Anda di halaman 1dari 12

SIKAP PERAWAT DALAM BERKOMUNIKASI

(DIMENSI TINDAKAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK DAN APLIKASI


TERAPEUTIK DALAM DAKWAH)

Alip Gunadi
Egi Rizaludinsyah
Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung
alipgunadi@gmail.com; rizaludinsyahegi@gmail.com

Abstrak

Perawat dan Da’i hadir secara utuh (fisik dan psikologis) pada waktu berkomunikasi
dengan klien (mad’u). Perawat dan Da’i tidak cukup hanya mengetahui teknik komunikasi
dan isi komunikasi tetapi yang sangat penting adalah sikap atau penampilan dalam
berkomunikasi.

Pada saat berkomunikasi dengan klien atau mad’u, disamping mengetahui teknik
komunikasi yang baik, perawat dan da’i juga mengetahui dengan baik sikap dan
penampilannya dalam berkomukasi. Ada dua dimensi yang perlu diperhatikan oleh
perawat yaitu sikap (kehadiran) secara fisik dan secara psikologis. Dalam sikap
(kehadiran) secara psikologis ada dua dimensi yaitu dimensi respon dan dimensi tindakan.

Dimensi tindakan tidak dapat dipisahkan dengan dimensi respon. Tindakan yang
dilaksanakan harus dalam konteks kehangatan dan pengertian. Perawat senior sering
segera masuk dimensi tindakan tanpamembina hubungan yang kuat sesuai dengan dimensi
respon. Dimensi respon membawa klien pada tingkat penilikan diri yang tinggi dan
kemudian dilanjutkan dengan dimensi tindakan. Dimensi tindakan terdiri dari konfrontasi,
kesegeraan, keterbukaan, emosional chatarsis dan bermain peran.

Secara umum aplikasi terapeutik dalam dakwah dapat diketahui dari harakah dakwah
yang berorientasi pada kegiatan pengentasan (pemulihan) keadaan atau perawatan dan
pemeliharaan suatu kondisi umat yang dilakukan secara integral dan berkelanjutan sampai
ditemuinya suatu kondisi perbaikan.

Hakikat dari dakwah adalah mengembalikan kondisi atau merubah keadaan dari keadaan
yang kurang baik kepada kondisi yang lebih baik. Dakwah merupakan upaya serius dan
terorganisir dengan baik dalam bentuk menyeru kepada kebaikan, berbuat adil dan ihsan
serta melarang umat melakukan perbuatan keji dan mungkar.

Kata Kunci: Sikap Perawat, Da’i, Aplikasi Terapeutik dalam Dakwah.


PENDAHULUAN

Komunikasi merupakan proses yang sangat khusus dan berarti dalam hubungan antar
manusia. Komunikasi menjadi lebih bermakna karena merupakan metode yang utama dalam
mengimplementasikan proses keperawatan, begitu juga dalam kegiatan dakwah. Pengalaman
ilmu untuk menolong sesama memerlukan kemampuan khusus dan kepedulian sosial yang
besar (Abdalati, 1989).
Untuk itu perawat dan da’i memerlukan kemampuan khusus dan kepedulian sosial yang
mencakup keterampilan intelektual, teknikal dan interpersonal yang tercermin dalam perilaku
“caring” atau kasih sayang dan cinta (Johnson, 1989) dalam berkomunikasi dengan orang
lain.
Perawat serta Da’i yang memiliki keterampilan berkomunikasi secara terapeutik tidak
saja akan mudah menjalin hubungan rasa percaya dengan klien dan mad’u nya, mencegah
terjadinya masalah legal, memberikan kepuasan profesional dalam pelayanan keperawatan
dan kegiatan dakwah serta meningkatkan citra profesi keperawatan dan juga da’i, tetapi yang
paling penting adalah mengamalkan ilmunya untuk memberikan pertolongan terhadap sesama
manusia.
Tujuan daripada penulisan ini adalah untuk mengetahui sikap perawat bahkan da’i
dalam menentukan tindakan mengatasi psikologis klien dan mad’u nya agar terciptanya
keharmonisan antar keduanya, dan juga memaksimalkan komunikasi yang bersifat terapeutik
untuk mengembalikan kondisi atau merubah keadaan dari keadaan yang tidak baik menjadi
baik, dari yang baik kepada kondisi yang lebih baik.

