Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA

“Konsep Ketuhanan dalam Islam”

Oleh :

Kelompok 3 (3KBS 4) :

1. Aji Muhammad Ghofur


2. Muhammad Iqbal Assegaf

Jurusan Teknik sipil


Politeknik Negeri Malang
Jl.Soekarno Hatta No.9 Malang – 65141
Telp : 0341-404423, 404425
Tahun 2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tauhid merupakan suatu prinsip lengkap (dasar) yang menembus


seluruh dimensi serta mengatur seluruh aktivitas manusia (QS.9 : 109).
Semangat Tauhid akan mereflesikan nilai-nilai dasar kehidupan yang akan
mengangkat harkat dan martabat manusia, seperti kemerdekaan, egaliter,
musyawarah, keadilan dan keihklasan, yang semua nilai tersebut berawal dan
tertuju serta beredar pada prinsip Tauhid. Dengan kata lain, kita berasal dari
Tuhan (QS. 2 : 256). Bahkan Tuhan menggambarkan keimanan (Tauhid)
dengan pohon yang baik, yang akan memberi manfaat pada lingkungan (QS. 14
: 24-26).
Tauhid bukan sekedar ucapan apalagi pengakuan semata. Tetapi yang
lebih penting adalah harus kita jadikan pandangan dan landasan sikap dalam
perbuatan kita untuk membangun kesadaran diri, pembebasan diri dari sifat
keakuan (semangat thagut) menuju masyarakat marhamah atas limpahan kasih
sayang Tuhan.

1.2 Tujuan

1. Menyelesaikan tugas makalah Pendidikan agama.


2. Memahami konsep ketuhanan dalam islam seutuhnya.
3. Mengerti dan dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari –
hari.

1.3 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian pengertian Aqidah, tauhid, dan syirik ?


2. Bagaimana konsep Aqidah sebagai kebutuhan manusia ?
3. Bagaimana probelema syirik ?
4. Bagaimana makna syahadat dan implementasinya ?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Aqidah, Tauhid dan Akhlak

Secara etimologi aqidah berasal dari kata aqoda-yu’qodu-aqdan-aqidatan, aqdan berarti


simpul, ikatan, perjanjian yang kokoh. Aqidah Islamiyah merupakan suatu bentuk perjanjian
manusia dengan Allah SWT yang akan mengikat mengatur hidup dan kehidupan manusia.
Secara terminology, Hasan Al-Banna memberikan konsepsi, bahwa “Aqoid (bentuk jamak dari
aqidah)adalah beberapa hal yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati(mu), yang
mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyaknan yang tidak bercampur sedikitpun dengan
keragu-raguan.(Ilyas,tt:1)
Tauhid adalah ilmu yang digunakan untuk mengesakan Allah, sedangkan iman adalah
suatu keyakinan kepada Allah yang esa dalam hati, diikrarkan di lesan dan dibuktikan melalui
tindakan atau dalam Bahasa yang lain iman adalah menggantungkan diri kepada Allah SWT
yang esa.
Ketiga konsep (aqidah, tauhid, dan iman) bias kita fahami secara utuh, karena secara
substantive titik tolaknya (awal dan akhirnya) adalah mengenai Allah SWT. Dalam realitasnya,
Istilah iman biasanya merujuk pada rukun iman (enam hal), Tauhid merujuk pada kalimah
syahadat pertama dan aqidah biasanya merujuk pada keduanya (keseluruhannya).

2.2 Konsep Aqidah sebagai Kehidupan Manusia

Aqidah merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi dan
prinsipil membedakan manusia dengan makhluk lain. “Sesungguhnya binatang (makhluk) yang
paling buruk disisi Allah ialah orang -orang, karena mereka tidak beriman”(QS.8:55). Dalam
kehidupan manusia, Aqidah merupakan dasar hidup (fondasi) untuk mendirikan
bangunan(berama). Karena aqidah adalah fondasi, maka aqidah merupakan kebutuhan dasar
manusia untuk meluruskan fitrah serta mengaktualisasikan misi kemanusiaan. Manusia tanpa
iman akan kehilangan harkat dan martabat sebagai makhluk yang mulia. Bahkan menurut kitab
suci, manusia yang demikian akan kehilangan eksistensi dasar nilai manusia kemanusiaaan
(iman dan amal shaleh).

