Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Atresia bilier merupakan proses inflamasi progresif yang menyebabkan
fibrosis saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga pada
akhirnya akan terjadi obstruksi saluran tersebut (Donna L. Wong, 2008).
Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga
menyebabkan hambatan aliran empedu. Tindakan operatif atau bedah dapat
dilakukan untuk penatalaksanaannya. Pada lebih kurang 80% - 90% bayi
dengan atresia biliaris ekstrahepatik yang menjalani pembedahan ketika
usianya kurang dari 10 minggu dapat dicapai drainase getah empedu
(Halamek dan Stevenson, 1997). Meski demikian, sirosis yang progresif tetap
terjadi pada anak, dan sampai 80% - 90% kasus pada akhirnya akan
memerlukan transplantasi hati (Andres, 1996).
Atresia bilier ditemukan pada 1 dalam 10.000 kelahiran hidup dan 1 dalam
25.000 kelahiran hidup. Tampaknya tidak terdapat predileksi rasial atau
genetik kendati ditemukan predominasi wanita sebesar 1,4:1 (McEvoy dan
Suchy, 1996; Whitington, 1996). Di Belanda, dilaporkan kasus atresia bilier
sebanyak 5 dari 100.000 kelahiran hidup, di Perancis 5,1 dari 100.000
kelahiran hidup, di Inggris dilaporkan 6 dari 100.000 kelahiran hidup. Di
Texas tercatat 6.5 dari 100.000 kelahiran hidup, 7 dari 100.000 kelahiran
hidup di Australia, 7,4 dari 100.000 kelahiran hidup di USA dan dilaporkan
terdapat 10,6 dari 100.000 kelahiran hidup di Jepang menderita atresia bilier.
Dari 904 kasus atresia bilier yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia
bilier di dapatkan pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), Hispanik
(11%), Asia (4,2%) dan Indian amerika (1,5%). Walau jarang namun jumlah
penderita atresia bilier yang ditangani RS. Cipto Mangun Kusumo (RSCM)
pada tahun 2002-2003 tercatat mencapai 37-38 bayi atau 23% dari 163 bayi
berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati. Sedangkan di RSU Dr.

1
Soetomo Surabaya antara tahun 1999-2004 ditemukan dari 19.270 penderita
rawat inap di Instalansi Rawat Inap Anak, tercatat 96 penderita dengan
penyakit kuning gangguan fungsi hati didapatkan 9 (9,4%) menderita atresia
bilier ( Widodo J, 2010).
Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung
empedu. Atresia bilier terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari
saluran empedu di dalam maupun di luar hati. Tetapi penyebab terjadinya
gangguan perkembangan saluran empedu ini tidak diketahui. Jika aluran
empedu buntu, maka empedu akan menumpuk di hati. Selain itu akan terjadi
ikterus atau kuning di kulit dan mata akibat tingginya kadar bilirubin dalam
darah. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati, yang jika
tidak diobati bisa berakibat fatal atau sampai terjadi kematian.
Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab
efikasi pembedahan hepatik-pontoeterostomi (operasi Kasai) akan menurun
bila dilakukan setelah umur 2 bulan. Bagi penderita atresia bilier prosedur
yang baik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu ke
usus. Selain itu,terdapat beberapa intervensi keperawatan yang penting bagi
anak yang menderita atresia bilier. Penyuluhan yang meliputi semua aspek
rencana penanganan dan dasar pemikiran bagi tindakan yang akan dilakukan
harus disampaikan kepada anggota keluarga pasien. (Donna L. Wong, 2008)
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar penyakit atresia bilier ?
2. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan atresia bilier ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dasar penyakit atresia bilier.
2. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan atresia bilier.