METODE

Metode penulisan ini dilakukan dengan pendekatan studi pustaka yaitu penyusunan
berdasarkan studi literatur dan internet searching. Dengan mencari data melalui sumber-
sumber tertulis menggunakan buku untuk memperoleh informasi mengenai pembahasan
materi.
Adapun internet searching yaitu pengumpulan data melalui pecarian sumber dengan
menggunakan internet sebagi pendukung dan juga pelengkap dalam rangka mecari data-data
pendukung dalam penyusunan tulisan, metode ini juga disebut sebagai metode pencarian
penelusuran media online atau pencarian data melalui fasilitas media online, hal ini bertujuan
untuk memungkinkan pencarian informasi berupa teori dan juga data dapat didapatkan
sebagai bentuk usaha dalam memperkaya khasanah tulisan.
PEMBAHASAN

Sikap Perawat dan Da’i dalam Berkomukasi

Perawat dan Da’i hadir secara utuh (fisik dan psikologis) pada waktu berkomunikasi
dengan klien. Perawat tidak cukup hanya mengetahui teknik komunikasi dan isi komunikasi
tetapi yang sangat penting adalah sikap atau penampilan dalam berkomunikasi.

Pada saat berkomunikasi dengan klien, disamping mengetahui teknik komunikasi yang
baik, perawat juga mengetahui dengan baik sikap dan penampilannya dalam berkomukasi.
Ada dua dimensi yang perlu diperhatikan oleh perawat yaitu sikap (kehadiran) secara fisik
dan secara psikologis. Dalam sikap (kehadiran) secara psikologis ada dua dimensi yaitu
dimensi respon dan dimensi tindakan (Stuar dan Laraia, 1998).

Kehadiran Secara Fisik

Egan dalam Kozier (1983: 372) mengidentifikasi 5 sikap atau cara untuk menghadirkan
diri secara fisik, yaitu, (1) Berhadapan, arti dari posisi ini adalah “saya siap untuk anda”. (2)
Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai klien
dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi. (3) Membungkuk ke arah klien, posisi
ini menunjukkan keinginan untuk mengatakan atau mendengar sesuatu. (4) Mempertahankan
sikap terbuka, tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi.
(5) Tetap relaks, bisa mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam
memberi respon terhadap klien. Sikap fisik dapat pula disebut sebagai perilaku non verbal
yang perlu dipelajari pada setiap tindakan keperawatan. Beberapa perilaku non verbal yang
dikemukakan oleh Clunn (1991; 168-173) yang perlu diketahui dalam merawat anak adalah:
1) Gerakan mata
Gerakan mata dapat dipakai untuk memberikan perhatian. Kontak mata berkembang
pada anak sejak lahir. Kontak mata antara ibu dan bayi merupakan cara interaksi dan
kontak sosial. Perawat perlu mengetahui perkembangan kontak mata, misalnya usia 2
bulan bayi tersenyum jika kontak mata dengan ibu. Bayi dan anak memperlihatkan
reaksi yang tinggi terhadap rangsangan visual (Mahler, dikutip oleh Clunn, 1991; 171).
Kontak mata dan ekspresi muka adalah alat pertama yang dipakai untuk pendidikan dan
sosialisasi. Anak sangat mengerti akan ekspresi ibu yang marah, sedih atau tidak setuju.
2) Ekspresi muka
Ekspresi muka umumnya dipakai sebagai bahasa non verbal namun banyak dipengaruhi
oleh budaya. Orang yang tidak percaya pasti akan tampak dari ekspresi muka tanpa ia
sadari.
3) Sentuhan
Sentuhan merupakan cara interaksi yang mendasar. Konsep diri didasari oleh asuhan ibu
yang memperlihatkan perasaan menerima dan mengakui. Ikatan kasih sayang dibentuk
oleh pandangan, suara dan sentuhan yang menjadi elemen penting dalam pembentukan
ego, perpisahan dan kemandirian (Rubin, dikutip oleh Clunn, 1991, 173). Sentuhan
sangat penting bagi anak sebagai alat komunikasi dan memperlihatkan kehangatan,
kasih sayang yang pada kemudian hari (dewasa) mengembangkan hal yang sama
baginya.

