporting.

2.1.1 Theory of Reasoned Action dan Theory Of Planned Behaviour

Theory of Reasoned Action (TRA) atau yang lebih dikenal dengan

teori tindakan beralasan pertama kali diperkenalkan oleh Ajzen and Fishbein

(1980). Teori ini menghubungkan antara keyakinan (belief), sikap (attitude),

niat (intention). Niat merupakan prediktor terbaik perilaku, artinya jika ingin

mengetahui apa yang akan dilakukan seseorang, cara terbaik adalah

mengetahui niat orang tersebut. Namun, seseorang dapat membuat

pertimbangan berdasarkan alasan-alasan yang sama sekali berbeda (tidak

selalu berdasarkan kehendak). Konsep penting dalam teori ini adalah fokus

15
16

perhatian (salience), yaitu mempertimbangkan sesuatu yang dianggap penting. Niat

(intetion) ditentukan oleh sikap dan norma subyektif (Ajzen and Fishbein, 1980).

Ajzen (1991) menyatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses

pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan dan dampaknya terbatas hanya pada tiga

hal; Pertama, perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum tapi oleh sikap yang

spesifik terhadap sesuatu. Kedua, perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tapi juga oleh

norma-norma subyektif (subjective norms) yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang

lain inginkan agar kita perbuat. Ketiga, sikap terhadap suatu perilaku bersama norma

subyektif membentuk suatu niat berperilaku tertentu. Teori tindakan beralasan diperluas dan

dimodifikasi oleh Ajzen (1991) dinamai Theory of Planned Behavior (Teori Perilaku

Terencana). Inti teori ini mencakup 3 hal yaitu; yaitu keyakinan tentang kemungkinan hasil

dan evaluasi dari perilaku tersebut (behavioral beliefs), keyakinan tentang norma yang

diharapkan dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normative beliefs), serta

keyakinan tentang adanya faktor yang dapat mendukung atau menghalangi perilaku dan

kesadaran akan kekuatan faktor tersebut (control beliefs).

Jogiyanto (2007) berpendapat bahwa intensi atau niat merupakan fungsi dari dua

determinan dasar, yaitu sikap individu terhadap perilaku (merupakan aspek personal) dan

persepsi individu terhadap intervensi dari lingkungannya untuk melakukan atau untuk tidak

melakukan perilaku yang disebut dengan norma subyektif. Secara singkat, praktik atau

perilaku menurut Theory of Reasoned Action (TRA) dipengaruhi oleh niat, sedangkan niat

dipengaruhi oleh sikap dan norma subyektif. Sikap sendiri dipengaruhi oleh keyakinan akan

hasil dari tindakan yang telah lalu. Norma subyektif dipengaruhi oleh keyakinan akan
17

pendapat orang lain serta motivasi untuk menaati pendapat tersebut. Secara lebih sederhana,

teori ini mengatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia

memandang perbuatan itu positif dan bila ia percaya bahwa orang lain ingin agar ia

melakukannya.

Sikap koh ngomong, norma subyektif dan niat melakukan whistleblowing dalam

penelitian ini mengintepretasikan faktor sikap, norma subjektif dan niat seperti yang terdapat

dalam Theory of Reasoned Action (TRA). Sedangkan personal cost of reporting

mengintepretasikan persepsi kontrol perilaku atau perceived behavioral control seperti yang

terdapat dalam Theory of Planned Behavior (TPB).

Theory of Planned Behavior (TPB) atau yang lebih dikenal dengan teori perilaku

terencana merupakan pengembangan lebih lanjut dari Theory of Reasoned Action (TRA).

Dalam TRA dijelaskan bahwa niat seseorang terhadap perilaku dibentuk oleh dua faktor

utama yaitu attitude toward the behavior dan subjective norms (Ajzen & Fishbein, 1980).

Sedangkan dalam TPB ditambahkan satu faktor lagi, yaitu perceived behavioral control

(Ajzen, 1991).

Konsep ini diusulkan oleh Ajzen (1991) untuk memperbaiki kekuatan prediksi dari

Theory of Reasoned Action (TRA) dengan memasukkan kontrol perilaku persepsian atau

perceived behavioral control. Komponen ini ditambahkan di TPB untuk mengontrol

perilaku individual yang dibatasi oleh kekurangan-kekurangannya dan keterbatasan-

keterbatasan dari kekurangan sumber daya yang digunakan untuk melakukan perilakunya.

