Anda di halaman 1dari 7

ANALISIS UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK CERPEN ANGKATAN 66

“ KIAI GENGGONG”

KARYA : MUH, WAN ANWAR

OLEH :

1.
KIAI GENGGONG

Tujuh hari setelah Mama mangkat, musyawarah memutuskan Kiai Genggong sebagai
pengganti Mama. Sebagian keluarga memang ada yang kurang sreg. Menurut mereka, Kiai Sabar
atau Kiai Behbar lebih pantas memimpin Pesantren Gupitan. Pasalnya, Kiai Genggong agak
nyeleneh–waktu kecil suka berkelahi, semasa remaja sering kebut-kebutan, menjelang dewasa
berkali-kali menampar orang, dan kini suka hidup menyendiri.Hanya sebagian keluarga,
sejumlah warga Gupitan juga merasa risau dengan terpilihnya Kiai Genggong. Kelembutan dan
kewibawaan Mama berbeda sekali dengan watak keras Kiai Genggong. Tapi semua sudah
diputus, lagi pula sebelum meninggal Mama berwasiat demikian. Kiai Sabar dan Kiai Behbar
sendiri mengakui adik merekalah yang paling layak memimpin pesantren itu.

Mulailah Kiai Genggong memimpin pesantren. Tiap Senin pagi dan Kamis malam,
orang-orang menuju pesantrennya, berduyun bagai domba putih yang akan dimandikan. Mereka
menyimak pengajian kiai muda itu. Pada awalnya kegiatan berlangsung seperti di zaman Mama
meski kecemasan terus bergayut dalam diri jemaah kalau-kalau watak keras Kiai Genggong
muncul tak terduga.

Benar saja, seperti gempa longsor di Gunung Gede, tiba-tiba pesantren guncang.
Kecemasan itu terbukti. Suatu hari, tanpa alasan jelas, Kiai Genggong menampar Jamhuri,
pedagang kambing. Jamhuri tidak melawan. Ia segera meninggalkan pesantren agar pengajian
terus berjalan. Namun, pada hari lain, peristiwa terjadi lagi, kali ini Mustofa yang kena. Juga tak
melawan. Berikutnya Mang Yusuf, Kang Baban, Wak Jana, dan entah siapa lagi.

Sejak peristiwa itu, jemaah Kiai Genggong berkurang. Hanya beberapa puluh saja yang
bertahan. Kiai Sabar dan Kiai Behbar tidak bertindak apa-apa. Mereka menghormati wasiat
Mama. Mereka mencintai ayah mereka dan ayah mereka sangat menyayangi Kiai Genggong.
Sewaktu pengajian tinggal hanya dihadiri pencinta keras kepala, Kiai Genggong tetap tegar
seperti pohon mahoni sepanjang jalan menuju pesantren. Suasana memang agak lengang, seperti
Gupitan malam-malam. Hanya kemersik daunan gugur atau bunyi jangkrik dan suara kodok,
selebihnya gema kata-kata Kiai Genggong. Setahun sejak Kiai Genggong menampar beberapa
jemaah, pesantren memang mirip kuburan.Tapi Gupitan tidak ditakdirkan menjadi kampung
yang sunyi. Meski pesantren sepi, di sekitar kuburan Mama malah tumbuh semacam pasar.
Banyak orang berziarah, malah mereka datang dari kota-kota yang jauh. Warga Gupitan tak
menyia-nyiakan peluang itu. Mereka berdagang: sate kambing, nasi goreng, soto ayam, ikan
goreng, busana muslim, mainan anak, dan lain-lain. Suasana semakin ramai ketika Kiai
Genggong memaklumatkan tiap tahun akan ditradisikan haolan mangkatnya Mama.