Kehadiran Secara Psikologis

Kehadiran diri secara psikologis dapat dibagi dalam 2 dimensi yaitu dimensi respon dan
dimensi tindakan (Truax, Carkhoff dan Benerson, dikutip oleh Stuart dan Sundeen, 1987;
126).
1) Dimensi Respon
Dimensi respon terdiri dari respon perawat yang ikhlas, menghargai, empati dan
konkrit. Dimensi respon sangat penting pada awal berhubungan dengan klien untuk
membina hubungan saling percaya dan komunikasi yang terbuka. Respon ini harus terus
dipertahankan sampai pada akhir hubungan.
a) Keikhlasan
Perawat menyatakan melalui keterbukaan, kejujuran, ketulusan dan berperan aktif
dalam berhubungan dengan klien. Perawat berespon dengan tulus, tidak berpura-
pura, mengekspresikan perasaan yang sebenarnya dan spontan.
b) Menghargai
Perawat menerima klien apa adanya. Sikap perawat harus tidak menghakimi, tidak
mengkritik, tidak mengejek dan tidak menghina. Rasa menghargai dapat
dikomunikasikan melalui: duduk diam bersama klien yang menangis, minta maaf
atas hal yang tidak disukai klien dan menerima permintaan klien untuk tidak
menanyakan pengalaman tertentu.
c) Empati
Empati merupakan kemampuan masuk dalam kehidupan klien agar dapat merasakan
pikiran dan perasaannya. Perawat memandang melalui pandangan klien, merasakan
melalui perasaan klien dan kemudian mengidentifikasi masalah klien serta membantu
klien mengatasi masalah tersebut. Melalui penelitian, Mansfield (dikutip oleh Stuart
dan Sundeen, 1987; 129) mengidentifikasi perilaku verbal dan non verbal yang
menunjukkan tingkat empati yang tinggi sebagai berikut:
• Memperkenalkan diri kepada klien.
• Kepala dan badan membungkuk ke arah klien.
• Respon verbal terhadap pendapat klien, khususnya pada kekuatan dan sumber
daya klien.
• Kontak mata dan berespon pada tanda non verbal klien misalnya nada suara,
gelisah, ekspresi wajah.
• Tunjukkan perhatian, minat, kehangatan, melalui ekspresi wajah.
• Nada suara konsisten dengan ekspresi wajah dan respon verbal.
d) Konkrit
Perawat menggunakan terminologi yang spesifik, bukan yang abstrak. Hal ini perlu
untuk menghindarkan keraguan dan ketidak jelasan. Ada 3 kegunaannya, yaitu:
• Mempertahankan respon perawat terhadap perasaan klien
• Memberi penjelasan yang akurat oleh perawat
• Mendorong klien memikirkan masalah yang spesifik.
2) Dimensi Tindakan
Dimensi tindakan tidak dapat dipisahkan dengan dimensi respon. Tindakan yang
dilaksanakan harus dalam konteks kehangatan dan pengertian. Perawat senior sering segera
masuk dimensi tindakan tanpamembina hubungan yang kuat sesuai dengan dimensi
respon. Dimensi respon membawa klien pada tingkat penilikan diri yang tinggi dan
kemudian dilanjutkan dengan dimensi tindakan. Dimensi tindakan terdiri dari konfrontasi,
kesegeraan, keterbukaan, emosional chatarsis dan bermain peran (Stuart dan Sundeen,
1987; 131).
a) Konfrontasi
Konfrontasi merupakan ekspresi perasaan perawat tentang perilaku klien yang tidak
sesuai. Carkhoff (dikutip oleh Stuart dan Sundeen, 1987; 131), mengidentifikasi 3
katagori konfrontasi yaitu: a) Ketidaksesuaian antara konsep diri klien (ekspresi klien
tentang dirinya) dan ideal diri klien (keinginan klien); b) Ketidaksesuaian antara
ekspresi non verbal dan perilaku klien; c) Ketidaksesuaian antara pengalaman klien
dan pengalaman perawat. Konfrontasi berguna untuk meningkatkan kesadaran klien
terhadap kesesuaian perasaan, sikap, kepercayaan dan perilaku. Konfrontasi dilakukan
secara asertif, bukan marah atau agresif. Sebelum melakukan konfrontasi perawat
perlu mengkaji antara lain: tingkat hubungan saling percaya, waktu yang tepat, tingkat
kecemasan klien. Konfrontasi sangat diperlukan pada klien yang telah mempunyai
kesadaran diri tetapi perilakunya belum berubah.
b) Kesegeraan
Kesegeraan berfokus pada interaksi dan hubungan perawat-klien saat ini. Perawat
sensitif terhadap perasaan klien dan berkeinginan membantu dengan segera.
c) Keterbukaan
Perawat harus terbuka memberikan informasi tentang dirinya, ideal diri, perasaan,
sikap dan nilai yang dianutnya. Perawat membuka diri tentang pengalaman yang
berguna untuk terapi klien. Tukar pengalaman ini memberi keuntungan pada klien
untuk mendukung kerjasama dan memberi sokongan. Melalui penelitian ditemukan
bahwa peningkatan keterbukaan antara perawat-klien dapat menurunkan tingkat
kecemasan perawat-klien (Johnson, dikutip oleh Stuart dan Sundeen, 1987; 134).
d) Emosional Katarsis
Emosional Katarsis terjadi jika klien diminta bicara tentang hal yang sangat
mengganggu dirinya. Ketakutan, perasaan dan pengalaman dibuka dan menjadi topik
diskusi antara perawat-klien. Perawat harus dapat mengkaji kesiapan klien
mendiskusikan masalahnya. Jika klien mengalami kesukaran dalam mengekspresikan
perasaannya, perawat dapat membantu dengan mengekspresikan perasaannya jika
berada pada situasi klien.
e) Bermain Peran
Bermain peran adalah melakukan peran pada situasi tertentu. Hal ini berguna untuk
meningkatkan kesadaran dalam berhubungan dan kemampuan melihat situasi dari
pandangan orang lain. Bermain peran menjembatani antara pikiran serta perilaku dan
klien akan merasa bebas mempraktikkan perilaku baru pada lingkungan yang aman.