Dengan tambahan faktor ke tiga tersebut, Ajzen menamai ulang teorinya menjadi Theory of

Planned Behavior (TPB). Perceived behavioral control menunjuk suatu derajat dimana
18

seorang individu merasa bahwa terjadi atau tidaknya suatu perilaku yang dimaksud adalah

dibawah pengendaliannya. Orang cenderung tidak akan membentuk suatu intensi yang kuat

untuk menampilkan suatu perilaku tertentu jika ia percaya bahwa ia tidak memiliki sumber

atau kesempatan untuk melakukannya meskipun ia memiliki sikap yang positif dan ia

percaya bahwa orang-orang lain yang penting baginya akan menyetujuinya. Perceived

behavioral control dapat mempengaruhi perilaku secara langsung atau tidak langsung

melalui intensi. Theory of Planned Behavior dapat digambarkan melalui gambar 2.1:

TPB merupakan kerangka berpikir konseptual yang bertujuan untuk menjelaskan

determinan perilaku tertentu selain itu tujuan dan manfaat dari teori ini adalah untuk

meramalkan dan memahami pengaruh-pengaruh motivasi perilaku, baik kemauan individu

itu sendiri maupun bukan kemauan dari individu tersebut.

Gambar 2.1 Theory of Planned Behavior

Sumber: Ajzen (2005)


19

Menurut Ajzen (1991), faktor sentral dari perilaku individu adalah bahwa perilaku

itu dipengaruhi oleh niat individu (behavior intention) terhadap perilaku tertentu tersebut.

Faktor utama dari suatu perilaku yang ditampilkan individu adalah niat individu tersebut

untuk menampilkan perilaku tertentu. Park & Blenkinsopp (2009), mengatakan bahwa niat

diasumsikan sebagai faktor motivasional yang mempengaruhi perilaku. Niat merupakan

indikasi seberapa keras seseorang berusaha atau seberapa banyak usaha yang dilakukan

untuk menampilkan suatu perilaku. Jadi semakin keras niat seseorang untuk terlibat dalam

suatu perilaku, semakin besar kecenderungan orang tersebut untuk melakukan perilaku

tersebut (Buchan, 2005). Niat untuk berperilaku dipengaruhi oleh tiga komponen yaitu (1)

sikap terhadap perilaku (attitude toward the behaviour), (2) norma subyektif (subjective

norm) dan (3) persepsi kontrol keperilakuan (perceived behavior control).

Berikut adalah penjelasan Theory of Planned Behavior (TPB) yang dikembangkan

oleh Ajzen (1991) membagi tiga komponen yang dapat mempengaruhi tindakan yang

diambil oleh individu, yaitu:

1) Sikap Terhadap Perilaku

Behavioral belief atau keyakinan perilaku, yaitu kepercayaan-kepercayaan mengenai

kemungkinan akan terjadinya suatu sikap terhadap perilaku (attitude toward the behaviour).

Sikap terhadap perilaku (attitude toward behaviour) dalam hal ini mengacu pada sejauh

mana seseorang memiliki evaluasi menguntungkan atau tidak menguntungkan dari perilaku

yang ditampilkan. Menurut Kreshastuti (2014), sikap merupakan suatu kecenderungan untuk

mendekat atau menghindar, merespon positif atau negatif berbagai keadaan sosial. Individu

akan bertindak sesuai dengan sikap yang ada dalam dirinya terhadap suatu perilaku. Sikap
20

terhadap perilaku yang dianggap positif, nantinya akan dijadikan pilihan individu untuk

membimbingnya dalam berperilaku di kehidupannya.

2) Norma subyektif.

Norma subyektif (subjective norm) adalah persepsi seseorang mengenai tekanan sosial

untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku (Ajzen & Fishbein, 1988). Norma subyektif

menilai sejauh mana seseorang memiliki motivasi untuk mengikuti pandangan orang

terhadap perilaku yang akan dilakukannya (normative belief). Kalau individu merasa itu

adalah hak pribadinya untuk menentukan apa yang akan dia lakukan, bukan ditentukan oleh

orang lain disekitarnya, maka dia akan mengabaikan pandangan orang tentang perilaku yang

akan dilakukannya. Norma subyektif ini mengacu pada keyakinan tentang apakah

kebanyakan orang menyetujui atau menolak perilaku. Hal ini terkait dengan keyakinan

seseorang tentang apakah rekan-rekan dan orang-orang yang penting bagi orang berpikir dia

harus terlibat dalam perilaku.

3) Kontrol Perilaku Persepsian

Kontrol perilaku persepsian (perceived behavioral control) merupakan keyakinan

(beliefs) bahwa individu pernah melaksanakan atau tidak pernah melaksanakan perilaku

tertentu, individu memiliki fasilitas dan waktu untuk melakukan perilaku itu, kemudian

individu melakukan estimasi atas kemampuan dirinya apakah dia punya kemampuan atau

tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan perilaku itu. Control beliefs, yaitu

keyakinan atas keberadaan hal-hal yang mendukung atau menghambat perilaku yang

ditampilkan dan persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal tersebut mendukung atau

menghambat perilakunya (perceived power). Hal yang mungkin menghambat saat perilaku
21

ditampilkan dapat berasal dari diri pribadi maupun dari eksternal, faktor lingkungan. Dalam

TRA, variabel ini belum ada, maka ditambahkan pada TPB, disebut dengan perceived

behavioral control (kontrol perilaku persepsian).