Tradisi haolan dari tahun ke tahun pun berkembang. Lokasi pasar dekat kuburan meluas.
Di lokasi kuburan, Kiai Genggong membangun gedung besar untuk berdoa. Haolan yang
awalnya cuma semalam dua malam, lama-lama jadi seminggu. Pamor Kiai Genggong terangkat
lagi, jemaah ke pesantrennya kembali bertambah. Pelataran parkir pesantren kemudian diperluas
karena jemaah dan peziarah selalu datang bermobil-mobil, bahkan berbus-bus.Seiring dengan
banjirnya jemaah dan peziarah, perilaku Kiai Genggong kembali normal. Malah warga Gupitan
dan para jemaah mulai memandang lain ketika suatu hari gilinding yang mengaspal lapangan
parkir pesantren terjerumus ke jurang sungai. Semua pekerja panik, tapi Kiai Genggong tampil
mencengangkan. Dengan tenang, diambilnya sehelai benang, dikaitkan ke tiang gilinding, lalu
gilinding itu diangkat ke tempat semula.

Sejak itu masyarakat percaya, Kiai Genggong kiai sakti. Kesaktiannya terbukti pula pada
suatu hari hujan lebat padahal banyak peziarah di luar bangunan kuburan. Hanya de- ngan
mengangkat kedua tangan dan mengibaskan sorbannya, hujan di sekitar kuburan tiba-tiba reda.
Bukan hanya itu, bila masjid pesantren tidak cukup menampung jemaah, Kiai Genggong
meminta santrinya membentangkan tikar pandan di atas kolam pinggir masjid dan menyuruh
jemaah shalat di tikar itu.

Kesaktian Kiai Genggong tersiar dari mulut ke mulut, juga berita-berita koran. Jemaah
pun kian berjubel. Sementara itu, kuburan Mama terus dikunjungi peziarah dari berbagai
penjuru. Memang akhirnya ada banyak orang datang hanya berharap menyaksikan kesaktian Kiai
Genggong-entah sebagai hiburan, bahan cerita, atau berharap dapat barokah kesaktian tersebut..
Kiai Genggong makin termasyhur setelah beredar desas-desus bahwa orang-orang yang dulu
pernah ditamparnya kini sudah pada menjadi kaya. Jamhuri bukan Jamhuri lagi. Ia telah jadi haji,
punya sawah berhektar-herktar, dan domba beribu-ribu. Juga Mustofa, Haji Mustofa, kini punya
angkot 15, ojek 35, dan 2 penggilingan padi. Masyarakat mengingat-ingat lagi nama yang dulu
ditampar Kiai Genggong dan setiap ingat sebuah nama selalu saja orang itu memang telah
menjadi kaya. Diam-diam masyarakat yakin tamparan Kiai Genggong memang bertuah. Itu
sebabnya orang makin berbondong mendatangi Pesantren Gupitan. Kali ini mereka justru
berharap ditampar Kiai Genggong.

Kisah kesaktian tamparan menyebar ke berbagai kota. Ada yang percaya, ada yang ragu,
ada pula yang menganggapnya sekadar dongeng. Namun, apa pun tanggapan mereka, yang jelas
mereka berusaha datang ke Gupitan. Dan diam-diam di hati mereka tumbuh harapan siapa tahu
ditampar Kiai Genggong.

Pada suatu hari, dua lelaki bernama Hamid dan Jamal, dari kota provinsi, datang juga ke
Pesantren Gupitan. Mereka shalat di sana, ziarah ke kuburan Mama, dan menyimak pengajian
Kiai Genggong. Seperti jemaah lain, di hati dua petinggi partai yang juga pengusaha itu tebersit
harapan siapa tahu kena tamparan Kiai Genggong.Berkali-kali Bung Hamid dan Bung Jamal
datang ke Gupitan. Bahkan pada kedatangan ketiga, strategi dibicarakan matang. Intinya, Bung
Hamid dan Bung Jamal sepakat mengusahakan bagaimana caranya agar telapak tangan Kiai
Genggong mendarat di muka mereka. Mereka berjanji kalau salah seorang ditampar, kekayaan
yang kelak diperoleh akan dibagi dua. Itu sebabnya, dana keberangkatan ke Gupitan ditanggung
bersama.