2
BAB II
KONSEP DASAR PENYAKIT

A. Anatomi dan Fungsi Sistem Biliaris


1. Anatomi Sistem Biliary

Hati terletak di belakang tulang-tulang iga (kosta) dalam rongga abdomen


daerah kanan atas. Hati memiliki berat sekitar 1500 gr, dan di bagi menjadi
empat lobus. Setiap lobus hati terbungkus oleh lapisan tipis jaringan ikat yang
membentang ke dalam lobus itu sendiri dan membagi massa hati menjadi unit-
unit yang lebih kecil, yang disebut lobulus. Sirkulasi darah ke dalam dan ke
luar hati sangat penting dalam penyelenggaran fungsi hati.
Saluran empedu terkecil yang disebut kanalikulus terletak di antara lobulus
hati. Kanalikulus menerima hasil sekresi dari hepatosit yang membawanya ke
saluran empedu yang lebih besar yang akhirnya akan membentuk duktus
hepatikus. Duktus hepatikus dari hati dan duktus sistikus dari kandung
empedu bergabung untuk membentuk duktus koledokus (commom bile duct)
yang akan mengosongkan isinya ke dalam intestinum. Aliran empedu ke
dalam intestinum di kendalikan oleh sfingter Oddi yang terletak pada tempat
sambungan (junction) di mana duktus koledokus memasuki duodenum.
Kandung empedu (vesika felea), yang merupakan organ berbentuk sebuah
pear, berongga dan menyerupai kantong dengan panjang 7,5 hingga 10 cm,
terletak dalam suatu cekungan yang dangkal pada permukaan inferior hati
dimana organ tersebut terikat pada hati oleh jaringan ikat yang longgar.
Kapasitas kandung empedu 30-50ml empedu. Dindingnya terutama tersusun

3
dari otot polos. Kandung empedu dihubungkan dengan duktus koledokus
lewat duktus sistikus.
a. Kandung Empedu
Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah
pear,memiliki panjang 7-10 cm dengan kapasitas 30-50 ml namun saat
terdistensi dapat mencapai 300 ml. Kandung empedu berlokasi di sebuah
lekukan pada permukaaan bawah hepar yang secara anatomi membagi
hepar menjadi lobus kanan dan lobus kiri. Kandung empedu dibagi
menjadi 4 area secara anatomi yaitu fundus, leher, corpus, dan
infundibulum. Fundus berbentuk bulat dan ujungnya 1-2 cm melebihi
batas hepar, strukturnya kebanyakan berupa otot polos, kontras dengan
korpus yang kebanyakan terdiri dari jaringan elastis. Leher biasanya
membentuk sebuah lengkungan, yang mencembung dan membesar
membentuk Hartmann’s pouch.
Kandung empedu terdiri dari epitel silindris yang mengandung
kolesterol dan tetesan lemak. Mukus disekresi ke dalam kandung empedu
dalam kelenjar tubuloalveolar yang ditemukan dalam mukosa
infundibulum dan leher kandung empedu, tetapi tidak pada fundus dan
korpus. Epitel yang berada sepanjang kandung empedu ditunjang oleh
lamina propria. Lapisan ototnya adalah serat longitudinal sirkuler dan
oblik, tetapi tanpa lapisan yang berkembang sempurna. Perimuskular
subserosa mengandung jaringan penyambung, saraf, pembuluh darah,
limfe dan adiposa. Kandung empedu ditutupi oleh lapisan serosa kecuali
bagian kandung empedu yang menempel pada hepar. Kandung empedu
dibedakan secara histologis dari organ-organ gastrointestinal lainnya dari
lapisan muskularis mukosa dan submukosa yang sedikit.
Persarafan kandung empedu berasal dari nervus vagus dan dari cabang
simpatis melewati pleksus celiaca. Tingkat preganglionik simpatisnya
adalah T8 dan T9. Rangsang dari hepar, kandung empedu, dan duktus
biliaris akan menuju serat aferen simpatis melewati nervus splanchnic
memediasi nyeri kolik bilier. Cabang hepatik dari nervus vagus

4
memberikan serat kolinergik pada kandung empedu, duktus biliaris dan
hepar.
b. Pembentukan empedu
Empedu dibentuk secara terus menerus oleh hepatosit dan
dikumpulkan dalam kanalikulus serta saluran empedu. Empedu terutama
tersusun dari air dan elektrolit, seperti natrium, kalium, kalsium, klorida
serta bikarbonat, dan juga mengandung dalam jumlah yang berati beberapa
substansi seperti lesitin, kolesterol, billirubin serta garam-garam empedu.
Empedu dikumpulkan dan disimpan dalam kandung empedu untuk
kemudian dialirkan ke dalam intestinum bila diperlukan bagi pencernaan.
Fungsi empedu adalah ekskretorik seperti ekskresi bilirubin dan sebagai
pembantu proses pencernaan melalui emulsifikasi lemak oleh garam-
garam empedu.
Garam-garam empedu disintesis oleh hepatosit dari kolesterol. Setelah
terjadi konjugasi atau pengikatan dengan asam-asam amino (taurin dan
glisin), garam empedu diekskresikan ke dalam empedu. Bersama dengan
kolesterol dan lesitin, garam empedu diperlukan untuk emulsifikasi lemak
dalam intestinum. Proses ini sangat penting untuk proses pencernaan dan
penyerapan yang efisien. Kemudian garam empedu akan diserap kembali,
terutama dalam ileum distal, ke dalam darah portal untuk kembali ke hati
dan sekali lagi diekskresikan ke dalam empedu. Lintasan hepatosit empedu
intestinum dan kembali lagi kepada hepatosit dinamakan sirkulasi
enterohepatik. Akibat adanya sirkulasi enterohepatik, maka dari seluruh
garam empedu yang masuk ke dalam intestinum, hanya sebagian kecil
yang akan diekskresikan ke dalam feses. Keadaan ini menurunkan
kebutuhan terhadap sintesis aktif garam empedu oleh sel-sel hati.
c. Ekskresi Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan hemoglobin oleh
sel-sel pada sistem retikuloendotelial yang mencakup se-sel Kupffer dari
hati. Hepatosit mengeluarkan bilirubin dari dalam darah dan melalui reaksi
kimia mengubahnya lewat konjugasi menjadi asam glukoronat yang