Variabel sikap koh ngomong merepresentasikan komponen sikap terhadap perilaku.

Sikap koh ngomong atau sungkan berbicara adalah manifestasi dari kaidah dasar kehidupan

masyarakat Bali. Bentuk perasaan ketidakenakan yang hampir menyerupai rasa enggan dan

malas. Adanya rasa tersebut menyebabkan seseorang akan merasa khawatir jika perilaku

atau ucapannya akan menyinggung atau membuat seseorang akan menjadi tersinggung

(Soeharjono, 2011). Sikap ini merupakan faktor personal seseorang yaitu adanya keyakinan

bahwa perilaku yang dipikirkannya memiliki dampak yang menguntungkan atau merugikan

dirinya. Kemudian, terjadi proses pertimbangan evaluasi atau penilaian konsekuensi yang

dihasilkan dari perilaku tersebut. Apabila penilaian tersebut positif, maka orang akan

cenderung memiliki intensi melakukan perilaku yang dipikirkannya (Suryono & Chariri,

2016).

Variabel norma subyektif merepresentasikan komponen norma subyektif dalam

TRA dan TPB. Individu yang percaya bahwa individu yang cukup berpengaruh terhadapnya

akan mendukung ia untuk melakukan tingkah laku maka hal ini akan menjadi tekanan sosial

bagi individu tersebut. Hal ini muncul berdasarkan persepsi terhadap sejauh mana

lingkungan sosial dalam organisasi cukup berpengaruh terhadap perilaku tertentu. Orang

cenderung akan mematuhi pendapat orang yang menjadi panutannya (Suryono & Chariri,

2016). Apabila yang dipersepsikan ialah panutannya akan melakukan perilaku yang
22

dipikirkan, maka orang tersebut memiliki intensi kuat untuk melakukan perilaku yang

dipikirkannya.

Variabel personal cost of reporting merepresentasikan komponen kontrol perilaku

persepsian. Seorang individu tidak dapat mengontrol perilaku sepenuhnya dibawah kendali

individu tersebut atau dalam suatu kondisi dapat sebaliknya seorang individu dapat

mengontrol perilakunya dibawah kendali individu tersebut. Seseorang memiliki keyakinan

bahwa pertimbangan risiko/kerugian atas tindakannya dapat diterima di lingkungannya dan

yakin bahwa yang dilakukannya adalah hasil dari kontrol dirinya sendiri maka individu

tersebut akan memiliki niat untuk menunjukkan perilaku (Kreshastuti, 2014).

Teori Perilaku Terencana atau TPB (Theory of Planned Behavior) didasarkan pada

asumsi bahwa manusia adalah makhluk yang rasional dan menggunakan informasi-

informasi yang mungkin baginya secara sistematis. Orang memikirkan implikasi dari

tindakan mereka sebelum mereka memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan

perilaku-perilaku tertentu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dengan semakin baik sikap dan

perilaku individu yang sejalan dengan persepsi etis yang dirasakan dalam menjalankan

profesinya, seperti menjalankan etika atau standar yang berlaku dalam profesi akuntansi,

maka tindakan pelanggaran yang dapat terjadi akan semakin rendah

2.1.2 Niat Whistleblowing

Prosocial behavior theory menjadi teori yang mendukung terjadinya

whistleblowing. Brief and Motowidlo (1986) menyebutkan whistleblowing sebagai salah


23

satu dari tiga belas bentuk prosocial organizational behavior. Hal tersebut sejalan dengan

pendapat Dozier and Miceli (1985) yang menyatakan bahwa tindakan whistleblowing dapat

dipandang sebagai perilaku prososial karena secara umum perilaku tersebut akan

memberikan manfaat bagi orang lain (atau organisasi) disamping juga bermanfaat bagi

whistleblower itu sendiri.

Prosocial Behavior Theory merupakan suatu perilaku/tindakan yang dilakukan oleh

anggota sebuah organisasi terhadap individu, kelompok, atau organisasi yang ditujukan

untuk meningkatkan kesejahteraan individu, kelompok, atau organisasi tersebut (Brief and

Motowidlo, 1986). Perilaku prososial bukanlah perilaku altruistik. Menurut Miceli and Near

(1985), perilaku prososial adalah perilaku sosial positif yang dimaksudkan untuk

memberikan manfaat pada orang lain. Namun tidak seperti altruisme, pelaku prososial juga

dapat memiliki maksud untuk mendapatkan manfaat/keuntungan untuk dirinya juga.