Bung Hamid dan Bung Jamal bukan tipe orang gampang putus asa. Dibuatlah strategi
lain ketika sudah berkali-kali ke Gupitan be- lum juga tamparan berkhasiat itu mendarat di muka
mereka. Kali ini mereka mengajak anak buahnya ke Gupitan. Anak buahnya diinstruk- sikan
berusaha maksimal agar ditampar Kiai Genggong. Bung Hamid dan Bung Jamal menegaskan
kalau ada yang kena tampar dan ke- lak jadi kaya, sebagian kekayaan itu harus di- serahkan ke
kas partai dan ke saham perusahaan. Itu sebabnya, seluruh dana ke Gupit- an ditanggung Bung
Hamid dan Bung Jamal. Tapi Tuhan itu Zat yang sulit dibaca, berkali- kali ke sana masih tak
terjadi apa-apa juga. Padahal pada kedatangan kesembilan, bukan hanya 100 anak buah yang
dibawa, tapi 500 sampai kemudian 1.000 pada kedatangan kesepuluh.
Tuhan sebenarnya maha pengasih dan hidup selalu bervariasi. Selalu ada jalan bagi
mereka yang berusaha. Entah bagaimana mulanya, Bung Hamid dan Bung Jamal tiba-tiba kenal
dengan Mang Cecep. Rupanya Mang Cecep menyarankan Bung Hamid dan Bung Jamal
mendatangi dulu seorang dukun. Wak Makbul nama dukun itu. Dan atas saran Wak Makbul,
Bung Hamid dan Bung Jamal membeli 7 ekor kerbau, 70 ekor kambing, dan 700 ekor ayam
untuk disedekahkan kepada sebanyak-banyaknya fakir miskin di sekitar tempat tinggal Wak
Makbul. Tak ada masalah bagi Bung Hamid dan Bung Jamal, yang penting bisa bertemu dan lalu
ditampar Kiai Genggong.Bung Hamid dan Bung Jamal nyaris setiap minggu, Senin pagi atau
Kamis malam, datang ke Gupitan karena-menurut petunjuk Wak Makbul-suatu hari secara tak
terduga mereka akan langsung ditampar Kiai Genggong. Tapi ingat, harus sabar, serahkan
semuanya kepada Tuhan, begitu pesan Wak Makbul.

Beberapa bulan berlalu, tak ada hasil. Malah terasa semakin mustahil mendapatkan
anugerah tamparan itu. Bung Hamid dan Bung Jamal kembali menemui Mang Cecep, tetapi apa
daya Wak Makbul sudah dibunuh orang-orang bertopeng karena dicurigai sebagai dukun teluh.
Tapi bukan Bung Hamid dan Bung Jamal kalau tak penasaran. Meski tabungan sudah menipis,
perusahaan terancam pailit, partai digugat massa, utang ke bank bertambah, Bung Hamid dan
Bung Jamal terus mencari akal agar bisa ditampar Kiai Genggong.

Dan pada suatu hari berkenalanlah Bung Hamid dan Bung Jamal dengan Om Sarjono,
kepala keamanan di lokasi parkir pesantren. Perkenalan tak terduga sebenarnya, ketika Bung
Hamid dan Bung Jamal hampir koit dikeroyok massa gara-gara mobil mereka menyerempet
pedagang yang berjejer sepanjang jalan menuju pesantren. Om Sarjono-lah yang
menyelamatkannya dari amarah massa yang sudah siap menguyurkan bensin untuk membakar
mobil itu. Lewat Om Sarjono inilah akhirnya Bung Hamid dan Bung Jamal bisa bertemu malam-
malam dengan Kiai Genggong. Om Sarjono, kata orang, memang teman kebut-kebutan Kiai
Genggong dulu ketika muda. Om Sarjono ini jugalah yang suka menyelesaikan urusan bila
sepeda motor Genggong bermasalah dengan polisi. Dan inilah yang terjadi malam itu: Malam
yang dingin. Harum bunga-bunga padi di sawah, deru daun-daun mahoni, angker rimbun
beringin, kelepak pelepah palma yang jatuh, dan desah rumpun bambu di sudut pesantren
mengiringi gairah-gelisah Bung Hamid dan Bung Jamal. Aku harus kembali kaya, gumam
mereka. Partai boleh bubar, perusahaan boleh bangkrut, tapi aku harus tetap kaya! Begitu tekad
mereka.