Iman + Amanah = Aman


Iman + Islam = Ihsan

Iman yang demikian mengandung pengertian sikap atau pandangan hidup


kepasrahan menyandarkan diri (tawakkal) kepada Tuhan dan kembali ruju’
kepadaNya.

Cara menanamkan Aqidah menurut imam Al- Ghazali :


1. Aspek Adab.
Menurut Imam al-Ghazali, orangtua wajib mendidik anak-anaknya dengan adab
dan mengajarkan akhlak yang terpuji (al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Juz II, hlm. 89).
Jika orangtua menanamkan adab yang baik berarti dia telah memberikan sesuatu yang
sangat bernilai. Rasulullah SAW bersabda “tidak ada pemberian orangtua kepada
anaknya yang lebih utama dibandingkan pendidikan (adab) yang baik” (HR Ahmad).
Akhlak yang harus ditanamkan kepada anak sejak dini adalah sifat malu (al-
hayâ’). Yang dimaksud malu dalam hal ini adalah sifat malu yang menghalangi
seseorang dari perbuatan tercela, bukan malu yang menghalangi untuk berbuat
kebaikan. Sifat malu seperti ini menurut Imam al-Ghazali adalah karunia dari Allah dan
tanda kebaikan akhlak si anak. Sifat malu ini perlu diarahkan sehingga anak akan
terbiasa melakukan sesuatu yang baik dalam kehidupan sehari-harinya. Imam Al-
Ghazali memberi contoh buah dari sifat malu ini dalam adab makan. Dengan sifat malu
ini anak akan terbiasa mengambil makanan dengan tangan kanan, membaca basmalah
sebelum makan, mengambil makanan yang terdekat, tidak makan terlalu banyak dan
sebagainya. Bahkan jika terus dididik dengan sifat malu ini, seorang anak akan merasa
cukup dengan makanan yang ada (qana’ah) dan senang berbagi dengan, dan
mendahulukan orang lain dalam masalah makanan sejak masa kecilnya (al-îtsâr bi al-
tha’âm).
Jika dikaitkan dengan adab berpakaian, dengan sifat malu ini juga anak akan
terbiasa memakai pakaian yang baik, tidak memakai pakaian yang bercorak tidak
pantas, ataupun pakaian yang terlalu mahal sehingga menimbulkan rasa dengki dari
kawan-kawannya.
2. Aspek Ilmu
Dalam aspek ilmu, Imam al-Ghazali menyarankan agar sejak kecil anak-anak
diajarkan al-Qur’an, Hadits, dan cerita-cerita orang saleh. Hal ini menurutnya akan
menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur’an, Hadits dan juga kepada orang-orang saleh.
Selain itu, ilmu yang penting untuk diajarkan kepada anak-anak sejak keci adalah ilmu
syair-syair yang Islami. Hal ini untuk menanamkan cinta keindahan kepada mereka
sejak dini.

3. Aspek Kedisiplinan
Di dalam mendidik anak Imam al-Ghazali mengingatkan pentingnya
kedisiplinan. Dan dalam prakteknya harus disertai keadilan. Jika anak melakukan suatu
kebaikan, hendaknya orangtua menghargainya, memujinya bahkan jika perlu
memberinya hadiah yang menggembirakan hatinya. Hal ini penting untuk memotivasi
anak untuk mencintai kebaikan dan terus berbuat kebaikan. Sebaliknya, jika anak
melakukan kesalahan, maka orangtua tidak boleh lalai. Orangtua harus
memperhatikannya dengan seksama. Jika ia mengulangi untuk yang kedua kalinya
maka hendaknya diberi nasehat secara individu, tidak di hadapan orang lain. Namun
nasehat ini tetap disertai peringatan yang tegas agar si anak tidak mengulangi kembali
kesalahannya.

Dalam melaksanakan disiplin, orangtua harus berwibawa di hadapan anaknya.


Ayah maupun ibunya hendaknya selalu menjaga ucapan maupun sikapnya di hadapan
anaknya. Dengan demikian orangtua bukan sekedar memberi contoh yang baik, tapi
juga menjadi contoh yang baik.

Selain itu orangtua harus menanamkan sifat berani kepada anak-anaknya.