Prosocial behavior theory memiliki beberapa variabel anteseden yang

dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar. Pertama, individual anteseden, merupakan

aspek yang berasal dari individu pelaku tindakan prososial seperti kemampuan individu

menginternalisasi standar keadilan, tanggung jawab individu terhadap lingkungan sosial,

cara penalaran moral dan perasaan empati terhadap orang lain. Kedua, kontekstual

anteseden, merupakan aspek dari konteks organisasi dan lingkungan kerja seperti faktor

norma, kohesivitas kelompok, panutan, gaya kepemimpinan, iklim organisasi, tekanan,

komitmen organisasi, dan hal-hal lain yang dapat memengaruhi suasana hati, rasa kepuasan

atau ketidakpuasan (Brief and Motowidlo, 1986).


24

Miceli, Near, and Graham (2008) mendefinisikan niat melakukan whistleblowing

sebagai pengungkapan oleh mantan atau anggota organisasi atas suatu praktik-praktik ilegal,

tidak bermoral, atau tanpa legitimasi dibawah kendali pimpinan kepada individu atau

organisasi yang dapat menimbulkan efek tindakan perbaikan. Dengan demikian praktik atau

tindakan kecurangan dapat dilakukan oleh karyawan atau oleh manajemen perusahaan.

Sedangkan pelapor kecurangan, umumnya lebih sering dilakukan oleh bawahan/karyawan

atau lebih dikenal dengan istilah whistleblower. Menurut PP No.71 Tahun 2000 tentang Tata

Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan

Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, whistleblower adalah orang yang memberi

suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana

korupsi.

Elias (2008) menyatakan bahwa terdapat dua jenis whistleblowing, yaitu internal

whistleblowing dan eksternal whistleblowing. Internal whistleblowing terjadi ketika seorang

karyawan mengetahui kecurangan yang dilakukan karyawan lainnya kemudian melaporkan

kecurangan tersebut kepada atasannya. External whistleblowing terjadi ketika seorang

karyawan mengetahui kecurangan yang dilakukan perusahaan lalu memberitahukannya

kepada masyarakat karena kecurangan itu akan merugikan masyarakat.

Pengungkapan pelanggaran pada umumnya menimbulkan konsekuensi yang tidak

dinginkan oleh para pengungkap pelanggaran. Elias (2008) mengungkapkan bahwa

organisasi mengancam akan membalas dendam pada pengungkap pelanggaran untuk

mencegah pengungkapan publik atas tindakan tidak etis dari organisasi. Pembalasan dendam

organisasi dapat berupa kehilangan pekerjaan, pencemaan nama baik dan isolasi dalam
25

bekerja. Tindakan ini dapat dikenakan oleh para manajer lini dengan atau tanpa

sepengetahuan eksekutif perusahaan. Keenan and Krueger (1992) menemukan bahwa hanya

53% dari survei terhadap eksekutif perusahaan yang memiliki keyakinan bahwa

perusahaannya melindungi whistleblower dari ancaman balas dendam. Sedangkan dalam

penelitian yang dilakukan Kreshastuti (2014) mengungkapkan bahwa 89% dari pelapor

pelanggaran akan mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan di sektor publik.

2.1.3 Sikap Koh Ngomong

Istilah Sikap koh ngomong terdiri atas tiga suku kata, yakni; Sikap, Koh dan

Ngomong. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sikap didefinisikan sebagai perilaku,

gerak-gerik atau perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada pendirian dan keyakinan.

Menurut Nikmah (2014) Sikap merupakan suatu kecenderungan untuk mendekat atau

menghindar, merespon positif atau negatif terhadap berbagai keadaan sosial. Sikap terhadap

perilaku yang dianggap positif yang nantinya akan dijadikan pilihan seseorang untuk

membimbingnya dalam berperilaku di dalam kehidupan. Sedangkan menurut Mowen and

Minor (2002) sikap merupakan afeksi atau perasaan terhadap sebuah rangsangan. Dari

beberapa penjelasan mengenai sikap, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah keadaan dalam

diri manusia yang dapat menggerakkan manusia tersebut untuk bertindak atau tidak

bertindak. Sikap bukanlah perilaku namun sikap merupakan kecenderungan untuk

berperilaku, dimana sikap akan memunculkan niat seseorang untuk melakukan atau tidak

melakukan yang pada akhirnya manusia tersebut dapat memilih apakah akan berperilaku
26

atau tidak. Jadi, seseorang akan memiliki niat untuk berperilaku sesuai dengan sikapnya

terhadap suatu perilaku tersebut.

Kata Koh yang dalam Bahasa Bali berarti sungkan. Istilah sungkan dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan sebagai malas (mengerjakan sesuatu);

enggan melakukan sesuatu; merasa tidak enak hati; menaruh hormat; ada perasaan segan.

Istilah Ngomong yang juga berasal dari Bahasa Bali yang berarti berbicara atau tutur kata.