Aplikasi Terapeutik dalam Dakwah

Secara umum aplikasi terapeutik dalam dakwah dapat diketahui dari harakah dakwah
yang berorientasi pada kegiatan pengentasan (pemulihan) keadaan atau perawatan dan
pemeliharaan suatu kondisi umat yang dilakukan secara integral dan berkelanjutan sampai
ditemuinya suatu kondisi perbaikan.
Hakikat dari dakwah adalah mengembalikan kondisi atau merubah keadaan dari
keadaan yang kurang baik kepada kondisi yang lebih baik. Dakwah merupakan upaya serius
dan terorganisir dengan baik dalam bentuk menyeru kepada kebaikan, berbuat adil dan ihsan
serta melarang umat melakukan perbuatan keji dan mungkar.
1) Tahap Persiapan (Intake proses)
Tahap ini merupakan pekerjaan yang mebutuhkan keseriusan dan kesungguhan bagi
para da`i terapis untuk menyiap diri, materi, media bahkan strategi yang berkaitan
dengan tema-tema dakwah yang diusungnya. Idealnya seorang terapis memiliki
kesehatan fisik dan psikis yang cukup karena akan berhadapan dengan kondisi yang
kurang menguntungkan. Jika da`i sakit fisik bahkan lebih naif lagi bermasalah
kesehatan rohani akan berakibat kepada terhambantnya realisasi program dakwah yang
sudah dituangkan dari visi dan misi yang telah dibangun. Disamping itu da’i terapis
juga menyiapkan berbagai fasilitas pendukung untuk kelancaran kegiatan terapis seperti
tata ruang, format kegiatan dan hal-hal lain yang diperlukan.
2) Memahami Kebutuhan orang (Asessment)
Mengenal sebelum memberi beban (al-Ta`rifu Qabla Takhlifu) sebuah kaidah prinsip
dakwah yang mesti diindahkan dalam berdakwah. Karena mana mungkin seorang dai
bisa leluasa memberikan instruksi tertentu akan diikuti dengan serius dan sepenuh hati
sementara mereka tidak saling mengenal. Oleh karena itu seorang dai terapis semestinya
mengenali lebih dekat berbagai hal terkait dengan apa yang dibutuhkan oleh individu
dan colectivitas. Hal-hal yang bisa dilakukan oleh seorang dai mengutip Woodside &
McClam, process of case management dalam Cepy Yusrun (2015:173) menjelaskan
bahwa tahapan asessmen memahami kebutuhan orang dilakukan dalam tiga bentuk
kegiatan yang meluputi : making initial contact, problem identification and ghathering,
and assering information.
3) Planning (rencana kegiatan)
Pada tahap ini merupakan tahap menyusun rencana kerja strategis sesuai dengan temuan
kebutuhan pada tahap asessmen. Setidak-tidaknya pada thap ini seorang terapis dapat
melakukan tiga kegiatan yang meliputi Developing complete picture of the clien, plan
development dan arranging for service.
4) Implementasi teknik
Menerapkan yang direncanakan sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai pendekatan.
Seorang dai ketika mengimplementasikan teknik-teknik Konseling dalam praktik
pemulihan rohani seorang dapat melakukan kegiatan antara lain: Vroviding Service ,
problem Resolution dan monitoring service delivery. Review-evaluasi
5) Tahap Terminasi
Tahap terminasi dan evaluasi merupakan proses untuk melakuan peninjauan ulang
pengkajian holistik terhadap keseluruhan yang terkait dengan kegiatan terapi untuk
melihat seberapa besar tercapainya harapan untuk pemulihan, kendala dan kelemahan
yang ditemukan untuk meningkatkan mutu pelayanan di masa mendatang. Biasanya
kegiatanya dilakukan ketika program dan masa kegiatan telah berada pata tahap
finishing atau final.
Untuk memahami aplikasi terapeutik dalam dakwah maka perlu adanya sebuah metode,
metode dapat dipahami sebagai cara yang bertahap kegiatan yang berstruktur dalam