5
membuat bilirubin lebih dapat larut di dalam larutan yang encer. Bilirubin
terkonjugasi diekskresikan oleh hepatosit ke dalam kanalikulus empedu di
dekatnya dan akhirnya dibawa dalm empedu ke duodenum.
Dalam usus halus, bilirubin dikonversikan menjadi urobilinogen yang
sebagian akan diekskresikan ke dalam feses dan sebagian lagi diabsorbsi
lewat mukosa intestinal ke dalam daerah portal. Sebagian besar dari
urobilinogen yang diserap kembali ini dikeluarkan oleh hepatosit dan
diekskresikan sekali lagi ke dalam empedu (sirkulasi enterehepatik).
Sebagian urobilinogen memasuki sirkulasi sistemik dan diekskresikan oleh
ginjal ke dalam urin. Eliminasi bilirubin dalam empedu menggambarkan
jalur utama ekskresi bagi senyawa ini.
Konsentrasi bilirubin dalam darah dapat meningkat jika terdapat
penyakit hati, bila aliran empedu terhalang (yaitu, oleh batu empedu dalam
saluran empedu) atau bila terjadi penghancuran sel-sel darah merah yang
berlebihan. Pada obstruksi saluran empedu, bilirubin tidak memasuki
intestinum dan sebagai akibatnya, urobilinogen tidak terdapat dalam urin.
d. Fungsi Kandung Empedu
Kandung empedu berfungsi sebagai depot penyimpanan bagi empedu.
Di antara saat-saat makan, ketika sfingter Oddi tertutup, empedu yang
diproduksi oleh hepatosit akan memasuki kandung empedu. Selama
penyimpanan, sebagian besar air dalam empedu diserap melalui dinding
kandung empedu sehingga empedu dalam kandung empedu lebih pekat
lima hingga sepuluh kali dari konsentrasi saat diekskresikan pertama
kalinya oleh hati. Ketika makanan masuk ke dalam duodenum akan terjadi
kontraksi kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi yang
memungkinkan empedu mengalir masuk ke dalam intestinum. Respon ini
diantarai oleh sekresi hormon kolesitokinin-pankreozimin (CCK-PZ) dari
dinding usus.
2. Sistem Bilier
Sistem Bilier terbagi atas :
a. Intrahepatik

6
Sistem biliaris Intrahepatik terdiri atas kanalikuli biliaris dan
duktuli biliaris intralobular. Duktus biliaris intrahepatik terdiri atas sel
kuboid atau sel epitel kolumnar. Bersama dengan bertambahnya
jaringan konektif fibroelastis di sekitar epitel, maka duktus semakin
besar. Duktus yang terbesar mempunyai otot polos pada dindingnya.
Kanalikuli biliaris sebenarnya bukan merupakan suatu duktus
melainkan suatu dilatasi ruang interseluler antara hepatosit yang
berdekatan. Diameter lumen kanalikuli ini rata-rata 0,7 mm.
b. Ekstrahepatik
Sistem biliaris ekstrahepatik merupakan suatu saluran yang berada
di dalam ligamentum hepatoduodenale dan secara histologis terdiri
atas sel epitel kolumnar tinggi yang mensekresi mukus, selain itu juga
terdapat jaringan konektif di bawah epitel yang terdiri atas sejumlah
serabut elastis, kelenjar mukus, pembuluh darah dan saraf.
Sistem biliaris extrahepatik terdiri dari :
1) Duktus Hepatikus Kiri dan Kanan
Duktus hepatikus kiri dan kanan muncul pada porta hepatika dari
kanan dan kiri lobus hepar dan berbentuk huruf V. Panjang dari
duktus hepatis kiri dan kanan bervariasi antara 0,5-2,5 cm.
Biasanya duktus hepatis kiri lebih panjang dari kanan dan lebih
mudah dilatasi bila terjadi obstruksi di bagian distal.
2) Duktus Hepatikus Komunis
Duktus Hepatikus komunis merupakan gabungan antara duktus
hepatikus kiri dan kanan dengan panjang sekitar 4 cm. Pada 95 %
kasus, gabungan ini berada di luar hepar, tepat di bawah dari porta
hepatis. Pada 5% kasus, bergabung di dalam hepar.
3) Duktus sistikus
Duktus sistikus timbul di bagian leher vesika fellea dan bergabung
dengan duktus hepatika komunis. Panjang duktus sistikus
bervariasi antara 0,5-0,8 cm dengan diameter rata-rata 1-3 mm.
Dalam duktus sistikus, mukosa membentuk 5-10 lipatan seperti