Dan kini sebentar lagi akan berhadapan dengan Kiai Genggong. Suara kodok di selokan
mengguncang-guncang gairah-gelisah mereka. Begitu Kiai Genggong tiba di amben, duduk di
tikar berlapis karpet buatan Turki, sepasang matanya langsung menyerbu muka Bung Hamid dan
Bung Jamal. Seperti ada pasir longsor di dada mereka, tapi mereka berusaha menguasai detak
jantung dan irama aliran darah.

“Assalamualaikum…” sapa mereka terbata-bata.

Tapi anehnya Kiai Genggong justru menggerakkan badan hingga menghadap ke bilik
kiri. Deg, jantung Bung Hamid dan Bung Jamal seakan copot. Tapi mereka segera ingat cita-cita.
Mereka menggeser duduknya ke sebelah kiri dan kemudian berhadapan kembali dengan Kiai.
Mereka kembali ucapkan salam. Deg, darah di jantung mereka serasa berhenti. Kiai Genggong
kembali menggerakkan tubuhnya ke tempat semula. Bung Hamid dan Bung Jamal bersitatap,
tapi tak ada kata yang terloncat. Mereka gelisah dan seperti akan lenyap segala gairah. Tapi
mereka teguh pada cita-cita. Mereka menggeser kembali tubuh mereka hingga tepat berhadapan
dengan Kiai. Kembali mengucap salam.

Dan deg, seperti ada gada menonjok dada mereka. Kiai Genggong membalik tubuhnya,
kali ini ke arah kanan. Bung Hamid dan Bung Jamal kembali bertatapan seperti dua kucing
menunggu pemilik rumah lengah saat menje- mur ikan. Tapi cita-cita setia memandu mere- ka.
Mereka geser tempat duduk ke arah kanan hingga bisa sedikit menatap wajah Kiai. Mereka
dengan pelan kembali mengucap salam. Tetapi lagi-lagi deg, sebongkah batu seakan mengimpit
tubuh mereka. Kiai kembali menggeser tubuhnya ke tempat semula. Lurus menatap kejauhan
depan rumahnya yang berseberangan dengan pesantren. Tapi Bung Hamid dan Bung Jamal tak
mau menyerah. Mereka kembali ke tempat semula dan mengucap salam.

“Waalaikum salam…” jawab Kiai sambil terus komat-kamit.

Plong, paru-paru Bung Hamid dan Bung Jamal seperti dibasuh angin Gupitan yang segar
dan sejuk itu. Benar-benar eksentrik kiai ini, kata mereka dalam hati. Mereka merapikan posisi
duduk, kemudian Kiai bertanya.

“Bapak-bapak teh ada keperluan apa, tolong segera katakan!”

“Pertama-tama.…”

“Mohon langsung ajah ke pokok tujuan!”

“Kami ingin bersilaturahmi.…”

“Alhamdulillah, kita sekarang sudah bertemu bukan?”

“Kami… ehm… ingin belajar.…”

“Niat yang mulia.…”

“Maksud kami…, kami… punya masalah.”

“Subhanallah, bertawakalah kepada Allah!” Dan Kiai seakan mau beranjak.

“Tapi… Kiai, kami…, kami… membutuhkan bantuan.…”

“Berdoalah kepada Allah, lalu berusaha.…”

“Kami… sengaja… kami mau memohon nasihat….”

“Bacalah kitab suci dan….”