melakukan suatu kegiatan dalam mencapai sebuah tujuan. Jika merujuk kepada al-Qur`an dan
Hadits maka metode dakwah tersebut dapat diidentifikasi kepada beberapa istilah seperti
dalam surat An-Nahl ayat 125, dalam ayat tersebut ditemukan kata-kata Menurut Imam al-
Syaukani hikmah adalah ucapan-ucapan yang tepat dan benar, atau menurut penafsiran
hikmah adalah argumen-argumen yang kuat dan meyakinkan. Sedangkan mau’idhah hasanah
adalah ucapan yang berisi nasihat-nasihat yang baik di mana ia dapat bermanfaat bagi orang
yang mendengarkannya, sedangkan diskusi dengan cara yang baik adalah berdiskusi dengan
cara paling baik dari cara-cara berdiskusi yang ada. Mengurai dari Surat An Nahl ayat 125
tersebut maka terdapat beberapa metode dalam dakwah dalam konteks Khitobah.
Berdasarkan kajian Ilmu Dakwah, menurut Sukayat (2015) sedikitnya ada 4 macam
metode dakwah yaitu, Tablig, Irshad, Tadbir, Tathwir atau tamkin.
a) Tablig Secara bahasa, tablig adalah menyampaikan, menurut istilah tablig adalah bentuk
komunikasi dakwah dengan cara menyampaikan/ menyebarluaskan (Komunikasi)
ajaran Islam melalui media mimbar atau media massa dengan sasaran orang banyak atau
kalayak. Tablig bersifat insidental, oral, massal, seremonial, bahkan kolosal. Tablig
dilaksanakan atas dasar pola kecenderungan masalah yang berkembang pada
masyarakat secara umum dalam semua segi kehidupan jamaah, peelaku tablig disebut
mubalig.
b) Irshad secara bahasa, irshad berarti petunjuk, konseling atau membimbing, secara istilah
irshad adalah proses penyampaian ajaran islam melalui kegiatan bimbingan, penyuluh,
dan psikoterapi Islami dengan sasaran invidu atau kelompok kecil. Dilihat dari
prosesnya irshad bersifat lebih kontinu, simultan dan intensif. Contahnya seorang kiai
yang membimbing para santri dan masyarakatnya yang terus menerus tanpa batas
waktu. Irshad dilaksanakan atas dasar masalah khusus (kasuistik) dalam semua aspek
kehidupan yang berdampak pada keehidupan individu dan keluarga. Beberapa
pendekatan atau cara yang biasa dilakukan dalam irshad adalah; mauidzah hasanah
(pelajaran yang baik), muwajahah (dialog), nasihat, muhasabah, pelayanan doa terapi
islami, perawatan dan lain-lain.
c) Tabir menurut bahasa berarti pengelolaan (manajemen), sedangkan menurut istilah
adalah kegiatan dakwah dengan melakukan transformasi dan institusionalisasi ajaran
islam melalui kebijakan, seperti kebijakan publik pada suatu pemerintahan, kebijakan
lembaga pendidikan, serta pengelolaan lembaga – lembaga dakwah. Fungsi – fungsi
manajemen merupakan karakteristik yang menonjol pada dakwah tadbir. Adanya
organisasi dakwah sebagai wadah, perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan
evaluasi dakwah diantaranya aspek-aspek yang harus terintegrasi dan tersistematisasi
dalam pelaksanaan dakwah.
d) Tathwir atau Tamkin menurut bahasa, tathwir atau tamkin berarti pengeembangan
sedangkan menurut istilah berarti kegiatan dakwah implementatif melalui amal soleh
berupa peemberdayaan sumber daya manusia dan sumber daya lingkungan. Dengan
kata lain pengembangan pranata-pranata sosial, ekonomi dan lingkungan atau
pengembangan kehidupan muslim dalam aspek-aspek kultur universal. Dakwah tathwir
diantaranya dapat dilakukan peendidikan dan pelatihan pemberdayaan umat,
pendampingan desa tertinggal, pengembangan konomi syariat, pengadaan sarana-sarana
pendidikan, keagamaan, dan lain-lain.

