Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

PENGARUH Trichoderma harzianum Rifai. TERHADAP


INTENSITAS SERANGAN PENYAKIT BERCAK DAUN
(Cercospora coffeicola) PADA TANAMAN KOPI ARABICA
(Coffea arabica L.)

Kelompok 5 :

Ahmad Harun Arrasyid (41035003161012)


Sapinah (41035003161008)
Ivan Prajusen Lisyatra (41035003151001)

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA
BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat tuhan yang maha esa karena berkat rahmat dan karunia-
nya lah saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Saya
menyadari bahwa tugas ini masih banyak kekurangan-kekurangan karena
keterbatasan pengetahuan, oleh karena itu saya sangat mengharapkan bimbingan
atau saran-saran dari pembaca untuk menyempurnakan tugas ini.
Berkaitan dengan tugas ini saya banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak yang diterima oleh saya baik secara langsung maupun tidak
langsung. Tidak lupa pula saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu saya dalam pembuatan tugas makalah ini.
Akhirnya saya mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Bandung, 04 Januari 2020


Penyusun;

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang.......................................................................................... 1

1.2. Identifikasi Masalah ................................................................................. 7

1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 8

1.4. Kegunaan Penelitian ................................................................................. 8

1.5. Kerangka Pemikiran ................................................................................. 8

1.6. Hipotesis ................................................................................................. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 11

2.1. Fungsi Kawasan Hutan ........................................................................... 11

2.1.1. Alih fungsi Hutan .................................................................................... 12

2.2. Tanaman Kopi ........................................................................................ 13

2.2.1. Klasifikasi Kopi ...................................................................................... 13

2.2.2. Morfologi Kopi ....................................................................................... 13

2.2.3. Syarat Tumbuh Kopi ............................................................................... 15

2.2.4. Budidaya Kopi ........................................................................................ 16

2.3. Hama Penyakit Kopi Arabika ................................................................. 17

2.3.1 Hama ....................................................................................................... 17

2.3.2 Penyakit................................................................................................... 20

2.4. Bercak Daun Kopi .................................................................................. 22

2.4.1 Klasifikasi Penyakit Bercak Daun Kopi menurut To-Anun, dkk 2011 ... 22

2.4.2 Siklus Hidup............................................................................................ 22

2.5. Trichoderma harzianum ......................................................................... 23

ii
2.5.1. Klasifikasi Trichoderma harzianum ....................................................... 23

2.5.2. Morfologi Trichoderma harzianum ........................................................ 24

2.5.3. Manfaat Trichoderma harzianum ........................................................... 24

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN ............................................... 26

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 26

3.2. Alat dan Bahan ....................................................................................... 26

3.3. Metode Penelitian ................................................................................... 26

3.4. Pelaksanaan Penelitian ........................................................................... 28

3.4.1. Uji Pendahuluan ...................................................................................... 28

3.4.2. Hasil uji pendahuluan ............................................................................. 29

3.5. Pengamatan............................................................................................. 29

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 31

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Hutan lindung Indonesia mempunyai fungsi penting dalam menjaga
ekosistem dan biodiversiti dunia. Sebagai negara dengan luas hutan terbesar
ketiga setelah Brasil dan Zaire, fungsi hutan Indonesia dalam melindungi
ekosistem lokal, nasional, regional dan global sudah diakui secara luas.
Berdasarkan peraturan perundangan yang ada, diantaranya Undang-Undang No.
41/1999 pasal 1, dalam Ginoga (2005) hutan lindung didefinisikan sebagai
kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan
erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah.
Kawasan lindung di Jawa Barat tersebar di seluruh kabupaten/kota dengan
luas yang sesuai dengan kondisi dan karakteristik wilayahnya, wilayah yang
terluas berada di Kabupaten Garut, sehingga Perda Propinsi Jawa Barat Nomor 2
tahun 2003 menyebutkan 80% luas wilayah Kabupaten Garut ditetapkan sebagai
kawasan lindung (Ramdan dan Yayan 2003 dalam Subarna, 2011).
Kondisi Hutan di Darajat yang diindikasikan dari luas penutupannya
menunjukan gambaran yang makin memprihatinkan, sejalan dengan konversi dan
eksploitasi yang telah dilakukan. Dari data luasan tersebut, tercatat data laju
kerusakan hutan Indonesia dalam kurun waktu 1997-2000 yang dikeluarkan
Departemen Kehutanan adalah 2,83 juta ha per tahun. Pada tahun 2007, dalam
buku laporan State of the World's Forests FAO, Indonesia telah berada dalam
urutan ke-8 negara dengan luas hutan alam terbesar di dunia. 70 Dengan laju
kerusakan hutan 1,87 juta ha per tahun dalam kurun waktu 2000 – 2005,
menempatkan Indonesia sebagai negara urutan ke-2 dengan laju kerusakan hutan
tertinggi dunia (Atikah, 2018).
Sesuai dengan SK Menteri kehutanan NO 195/KPTS-II/2003 mengenai
penunjukkan kawasan hutan Darajat sebagai hutan lindung, seharusnya kawasan
hutan tersebut mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga
kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan

1
memelihara kesuburan tanah. Akibat alih fungsi lahan yang terus menerus tutupan
lahan di Kawasan Hutan Gunung Darajat berupa hutan tanaman dengan kerapatan
yang rendah. Alih fungsi lahan dari hutan lindung menjadi lahan pertanian
hortikultura yang dikelola masyarakat secara konvensional dan intensif. Kondisi
ini sangat membahayakan lingkungan karena dilakukan dengan mengurangi
vegetasi pohon hutan dan tumbuhan bawah, dan diganti dengan tanaman
hortikultura (Rosmaladewi dkk, 2017).
Masyarakat menanam tanaman hortikultura pada lahan yang kritis dengan
tingkat kemiringan tinggi. Kondisi yang terjadi sekarang aktivitas pertanian
hortikultura yang dilaksanakan masyarakat desa hutan. Kondisi ini sangat
berbahaya karena daerah tersebut menjadi rawan bencana alam seperti erosi,
longsor dan banjir. Selain itu degradasi kawasan hutan Darajat semakin
diperparah dengan semakin berkembangnya kawasan wisata yang sangat cepat
tanpa memperhatikan fungsi dan rencana tata ruang. Padahal sesuai sesuai dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kecamatan Pasirwangi yang berada di
daerah kawasan hutan Darajat Kabupaten Garut sebagai Pusat Pelayanan Kawasan
(PPK) dan Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) yang mempunyai pengaruh
penting terhadap pengembangan ekonomi, sosial budaya maupun lingkungan
yang menjadi prioritas dalam kebijakan penataan ruang daerah sebagai suatu
kawasan strategis pada tingkat nasional, karena di daerah tersebut merupakan
daerah operasi panas bumi Rosmaladewi dkk, 2017).
Alih fungsi kawasan hutan lindung menjadi lahan pertanian hortikultura
terjadi secara cepat dan massif di daerah hulu. Hal ini menyebabkan kerusakan
lingkungan, pencemaran lingkungan dan rawan bencana alam seperti banjir
longsor dan kebakaran hutan. Dengan semakin menurunnya daya dukung sumber
daya hutan tersebut, maka diperlukan system pengelolaan kawasan hutan yang
komprehensif, partisipatif dan berkelanjutan dengan pendekatan kemitraan,
pengembangan ekonomi ,kelestarian lingkungandan (Rosmaladewi, 2018).
Berdasarkan hasil observasi bahwa tutupan lahan di Kawaan Hutan Gunung
Darajat berupa hutan tanaman dengan kerapatan yang rendah. Hal ini terjadi
karena banyaknya alih fungsi lahan dari hutan lindung menjadi lahan pertanian
hortikultura yang dikelola masyarakat secara konvensional dan intensif. Kondisi