7
bulan sabit yang dikenal sebagai spiral valves of Heister. Valvula
ini berfungsi untuk menahan distensi yang berlebihan atau kolaps
dari vesika fellea dengan mengubah tekanan dalam duktus sistikus
dan berfungsi dalam menghambat masuknya batu empedu ke
dalam duktus koledokus.
4) Duktus Koledokus
Duktus koledokus terbentuk dari gabungan duktus sistikus dengan
duktus hepatikus komunis. Panjang duktus ini sekitar 7,5 cm,
namun juga dapat bervariasi tergantung dari panjang duktus
sistikus dan duktus hepatikus komunis dengan diameter sekitar 6
mm. Duktus koledokus dibagi dalam 4 segmen : supraduodenal,
retroduodenal, pankreatika dan intraduodenal.
5) Ampula vateri
Ampula vateri terbentuk dari pertemuan antara duktus koledokus
dengan duktus pankreatikus. Panjang ampula ini bervariasi,
ditemukan panjangnya lebih dari 2 mm pada 46 % kasus,
sedangkan kurang dari 2 mm pada 32 % kasus dan tidak ada
pertemuan antara duktus pankreatika dengan duktus koledokus
pada 29 % kasus.
6) Sphingter Oddi
Pada segmen intraduodenal dari duktus koledokus dan ampula
dikelilingi oleh lapisan serabut otot polos yang dikenal
sebagai Sphingter of Oddi. Sfingter ini merupakan kelompok
serabut otot yang berada pada dinding duktus koledokus.
Pengaturan dari aliran empedu utamanya dikontrol oleh sfingter ini
dan terjadi relaksasi sfingter akibat stimulasi kolesistokinin dan
parasimpatis.
3. Sistem Vaskularisasi
Duktus biliaris ekstrahepatik mendapat vaskularisasi dari beberapa tempat,
diantaranya; Duktus hepatis dan segmen supraduodenal dari duktus koledokus
mendapat aliran darah dari cabang kecil arteri sistikus. Bagian retroduodenal

8
dari duktus koledokus disuplai oleh cabang retroduodenal dan posterosuperior
dari arteri pankreatikoduodenal. Segmen pankreatika dan intraduodenal
divaskularisasi oleh arteri pankreatikoduodenal bagian anterior dan
posterosuperior.
B. Penyakit Atresia bilier
1. Definisi
Atresia bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam
pipa/saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju
ke kantung empedu (gallbladder). Ini merupakan kondisi congenital, yang
berarti terjadi saat kelahiran (Lavanilate.2010.Askep Atresia Bilier).
Atresia Bilier adalah suatu efek kongenital yang merupakan hasil dari
tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik
atau intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006)
Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau
lebih dari duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin,
menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan hati yang bervariasi dari statis
empedu sampai sirosis biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut menjadi
hipertensi porta. (Kamus Kedokteran Dorland, 2006)
Atresia bilier merupakan penghambatan atau obstruksi satu atau lebih
saluran empedu yang membawa cairan empedu dari liver ke kantung empedu
akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten dan
kerusakan hati yang bervariasi dari statis empedu sampai sirosis biliaris,
dengan splenomegali bila berlanjut menjadi hipertensi porta.
2. Etiologi
Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli
menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan
adanya kelainan kromosom trisomi 17, 18 dan 21, serta terdapatnya anomali
organ pada 30% kasus atresia bilier. Namun, sebagian besar penulis
berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang
merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi. Beberapa anak,