Sehingga jika suatu hari dia mendapat teguran, bahkan hukuman fisik yang
proporsional dari gurunya di sekolah dia akan sabar menjalani hukuman itu, tidak
cengeng lalu mengadukan masalahnya itu kepada orangtua.
4. Aspek kesehatan fisik
Menurut Imam al-Ghazali anak harus dibiasakan banyak bergerak di siang hari.
Jangan banyak tidur di siang hari. Anak harus dibiasakan untuk berjalan, berlari,
bergerak dan berolahraga agar tidak muncul rasa malas dalam dirinya.

Dalam masalah ini orangtua bahkan perlu memberikan izin kepada anaknya
untuk bermain setelah mereka belajar. Sebab menurutnya, melarang anak bermain akan
membuat hati anak menjadi keras dan menurunkan semangat belajarnya. Bahkan itu
membuka pintu untuk si anak mencari jalan untuk bermain secara sembunyi-sembunyi.

5. Aspek sosial
Dalam pergaulannya anak-anak harus dididik berbahasa yang santun, bersikap
rendah hati (tawadhu’), menghormati orang yang lebih tua, mencegah dari mengambil
hak orang lain, dan menanamkan dalam diri mereka bahwa kemuliaan seseorang itu ada
di dalam sikap memberi kepada orang lain.
Anak juga harus dididik agar tidak terlalu banyak bicara, mendengarkan orang
lain yang sedang berbicara, dan tidak mudah bersumpah meskipun dia benar. Adab-
adab ini penting untuk diamalkan khususnya ketika mereka berhadapan dengan
orangtua, guru ataupun orang lain yang lebih tua.

6. Aspek ibadah
Dalam masalah ibadah orangtua hendaknya memperhatikan ibadah anak-
anaknya. Imam Al-Ghazali mengingatkan agar orangtua membiasakan anaknya dalam
keadaan bersuci (dawâm al-thahârah), mendirikan shalat, berpuasa Ramadhan sesuai
kemampuan. Pembiasaan ibadah sejak kecil ini penting untuk dilakukan agar ketika si
anak dewasa dia sudah terbiasa melaksanakan perintah Allah dengan senang hati.
Meski ditulis puluhan abad yang lalu rumusan pendidikan anak menurut Imam
al-Ghazali ini masih sangat relevan untuk saat ini. Pendidikan anak yang menyatukan
aspek adab, ilmu, kedisiplinan, kesehatan, sosial dan spiritual. Setiap orangtua harus
memperhatikan masalah pendidikan anak jika ingin melihat anaknya menjadi pelipur
lara (qurrata a’yun) yang dibanggakan. Seperti kata Raja Ali Haji dalam Gurindam 12
“Dengan anak janganlah lalai, supaya boleh naik ke tengah balai”. Wallâhu a’lam bis
shawâb

Sikap tauhid merupakan sikap mental hati yang kurang stabil akan
menyebabkan sikap ini mudah berubah-ubah. Adapun hal-hal yang dapat mengurangi
sikap tauhid, yaitu:
1. Penyakit riya
Kelemahan ini pun disinyalir oleh Allah sendiri didalam Al-Qur’an sebagai
peringatan bagi manusia. Sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya proses terjadinya manusia (membuatnya) tak stabil. Bila
mendapatkan kegagalan lekas berputus asa. Bila mendapatkan kemenangan cepat
menepuk dada”. (Al-Ma’aarij: 19-21)
2. Penyakit ananiah (egoism)
Kemungkinan kedua bagi mereka yang belum stabil sikap pribadinya, selain
sikap riya ialah manusia menempuh jalan pintas. Rasa tidak pasti tadi diatasinya dengan
mementingkan diri sendiri. Namun sifat ini tidak akan tumbuh didalam pribadi yang
mau beribadah ihsan dan khusyu.
3. Penyakit takut dan bimbang
Rasa takut ini biasanya timbul terhadap perkara yang akan datang yang belum
terjadi. Adapun cara mengatasi rasa takut ini ialah dengan tawakal’alallah artinya
mewakilkan perkara yang kita takuti itu kepada Allah SWT, maka Allah akan
memberikan pemecahan masalah tersebut.
4. Penyakit Zhalim
Zhalim artinya meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya atau melakukan
sesuatu yang tidak semestinya.
5. Penyakit hasad atau dengki
Hasad tumbuh dihati seseorang apabila ia tidak senang kepada keberhasilan
orang lain. Sikap ini biasanya didahului oleh sikap yang menganggap diri paling hebat
dan paling berhak mendapatkan segala yang terbaik, sehingga jika melihat ada orang
lain yang kebetulan lebih beruntung, ia merasa tersaingi.