2
ini sangat membahayakan lingkungan karena dilakukan dengan mengurangi
vegetasi pohon hutan dan tumbuhan bawah, dan diganti dengan tanaman
hortikultura. Masyarakat menanam pada lahan dengan tingkat kemiringan tinggi.
Kondisi ini menjadikan daerah tersebut rawan bencana seperti erosi , rawan
longsor dan rawan banjir. Kondisi lingkungan yang terjadi semakin diperparah
dengan semakin berkembangnya kawasan wisata yang sangat cepat tanpa
memperhatikan fungsi & rencana tata ruang, sehingga alih fungsi lahan yang
terjadi semakin tinggi (Rosmaladewi, 2018).
Salah satu upaya mengatasi alih fungsi kawasan hutan adalah dengan
penerapan sistem Agroforestry komoditas Agroforestry kopi yang di kutip dari
Supriadi dan Pranomo (2015) Agroforestri komoditas kopi mempunyai peran
dalam konservasi tanah, air dan keanekaragaman hayati, penambahan unsur hara,
modifikasi iklim mikro, penambahan cadangan karbon, menekan serangan hama
dan penyakit kopi dan peningkatan pendapatan petani. Selain itu agroforestri
komoditas kopi juga berperan dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Adaptasi perubahan iklim pada agroforestri komoditas kopi diwujudkan dalam
bentuk konservasi lahan, air dan biodiversitas serta pengendalian iklim mikro,
sedangkan mitigasi dalam bentuk penambahan cadangan karbon sehingga emisi
CO2 dapat dikurangi.
Implementasi dari agroforestri komoditas kopi selain dapat mengurangi alih
fungsi kawasan hutan dan konservasi lahan yang dikutip dari Rosmaladewi dan
Irmawatie (2015) menunjukkan hasil yang baik dengan rata-rata pertumbuhan
tanaman kopi jenis Arabica sebanyak 91,69 % dengan ketinggian tanaman rata-
rata 120-150 cm.
Tanaman Kopi arabika Coffea arabica L. merupakan salah satu jenis tanaman
perkebunan yang sudah lama dibudidayakan. Konsumsi kopi dunia mencapai 70%
berasal dari spesies kopi Arabika dan 26% berasal dari spesies kopi Robusta.
Tanaman Kopi berasal dari Afrika, yaitu daerah pegunungan di Etopia. Namun,
baru dikenal oleh masyarakat dunia setelah tanaman tersebut dikembangkan di
luar daerah asalnya, yaitu di Yaman di bagian selatan Arab, Kopi menjadi
komoditas ekspor dan sumber pendapatan devisa negara. Meskipun demikian,

3
komoditas kopi sering kali mengalami fluktuasi harga dan persediaan komoditas
kopi di pasar dunia (Rahardjo, 2013).
Genus kopi mencakup hampir 70 spesies, tetapi hanya ada dua spesies yang
ditanam dalam skala luas diseluruh dunia, yaitu kopi arabika (Coffea arabicaL)
dan kopi robusta (Coffea canephoraPierre ex A. Froehner), sedangkan sekitar 2%
dari total produksi dunia berasal dari spesies kopi liberika (Coffea liberica W.
Bull Ex. Hier) dan kopi ekselsa (Coffea excelsa) yang ditanam dalam skala
terbatas terutama di Afrika Barat dan Asia (Rahardjo, 2012).
Sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No 8 Tahun 2013
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Perkebunan bahwa Kopi merupakan salah
satu komoditas strategis di Jawa Barat yang mempunyai peran cukup penting
dalam perekonomian masyarakat Jawa Barat. Dalam perkembangannnya tanaman
Kopi terbagi menjadi dua jenis yaitu Kopi Arabika dan Robusta. Kopi Arabika
cocok ditanam di dataran tinggi sedangkan Kopi Robusta untuk ditanam di
dataran rendah. Luas areal Kopi Arabika sekitar 16.808 Ha sedangkan kopi
Robusta sekitar 15.750 Ha (Sumartini, 2016). Pengembangan industrialisasi kopi
di Indonesia sangat prospektif untuk dilakukan baik untuk kopi arabika maupun
kopi robusta. Disamping pasar domestik, potensi pasar internasional masih sangat
terbuka karena permintaan kopi dunia terus menunjukkan trend peningkatan
(Sudjarmoko, 2013).
Hasil produksi kopi di Indonesia selama 5 tahun terakhir secara berturut –
turut, pada tahun 2013 mencapai 675.881 ton, pada tahun 2014 mencapai 643.857
ton, tahun 2015 mencapai 639.412 ton, tahun 2016 mencapai 639.305 ton dan
pada tahun 2017 mencapai 638.539 ton (BPS, 2017). Adapun hasil produksi kopi
arabika Coffea arabica L. Jawa Barat tahun 2014-2017 ditunjukan dalam Tabel 1.
berikut ini :

4
Tabel 1. Hasil Produksi Kopi Arabika Coffea arabica L. Jawa Barat tahun 2014-
2017.
Tahun Hasil Produksi
2014 9.673 ton
2015 9.787 ton
2016 10. 067 ton
2017 9.475 ton
Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan (2015-207)

Data perkembangan hasil produksi kopi arabika Coffea arabica L. tahun


2014-2017 di atas menunjukan bahwa voleme perkembangan hasil produksi setiap
tahunnya hampir selalu mengalami pengningkatan. Pada tahun 2015-2016,
Indonesia merupakan produsen kopi terbesar keempat dunia setelah Brazil,
Vietnam, dan Kolombia. Volume produksi kopi Indonesia mencapai 739 ribu ton.
Produksi kopi Brazil merupakan yang tertinggi mencapai lebih dari 3 juta ton dan
Vietnam sebesar 1,7 juta ton. Kolombia berada pada posisi ketiga dengan
produksi 840 ribu ton (Saragih, 2018).

Volume Ekspor Kopi, 2010-2017


600 543.02
502.02 467.8
500 433.6 448.49 414.65
384.82
400 346.49
300
200
100
0
tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

Grafik 1. Volume Ekspor Kopi Tahun 2010-2017


Sumber : Statistik Kopi Indonesia 2017

Kementerian Perindustria mengakui perlunya peningkatan pengembangan


industri kopi nasional di tanah air. Menteri Perindustrian Airlangga mengatakan,
saat ini Indonesia baru mampu mengolah kopi dalam bentuk ekstrak, instan,

5
esensi dan konsentrat sebesar 30% dari hasil produksi kopi untuk di ekspor.
Sedangkan sisanya sebesar 65% masih diekspor dalam bentuk biji. Guna
mendorong produksi kopi nasional dan mengatasi tantangan pengembangan
industri pengolahan kopi ke depannya, Kementerian Industri telah menyusun
kebijakan strategis. Di antaranya, memasukkan industri pengolahan kopi ke dalam
industri prioritas pada rentang tahun 2020-2024 sesuai dengan PP No. 14 tahun
2015 tentang Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional 2015-2035
(Walfajri, 2017)
Hambatan yang dialami untuk pengembangan kopi di Inddonesia karena ada
serangan organisme pengganggu tumbuhan, salah satu OPT yang menyerang pada
tanaman kopi yaitu penyakit bercak daun kopi Cercospora coffeicola, kehilangan
hasil akibat serangan penyakit bercak daun kopi Cercospora coffeicola menurut
Wiryadiputra (2014) yang dikutip oleh (Swibawa, I.G dkk, 2019).
Berdasarkan hasil uji pendahuluan intensiatas serangan penyakit bercak daun
kopi Cercospora coffeicola mencapai 19%, dengan gejala daun yang menguning,
layu dari bawah, gugur, dan akhirnya mati. berdasarkan intensitas serangan
penyak bercak daun kopi Cercospora coffeicola maka perlu dilakukan penelitian
tentang penyakit bercak daun kopi Cercospora coffeicola.
Penyakit bercak daun kopi Cercospora coffeicola yang disebabkan oleh jamur
Mycosphaerella coffeicola. Penyakit ini dapat muncul di pembibitan sampai
tanaman dewasa, juga menyerang buah kopi. Daun yang terinfeksi menunjukan
gejala bercak kuning yang tepinya di kelilingi halo (lingkaran) berwarna kuning.
Buah kopi yang terserang akan timbul bercak coklat biasanya pada sisi yang lebih
banyak menerima cahaya matahari. Buah kopi yang terinfeksi berat akan
membusuk hingga menembus ke dalam biji akibatnya kualitas biji kopi jadi
menurun. Penyakit bercakdaun kopi Cercospora coffeicola umumnya menyerang
kebun yang kurang dipelihara. Penyakit menyebar melalui spora yang terbawa
angin, aliran air hujan, dan alat – alat pertanian, dibantu kondisi lingkungan yang
lembab dan pola tanam yang kurang baik (Rukmana, 2014).
Penyakit bercak daun kopi Cercospora coffeicola pada umumnya
dikendalikan dengan menggunakan pestisida sintetik atau dengan mengurangi
kelembapan selain itu juga melakukan sanitasi dengan menggunting daun yang

6
terserang kemudian dibakar atau dibenamkam di dalam tanah, dampak yang di
timbulkan oleh penggunaan pestisida sintetik adalah Pencemaran air dan tanah,
munculnya spesies hama yang resisten, Timbulnya spesies hama baru atau
ledakan hama sekunder, Resurgensi, Merusak keseimbangan ekosistem, dan
terhadap kesehatan masyarakat (Retno, 2006).
Dalam rangka pengembangan agroforestri kopi organik dan untuk
mengurangi pencemaran lingkungan dan konsevasi sumberdaya hutan, maka
penyakit bercak daun kopi Cercospora coffeicola dengan mengguakan agesia
hayati sangat penting dilakukan, karena agensia hayati mampu menekan populasi
patogen sehingga berakibat pada perbaikan pertumbuhan tanaman. Agensia hayati
pada perakaran tanaman sangat unik karena keterkaitannya dengan eksudat akar,
pada lingkungan tanah, agensia hayati berperan sebagai penyeimbang antara
tanaman dan patogen (Sopialena, 2018).
Salah satu agensia hayati sebagai bahan alternatif dalam mengendalikan
intensitas serangan penyakit bercak daun kopi Cercospora coffeicola adalah
Trichoderma harzianum merupakan salah satu jenis jamur yang mampu berperan
sebagai pengendali hayati karena mempunyai aktivitas antagonistik yang tinggi
terhadap jamur patogen tular tanah. Daya antagonistik yang dimiliki Trichoderma
harzianum disebabkan oleh kemampuannya dalam menghasilkan berbagai macam
metabolik toksik seperti antibiotik atau enzim yang bersifat litik serta kemampuan
kompetisi dengan patogen dalam memperebutkan nutrisi, oksigen, dan ruang
tumbuh (Wahyudi dkk, 2005). Berdasarkan penelitian Permadi, dkk, (2015)
aplikasi agen hayati T. harzianum efektifdalam menurunkan tingkat serangan
penyakit bercak dauntembakau dengan dosis 3 gram/100 ml.