“Maksud kami…, kami… ingin menyumbang.…”

“Alhamdulillah, nuhun, bersedekahlah terutama ke fakir miskin.”

“Kiai, kami ada perlu,” kata Bung Hamid tiba-tiba tegas.


“Dan penting sekali!” sambung Bung Jamal.

“Perlu apa atuh, mohon segera katakan!” Kiai Genggong suaranya dalam.

“Kami banyak kehilangan harta….”

“Carilah kembali dengan jalan yang benar.”

“Kami ingin kembali kaya.”

“Niat yang bagus, asal demi kemaslahatan dunya akherat.”

“Kami membutuhkan Kiai!” kata Bung Hamid lepas.

“Kiai harus membantu kami!” Bung Jamal teriak.

Kiai Genggong beranjak dan hendak meninggalkan mereka, tetapi Bung Hamid dan Bung
Jamal berbarengan teriak, “Kami minta Kiai menampar kami!” Kiai Genggong benar-benar
meninggalkan mereka, menuju pintu ruang tengah, menyentuh gerendel kunci, tetapi Bung
Hamid dan Bung Jamal sigap menepuk punggung Kiai, membalikkannya, dan kembali teriak,
“Tamparlah kami, tamparlah Kiai!” Kiai Genggong melepaskan cengkeraman tangan mereka,
tapi Bung Hamid menghadang dekat pintu ruang tengah. “Kami mohon Kiai, tamparlah kami!”
“Maafkan Bapak-bapak, sayah tak pernah tega menampar orang!”

“Jangan berdusta, Kiai!” Dan plak! Bung Hamid menampar Kiai hingga terhuyung ke
sudut ruang dan juga plak, sebuah tamparan lagi kali ini dari telapak tangan Bung Jamal. Darah
tipis mengalir dari sela bibir Kiai. “Tamparlah kami, Kiai, kalau tidak terpaksa.…”

Namun tiba-tiba buuk, buuk, tinju Om Sarjono yang sejak tadi mengawasi mereka
mendarat di hidung Bung Hamid dan mata Bung Jamal. Darah meleleh dan begitu tubuh mereka
rebah, Om Sarjono menekukkan siku lengannya dan sebelah kakinya ke masing-masing dada
mereka. “Pak Kiai, tolong tinggalkan kami, biar mereka saya yang ngurus!”

Malam itu-karena Bung Hamid dan Bung Jamal belum siuman-Om Sarjono terpaksa
memanggul tubuh mereka keluar dari kompleks pesantren sambil bergumam, “Untung saya
bertindak cepat. Kalau tidak, tulang kalian bisa remuk, kulit muka kalian bisa hangus!”
 UNSUR INTRINSIK
1. Tema :
Ketenaran Kiai Genggong yang berhasil memimpin dan memajukan pesantren Gupitan
yang semula dipimpin oleh Mama (Ayahnya).

2. Tokoh:
Tokoh utama:
- .Kiai Genggong : Tokoh utama Protagonis (Keras, nyeleneh)
Tokoh pembantu:
-.Kiai Sabar : Tokoh Tipikal
-.Kiai Behbar : Tokoh Tipikal
-. Mama : Tokoh Tipikal lembut berwibawa
-. Bung Hamid : Tokoh tipikal
-. Bung Jamal : Tokoh tipikal
Tokoh bayangan:
-. Wak Makbul
-. Mang Cecep
-. Om Sarjono

3. Latar tempat : Pesantren Gupitan (di sebuah kampung)


Latar Sosial : kehidupan pesantren dan warga kampung Gupitan

4. Alur : Maju(Progresif)
 Tahap pengenalan Tokoh
 Tahap Pemunculan konfliks
 Tahap pengembangan konflik
 Tahap penyelesaian

5. Sudut Pandang: orang ketiga

6. Nilai yang terkandung dalam cerpen : Janganlah menyepelekan orang lain dengan hanya
melihat kelemahannya saja tanpa memperhatikan potensi/kelebihan yang dimilikinya.

Anda mungkin juga menyukai