9
terutama mereka dengan bentuk janin atresia bilier, seringkali memiliki cacat
lahir lainnya di jantung, limpa, atau usus.
Sebuah fakta penting adalah bahwa atresia bilier bukan merupakan
penyakit keturunan. Kasus dari atresia bilier pernah terjadi pada bayi kembar
identik, dimana hanya 1 anak yang menderita penyakit tersebut. Atresia bilier
kemungkinan besar disebabkan oleh sebuah peristiwa yang terjadi selama
hidup janin atau sekitar saat kelahiran. Kemungkinan yang "memicu" dapat
mencakup satu atau kombinasi dari faktor-faktor predisposisi berikut:
a) Infeksi virus atau bakteri
b) Masalah dengan sistem kekebalan tubuh
c) Komponen yang abnormal empedu
d) Kesalahan dalam pengembangan saluran hati dan empedu
e) Hepatocelluler dysfunction
3. Patofisiologi
Penyebabnya sebenarnya atresia bilier tidak diketahui sekalipun
mekanisme imun atau viral injurio bertanggung jawab atas progresif yang
menimbulkan obstruksi saluran empedu. Berbagai laporan menunjukkan
bahwa atresia bilier tidak terlihat pada janin, bayi yang baru lahir (Halamek
dan Stefien Soen, 1997). Keadaan ini menunjukan bahwa atresia bilier terjadi
pada akhir kehamilan atau pada periode perinatal dan bermanisfestasi dalam
waktu beberapa minggu sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi secara progresif
dengan menimbulkan obstruksi dan fibrosis pada saluran empedu intrahepatik
atau ekstrahepatik (Wong, 2008).
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi
aliran normal empedu keluar hati, kantung empedu dan usus akhirnya akan
menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati, bahkan hati menjadi
fibrosis dan sirosis.
Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus biliaris yang
menimbulkan ikterus dan duktus didalam lobus hati yang meningkatkan
ekskresi bilirubin. Obstruksi yang terjadi mencegah terjadi bilirubin ke dalam
usus menimbulkan tinja berwarna pucat seperti kapur.

10
Obstruksi bilier menyebabkan akumulasi garam empedu di dalam darah
sehingga menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak adanya
empedu dalam usus, lemak dan vitamin A, D, E, K tidak dapat di absorbsi
sehingga mengalami kekurangan vitamin yang menyebabkan gagal tumbuh
pada anak (Parakrama, 2005).
4. Manifestasi Klinis
Bayi mengalami ikterus segera setelah lahir, feses pucat dan gambaran
serupa dengan hepatitis neonates. Jika kondisi ini tidak diobati, maka hepar
akan membesar, jantung menjadi tidak terlibat dan ada tanda malabsorbsi
lemak. Gejala yang biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu
berupa: Air kemih bayi berwarna gelap (karena tingkat bilirubin dalam darah
dengan konsentrasi tinggi masuk ke dalam urin), tinja berwarna pucat / acholic
(karena kurangnya bilirubin yang diserap), kulit berwarna kuning, berat badan
tidak bertambah atau penambahan berat badan berlangsung lambat, hati
membesar.
Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
Gangguan pertumbuhan, gatal-gatal, rewel, tekanan darah tinggi pada vena
porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa
ke hati).
Tanda pertama dari atresia bilier adalah penyakit kuning, yang
menyebabkan warna kuning pada kulit dan bagian putih mata. Jaundice
disebabkan oleh hati tidak mengeluarkan bilirubin, pigmen kuning dari darah.
Biasanya, bilirubin diambil oleh hati dan dilepaskan ke dalam empedu.
Namun, penyumbatan saluran empedu menyebabkan bilirubin dan elemen lain
dari empedu terakumulasi dalam darah. Bayi akan menunjukan kondisi normal
pada saat lahir tetapi dalam perkembangannya menunjukan jaundice (kulit dan
sclera mata berubah menjadi kuning), warna aurin yang pekat, dan warna feses
yang cerah dalam minggu pertama kehidupan. Setiap bayi dengan jaundice,
setelah berumur 1 bulan dapat dipastikan terkena atresia biliaris dengan
pemeriksaan darah (diantaranya: tipe bilirubin, bilirubin konjugasi dan
bilirubin tak terkonjugasi). Peningkatan bilirubin pada bayi dikarenakan