1.2. Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka identifikasi masalah yang dapat
diambil yaitu:
1. Bagaimana pengaruh agensia hayati dari Trichoderma harzianum Rifai.dalam
menekan intensitas penyakit bercak daun Cercospora coffeicola pada tanaman
kopi arabika Coffea arabica L.

7
2. Berapakah dosis yang efektif penggunaan agensia hayati Trichoderma
harzianumRifai.untuk menekan intensitas penyakit bercak daun kopi
Cercospora coffeicola pada tanaman kopi arabika Coffea arabica L..

1.3. Tujuan Penelitian


Adapun tujuan penelitian ini yaitu :
1. Untuk mengetahui pengaruh potensi agensia hayati Trichoderma
harzianumRifai.dalam mengendalikan penyakit bercak daun kopi pada
tanaman kopi arabika Coffea arabica L..
2. Utuk mengetahui dosis yang efektif Trichoderma harzianumRifai.untuk
mengendalikan penyakit bercak daun kopi pada tanaman kopi arabika Coffea
arabica L..

1.4. Kegunaan Penelitian


Adapun kegunaan dari pelaksanaan penelitian ini yaitu :
1. Secara teoritis : diharapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi
teknologi alternatif pengendalian penyakit bercak daun Cercospora coffeicola
pada tanaman kopi arabika Coffea arabica L., serta sebagai acauan penelitian
selanjutnya atau sebagai referensi dalam melakukan usaha pengembangan
budidaya tanman kopi arabika Coffea arabica L.
2. Secara aplikatif : diharapkan dapat membantu petani dalam pengendalian
penyakit bercak daun Cercospora coffeicola pada tanaman kopi arabika Coffea
arabica L., dan mengurangi penggunaan pestisida sintetik dengan
menggunakan agensia hayati Trichoderma harzianumRifai.yang aman dan
ramah lingkungan, guna mengurangi penggunaan pestisida sintetik.

1.5. Kerangka Pemikiran


Penyakit bercak daun kopi disebabkan oleh jamur Mycosphaerella coffeicola,
yang disebut juga brown eye spot, terdapat di semua daerah penanaman kopi di
seluruh dunia. Demikian juga di daerah hutan Darajat. Penyakit ini dapat
menimbulkan kerugian sampai 10%. Penyakit bercak daun kopi Cercospora
coffeicola pertama kali ditemukan di Jamaica. C. coffeicola tidak hanya

8
menyerang daun, tetapi juga menyerang buah. Kerusakan pada buah dapat
menimbulkan kerusakan yang besar dibandingkan serangan pada daun. Penyakit
bercak daun kopi pada daun terutama menyerang di pembibitan. Bercak C.
coffeicola tampak paling jelas kalau dilihat dari sebelah atas daun, umumnya garis
tangah bercak kurang dari 5 mm dan bercincin-cincin. Dalam cuaca lembap dapat
terjadi bercak-bercak yang lebih besar. Serangan yang berat dapat menyebabkan
rontoknya daun (Harni dkk, 2015).
Agens hayati adalah setiap organisme yang meliputi spesies, sub spesies, atau
dari semua jenis serangga, nematode, protozoa, cendawan, bakteri, virus,
mikoplasma, serta organisme lain. yang dalam semua tahap perkembangannya
dapat dipergunakan untuk keperluan pengendalian OPT dalam proses produksi,
pengolahan hasil pertanian dan berbagai keperluan lainnya (Permentan no 411
tahun 1995).
Berdasarkan penelitian Permadi dkk, (2015) aplikasi agen hayati T. harzianum
efektif dalam menurunkan tingkat serangan penyakit bercak daun tembakau
dengan dosis 3 gram/100 ml.
Menurut Putri, A. A (2017) aplikasi metabolit sekunder jamur Trichoderma
spp. dapat menurunkan intensitas serangan penyakit bercak daun Cercospora
nicotinae dan hama ulat pada tanaman tembakau. Berdasarkan penelitian Helina
(2012) Trichoderma spp.memiliki potensi untuk mengendalikan penyakit patik
pada tanaman tembakau. Pada pengamatan 14 HSA Trichoderma spp. dapat
menekan keparahan penyakit patik. Demikian juga berdasarkan penelitia
Sopialena, dan Mirta Wati (2018) Trichoderma harzianum efektif menekan
intensitas serangan bercak daun cabai rawit perlakuan 24 gram Trichoderma
harzianum/ 1000 ml air.
Berdasarkan penelitian Purwandriya, F. (2016) Trichoderma sp. mampu
menghambat tingkat keparahan penyakit bercak daun dan mampu menghambat C.
lunata dengan persentase daya hambat lebih dari 50%. Demikian juga dengan
penelitian Arianta, dkk, (2015) Aplikasi Trichoderma sp menurunkan intensitas
penyakit utama yaitu hawar daun (Phytophthora infestans) pada tanaman tomat
dan meningkatkan produksi tanaman tomat. Berdasarkan penelitian Umrah (2009)

9
aplikasi Trichoderma sp. efektif menekan menekan perkembangan penyakit P
palmivora pada buah kakao.
Berdasarkan hasil penelitian Susiyanto, J. K. dkk, (2017) aplikasi
Trichoderma harzianum dapat menekan serangan penyakit Vascular Streak
Dieback pada penyakit penyakit pembuluh kayu (Vascular Streak Dieback) pada
tanaman kako KLON ICCRI 03 dan TSH 858 dengan konsentrasi 109 spora/ml
sebesar 95,43 % pada klon ICCRI 03 dan pada konsesntrasi 10 10 spora/ml dengan
nilai sebesar 80,55 %.

1.6. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas maka hipotesis yang dapat
dikemukakan yaitu:
1. Trichoderma harzianum Rifai. mampu menekan intensitas serangan
penyakit bercak daun kopi Cercospora coffeicola pada tanaman kopi arabika
Coffea arabica L..
2. Dosis Trichoderma harzianum Rifai.3 gram/100 ml merupakan dosis yang
efektif dalam menekan intensitas penyakit bercak dun kopi Cercospora
cofeicola pada tanaman kopi arabika Coffea arabica L..

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fungsi Kawasan Hutan


Kebijakan perubahan fungsi kawasan hutan yang dilakukan mempunyai
tujuan untuk terwujudnya optimalisasi dan manfaat fungsi kawasan hutan secara
lestari dan berkesinambungan. Prosedur dan mekanismenya dilakukan secara
bertahap dimana sebelum ditetapkan terlebih dahulu dilakukan sosialisasi kepada
pemerintah daerah terutama terhadap masyarakat yang berada di sekitar atau di
dalam kawasan yang akan mengalami perubahan. Perubahan kawasan hutan
adalah suatu proses perubahan terhadap suatu kawasan hutan tertentu menjadi
bukan kawasan hutan atau menjadi kawasan hutan dengan fungsi hutan lainnya.
Departemen Kehutanan berupaya semaksimal mungkin untuk mengurangi dan
menekan laju eksploitasi hutan dengan menerapkan moratorium konversi hutan
alam. Melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/KPTS-II/2001 tentang
penetapan kawasan hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan
dimaksudkan untuk memberikan arahan dalam pelaksanaan penetapan kawasan
hutan, perubahan status kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan
sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku (Sylviani, 2008).
Sebagai fungsi konservasi keberadaan dan kondisi hutan mempengaruhi
terhadap pengawetan keanekaragaman flora-fauna. dan ekosistemnya. Dengan
fungsi lindung, hutan berperan dalam perlindungan dan penyangga kehidupan
untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi
air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Sedangkan fungsi produksi, hutan
merupakan penyedia hasil hutan yang dapat dimanfaatkan baik oleh masyarakat
sekitar maupun kalangan tertentu, pemerintah dan pihak-pihak lain yang berhak.
Kawasan hutan juga memiliki nilai politis terkait dengan penguasaan dan atau
pemilikan kawasan. Penetapan suatu kawasan hutan dalam fungsinya yang
spesifik, baik itu untuk fungsi konservasi, lindung maupun produksi, memiliki
konsekuensi yang berbedabeda. Khusus di kawasan hutan dengan fungsi produksi,
keterlibatan manusia di dalamnya jauh lebih intensif dibandingkan dengan
kawasan hutan dengan fungsi lindung dan konservasi. Perubahan fungsi kawasan

11
hutan dari yang sebelumnya memiliki fungsi produksi menjadi kawasan hutan
dengan fungsi lain akan berdampak pada hajat hidup orang banyak yang
sebelumnya telah beraktivitas di dalamnya (Sylviani, 2008).