Dakwah Terapeutik

Secara umum dakwah terapeutik dapat diketahui dari harakah dakwah yang berorientasi
pada kegiatan pengentasan – pemulihan keadaan atau perawatan dan pemeliharan suatu
kondisi umat yang dilakukan secara integral dan bekelanjutan sampai ditemuinya suatu
kondisi perbaikan. Dakwah terapi dapat pula dikenal dari penerapan amal islami dalam rangka
mengobati atau memulihakan kondisi sakit – gangguan pada emosional serta memberikan
solusi (problem solving) pada kurun waktu tertentu dengan metode dan teknik khusus.
Penyakit keumatan yang layak diterapi jika ditelususri berbagai literatur termasuk hasil
penelitian di berbagai rumah sakit di Sumatra Barat (Nazirman, 2012) mengemukan masalah
umum yang dihadapi pasien antara lain gelisah, takut mati, mudah marah, merasa kehilangan,
tidak diperhatikan dan sebagainya. Jika dipahami konteks hadis Rasul dari Abu Katadah atau
Abu Zar al-Gifari, maka setidaknya ada delapan gejala kejiwaan yang selalu menyerang
batiniah setiap orang. Adapun masalah tersebut adalah; Al Hammy (duka cita, gundah gelana),
Al-hazan (kesedihan), Ajzi (lemah kemapuan), Kaslan (pemalas), Jubni (penakut), Bukhli
(bakhil, kikir), Ghalabatinndaini (lilitan hutang) serta Qahrirrijal (teror manusia).
Jika dipahami secara teliti persoalan diatas, maka akan ditemukan korelasi dan
konsekuensi logis dari satu gejala ke gejala yang lain. Dalam tema-tema dakwah terapeutik
persoalan semacam ini sangat relevan dengan masalah umat kekinian. Salah satu contoh:
 Al-Hammy wal Hazani; duka cita yang mendalam (kesedihan) seolah-olah dua
persoalan kejiwaan yang saling berkaitan. Apabila seseorang mengidap keluh kesah
(gundah gulana) atau kesedihan yang berkepanjangan, maka munculah sifat penakut dan
khawatir dengan hal-hal yang mungkin tidak rasional. Apabila kedua masalah dalam
satu tingkat ini dibiarkan, maka akan menumbuhkan persoalan baru.
 Al-Ajzi wa Kasali (lemah dan pemalas). Lemah disini dapat dimaknai dengan lemah
kemauan, lemah cita-cita bahkan lemah ekonomi. Persoalan ini akan berimbas kepada
perilaku malas berusaha, terbatas ruang untuk bertindak dan sebagainya.
Tanda-tanda umat yang sakit secara fisik seseorang menderita suatu penyakit dapat
dicermati dari hasil observasi fisik dan untuk memastikan kevalidan datanya dapat diperoleh
melalui proses wawancara. Dari pengamatan fisik yang dipandu secara tertulis biasanya diisi
pada lembaran data status pasien. Untuk persoalan rohaniah manusia dapat pula dilihat dari
gejala fisik yang ditemukan secara medis. Alasan ilmiahnya adalah tidak mungkin manusia
bisa dipisahkan dari aspek fisik dengan psikisnya. Fisik akan mempengaruhi kondisi
psikologis-rohaniyah manusia, begitu sebaliknya sebagian besar pakar kesehatan jiwa
mengemukakan bahwa persoalan psikis menjadi pemicu dan sangat mempengaruhi kondisi