11
kekurangan drainase, abdomen menjadi sangat tegang, dan perbesaran
dikarenakan peningkatan ukuran hati. Jika hal ini terjadi, bayi akan menjadi
rentan dan kehilangan berat badan (meskipun pertambahan cairan akan
menutupinya ).
5. Klasifikasi
Tipe- tipe atresia biliary, secara empiris dapat dikelompokkan dalam 2
tipe:
a) Tipe yang dapat dioperasi / Operable/ correctable.
Jika kelainan/sumbatan terdapat dibagian distalnya. Sebagian besar
dari saluran-saluran ekstrahepatik empedu paten.
b) Tipe yang tidak dapat dioperasi / Inoperable/ incorrectable
Jika kelainan / sumbatan terdapat dibagian atas porta hepatic, tetapi
akhir-akhir ini dapat dipertimbangakan untuk suatu operasi porto
enterostoma hati radikal. Tidak bersifat paten seperti pada tipe operatif.
Menurut anatomis atresia billier ada 3 tipe:
a) Tipe I Atresia sebagian atau totalis yang disebut duktus hepatikus
komunis, segmen proksimal paten
b) Tipe IIa Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus billiaris
komunis, duktus sistikus, dan kandung empedu semuanya)
c) Tipe IIb Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis,
duktus sistikus, kandung empedu normal
d) Tipe III Obliterasi pada semua system duktus billier ekstrahepatik
sampai ke hilus

Gambar 2.1 Tipe Atresia Bilier

12
Tipe I dan II merupakan jenis atresia yang dapat di operasi (correctable)
sedangkan tipe III adalah bentuk atresia yang tidak dapat di operasi (non
correctable), bila telah terjadi sirosis maka dilakukan transpalantasi hati.
6. Pemeriksaan Diagnostik
Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya
diandalkan untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan
ekstrahepatik. Secara garis besar, pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3
kelompok, yaitu pemeriksaan :
a. Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan
mengetahui fungsi hati (darah,urin, tinja). Seperti pemeriksaan rutin
(pemeriksaan urin, darah, tinja dan fungsi hati) dan pemeriksaan
khusus (pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT))
b. Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai
parenkim hati. Seperti USG, sintigrafi hati, liver scan, pemeriksaan
kolangografi
c. Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang
diagnosis atresia bilier.
7. Penatalaksanaan
a. Terapi medikamentosa
Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama
asam empedu (asamlitokolat), dengan memberikan :
 Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral.
 Fenobarbital akan merangsang enzim glukuronil transferase (untuk
mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk);
enzimsitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Na+ K+
ATPase (menginduksi aliranempedu).
 Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal
pemberian susu. Kolestiramin memotong siklus enterohepatik
asam empedu sekunder
Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan : Asam
ursodeoksikolat, 310 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis per oral. Asam

13
ursodeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat
yang hepatotoksik.
b. Terapi nutrisi
Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides
(MCT) untuk mengatasi malabsorpsi lemak dan mempercepat
metabolisme. Disamping itu, metabolisme yang dipercepat akan secara
efisien segera dikonversi menjadi energy untuk secepatnya dipakai oleh
organ dan otot, ketimbang digunakan sebagai lemak dalam tubuh.
Makanan yang mengandung MCT antara lain seperti lemak mentega,
minyak kelapa, dan lainnya.
c. Terapi bedah
 Kasai Prosedur
 Pencangkokan atau Transplantasi Hati

14
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Pengumpulan data
a. Identitas
Identitas meliputi nama klien, usia, jenis kelamin.
b. Keluhan utama
Terdapat keluhan yaitu jaundice dalam 2 minggu sampai 2 bulan.
c. Riwayat penyakit sekarang
Anak dengan Atresia Billiary intra hepatik setelah usia 6 tahun terjadi
gangguan neuromuskuler seperti tidak ada reflek-reflek tendo dalam,
kelemahan memandang ke atas, ketidakmampuan berjalan akibat
parosis kedua tungkai bawah serta kehilangan rasa getar.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat kesehatan lalu meliputi riwayat penyakit yang pernah diderita,
riwayat operasi, riwayat alergi, riwayat imunisasi.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Untuk mengetahui apakah dalam keluarga ada yang menderita
penyakit yang sama dengan klien, keturunan dan lainnya. Menentukan
apakah ada penyebab herediter atau tidak.
f. Pemeriksaan Fisik
BI :Sesak nafas, RR meningkat
B2 :Takikardi, berkeringat, kecenderungan perdarahan (kekurangan
vitamin K).
B3 :Gelisah atau rewel
B4 :Urine warna gelap dan pekat
B5 :Distensi abdomen, kaku pada kuadran kanan, asites, feses warna
pucat, anoreksia, mual, muntah, regurgitasi berulang, berat badan
menurun, lingkar perut 52 cm.