2.1.1. Alih fungsi Hutan


Alih fungsi kawasan hutan lindung menjadi lahan pertanian hortikultura
terjadi secara cepat dan masif di daerah hulu. Hal ini menyebabkan kerusakan
lingkungan, pencemaran lingkungan dan rawan bencana alam seperti banjir
longsor dan kebakaran hutan.Dengan semakin menurunnya daya dukung sumber
daya hutan tersebut, maka diperlukan system pengelolaan kawasan hutan yang
komprehensif, partisipatif dan berkelanjutan dengan pendekatan kemitraan,
pengembangan ekonomi ,kelestarian lingkungan dan melibatkan stakeholder
(Rosmaladewi, 2018).
Alih fungsi kawasan hutan yang terjadi di daerah hulu ditengarai sebagai
salah satu yang berkontribusi pada kejadian banjir bandang yang menimpa 7
kecamatan di wilayah Garut. Kawasan hutan ini terletak di dalam kawasan Cagar
Alam Papandayan dan Hutan Lindung Darajat pada ketinggian 1.750-2.000 m dpl
yang termasuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa
Barat. Kawasan Hutan Darajat Merupakan hutan tropis dataran tinggi yang
memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dengan struktur ekosistem
yang kompleks (Rosmaladewi, 2018).
Berdasarkan hasil observasi bahwa tutupan lahan di Kawaan Hutan Gunung
Darajat berupa hutan tanaman dengan kerapatan yang rendah. Hal ini terjadi
karena banyaknya alih fungsi lahan dari hutan lindung menjadi lahan pertanian
hortikultura yang dikelola masyarakat secara konvensional dan intensif. Kondisi
ini sangat membahayakan lingkungan karena dilakukan dengan mengurangi
vegetasi pohon hutan dan tumbuhan bawah, dan diganti dengan tanaman
hortikultura. Masyarakat menanam pada lahan dengan tingkat kemiringan tinggi.
Kondisi ini menjadikan daerah tersebut rawan bencana seperti erosi , rawan
longsor dan rawan banjir.Kondisi lingkungan yang terjadi semakin diperparah
dengan semakin berkembangnya kawasan wisata yang sangat cepat tanpa

12
memperhatikan fungsi dan rencana tata ruang, sehingga alih fungsi lahan yang
terjadi semakin tinggi (Rosmaladewi, 2018).

2.2. Tanaman Kopi


Kopi merupakan tanaman perkebunan yang sudah lama dibudidayakan. Selain
sebagai sumber penghasilan rakyat, kopi menjadi komoditas andalan ekspor dan
sumber pendapatan devisa negara. Meskipun demikian, komoditas kopi sering
kali mengalami fluktuasi harga akibat ketidakseimbangan antara permintaan dan
persediaan komoditas kopi di pasar dunia ( Rahardjo, 2013)

2.2.1. Klasifikasi Kopi


Klasifikasi tanaman kopi (Coffea sp.) menurut Rukmana (2014), adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Sub Kingdom : Trachoebionta
Divisi : Magnoliphyta
Sub Divisi : Spermatophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Asteridae
Ordo : Rubiales
Famili : Rubiaceae
Genus : Coffea
Spesies : Coffea Arabica L.

2.2.2. Morfologi Kopi


 Akar
Perakaran kopi adalah akar tunggang sehingga tidak mudah rebah. Akar
tunggang tersebut hanya dimiliki oleh tanaman kopi yang berasal dari bibit semai
atau bibit sambung (okulasi) yang batang bawahnya berasal dari bibit semai.
Tanaman kopi yang berasal dari bibit setek, cangkok, atau okulasi yang batang
bawahnya berasal dari bibit setek tidak memiliki akar tunggang sehingga relatif
mudah rebah (Octavianty, 2010).

13
 Batang
Tanaman kopi mempunyai batang tegak, bercabang dan tingginya bisa
mencapai 12 m. Kopi mempunyai sistem percabangan yang agak berbeda dari
tanaman lain, tanaman ini mempunyai beberapa jenis cabang yang sifat dan
fungsinya berbeda. Cabang yang tubuhnya tegak dan lurus disebut cabang
reprroduksi. Cabang ini berasal dari tunas reproduksi yang terdapat disetiap ketiak
daun pada cabang utama atau cabang primer. Cabang ini memiliki sifat seperti
batang utama. Jika batang utama mati, fungsinya dapat digantikan oleh batang
reproduksi (Octavianty, 2010).

 Cabang
Cabang yang tumbuh pada batang utama atau cabang reproduksi dan berasal
dari tunas primer disebut sebagai cabang primer. Setiap ketiak daun hanya
mempunyai satu tunas primer. Jika batang mati, di tempat tersebut tidak dapat
tumbuh batang rimer lagi. Adapun cabang yang tumbuh pada cabang primer
berasal dari tunas sekunder. Cabang ini mempunyai sifat seperti cabang primer
sehingga dapat menghasilkan bunga. Selain beberapa cabang yang telah
disebutkan, ada juga cabang kipas, yaitu cabang reproduksi yang tumbuh kuat
pada cabang primer karna pohon sudah tua. Cabang ini biasanya terletak di ujung
batang pertumbuhannya cepat sehingga mata reproduksi tumbuh pesat menjadi
cabang reproduksi. Sementara itu, cabang kipas yang tidak mampu membentuk
cabang primer meskipun tumbuhnya cukup kuat sisebut cabang pecut (Octavianty,
2010).

 Daun
Daun berbentuk bulat telur dengan daun agak meruncing daun tersebut
tumbuh pada cabang dan batang. Daun pada batang saling berhadapan dan
berpasangan – pasangan pada satu bidang. Daun pada batang dan wiwilan terletak
pada bidang – bidang yang bersilangan. Ukuran daun bervariasi, dapat menjadi
lebih besar, tipis dan lembek apabila intensitas cahaya terlalu sedikit. Ukuran
dauan dapat menjadi indikator dalam pengaturan naungan (Rukmana, 2014).

14
 Bungan
Tanaman kopi berbunga sekitar dua tahun. Mula-mula bunga keluar dari
ketiak daun yang terketak pada batang utama atau cabang reproduksi. Biasaya
bunga tersebut tidak berkembang menjadi buah, jumlahnya terbatas dan hanya
dihasilkan olah tanaman muda. Tanaman kopi yang sudah cukup dewasa dan
dipelihara dengan baik dapat menghasilkan bunga. Bunga tersusun dalam
kelompok, masing-masing terdiri dari 4-6 kuntum bunga. Pada setiap ketiak daun
dapat menghasilkan 2-3 kelopak bunga. Bunga kopi berukuran kecil, mahkota
berwarna putih dan harum. Kelopak bunga berwarna hijau ,benangsari terdiri dari
5-7 tangkaiberukuran pendek. Kelopak dan mahkota akan membuka saat bunga
telah dewasa, kemudian bunga berkembang menjadi buah (Octavianty, 2010).

 Buah
Buah muda berwarna hijau, jika sudah tua kulitnta menguning lalu menjadi
merah tua. Waktu yang diperlukan sejak terbentuknya bunga hingga buah
menjadi matang sekitar 6-11 bulan, tergantung jenis dan faktor lingkungan. Buah
terdiri dari daging buah dan biji umunya, buah kopi mengandung dua butir biji.
Namun, ada juga yang berbiji satu atau sama sekali tidak berbiji karena bakal biji
tidak berkembang sempurna. Lembaga (endosperm) marupakan bagian yang
dimanfaatkan untuk membuat minuman kopi (Octavianty, 2010).

2.2.3. Syarat Tumbuh Kopi


Ketinggian tempat untuk tanaman kopi di Indonesia yang sesuai untuk lahan
kopi arabika ini adalah antara lain 1000-2000 m dpl (PPKKI, 2008 dalam
Saepuloh, 2012). Oleh karena itu areal penanaman kopi yang terbaik berada pada
ketinggian di atas 750 m dpl (Saepuloh, 2012).