Sehingga dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Sikap koh ngomong merupakan

sikap yang mencerminkan tindak tanduk seseorang dalam konteks keengganan untuk

berbicara atau cenderung bersikap diam. Koh ngomong adalah salah satu bentuk bentuk

sikap yang menunjukaan perasaan ketidakenakan yang hampir menyerupai rasa sungkan

dalam hal mengungkapkan sesuatu, dengan adanya rasa tersebut maka seseorang akan

merasa khawatir jika perilaku atau ucapannya akan menyinggung atau membuat seseorang

akan menjadi tersinggung.

Sikap koh ngomong dalam birokrasi pemerintahan, yaitu pola sikap enggan

bersuara di lingkungan birokrasi yang dilakukan oleh pegawai atau pejabat. Sikap ini dapat

terjadi karena seorang bawahan akan merasa segan atau sungkan menyatakan pendapatnya

yang mungkin bersifat bertentangan, demi menghindari konflik dan menjaga jalinan

hubungan baik dengan para atasan atau senior mereka yang dianggap lebih tinggi kedudukan

sosialnya (Fatmawati, 2016). Dyne, Ang, & Botero (2003) mendefinisikan sikap diam suatu

organisasi sebagai fenomena kolektif dimana karyawan menahan pendapat dan

kekhawatiran mereka tentang potensi masalah organisasi. Mereka berpendapat bahwa dalam

sebuah organisasi dengan budaya diam yang sistematis, karyawan tidak mengekspresikan
27

gagasan mereka dan tidak berbicara kebenaran karena takut akan dampak negatif dan karena

keyakinan bahwa pendapat mereka tidak dihargai. Dyne et al. (2003) juga mengungkapkan

terdapat 3 (tiga) motif sikap diam karyawan (employee silence motive) antara lain

acquiescent silence, defensive silence, dan prosocial silence.

Secara umum orang Bali tumbuh dan besar dalam tradisi yang begitu menakuti

kritik. Sebisa mungkin jangan sampai ada kritik demi keharmonisan dan kestabilan

komunitas. Dalam tradisi kolot itu, kritik yang muncul harus diberangus, dan pencetus kritik

harus dipuikang (dimusuhi). Malasnya orang Bali berdebat juga tertuang dalam salah satu

ungkapan dalam sastra Bali, yaitu “merebut balung tanpa isi”, yang artinya

:”memperebutkan tulang tanpa isi” atau interpretasinya berarti : sia-sia memperdebatkan

sesuatu yang tidak ada hasilnya. Hal ini bisa dilihat dalam pergaulan masyarakat Bali sehari-

hari. Orang Bali cenderung menghindari perdebatan. Mereka cenderung memilih diam dan

tidak merespon jika percakapan sudah mengarah pada perdebatan sehingga sikap koh

ngomong ini semakin berkembang di Bali.

Sikap koh ngomong atau ”tutup mulut” atau “malas berbicara” ini sering kali

menjadi perlawanan orang-orang Bali terhadap kekuasaan yang mapan. Koh ngomong yang

sebenarnya diturunkan dari ajaran sekar alit “eda ngaden awak bisa, depang anake

ngadanin” yang berarti ”jangan mengira diri pintar, biarkan oraang lain yang menilai”.

Ajaran tersebut membuat penganutnya dilarang untuk takabur dan menganggap bahwa

dirinya yang paling hebat. Penganut ajaran ini akan cenderung memiliki sikap koh ngomong,

karena meyakini bahwa diam adalah emas (silent is gold).


28

Brinsfield (2012) terkait dengan employee silence menyatakan bahwa sikap diam

tersebut dapat muncul akibat individu sudah mengenal atau banyak menerima suatu

kebaikan dari orang lain sehingga bagi individu itu akan sulit untuk menolak atau

mengabaikan permintaan orang tersebut, bahkan pendapat orang tersebut. Sikap koh

ngomong ini juga bisa muncul dikarenakan adanya faktor perbedaan usia. Koh ngomong

biasanya cenderung dihadapi orang yang lebih muda terhadap orang yang lebih tua. Ia

melakukan pengembangan terhadap penelitian yang dilakukan oleh Dyne et al., (2003), yang

mengungkapkan bahwa terdapat 4 (empat) motif sikap diam karyawan (employee silence

motive), yakni: self-protective silence, acquiescent silence, prosocial silence, dan deviant

silence.

2.1.4 Norma Subyektif

Norma subyektif dalam Theory of Reasoned Action (TRA) dan Theory Of Planned

Behaviour (TPB) adalah sejauh mana seseorang memiliki motivasi untuk mengikuti

pandangan orang terhadap perilaku yang akan dilakukannya (Ajzen, 1991). Seseorang akan

memiliki keinginan terhadap suatu obyek atau perilaku seandainya ia terpengaruh oleh

orang-orang di sekitarnya untuk melakukannya atau ia meyakini bahwa lingkungan atau

orang-orang disekitarnya mendukung terhadap apa yang ia lakukan.