15
B6 :Ikterik pada sclera kulit dan membrane mukosa, kulit berkeringat
dan gatal(pruritus), oedem perifer, kerusakan kulit, otot lemah
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1) Bilirubin direk dalam serum meninggi
2) Nilai normal bilirubin total < 12 mg/dl
3) Bilirubin indirek serum meninggi karena kerusakan parenkim hati
akibat bendungan empedu yang luas
4) Tidak ada urobilinogen dalam urine
5) Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase
alkalifosfatase (5-20 kali lipat nilai normal) serta traksi-traksi lipid
(kolesterol fosfolipid trigiliserol)
b. Pemeriksaan diagnostik
1) USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab
kolestasis ekstra hepatic (dapat berupa dilatasi kristik saluran
empedu)
2) Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu cairan
duodenum di aspirasi. Jika tidak ditemukan cairan empedu dapat
berarti atresia empedu terjadi
3) Sintigrafi radio kolop hepatobilier untuk mengetahui kemampuan
hati memproduksi empedu dan mengekskresikan ke saluran
empedu sampai tercurah ke duodenum. Jika tidak ditemukan
empedu di duodenum, maka dapat berarti terjadi katresia intra
hepatic
4) Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan dan
noduler. Kandung empedu mengecil karena kolaps. 75% penderita
tidak ditemukan lumen yang jelas
3. Pemeriksaan tingkat perkembangan
a. Tahap Tumbuh Kembang umur 6-9 Bulan
1) Duduk (sikap tripoid-sendiri)
2) Belajar berdiri, kedua kakinya menyangga sebagian berat badan

16
3) Merangkak meraih mainan atau mendekati seseorang
4) Memindahkan benda dari tangan satu ke tangan lainnya
5) Memungut dua benda, masing-masing tangan pegang satu benda
pada saat yang bersamaan
6) Memungut benda sebesar kacang dengan cara meraup
7) Bersuara tanpa arti, misalnya ,mamama, bababa, papapa
8) Mencari benda/mainan yang dijatuhkan
9) Bermain tepuk tangan atau ciluk ba
10) Bergembira dengan melempar benda
11) Makan kue sendiri
b. Umur 9-12 bulan
1) Mengangkat badannya ke posisi berdiri
2) Belajar berdiri selama 30 detik atau berpegangan di kursi
3) Dapat berjalan dengan di tuntun
4) Mengulurkan lengan/badan untuk meraih mainan/gambar yang
diinginkan
5) Menggenggam erat pensil
6) Memasukkan benda ke mulut
7) Mengulang menirukan bunyi yang didengar
8) Menyebut 2-3 suku kata yang sama tanpa arti
9) Mengeksplorasi sekitar, ingin tahu, ingin menyentuh apa saja
10) Bereaksi terhadap suara perlahan/bisikan
11) Senang diajak bermain “ ciluk ba”
12) Mengenal anggota keluarga, takut kepada orang yang belum dikenal
c. Umur 12-18 bulan
1) Berdiri sendiri tanpa berpegangan
2) Membungkuk memungut mainan kemudian berdiri kembali
3) Berjalan mundur 5 langkah
4) Memanggil ayah dengan kata “papa”, memanggil ibu dengan kata
“mama”. Tergantung mengajarinya, kalau diajari memanggilnya
“ayah” ya akan dipanggil “ayah.

17
4. Pola fungsi kesehatan
a. Aktivitas istirahat
Gejala : Letargi atau kelemahan
Tanda : Gelisah atau rewel
b. Sirkulasi
Tanda: Takikardia, berkeringat, ikterik pada sklera kulit dan membran
mukosa.
c. Eliminasi
Tanda :Distensi abdomen, asites
Urine :Warna gelap, pekat
Feses :Warna dempul, steatorea, diare/konstipasi dapat terjadi
d. Integritas Ego
Gejala : Menyangkal, tidak percaya, sedih, marah.
Tanda : Takut, cemas, gelisah , menari diri
e. Makanan/ Cairan
Gejala : Anoreksia, tidak mau makan, mual/muntah tidak toleran
terhadap lemak dan makanan pembentuk gas, regurgitasi berulang.
f. Higyene
Tanda : Sangat ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala: Otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas ditekan.
h. Pernapasan
Gejala: Peningkatan frekuensi pernafasan
i. Keamanan
Tanda : Ikterik, kulit berkeringat dan gatal (pruritus), kecenderungan
perdarahan (kekurangan vitamin K), oedem perifer, jaundice,
kerusakan kulit.
B. Diagnosa keperawatan
1. Hipertermia
2. Pola nafas tidak efektif
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