 Persyaratan Iklim
Suhu merupakan faktor yang secara langsung berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman kopi, terutama pembentukan bunga dan buah serta
kepekaan terhadap serangan penyakit. daerah-daera dengan ketinggian di atas
1000 m dpl, dengan suhu rata-rata 15-250C seperti lahan pegunungan sangat

15
cocok untuk usaha perkebunan kopi. Pada umumnya kopi tumbuh dengan baik
pada daerah dengan suhu udara sekitar antara 15-300C, namun dalam usaha
pengembangannya perlu diperhatikan bahwa kopi arabika lebih berkembang pada
daerah dengan suhu rata- 15-250C suhu di atas -250C akan dapat menghambat
proses fotosintesis tanaman kopi sehingga akan dapat menghambat produktivitas
tanaman. Sementara curah hujan umumnya akan berpengaruh terhadap
ketersediaan air yang sangat dibutuhkan tanaman. Tanaman kopi tumbuh optimun
di daerah dengan curah hujan 2000-4000 mm pertahun (Saepuloh, 2012).

 Persyaratan Kondisi Tanah


Tanaman kopi dapat tumbuh dengan baik pada tanah gembur, subur, dan kaya
akan bahan organik, kondisi tanah yang sesuai adalah tanah pada lahan dengan
kemiringan lereng kurang dari 45%, keadaan relatif lebih dari 100 cm, tekstur
tanah lempung berpasir (loamy) dengan stuktur lapisan atas remah ( PPKI, 2008.
Dalam Saepuloh,2012). Selain itu, tanaman kopi arabika produkti pada tanah
dengan sifat kimia kadar bahan organik > 3,5% atau kadar C > 2%, nisbah C/N
10-12, Kapasitas Tukar Kation (KTK) > 15 me per 100 g tanah, Kejenuhan Basa
> 35%, pH tanah 5,5 hingga 6,5, kadar unsur hara minimun N 0.28%; P ( Bray I)
32 ppm; K tertukar 0,50 me per 100mg, Ca terrtukar 5,3 me per 100g, Mg tertukar
1 me 100g (Saepuloh, 2012).

2.2.4. Budidaya Kopi


Tanaman kopi dapat dibudidayakan pada berbagai jenis tanah. Hal penting
yang perlu diperhatikan dalam pemelharaan lahan untuk kebun tanaman kopi
adalah lahan bukaan baru atau hutan cadangan, lahan bukaan ulangan atau dari
kopi ke kopi, lahan rotasi, dari tanaman lain ke kopi secara bergantian, lahan
konservasi, dari tanaman lain ke kopi secara permanen. Tanaman kopi perlu
dilakukan perlu dilakukan pembuatan lubang tanam adalah 3-6 bulan sebelum
tanam, ukuran sebelum tanam minimal 0,4 m x 0,4 m dan maksimal 1 m x 1m
tergantung stuktur tanah (Rukmana, 2014).

16
 Penanaman Tanaman Nauangan
Pohon naungan untuk mengurangi penyinaran langsung ( humus tidak semua
hilang ) , mengurangi erosi, mencegah embun upas (frost) pada dataran tinggi,
sumber bahan organik mengurangi pertumbuhan bahan orgnik mengurangi
pertumbuhan rumput (weeds), dan sebagai sumber bahan bakar untuk mengurangi
kopi (Rukmana, 2014).

 Penyiapan Bibit
bibit tanaman kopi yang ideal untuk dipindahkan ke kebun adalah bibit yang
berumur 7 – 9 bulan dari persemaian kebutuhan bibit tanaman kopi sangat
ditentukan oleh jarak tanam dari kesuburan tanah (Rukmana, 2014).

 Penanaman
Waktu tanam yang baik adalah pada awal musim hujan agar penyulaman
dapat diselesaikan dalam musim itu juga, jarak tanam yang digunakan sesuai
dengan jenis kopi, kesuburan tanah dan tipe iklim (Rukmana, 2014).

 Peneliharaan
Keberhasilan budidaya tanaman kopi dipengaruhi banyak faktor, diantaranya
kegiatan pemeliharaan tanaman, kegiatan pokok pemeliharaan tanaman kopi
meliputi berbagai aktivitas seperti pengairan, penyulaman, penyiangan,
pemupukan, pemangkasan dan pengendalian hama dan penyakit (Rukmana,
2014).

2.3. Hama Penyakit Kopi Arabika


2.3.1 Hama
1. Penggerek Buah Kopi
Hama penggerek buah kopi mempunyai siklus hidup dari telur hingga
kumbang dewasa 20-36 hari, lama masing-masing stadium pada daerah ketinggian
450 mdpl terdiri atas stadium telur ke larva 7 hari, stadium larva ke kepompong
14 hari, dan stadium kepompong dewasa 5 hari, semakin tinggi temperatur makin
pendek siklus hidup hama (Rukmana, 2014).

17
Hama penggerek buah kopi menyerang dengan merusak biji kopi sejak buah
terbentuk pada umur 8 minggu setelah berbunga sampai dengan waktu panen,
terutama pada kebun kopi yang bernaungan dan lembap di perbatasan kebun.
Kumbang betina yang sudah kawin akan menggerek dan membuat lubang kecil
untuk masuk kedalam buah kopi. Buah kopi yang sudah tua paling disukai,
kumbang betina terbang dari pagi hingga sore. Hama penggerek buah kopi
menyerang keseluruh kebun, dalam buah tua kering yang tertinggal setelah panen
dapat ditemukan lebih dari 100 hama penggerek buah kopi. Hama ini menyerang
tanaman kopi dengan menggerek disekitar buah yang sudah agak tua (berdiameter
>5 mm) yang mengakibatkan kerugian sebagai berikut:
a. Gugur buah muda antara 7-14% dari produksi.
b. Penurunan mutu kopi (biji kopi berlubang) antara 40-50% dari berat produksi
kopi.
c. Penyusutan berat kopi karena berlubang-lubang mencapai 30-50% dari berat
biji yang terinfeksi atau diserang (Rukmana, 2014).

2. Penggerek Cabang Kopi


Penggerek cabang kopi mempunyai siklus hidup dari telur menjadi dewasa ±
22 hari, stadium telur ke larva 4 hari, stadium larva ke kompong 11 hari, dan
stadium kepompong ke dewasa 7 hari. Kumbang betina menggerek cabang dan
wiwilan yang masih muda (berumur 6-12 bulan), lubang gerekan berdiamter ± 1
mm di dalam empelur, kumbang membuat rongga saluran (galleries) sepanjang ±
3 cm, cabang yang digerek menjadi kering atau patah. Jumlah cabang yang mati
dapat mencapai 15% dengan luas permukaan daun yang hilang sekitar 10%.
Kerugian akibat hama penggerek cabang dapat mencpai 20% dari total produksi.
Dalam rongga saluran bekas gerekan biasanya akan tumbuh cendawan ambrosia
(Ambrosiella xylebori BRADER) yang menjadi makanan bagi larva dan bubuk
(simbiose). Disamping iru, tumbuh juga cendawan sekunder yaitu Dipoida dan
Fusarium. Cendawan ini mengeluarkan eksresi (thyllen) dan gom yang
menyumbat peembuluh-pembuluh cabang sehingga cabang akan mati (Rukmana,
2014).

18
3. Penggerek Batang atau Cabang
Serangga dewasa berupa ngengat, memiliki sayap dengan berbintik hitam
dengan dasar putih tembus pandang. Seekor betina dapat meletakkan 340-970
butir telur berwarna kuning kemerah-merahan atau kuning ungu yang akan
berubah menjadi kuning kehitaman menejlang menetas, telur diletakkan di celah
kulit kayu, ulat hama ini berwarna merah cerah sampai ungu, saw matang, dengan
panjang 3-5 cm. Ulat ini merusak bagaian batang atau cabang dengan menggerek
empelur (xylem) batang atau cabang. Selanjutnya, gerekan membelok kearah atas,
menyerang tanaman kopi muda. Pada permukaan lubang yang baru digerek sering
terdapat campuran kotoran dengan serpihan jaringan. Akibar gerekan ulat, bagain
tanaman diatas lubang gerekan akan merana, layu, kering dan mati (Rukmana,
2014).

4. Kutu Putih atau Kutu Dompolan


Kutu ini mempunyai siklus hidup dari stadium telur hingga dewasa antara 20-
44 hari, sedangkan kutu lamtoro ± 39 hari. Kutu betina bertelur antara 200-400
butir, sex ratio dipengaruhi oleh kelembapan udara. Apabila naungan terang atau
kembapan turun jumlah betina menjadi lebih banyak sehingga populasi
meningkat. Kutu dompolan mengeluarkan ekskresi (kotoran) yang mengandung
gula, cairan gula yang jatuh pada daun kopi di bawahnya akan ditumbuhi
cendawan jelaga (hitam) dan bnayak dikunjungi semut, terutama semut gramang
(Plagiolepsis longipes), sehingga memacu pembiakan kutu dompolan menyerang
dengan menghisap cairan bagian-bagian tanaman yang muda, yaitu daun, cabang
dan buah. Serangan hama ini menyebabkan cabang daun kerdil, dan buah muda
gugur, serangan terjadi selama musim kemarau dan menurun selama musim
kemarau (Rukmana, 2014).

