Review Buk1

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 6

Review Buku

Pemberontakan Petani Banten 1888


Oleh Windi Wulan
Npm 182171048
Judul Asli : The Peasants’ Revolt Of Banten In 1888

Judul : Pemberontakan Petani Banten 1888

Penulis : Prof.Dr Sartono Kartodirdjo

Penerjemah : Hasan Basari

Penerbit : Pt Dunia Pustaka Jaya

Cetakan Pertama : 1984 Jakarta

Jumlah Halaman : XI + 509 hal

Ulasan Bab II (Latar Belakang Sosio Ekonomis)

Dalam buku ini terdapat 10 bab dengan 509 halaman, dan saya akan meriview bab II tentang
latar belakang sosio ekonomis peristiwa pemberontakan petani banten pada tahun 1888.

Dalam bab ini diceritakan beberapa sub bab yang menjadi latar belakang terjadinya
peristiwa pemberontakan khususnya pada bidang sosial dan ekonomi.

Daerah Peristiwa dan Factor Ekologis yang Relevan

Banten yang terletak di bagian paling barat pulau jawa, luasnya sekitar 114 mil persegi. Daerah
banten yang paling padat benduduknya adalah distrik Cilegon. Berkaitan dengan kepadatan
penduduk adalah keadaan pengarapan tanah, yang pada giliranya sangat tergantung kepada
lingkungan fisik. Daerah itu dapat dibagi menjadi dua bagian yang sangat berbeda satu sama
lain. Bagian selatan yang merupakan daerah pengunungan, sehingga sedikit penduduknya,
sedangkan bagian utara tanahnya sebagian besar digukan lahan pertanian sehingga penduduknya
juga padat.

Sruktur Sosial dan Ekonomi Agraria

Dalam masyarakat yang agraris, tanah merupakan sumber produksi dan kekayaan yang utama
sebagai akibatnya maka klasifkasi penduduk desa yang tradisional didasarkan atas kepemilikan
tanah.

Dalam perokonomian di banten mayoritas penduduknya adalah seorang petani dan sisanya
adalah seorang pedagang, nelayan atau tukang, atau sebagai pengusaha industri.

Dalam pertanian dua perangkat penting menyangkut pemilikan tanah dan penyewaan tanah.
System hak tanah di Banten berasal dari zaman kesultanan. Namun di tahun 1808 Daendles
menghapus tanah-tanah milik sultan serta wajib kerja bakti serta memungut seperlima bagian
dari hasil panen sebagai pajak tanah untuk seluruh daerah daratan rendah di Banten. Beberapa
tahun kemudian Raffles menjadikan sewa tanah sebagai satu-satunya pajak tanah.

Saat menghapuskan tanah sultan menjadi tanah milik pemerintah, banyak sekali yang menentang
terutama dikalangan keluarga kesultanan dan orang-orang yang mendapat tanah dari sultan entah
itu pemberian atau berupa hadiah,walaupun pemerinah memberikan ganti rugi. Hal inilah yang
menimbulkan banyak rasa tidak puas dan itulah yang dianggap sebagai sumber kerusuhan-
kerusuhan di Banten sampai tahun 1830.

Konflik Mengenai Hak Tanah

Banyak terjadi permasalahan mengenai kepemilikan tanah salah satu contohnya adalah
pemilikan tidak sah atas sawah Negara oleh anggota-anggota pramongpraja atau kerabat-kerabat
mereka yang dapat dibuktikan dalam kasus Badamusalam. Dan banyak sawah Negara dan sawah
yasa yang di tuntut oleh kerabat-kerabat sultan. Keluarga sultan banyak dirugikan dengan
beralihnya kekuasaan tanah menjadi milik pemerintah, mereka tak bisa lagi menarik upeti dan
sewa tanah di masyarakat, hal ini tentu membuat mereka kehilangan banyak kewenangan dan
kekuasaan. Terlebih di dalam masyarakat sendiri banyak pemungutan pajak dan sewa tanah.

Wajib Kerja Bakti

Sebetulnya system kerja bakti sudah diterapkan pada zaman kesultanan. Dimana rakyat wajib
menyumbangkan tenaga mereka untuk kepentingan umum, seperti membuat jalan umum, ikut
berperang, membuka tanah baru dll. Namun seiring berjalannnya waktu penggunaan tenaga
petani yang melampaui batas kiranya menjadi factor utama pontensi terjadinya konflik. Salah
satu contohnya dalam kasus Kadikaran. Jayakusuma yang menjabat sebagai Demang di distrik
Ciruas, ia mengambil 2 bau sawah Negara di Kadikaran dan ia mulai memeras tenaga petani
untuk membuka kebun kelapa, ia juga mengharuskan kepala-kepala desa untuk menyediakan
empat orang pekerja tiap hari, dan mereka itu tidak memperoleh upah ataupun makanandari
Jayakusuma. Dan penduduk desa diharuskan menyerahkan bibit kelapa setiap ada perkawinan.