fisik. Dalam ilmu kesehatan dikenal istilah somatik dan psikosomatik. Gejala orang yang
tertekan perasaannya oleh satu hal dapat diamati dari reaksi fisik yang ditampilaknnya seperti
berwajah murung, desahan nafas panjang yang sering berulang, gemetar dan gagap untuk
menjelaskan sesuatu, ucapan tidak beraturan dan sering melampiaskan emosionalnya kepada
objek lain seperti memukul. Begitu pula orang sedang marah; gejala fisik yang ditemukan
antara lain: bibir bergetar, ucapan tidak terarah, gerakan tidak stabil, aura wajah memerah dan
sering mencaci maki lawan.
Contoh umum ini semestinya menjadi perhatian bagi para pendakwah atau da`i dalam
aktivitas pelayanan keumatan yang diembannya. Masih banyak yang lain jika mau
mengembangkan. Tanda-tanda pribadi yang sehat/pulih pribadi yang sehat (sihahtun-nafs),
merujuk ke penjelasan pakar psikoanalisis secara umum dapat diketahui dari beberapa
indikator. Dalam Tabale Jodeth (1958) dalam Abdul Aziz (2006) dikemukakan bahwa jiwa
yang sehat itu memiliki ciri-ciri yaitu menerima dan menghargai diri sendiri, perasaan eksis,
bebas, spontan, berkepribadian sempurna, fleksibel, percaya diri, mempunyai sentitivitas
sosial, mampu bekerja, mampu beradaptasi, mampu membangun hubungan interpersonal,
mampu menghadapi tekanan, mampu menghadapi kegelisahan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Jika dianalisa hubungan dakwah dengan terapi dari penjelasan di atas, maka dapat
ditegaskan bahwa dakwah dan terapi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dari
kehidupan manusia. Satu sisi dakwah kebutuhan jiwa manusia pada sisi lain dengan dakwah
jiwa manusia bisa sempurna sehat wal afiyat. Hakikat dari dakwah adalah mengembalikan
kondisi atau merubah keadaan dari keadaan yang kurang baik kepada kondisi yang lebih baik.
Dakwah merupakan upaya serius dan terorganisir dengan baik dalam bentuk menyeru kepada
kebaikan, berbuat adil dan ihsan serta melarang umat melakukan perbuatan keji dan mungkar.
Hal ini juga berlaku dalam konsep dakwah terapeutik. Pada dasarnya dakwah terapeutik
adalah upaya-upaya sistematis da`i dalam menciptakan susanan kondusif yang membuat
percepatan pemulihan kondisi fisik dan batiniah orang yang didakwahinya.
Keberhasilan seorang dai memotivasi mad’unya untuk sembuh dan kesembuhan yang
dimiliki oleh mad’u tentu juga memiliki indikator antara lain; Mampu menyadari kondisi real
yang dialami hari ini, Memahami efek yang akan dihadapi jika diobati atau tidak, Mampu
menerima diri dan kehadiran orang lain, Bahagia dengan diri sendiri dan kesuksesan orang
lain, Tidak mengeluh dengan keadaan yang terjadi, Mampu memaafkan diri dan kesalahan
orang lain, Taat dalam beribadah, Komitmen dengan nilai-nilai ilahiyah yang diyakini, serta
Hidup dalam keseimbangan dan berkecukupan.
DAFTAR PUSTAKA