5. Kutu Hijau
Kutu hijau merupakan serangga yang tidak berpindah tempat dalam kebanyak
fase hidupnya, tetap tinggal di satu tenpat untuk menghisap cairan tanaman.
Siklus hidup hama ini diawali dengan telur yang ditaruh dibawah badan kutu
betina sampai menetas, betina dapat bertelur beberapa ratus butir. Waktu bertelur

19
sampai menetas 45-65 hari. Nimfa tetap berada di bawah badan iduknya sampai
mampu untuk hidup terpisah, kutu jantan dewasa jarang sekali, kebanyak koloni
kutu berkelamin betina biasanya sekitar 75-80% mati karena pemangsa,
parasetoid, dan jamur. Kutu hijau menyerang cabang, ranting dan daun pohon
kopi arabika dan robusta. Ada beberapa jenis semut yang menjaga dan
mendukung koloni kutu hijau ini karena kutu ini mengeluarkan cairan manis, kutu
hijau menyenangi musim kemarau dan dapat berkembang lebih pesat di dataran
rendah dibanding dataran tinggi (Rukmana, 2014).

2.3.2 Penyakit
 Karat Daun
Penyakit karat daun menyebar dengan spora dan dibantu lewat percikn air
hujan. Infeksi terjadi melalui mulut daun (stomata) dengan inkubasi lebih kurang
3 minggu. Makin tinggi temperatur, makin pendek masa inkubasi. Pada umumnya
cendawan ini menyerang dengan hebat di dataran rendah, serangan terjadi sejak
awal musim hujan, mulai menghebat setelah hujan lebat 50mm atau lebih. Pada
sisi bawah daun yang terserang dapat bercak-bercak berearna kuning yang
kemudian berubah menjadi cokelat, daun yang terserang akan gugur sehingga
pohon menjadi gundul. Selama masa perubahan, tanaman kopi banyak
mememrlukan karbohidrat yang sebagian diambil dari persediaan dalam cabang
dan akar. Apabila daun-daun gugur, maka produksi karbohidrat menurun sehingga
perlu lebih banyak mengambil persediaan. Akibatnya, banyak cabang dan akar
yang mati (die back). Tanaman tidak dapat menyerap cukup zat-zat hara dalam
tanah. Serangan yang berat menyebabkan mati terutama kopi arabika (Rukmana,
2014).

 Jamur Upas
Penyakit jamur upas dapat menyerang batang, cabang, ranting dan buah.
Infeksi jamur ini pertama kali terjadi pada sisi bagian bawah cabang atau ranting.
Serangan dimulai dengan adanya benang-benang tipis seperti sutera, berbentuk
laba-laba. Selanjutnya, pada bagian tanaman tersebut terjadi nekrosis dan akhirnya
membusuk sehingg warnanya menjadi cokelat tua atau hitam. Nekrosis pada buah

20
bermula dari pangkal buah, di sekitar tangkai, kemudian meluas keseluruh
permukaan dan mencapai endospermae. Jamur ini menyebar melalui tiuoan angin
atau percikan air, keadaan lembap dan kurang sinar matahari sangat membantu
perkembangan penyakit jamur upas (Rukmana, 2014).

 Penyakit Akar cokelat, Hitam, dan Putih


Penyakit akar cokelat merupakan penyakit yang paling banyak dijumpai,
kadang-kadang juga ditemukan penyakit akar hitam yang disebabkan oleh
cendawan Rasellinia bunodes, terutama pada kopi arabika, dan penyakit akar
putih yang disebabkan oleh cendawan Rigidoporus microporus. Daun tanaman
kopi yang terserang akan layu berwarna kuning, dan kemudian kering; terutama
setelah musim hujan berakhir. Cendawan ini menyerang akar tunggang yang
menyebabkan pembuluh akar tersumbat sehingga tanaman menjadi layu dan
akhirnya mati. Penularan penyakit terjadi melalui kontak akar yang terinfeksi
dengan akar yang sehat (Rukmana, 2014).
Gejala tanaman yang terserang, warna daun hijau kekuningan, kusam, dan
menggulung. Seluruh daun menggulung. Seluruh daun menguning kemudian layu
secara serempak dan akhirnya mengering di cabang. Gejala khas jamur akar
cokelat, terutama akar tunggang tertutup oleh kerak yang terdiri atas butir-butir
tanah yang melekat kuat. Di antara butir-butir tanah tampak adanyak anyaman
benang jamur cokelat kehitaman, kayu akar yang sakit membusuk, kering dan
lunak. Gejala khas jamur hitam pada pangkal batang dan permukaan kayu akar
terdapat titik-titik hitam. Jamur akar putih, pada permukaan akar terdapat benang
jamur berwara putih, menjalar sepanjang akar dan pada ujungnya meluas seperti
bulu, penyebaran dan perkembangan penyakit lebih cepat pada tanah berpasir dan
lembap (Rukmana, 2014).

21
2.4. Bercak Daun Kopi
2.4.1 Klasifikasi Penyakit Bercak Daun Kopi menurut To-Anun, dkk 2011
Kingdom : fungi
Divisi : Ascomycota
Kelas : Dothideomycetes
Ordo : Capnodiales
Famili : Mycosphaerellaceae
Genus : Cescospora
Species : Cescospora coffeicola B. et Cke.

2.4.2 Siklus Hidup


Penyakit bercak daun kopi Cescospora coffeicola yang disebabkan oleh jamur
Mycosphaerella coffeicola. Konidia Mycosphaerella coffeicola di produksi setiap
tahun, masuk melalui stomata pada bagian bawah daun atau melalui kutikula dan
epidermis di permukaan atas daun. Pertumbuhan hifa antar dan intraseluler
menciptakan lesi vegetatif di mana terjadi sporulasi. Konidiofor dan konidia
terbentuk, lalu disebarkan oleh angin atau air. Konidiofor muncul 3-30 dan sering
terpisah dan bercabang. Konidia memanjang, multiseptate, dan lurus atau sedikit
melengkung. terlihat seperti kaca dan memiliki hilus yang mencolok. Spora dapat
menyebar dari satu daun ke daun lain, atau ke bunga dan beri yang menyebabkan
infeksi sekunder. Produksi konidia yang berkelanjutan menjamin infeksi pada
berbagai tahap perkembangan tanaman (pada daun, bunga, dan buah). Jamur dapat
mengatasi musim dingin (Bertahan pada musim kemarau) karena konidia dalam
daun yang terjatuh dan terinfeksi hingga dua bulan. Setelah kondisi lembab
kembali, konidia menginfeksi tanaman baru atau bagian tanaman (Anonim, 2018).

2.4.3. Gejala Serangan Penyakit Bercak Daun Kopi


Bercak berwarna kuning yang tepinya yang dikelilngi halo ( lingkaran )
berwarna kuning. Buah kopi yang terserang kan berbecak cokelat, biasanya pada
sisi yang lebih banyak menerima cahaya matahari, buah kopi yang terinfeksi erat
akan membusuk hingga bisi ke biji, kulitas kopi jadi menurun. Penyakit bercak
pada umumnya menyerang kebun yang kurang dipolihara, penyakit menyebar

22
melalui spora yang terbawa angin, aliran air hujan, da alat – alat pertanian, di
bantu kondisi lingkungan yang lembab dan pola tanam yang kurang baik
(Rukmana, 2014).

2.5. Trichoderma harzianum


Salah satu jenis Trichoderma sp. adalah Trichoderma harzianum merupakan
salah satu jenis jamur yang mampu berperan sebagai pengendali hayati karena
mempunyai aktivitas antagonistik yang tinggi. Jamur ini termasuk jenis jamur
tanah, sehingga sangat mudah didapatkan di berbagai macam tanah, di permukaan
akar berbagai macam tumbuhan, juga dapat diisolasi dari kayu busuk atau serasah.
Koloni T. harzianum pada awal inkubasi akan berwana putih yang selanjutnya
berubah menjadi kuning dan akhimya berubah menjadi hijau tua pada umur
inkubasi lanjut. Jamur Trichoderma harzianum mempunyai tingkat pertumbuhan
yang cepat, spora yang dihasilkan berlimpah, mampu bertahan cukup lama pada
kondisi yang kurang menguntungkan. Daya antagonistik yang dimiliki
Trichoderma harzianum disebabkan oleh kemampuannya dalam menghasilkan
berbagai macam metabolik toksik seperti antibiotik atau enzim yang bersifat litik
serta kemampuan kompetisi dengan patogen dalam memperebutkan nutrisi,
oksigen, dan ruang tumbuh (Wahyudi dkk, 2005).