Dharmmesta (1998) mengemukakan norma subyektif diartikan sebagai faktor sosial

yang menunjukkan adanya tekanan yang dipersepsikan untuk memutuskan atau tidak

memutuskan walaupun keputusan sendiri menguntungkan jika pertimbangan orang lain

tidak dianggap penting keputusan itu bisa gagal. Menurut Ajzen (1991), individu yang
29

meyakini bahwa sebagian besar orang-orang yang berpengaruh dalam kehidupannya

berpikir bahwa ia harus melakukan suatu perilaku tertentu dan ia akan merasakan tekanan

bahwa ia harus melakukan perilaku tersebut. Sebaliknya, bila individu meyakini bahwa

sebagian besar orang-orang yang memengaruhi tidak mendukungnya melakukan perilaku

tersebut, maka ia akan memiliki keyakinan untuk menolak melakukan perilaku tersebut.

Di dalam Theory of Reasoned Action (TRA) dan Theory of Planned Behavior,

norma subyektif dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan normatif (normative beliefs),

yaitu kepercayaan tentang harapan yang dimiliki oleh individu yang melakukan perilaku

terhadap pandangan orang lain agar dapat menerima dan melakukan motivasi terhadap

perilaku yang ditunjukkan. Jadi, norma subyektif adalah persepsi seseorang tentang

pengaruh sosial dalam membentuk perilaku tertentu. Seseorang bisa terpengaruh atau tidak

terpengaruh oleh lingkungan sosial.

2.1.5 Personal Cost of Reporting

Schultz et al. (1993) menyatakan bahwa personal cost of reporting adalah

pandangan pegawai terhadap risiko pembalasan atau balas dendam atau sanksi dari anggota

organisasi, yang dapat mengurangi minat pegawai untuk melaporkan wrongdoing. Anggota

organisasi yang dimaksud dapat saja berasal dari manajemen, atasan, rekan sejawat maupun

bawahan. Beberapa pembalasan dapat terjadi dalam bentuk tidak berwujud (intagible),

misalnya penilaian kinerja yang tidak seimbang, hambatan kenaikan gaji, pemutusan kontrak

kerja, atau dipindahkan ke posisi yang tidak diinginkan (Rodiyah, 2015).


30

Terkait dengan personal cost of repoting, Brinsfield (2012) mengungkapkan salah

satu alasan kekhawatiran seseorang akan adanya personal cost menyebabkan seseorang

memilih untuk diam. Mereka menyadari bahwa mereka memiliki kebutuhan akan rasa aman

sehingga seseorang akan berusahan untuk melindungin dirinya sendiri (Self-protective

silence). Kebutuhan akan rasa aman ini dapat berupa rasa aman dari ancaman fisik dan

emosional. Seseorang tidak ingin melaporkan dugaan pelanggaran karena mereka meyakini

bahwa laporan mereka tidak akan ditindak lanjuti, mereka akan mengalami retaliasi, atau

manajemen tidak akan melindungi mereka dari ancaman retaliasi, khususnya dalam jenis

pelanggaran yang melibatkan para manajer (McMillan et al., 2008).

Zhuang (2003) mengemukakan bahwa personal cost yang paling dipertimbangkan

adalah pembalasan dari orang-orang dalam organisasi yang menentang tindakan pelaporan.

Personal cost berkurang ketika bantuan dalam persiapan dan presentasi argumen kritis

tersedia dan diberikan perlindungan pembalasan. Sifat dan besarnya retaliasi atau sanksi

yang dikenakan oleh manajemen terhadap whistleblower merupakan faktor penentu yang

paling signifikan bagi keputusan whistleblower dalam mengkomunikasikan pelanggaran

organisasional.

Personal cost bukan hanya dampak tindakan balas dendam dari pelaku kecurangan,

melainkan juga keputusan menjadi pelapor dianggap sebagai tindakan tidak etis, misalnya

melaporkan kecurangan atasan dianggap sebagai tindakan yang tidak etis karena menentang

atasan (Bagustianto dan Nurkholis, 2015). Pengaruh persepsi keseriusan pelanggaran,

personal cost of reporting, tanggung jawab untuk melapor, dan komitmen profesi terhadap

niat pelaporan pelanggaran oleh para auditor menyatakan bahwa pria dan wanita berbeda
31

dalam mempertimbangkan niat untuk melakukan whistleblowing (Kaplan and Whitecotton,

2001).

2.2 Penelitian Sebelumnya

Dyne et al. (2003) melakukan penelitian mengenai konseptualisasi sikap diam karyawan

(employee silence) dan pendapat karyawan sebagai konstruksi multidimensional. Hasil

penelitiannya menyajikan kerangka konseptual yang menunjukkan bahwa sikap diam karyawan

dan suara karyawan paling baik dikonsepkan sebagai konstruksi multidimensi terpisah.