Penindasan-penindasan yang terus menerus oleh anggota pamongraja yang menyalah


gunakan privilese mereka telah menimbulkan banyak penderitaan dikalangan penduduk.

Pembaruan-Pembaruan Pemerintah

Tidak memadainya undang-undang modern sebagai saran untuk meniadakan keburukan-


keburukan sosial. hal inilah yang menyebabkan banyaknya praktek-praktek sewenang-sewenang
yang paling buruk yang berkaitan degan bebagai beban yang dikenakan kepada kaum tani oleh
pamongraja,yang ditungaskan untuk untuk mengarahkan orang-orang untuk melakukan kerja
paksa dan untuk memungut pajak.

Pada masa kekuasaan Daendles 1808, ia berusaha menghapuskan tanah-tanah sultan dan
dibagi-bagikan pada rakyat , setelah itu pada tahun 1859, wajib kerja bakti secara berangsur
angsur dikurangi lima tahun sekali sehingga tidak lama kemudian seseorang bisa bebas dari kerja
wajib tertentu apabila ia membayar sejumlah uang tertentu. Meskipun menurut peraturannya
sudah lama dihapuskan, namun berbagai kerja wajib yang harusnya dilakukan petani bagi
kepala-kepala setempat dan daerah mereka masih tetap bertahan dalam berbagai bentuk dan
dengan menggunakan berbagai kedok. Dan kerja wajib itu malahan tambah berat.

System Status

Seing dikatakan orang bahwa di kalangan masyarakat Banten tidak ada perbedaan kelas. Tetapi
dikalang masyarakat memang terkenal dengan satu pengertian stratifikasi , yang dikenal dengan
istilah undakan.

 Raden yaitu orang-orang keturunan pahlawan-pahlawan legendaris dari masa


pengislaman Banten, orang-orang keturunan putri sultan yang kedua, dan keturunan
orang yang begelar raden.
 jalma leutik atau orang tani yaitu Petani, tukang, pedagang dan buruh.
 Priyayi yaitu kelas atasan terdiri dari elite birokrasi dan bangsawan
 Abdi yaitu oaring-orang yang mengabdi kepada gusti atau tuan mereka.

Elite Pedesaan

Golongan agama atau kiyai dan haji sangat dihormati dan mereka dipandang sebagai symbol
prestise sosial. Hal inisangat wajar mengingat hampir semua masyarakat Banten beragama islam.
Dan kaum elite birokrasi yang baru atau kaum priyayi dianggap sebagai golongan aristokrasi
yang sedang naik selama system administasi colonial. Namun di dalam pemerintahan colonial
golongan agama mempunyai peranan yang kecil maka mereka tidak mempunyai kemampuan
untuk meningkatkan kedudukan sosial. Meskipun elite agama mempunyai presetise simbolik
yang besar sekali, namun mereka tidak mempunyai kedudukan politik yang sepadan. Hal inilah
salah satu sebab utama pemberontakan.

Rasa Tidak Puas yang Dirangsang Oleh Pembaharuan

Di dalam penghapusan kerja bakti secara berangsur-angsur, pada tahun 1882 yang
mengeluarkan aturan bahwa penghapusan semua kerja bakti untuk pejabat (pancendiensten) dan
menggantikannya dengan pajak kepala. Menurut peraturan ini yang wajib membayar pajak
hanyalah mereka yang diharuskan melakukan kerja bakti (herendienstplichtigen) sebagai
pelaksana peraturan itu, resident Spaan dari Banten memerintah agar semua laki-laki sehat yang
berusia 15-50 tahun dikenakan pajak itu. Jelaslah bahwa peraturan itu diterapkan atas kekeliruan
Spaan atas kerja bakti, ia mengganggap bahwa kerja bakti itu berasal dari pajak tanah, oleh
karena pajak kepala dijadikan pengganti kerja bakti, ia menganggapnya sebagai pajak yang
dikenakan atas perorangan. Diberlakukannya beraturan ini menyebabkan para kepala rumah
tangga harus memikul beban yang terlalu berat, karena mereka harus membayar pajak kepala
lagi anggota keluarganya yang berumur 15-50 tahun .