2.5.1. Klasifikasi Trichoderma harzianum


Klasifikasi Trichoderma harzianum, menurut menurut United States
Department of Agriculture (2008), dalam azmi (2011), adalah sebagai berikut:
Kingdom : Fungi
Divisi : Ascomycota
Kelas : Sordariomycetes
Ordo : Hypocreales
Famili : Hypocreaceae
Genus : Trichoderma
Spesies : Trichoderma harzianum Rifai.

23
2.5.2. Morfologi Trichoderma harzianum
Morfologi Trichoderma harzianum Rifai. terdiri dari konidia yang terdapat
pada struktur konidiofor. Konidiofor dapat bercabang menyerupai piramida
berupa cabang lateral yang berulang-ulang, sedangkan ke arah ujung percabangan
menjadi bertambah pendek. Phialida/ cabang hifa tampak langsing dan panjang
terutama pada apeks dari cabang dan berukuran 18 x 2,5 µm, konidia berbentuk
semi bulat hingga oval pendek, berukuran (2,8-3,2)x(2,5-2,8) µm dan berdinding
halus (Azmi, 2011).
Trichoderma harzianum Rifai. mempunyai klamidiospora (spora aseksual
berdinding tebal dan mampu bertahan hidup dalam lingkungan yang kurang
menguntungkan) yang umumnya ditemukan dalam miselia dari koloni yang sudah
tua, terletak interkalar dan kadang-kadang terminal, umumnya berbentuk bulat,
berwarna hialin dan berdinding halus. Kemampuan Trichoderma harzianum
Rifai. dalam memproduksi klamidiospora merupakan aspek penting dalam proses
sporulasi sedangkan reproduksi aseksual Trichoderma harzianum Rifai.
menggunakan konidia (Gandjar, 1999 dalam Azmi, 2011). Trichoderma
harzianum Rifai. adalah fungi non mikoriza yang dapat menghasilkan enzim
kitinase, sehingga dapat berfungsi sebagai pengendali penyakit tanaman. Kitinase
merupakan enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri serta
berperan penting dalam pemecahan kitin (Wijaya, 2002 dalam Azmi, 2011.).

2.5.3. Manfaat Trichoderma harzianum


Trichoderma harzianum Rifai. memiliki aktivitas antifungal yang tinggi
dibanding Trichoderma jenis lain. Trichoderma harzianum Rifai. dapat
memproduksi enzim litik dan antibiotik antifungal. Trichoderma harzianum
Rifai. juga dapat berkompetisi dengan patogen dan dapat membantu pertumbuhan
tanaman. Fungi tersebut juga memiliki kisaran penghambatan yang luas karena
dapat menghambat berbagai jenis fungi. Trichoderma harzianum Rifai.
memproduksi metabolit seperti asam sitrat, etanol, dan berbagai enzim seperti
urease, selulose, glukanase, dan kitinase. Hasil metabolit tersebut dipengaruhi
kandungan nutrisi yang terdapat dalam media. Saat berada pada kondisi yang kaya
akan kitin, Trichoderma harzianum Rifai. memproduksi protein kitinolitik dan

24
enzim kitinase. Enzim tersebut berguna untuk meningkatkan efisiensi aktivitas
biokontrol terhadap patogen yang mengandung kitin (Suwahyono, 2010 dalam
Azmi, 2011) Menurut Salma & Gunarto (1999). Trichoderma harzianum
mempunyai kemampuan menghasilkan enzim selulase sehingga dapat merusak
dinding sel fungi patogen famili Pythiaceae. Fungi tanah Trichoderma
harzianum Rifai. mempunyai kemampuan melakukan pelilitan dan penetrasi hifa
patogen serta menghasilkan antibiotik yang bersifat toksin bagi patogen lawannya
(Salma & Gunarto, 1999 dalam Azmi, 2011).

25
BAB III
BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan di lahan petani di Desa Karyamekar, Kecamatan
Pasirwangi, Kabupatena Garut, Provinsi Jawa Barat. Lokasi Tersebut terletak
pada ketinggian ± 1.700 meter diatas permukaan laut dengan suhu rata – rata
harian sekitar antara 15-24oC. waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Juli–
Agustus 2019

3.2. Alat dan Bahan


 Alat
1. Meteran 1m
2. Alat tulis
3. Kamera
4. Hansprayer Knadpsack
5. Gelas ukur 100 ml

 Bahan
3.1. Tanaman kopi arabica Coffea arabica L. ( umur 1 tahun )
3.2. Biakan Trichoderma harzianum Rifai. dengan media beras

3.3. Metode Penelitian


Penelitian disusun dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan 5 perlakukan dan diulang sebnayak 5 kali sehingga terdapat 25 plot
percobaan. Setiap plot percobaan terdiri 5 tanaman kopi yang berumur 1 tahun.
Adapun kelima perlakuan tersebut yaitu :
P0 : Kontrol (disemprot air)
P1 : 1 gram Trichoderma harzianum Rifai. / 100 ml air/ tanaman
P2 : 3 gram Trichoderma harzianum Rifai. / 100 ml air / tanaman
P3 : 5 gram Trichoderma harzianum Rifai. / 100 ml air / tanaman
P4 : 7 gram Trichoderma harzianum Rifai. / 100 ml air / tanaman

26
Model linear untuk Rancangan Acak Kelompok (RAK) menurut Warsa dan Cucu
S.A (1982). sebagai berikut :
Xij = U + ti + eij
Keterangan :
Xij = Pengamatan perlakuan ke-i dalam kelompok ke-j
U = Rata – rata umum
ti = Pengaruh perlakuan ke-i ( i = 1,2,.............j)
rj = Pengaruh Kelompok ke-j ( j = 1,2,...........r)
eij = Pengaruh faktor random terhadapa perlakuan ke-i pada kelompok ke-j
berdasarkan dari kelompok liner diatas maka daftar analisis untuk
rancanganya adalah sebagai berikut :

tabel 2. metode linear di atas daftar analisis rancangan yaitu


Sumber Derajat Jumlah Kwadrat
Ragam Bebas Kwadrat Tengah Fh Fh tabel
(SR) (DB) (JK) (KT)
∑ X2
Ulangan r-1 FK JK/DB KT/KTG
T

∑ Xj2
Perlakuan t-1 FK JKp/DBp KTP/KTG
I
Galat (ab-1)(r-1) JKT-JKU-JKP JKG/DBG
∑ Xj2
Total (r x t) - 1 FK
Rt
Jika : Fh > F tabel = signifikan
Fh ≤ F tabel = non signifikan

Bila hasil uji F menunjukkan perbedaan yang nyata maka, untuk membedakan
rata-rata dari tiap perlakuan dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan metode
uji jarak berganda Duncan pada taraf nyata 5% dengan rumus sebagai berikut:
LSR = SSR x Sx

27
Dimana :
LSR : Least Significant Ranges
SSR : Studentized Significant Ranges
Sx : Galat baku Rata-rata

KT Galat

r

3.4. Pelaksanaan Penelitian


3.4.1. Uji Pendahuluan
1. Identifikasi penyakit bercak daun kopi Cercospora coffeicola
Identifikasi penyakit dilakukan di kawasan hutan darajat blok 15 dengan
langsung mengambil daun yang begejala

2. Uji isolasi penyakit


Adapun uji isolasi penyakit Cercospora coffeicola bercak daun kopi adalah
sebagai berikut :
1) Pembuatan PDA
Pembuatan PDA dilakukan dengan cara melarutkan potato dextrose agar
sebanyak 39 gram kedalam air mineral sebanyak 1 liter.

2) Persiapan sampel daun kopi


Daun yang digunakan dalam uji pendahuluan ini merupakan daun kopi
verietas arabika yang terserang penyakit bercak daun kopi Cercospora coffeicola
yang berasal dari Desa, Karyamekar Kecamatan Pasir Wangi, Kabupaten Geut,
Provinsi Jawa Barat.

3) Isolasi penyakit bercak daun kopi Cercospora coffeicola


Daun kopi yang menunjukan gejala serangan penyakit bercak daun kopi
Cercospora coffeicola di cuci bersih dan dipotong pada bagian antara yang
terserang dan tidak kemudian di rendem di larutan alkohol selama 60 detik,
selanjutnya di rendam di klorox selama 30 detik, dilanjut dengan di rendam

28
dengan alkohol 3 detik, dan di rendam di dalam air sreril selama 3 detik sebanyak
tiga kali. Kemudian di inokilasikan kedalam PDA selama 24 jam. Dari hasil
inokulasi di pindahkan ke PDA baru untuk dimurnikan, hasil pemurnian
dilakukan identifikasi dibawah mikroskop.