`Aidh al-Qarni, 2005, La Tahzan Innallaha Ma`ana; Jangan Bersedih, Jakarta: Qisthi Press.
Anjaswarni, Tri. 2013. Komunikasi dalam Keperawatan Modul 1 “Konsep Dasar
Komunikasi”. Pusdiklatnakes, Badan PPSDM Kemenkes RI.

A.R. Henry Sitanggang, 1994, Kamus Psikologi , Bandung: Armico.


Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir, 2001, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Achmad Mubarok, 2005, Meraih Kebahagiaan dengan Bertasawuf (Pendakian menuju
Allah), Jakarta: Paramadina.
Al-Ahmad, abdul Aziz bin Abdullah, 2006, Kesehatan Jiwa: Kajian Korelatif Pemikiran Ibnu
Qayyim dan Psikologi Modern, Jakarta, Pustaka Azzam
Ahsin W. Al-Hafidz, 2007, Fikih Kesehatan, Jakarta: Amzah.
Al-Aidan, Abdul Majid bin Abdul Aziz Az-Zahim dan Abdullah bin Abdul Aziz, 2005, `Ilajul
Amradh bl Qurani wa Sunnah, Thariquka ila shihhatin Nafsiyah wal Adhawiyah, Edisi
Indonesia: Sehat Jasmani dan Rohani Berobat dengan al-Qur`an dan As-Sunnah,
Surabaya: La Raiba Bima Amanta (elBA).
Asep Muhiddin, 2002, Dakwah dalam Perspektif al-Qur`an, Bandung: Pustaka Setia.
Chaplin, C.P., 1989, Kartini Kartono (penejemah), Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta: CV
Rajawali.
Corey, Geral, 1988, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Bandung: Eresco.
Dadang Hawari, 1997, Doa dan Dzikir sebagai Pelengkap Terapi Medis, Jakarta: Dana
Bhakti Primayasa.
Dadang Hawari, 2002, Manajemen Stress, Cemas dan Depresi, Jakarta: FKUI Press.
Dakwah Terapeutik. Jurnal Ilmiah Dakwah dan Konseling Islam
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. Cetakan 2004.
Koentjoro. 1989. Konsep Pengenalan Diri dalam AMT. Makalah dalam Modul Pelatihan
AMT, Jurusan Psikolog.
Sukayat Tata 2015, Ilmu Dakwah Perspektif Mabadi ‘Asyarah, Bandung Simbiosa Rekatama
Media

Anda mungkin juga menyukai