Berdasarkan motifnya, Dyne et al. membedakan tiga motif sikap diam karyawan (acquiescent

silence, defensive silence, dan prosocial silence) dan tiga jenis pendapat karyawan (acquiescent

voice, defensive voice, dan prosocial voice). Berdasarkan perbedaan mendasar dalam isyarat

perilaku positif yang diberikan oleh karyawan yang diam dan karyawan yang mau bersuara,

dapat diprediksi bahwa sikap diam karyawan lebih ambigu daripada karyawan yang bersuara.

Park & Blenkinsopp (2009) melakukan penelitian mengenai whistleblowing sebagai

perilaku terencana. Penelitiannya dilakukan dengan mengumpulkan data dari petugas Kepolisian

Korea Selatan. Hasil dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa Theory of Planned Behavior

valid digunakan sebagai teori utama dalam menjelaskan niat melakukan whistleblowing.

Soeharjono (2011) melakukan penelitian mengenai pengaruh budaya birokrasi “ewuh-

pakewuh” terhadap efektivitas sistem pengendalian intern. Hasil dari penelitian ini diperoleh

hasil bahwa secara empirik budaya birokrasi “ewuh-pakewuh” menjadikan sistem pengendalian

intern tidak efektif, walaupun dalam situasi tertentu dapat memunculkan sikap asertif yang penuh

kehatihatian dari bawahan terhadap atasan (kondisional dan situasional). Terdapat hal yang perlu
32

digaris bawahi yaitu uncertainty avoidance (menghindari ketidakpastian) yang tinggi. Hal ini

dapat diartikan bahwa bawahan “menunggu petunjuk atasan” karena merasa atasan lebih berhak

untuk memutuskan suatu persoalan ketidakpastian atau persoalan ambiguitas. Dalam suatu pra-

kondisi bawahan “menunggu petunjuk atasan” tersebut, atasan mengembangkan kebijakan

mendorong sikap blaka (berbicara terus terang) dari bawahannya.

Ahmad et al. (2012) melakukan penelitian mengenai Auditor internal dan niat

melakukan Internal whistleblowing. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui niat

whistleblowing internal oleh auditor internal terhadap pelanggaran yang terjadi dalam perusahaan

di Malaysia. Model yang dikembangkan untuk penelitian ini meliputi empat faktor yang dapat

mempengaruhi niat whistleblowing internal, yaitu: faktor organisasi, faktor individu, faktor

situasional dan faktor demografi. Hasil dari penelitian ini diperoleh temuan bahwa penelitian ini

berhasil mengkonfirmasi penelitian sebelumnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa anggota

organisasi memiliki reaksi yang berbeda untuk berbagai jenis kesalahan.

Brinsfield (2012) melakukan penelitian mengenai investigasi dimensi, pengembangan

tindakan, dan pemeriksaan faktor terkait dengan sikap diam karyawaan. Ia melakukan

pengembangan terhadap penelitian yang dilakukan oleh (Dyne et al., 2003), yang

mengungkapkan bahwa terdapat 4 (empat) motif sikap diam karyawan (employee silence

motive), yakni: self-protective silence, acquiescent silence, prosocial silence, dan deviant silence.

Hasilnya menunjukkan bahwa sikap diam karyawan bersifat merata, multi dimensi, dapat diukur

dengan andal, dan secara signifikan terkait dengan fenomena perilaku organisasi penting lainnya.

Aliyah (2015) meneliti tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi minat pegawai

dalam melakukan tindakan whistleblowing. Aliyah (2015) menguji pengaruh faktor sikap
33

terhadap whistleblowing, komitmen organisasi, personal cost, dan tingkat keseriusan kecurangan

terhadap minat whistleblowing pegawai tetap di lingkungan UNISNU Jepara. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa secara simultan sikap terhadap whistleblowing, komitmen organisasi,

personal cost, tingkat keseriusan kecurangan, dan tanggung jawab personal berpengaruh

terhadap minat pegawai dalam melakukan tindakan whistleblowing. Namun secara parsial, faktor

sikap terhadap whistleblowing, komitmen organisasi, tingkat keseriusan kecurangan, dan

tanggung jawab personal tidak berpengaruh terhadap minat pegawai dalam melakukan tindakan

whistleblowing. Hanya faktor personal cost yang berpengaruh negatif dan signifikan terhadap

niat pegawai dalam melakukan tindakan whistleblowing.

Zakaria, Abd Razak, and Yusoff (2016) meneliti mengenai pengaruh sikap, norma

subyektif dan kontrol perilaku terhadap niat melakukaan whistleblowing internal dan eksternal.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada

petugas polisi di kantor polisi yang terletak di salah satu dari 14 negara bagian di Malaysia.