3.4.2. Hasil uji pendahuluan


1. Hasil uji isolasi penyakit
Setelah dilakukan uji pendahuluan poskulat koch daun tanaman kopi arabika
positif terserang penyakit bercak daun kopi Cercospora coffeicola.
2. Pelaksanaan penelitian dilapangan
Adapun tahapan pelaksanaan yang dilakukan yaitu sebagai berikut
 Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan dengan cara membersihkan tanaman dari gulma yang
tumbuh disekitaran tanaman kopi arabica Coffea arabica L yang dilakukan secara
manual.

 Aplikasi
Aplikasi perlakuan dengan cara menyemprotkan Trichoderma harzianum
Rifai. dengan menggunakan handsprayer knapsack dengan interval seminggu
sekali selama 3 bulan.

3.5. Pengamatan
Pengamtan dalam penelitian ini yaitu :
1. Pengamatan utama
Pengamatan utama ialah berupa intensitas serangan penyakit bercak daun kopi
(Cercospora coffeicola) pada tanaman kopi arabika (Coffea Arabica L).
Pengamatan perkembangan penyakit dimulai seminggu setelah aplikasi
Trichoderma harzianum Rifai selama 2 bulan sehingga diperoleh 8 data
pengamatan sesuai jumlah aplikasi perlakuan, pengamatan ini ditunjukan dengan
tampaknya gejala pada daun kemudian diberikan skala/skor. Skala kategori
infeksi Cercospora caffeicola. pada tanaman kopi yaitu :

29
Tabel 3. Skala/skor kategori infeksi Cercospora caffeicola
Tingkat Gejala Gambaran Infeksi
0 Tidak ada infeksi pada daun
1 Luas daun terinfeksi 0-10%
2 Luas daun terinfeksi >10-25%
3 Luas daun terinfeksi >25-45%
4 Luas daun terinfeksi >45-75%
5 Luas daun terinfeksi >75%
Sumber : Sugiharso dalam Sudarma 1981

Setelah diamati dan diberi skor kemudian dihitung intensitasnya berdasarkan


skala Town-send dan Hanberger yang telah disempurnakan oleh kasper (1965)
dalam Sugiharso (1980) dengan rumus:

∑(n x V)
P= X 100%
ZxN

P : Intensitas Penyakit
n : jumlah daun yang terinfeksi psada tiap kategori
V : nilai skala pada tiap kategori
N : jumlah daun yang diamati
Z : nilai skala tertinggi

2. Pengamatan tinggi tanaman


Pengamatan tinggi tanaman diukur dengan menggunakan meteran dengan
cara mengukur dari bagian pangkal batang di atas permukaan tanah hingga ke
pucuk daun, pengukuran tersebut dilakukan setiap seminggu sekali selama 2 bulan
sehingga diperoleh 8 data pengamatan.

3. Vigoritas tanaman secara visual


Vigoritas tanaman secara visual dilakukan dengan cara mengamati kesegaran
tanaman, kekekaran batang, dan warna daun. Pengamatan tersebut dilakukan
setiap seminggu sekali selama 2 bulan.

30
DAFTAR PUSTAKA

Arianta, P. B., Sudiarta, P., Widaningsih, D., Sumartha, K., Wirya, G. S., dan
Utama, M. S. 2015. PenggunaanTrichodermasp. dan Penyambungan untuk
Mengendalikan Penyakit Utama Tanaman Tomat (Licopersicum
esculentum Mill.) di Desa Bangli, Kecamatan Baturiti, Tabanan. E-Jurnal
Agroekoteknologi Tropika Vol. 4, No. 1.

Atikah, L. 2018. Alih Fungsi Kawasan Konservasi Hutan Lindung di Kawah


Darajat ke Hutan Industri Pariwisata dengan Undang – Undang No 32
Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Skripsi. Bandung (ID): Universitas Pasundan

Badan Pusat Statistik Jawa Barat (BPSJ abar). 2017. Statistik Hasil Produksi
Kopi. Tersedia di
https://www.bps.go.id/publication/2017/12/26/342431c17fb726e7f1f5232
2/statistik-kopi-indonesia-2016.html (diakses pada 6 Maret 2019)

Badan Pusat Statistik (BPS). 2016. Statistik Perkebunan Indonesia. Tersedia di


http://ditjenbun.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/statistik/2016/KEL
APA%202014-2016.pdf (diakses pada 6 juni 2019)

Badan Pusat Statistik (BPS). 2017. Statistik Perkebunan Indonesia. Tersedia di


http://ditjenbun.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/statistik/2017/Kopi
-2015-2017.pdf (diakses pada 6 juni 2019)

Harni, R., Samsudin. Amaria. W., Indriati, G., Soesanthy, F., Khaerati. Taufiq, E.,
Hasibuan, A. M., dan Hapsari. A. D. 2015. Teknologi Pengendalian Hama
dan Penyakit Tanaman Kopi. Tersedia di http://repository.pertanian.go.id.
(Dia akses pada 23 Mei 2019)

Helina, S. 2012. Pengaruh Aplikasi Trichodermaspp. terhadap Keparahan


Penyakit Patik (Cercospora nicotianaeEll. etEv.,) pada Tanaman
Tembakau (NicotianatabacumL.). Skripsi. Lampung (ID): Universitas
Lampung.

Menteri Pertanian RI. 1995. Peraturan Menteri Pertanian Nomor


41I/Kpts/TP.120/6/1995 tentang Pemasukan Agens Hayati ke dalam
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Permadi, A. D., Majid, A., dan Hasjim, S. 2015. Efektifitas Agen Pengendali
Hayati Trichoderma harzianum untuk Mengendalikan Penyakit Bercak
Daun Tembakau Rajang di Jember. Pertanian

Putri, A. A. 2017. Coba Teknologi Terbaru untuk Pengendalian OPT pada


Tanaman Kopi di Kabupaten Bandung. Tersedia di
http://disbun.jabarprov.go.id (diakses pada 6 Maret 2019)

31
Purwandriya, F. 2016. Kemampuan Trichodermasp. dalam Menghambat
CurvularialunataPenyebab Penyakit Bercak Daun pada Tanaman Nenas
(AnanascomosusL Merr.). Skripsi. Lampung (ID): Universitas Lampung

Rahardjo, P. 2013.Panduan Budidayadan Pengolahan Kopi Arabik adan Robusta.


Penebar Swadaya. Jakarta

Rosmaladewi, O., Danuwikarsa,I., Pranadikusumah, P. 2017 Pengelolaan Hutan


Bersama Multistakeholder Sebagai Pelaksanaan Corporate Social
Responcibility (CSR). Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, volume 7
No. halaman 6-16

Rosmaladewi, O., Irmawatie, L., 2015. Kemitraan Multistakeholder Dalam


Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Di Kawasan Hutan Darajat
Kabupaten Garut, Vol. 5 No.

Supsiadi, H., Pranomo, D., 2015. Prospek Pengembangan Agroforestri Berbasis


Kopi Di Indonesia, Vol. 14 No. 2 . Hlm 135 -150.

Subarna, T. 2011. Faktor Yang Mempengaruhi Masyarakat Menggarap Lahan Di


Hutan Lindung Studi Kasus Di Kabupaten Garut Jawa Barat. Jurnal
Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 8 No. 4 Desember 2011,
Hal. 265 – 275

Sopialena, M. dan Wati, M. 2018. Uji Potensi Penggunaan JamurTrichoderma


harzianum Rifai dan Gliocladium virensArx untuk Mengendalikan
Penyakit Bercak Daun pada Cabai Rawit (Capsicum frutescensL.). Jurnal
Agroekoteknologi Tropika Lembab Vol 1, Hal 61-66.

Sopialena. 2018. Pengendalian Hayati dengan Memberdayakan Potensi Mikroba.


Mulawarman University Press. Samarinda.

Susiyanto, J. K., Majid, A., Sulistyowati, E. 2017. Keefektifan Trichoderma


harzianum sebagai Agensia Pengendali Hayati Penyakit Pembuluh Kayu
(Vascular Streak Dieback) pada Tanaman Kakao Klon ICCRI 03 dan TSH
858 Gontor Agrotech Science Journal Vol. 3 No. 1,

Swibiwa, I.G., Yasin, N., Aeny, T. N., Dewi, S. 2019. Nematoda Parasit
Tumbuhan Dominan Pada Bibit Dan Tanaman Kopi Robusta (C.
canephora var robusta) Muda Di Kabupaten Tanggamus, Lampung. J.
Agrotek Tropika. Vol. 7, No. 1: 219 – 230.

Umrah, Anggraeni, T., Esyanti, R. dan R., dan Aryantha, I. N. P. 2009.


Antagonisitas dan Efektivitas Trichodermasp dalam Menekan
Perkembangan Phytophthora palmivora pada Buah Kakao. J. Agroland 16
(1) : 9 – 16.

32

Anda mungkin juga menyukai