18
4. Kekurangan volume cairan
5. Gangguan Integritas kulit/jaringan
6. Ansietas
7. Resiko infeksi
C. Intervensi
1. Dx: Hipertermia berhubungan dengan infeksi virus atau bakteri, kerusakan
progresif pada duktus bilier, inflamasi progresif
Intervensi:
 Monitor suhu sesering mungkin.
 Monitor warna dan suhu kulit.
 Monitor tekanan darah, nadi dan RR.
 Monitor WBC, Hb, dan Hct.
 Kompres pasien pada lipat paha dan aksila.
 Tingkatkan sirkulasi udara.
 Monitor tanda – tanda hipertermi.
 Tingkatkan intake cairan dan nutrisi.
 Selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh.
 Berikan antipiretik jika perlu.
2. Dx: Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan
obstruksi aliran dari hati kedalam, lemak dan vitamin larut lemak tidak
dapat di absrobsi, kekurangan vitamin larut lemak (A,D,E,K).
Intervensi:
 Atur posisi klien untuk memaksimalkan ventilasi.
 Dorong klien untuk bernafas pelan dan dalam.
 Auskultasi bunyi nafas, area penurunan ventilasi atau tidak adanya
ventilasi dan adanya bunyi nafas tambahan.
 Kelola pemberian bronchodilator sesuai kebutuhan.
 Monitor status respirasi dan oksigen sesuai kebutuhan.
 Pertahankan kepatenan jalan nafas.
 Siapkan perlengkaan O2 dan atur system humidifikasi.
 Berikan tambahan oksigen sesuai permintaan.

19
 Berikan oksigen sesuai kebtuhan
 Monitor kefektifan terapi oksigen
3. Dx. Nutrisi berkurang
Intervensi:
 Timbang BB klien pada interval yang sesuai
 Tentukan BB ideal klien
 Berikan informasi menyangkut sumber-sumber yang tersedia. seperti:
konseling, diet, program latihan.
 Diskusikan dengan klien tentang kondisi medis yang mempengaruhi
BB
 Diskusikan tentang risiko yang berkaitan dengan kelebihan atau
kekurangan BB
 Bantu klien dalam mengembangkan rencana makan yang seimbang
dan konsisten dengan tingkat penggunaan energy
4. Dx. Hipovolemi
Intervensi:
 Periksa tanda dan gejala hipovolemi (mis. Frekuensi nadi meningkat,
nadi teraba lemah, TD menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit
menurun, membran mukosa kering, volume urin menurun, hematokrit
meningkat, haus, lemah)
 Monitor intake dan output cairan
 Hitung kebutuhan cairan
 Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
 Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
 Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis. NaCl, RL)
5. Dx. Gangguan Integritas kulit/jaringan
Intervensi:
 Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit (mis. Perubahan siklus,
perubahan nutrisi, perubahan kelembaban, suhu lingkungan ekstrem,
penurunan mobilitas)
 Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring

20
 Gunakan produk berbahan ringan/alami dan hipoalergik pada kulit
sensitive
 Hindari produk berbahan dasar alkohol pada kulit kering
 Anjurkan minum air yang cukup
 Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
 Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur
6. Dx. Risiko infeksi
Intervensi:
 Batasi pengunjung, bila perlu
 Instruksikan pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan
sesudah berkunjung meninggalkan pasien
 Gunakan sabun anti mikroba untuk cuci tangan
 Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
 Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
 Pertahankan lingkungan aseptic selama pemasangan alat
 Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kencing
 Tingkatkan intake nutrisi
 Berikan terapi antibiotic, bila perlu infection protection (proteksi
terhadap infeksi)
 Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local
 Monitor kerentanan terhadap infeksi
 Sharing kepada pengunjung mengenai penyakit menular
 Pertahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko
 Dorong masukan istrirahat
 Instruksikan pasien meminum antibiotic sesuai resep
 Ajarkan pasien dan keluarga pasien tanda dan gejala infeksi
 Ajarkan cara menghindari infeksi
 Laporkan kecurigaan infeksi
7. Dx. Ancietas
Intervensi:

21
 Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (mis. kondisi, waktu,
stressor)
 Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan non verbal)
 Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan
 Pahami situasi yang membuat ansietas
 Dengarkan dengan penuh perhatian
 Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
 Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu
 Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
 Latih teknik relaksasi
 Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu

22
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Atresia Bilier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari
tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik
atau intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006)
Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau
lebih dari duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin,
menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan hati yang bervariasi dari statis
empedu sampai sirosis biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut menjadi
hipertensi porta. (Kamus Kedokteran Dorland, 2006)
B. Saran
Adapun saran yang dapat kelompok sampaikan bagi pembaca khususnya
mahasiswa/i Jurusan Keperawatan, hendaknya memberikan asuhan
keperawatan lansia dengan benar dan tepat sehingga dapat sesuai dengan
evaluasi yang diharapkan.

23
24

Anda mungkin juga menyukai