Mereka memilih polisi sebagai responden karena menganggap kebijakan disiplin polisi yang

ketat dan etika kerja yang mengharuskan setiap anggota polisi untuk mematuhi dan menjunjung

tinggi tindakan moral dan peraturan. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa Theory Planned of

Behavior diakui keberhasilannya dalam memprediksi dan menjelaskan perilaku niat dalam

berbagai konteks termasuk memahami faktor-faktor yang berkontribusi terhadap niat

whistleblowing. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa teori ini lebih efektif dalam

menjelaskan niat melakukan whistleblowing internal daripada niat melakukan whistleblowing

eksternal. Selain itu, temuan menunjukkan bahwa di antara tiga komponen, sikap dan norma

subyektif adalah faktor yang paling penting untuk dipertimbangkan untuk mendorong niat
34

whistleblowing internal. Di sisi lain, sikap dan persepsi kontrol perilaku yang ditemukan variabel

anteseden yang signifikan untuk niat whistleblowing eksternal.

Penelitian Sonnier et al. (2016) meneliti mengenai whistleblowing, personal cost of

reporting yang memungkinan adanya ancaman yang menyebabkan seorang enggan untuk

menjadi whistleblower. Hasil dari penelitian Sonnier et al. (2016) menunjukkan bahwa

kemungkinan pelaporan meningkat secara signifikan ketika personal cost yang dikenakan

semakin rendah. Ketika whistleblower diperlukan untuk memberikan namanya ke hotline sudah

selayaknya whistleblower tersebut diberikan hak istimewa dalam hal pembuktian.

Purwantini (2016) meneliti tentang pengaruh komitmen profesional, pertimbangan etis,

dan komponen perilaku terencana terhadap niat melakukan whistleblowing internal. Variabel

dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah niat melakukan whistleblowing, sedangkan

variabel independennya adalah komitmen profesional, pertimbangan etis, sikap, norma subyektif

dan kontrol perilaku. Hasil dari penelitian ini adalah komitmen profesional, pertimbangan etis,

sikap, dan persepsi kontrol perilaku terbukti tidak berpengaruh terhadap niat melakukan

whistleblowing internal, sedangkan norma subyektif berpengaruh terhadap niat melakukan

whistleblowing internal. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi norma

subyektif yang mempengaruhi seseorang, maka semakin tinggi tingkat intensi atau niat

whistleblowing orang tersebut. Hal ini menunjukkan pentingnya dukungan dari orang-orang

sekitar khususnya teman dan keluarga dalam mengungkapkan kasus kecurangan yang terjadi.

Semakin tinggi adanya norma subyektif yang menuntut sesorang berperilaku etis

(whistleblowing), semakin tinggi pula niat orang untuk memenuhi tuntutan tersebut.
35

Parianti (2016) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi niat dan

perilaku whistleblowing mahasiswa akuntansi. Parianti (2016) menguji tentang pengaruh sikap,

norma subyektif, kontrol perilaku persepsian pada niat melakukan whistleblowing serta menguji

pengaruh kontrol perilaku persepsian dan niat melakukan whistleblowing pada perilaku

whistleblowing. Hasil dari penelitian ini menunjukkan sikap, norma subyektif serta kontrol

perilaku persepsian berpengaruh positif pada niat mahasiswa melakukan whistleblowing. Begitu

juga dengan kontrol perilaku dan niat melakukan whistleblowing berpengaruh positif terhadap

perilaku whistleblowing.

Saud (2016) meneliti mengenai pengaruh sikap dan persepsi kontrol perilaku terhadap

niat whistleblowing internal-eksternal dengan persepsi dukungan organisasi sebagai variabel

pemoderasi. Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan dapat disumpulkan bahwa faktor

individual, yaitu sikap dapat digunakan untuk menprediksi niat seseorang melakukan

whistleblowing internal dan persepsi dukungan organisasi yang dirasakan terbukti sebagai

sebagai variabel pemoderasi yang mem-perkuat pengaruh persepsi kontrol perilaku terhadap niat

whistleblowing internal-eksternal.

Kuncara, et al., (2017) meneliti mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi niat

melakukan internal whistleblowing di sektor publik. Dalam penelitian ini diteliti pengaruh

budaya, sikap, kontrol perilaku tingkah laku, tanggung jawab pribadi terhadap pelaporan, dan

biaya pelaporan pribadi terhadap niat melakukan whistleblowing antar pegawai negeri di

Direktorat Jenderal Pajak dan dukungan organisasi sebagai variabel moderasi. Penelitian ini

terbagi dalam dua skenario: kasus korupsi yang kurang serius dan kasus korupsi yang serius.
36

Hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang beragam. Tampaknya tingkat pelanggaran bisa

mempengaruhi hasilnya.

Anda mungkin juga menyukai