Salah satu peraturan administrative lainya yang menimbulkan rasa tidak puas adalah penempatan
pajak para pedagang. Dinaikannya pajak initelah menjadi sebab kejengkelan yang sudah
menumpuk dikalangan penduduk,khususnya di disktrik Bojonogoro, penempatan pajak untuk
para pedagang rupa-rupanya telah dilaksanakan secara ketat sekali dan dinaikan melampaui
batas.

Disamping kasus-kasus mengenai penetapan pajak, pengutipan satu jenis pajak perdagangan
yang istimewa di Cilegon. Yakni pajak pasar berdasarkan 14 ordonasi 17 januari 1878, residen
Banten memerintahkan agar orang-orang yang berjualan di pasar dikenakan pajak pasar.

Kesulitan Ekonomi yang Disebabkan Oleh Bencana-Bencana Fisik

Pada masa sebelum pemberontakan, kondisi sosio-ekonomis telah menimbukan tekanan-tekanan


dan tuntutan-tuntutan yang asing dan tak terduga sebelumnya, dan menjadi sumber frustasi yang
kumulatif. Perlu diketahu bahwa daerah itu sudah sangat menderita akibat bencana-bencana fisik
yang silih berganti melanda dalam tahun-tahun sebelum pemberontakan. Wabahpenyakit ternak
yang terjadipada tahun 1879 telahmenurunkan jumlah seluruh ternak menjadi sepertiga sehingga
terasa sekali kekuranganakan kerbau dan banyak sekali wabah terpaksa ditelantarkan. Tindakan
yang diambil untuk mencegah meluasnya penyakit itu yakni membunuh secara masal telah
menimbulkan banyak kerugian yang besar serta rasa cemas dikalangan rakyat.

Tahun berikutnya muncul wabah demam yang menyebabkan lebih dari sepluh persen penduduk
meniggal dunia. Karena terdapat kekurangan yang sangat besar akan tenaga kerja, banyak sawah
tak dapat digarap dan malahan ada panen yang tidak dapat dipetik.akibatnya satu musim
kelaparan yang gawat tak dapat dielakan lagi.

Sebelum rakyat bisa bangun terjadi letusa gunung Krakatau yang dasyat pada tahun 1883
menyebabkan kehancuran hebat di daerah itu. Lebih dari 20.000 orang meninggal dan banyak
desa yang tadinya makmur menjadi hancur dan sawah-sawah yang subur berubah menjadi tanah
yang gersang. Penduduk memerlukan waktu beberapa tahun untuk bangki dari peristiwa tersebut.

Semua kejadian itu merupakan pukulan yang sangat hebat bagi penduduk, akibat merosotnya
populasi peternak dan jumlah tenaga kerja manusia yang tersedia yang kurang, sekitar sepertiga
dari tanah pertanian tidak dapat ditanami selama tahun-tahun karena bencana itu (1880-1882),
sementara letusan gunung Krakatau menyebabkan luas tanah yang tidak dapat digarap menjadi
lebih besar, terutama dibagian barat afdeling caringin dan anyer.

Factor-faktor sosio-ekonomis yang telah saya paparkan diataslah yang menjadi dasar
pemberontakan petani Banten.jadi bukan tampa alasan pemberontakan ini meletus, kurangnya
perhatian dari pemerintah kolonial, serta banyaknya penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan para elite birokrat, terlebih pajak-pajak yang tidak memikirkan kesejahteran rakyatlah
yang akhirnya membuat rakyat menderita dan memberontak.

KELEBIHAN

Pemaparan buku ini sangatlah detail terutama pemaparan latar belakang sosio-ekonomi
peristiwa pada pemberontakan petani Banten 1888 dari berbagai sudut pandang, hal inilah yang
menyebabkan para pembaca menjadi paham akan keadaan masyarakat saat itu buku ini juga
memuat berbagai peristiwa yang dilengkapi bukti-bukti sejaman.

KEKURANGAN

Buku ini adalah buku terjemahan dari bahasa inggris, sehingga banyak kalimat yang rancu dan
kurang dipahami, pembaca harus membaca berulang untukdapat memahami maksud dari si
penulis, di beberapa kalimat juga terdapat kata yang typo. Serta banyak kata-kata ilmiah yang
kurang dipahami pembaca.

SUMBER PEMBANDING BUKU

Anda mungkin juga menyukai