2.3 Problema Syirik

Secara istilah, syirik menjadika sekutu bagi Alllah dalam melakukan


sesuatuperbuatan yang seharunsya perbuatan itu hana ditujukan kepada Allah SWT,
seperti menjaadikan tuhan – tuhan lain Bersama Allah , menyembahnya , mentaatinya,
meminta pertolongan kepadanya, mencintainya atau melakukan perbuatan – perbuatan
lain, seperti itu yag tidak boleh dilakukan kecuali Allah SWT.
Ada 2 macam syirik, yaitu :
 Syirik Formal
Menganggap Allah dengan yang lain seperti benda – benda
(alam dan manusia) dijadikan Tuhan.
 Syirik non Formal
Secara formal tidak syirik akan tetapi substansinya syirik, hal ini
bisa dilihat dari tujuan seseorang. Misalnya, berbuat pamrih, ingin dipuji
orang lain, dll. Jadi tujuannya tidak jelas, tidak karena Allah SWT semata
(ikhlas)
Dengan demikian manusia syirik adalah manusia yang kehilangan harkat dan
martabatnya yang lebih tinggi. Ia tidak lagi mewujudkan pribadi merdeka dan ia dengan
sendirinya menjadi budak atau hamba bagi objek (sesuatu) yang dimuliakannya
(dipujanya).

Dampak Buruk Perbuatan Syirik


1. Tersesat sejauh – jauhnya & dosa Syirik tidak diampuni (jika belum bertaubat hingga
mati).
‫ض ََل اَل بَ ِعيداا‬ َّ ِ‫َّللاَ ََل يَ ْغ ِف ُر أَن يُ ْش َركَ بِ ِه َويَ ْغ ِف ُر َما د ُونَ َٰذَلِكَ ِل َمن يَشَا ُء ۚ َو َمن يُ ْش ِر ْك ب‬
َ ْ‫اَّللِ فَقَد‬
َ ‫ض َّل‬ َّ ‫إِ َّن‬
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan
Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia
telah tersesat sejauh-jauhnya. [An Nisa(4) Ayat 116]
2. Pelakunya diharamkan masuk surga, dan tempatnya adalah neraka
َّ ‫َّللاَ ه َُو ْال َمسِي ُح ا ْبنُ َم ْريَ َم ۖ َوقَا َل ْال َمسِي ُح يَا بَ ِني إِس َْرائِي َل ا ْعبُد ُوا‬
‫َّللاَ َربِي َو َربَّ ُك ْم ۖ إِنَّهُ َمن‬ َّ ‫لَقَدْ َكفَ َر الَّذِينَ قَالُوا إِ َّن‬
‫صار‬َ ‫ظا ِل ِمينَ ِم ْن أَن‬ ُ َّ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه ْال َجنَّةَ َو َمأ ْ َواهُ الن‬
َّ ‫ار ۖ َو َما ِلل‬ َّ ِ‫يُ ْش ِر ْك ب‬
َّ ‫اَّللِ فَقَدْ َح َّر َم‬
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah
Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil,
sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan
kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu
seorang penolongpun. [Al Maidah(5) ayat 72]
3. Terhapusnya amal kebaikan yang pernah dilakukan
َ‫ط َّن َع َملُكَ َولَتَ ُكون ََّن ِمنَ ْالخَا ِس ِرين‬
َ َ‫ي إِلَيْكَ َوإِلَى الَّذِينَ ِمن قَ ْبلِكَ لَئِ ْن أ َ ْش َر ْكتَ لَيَحْ ب‬ ِ ُ ‫َولَقَدْ أ‬
َ ‫وح‬
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang
sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu
dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. [Az Zumar(39) ayat 65]
dan berdasarkan :
َّ ‫َٰذَلِكَ ُهدَى‬
َ ‫َّللاِ يَ ْهدِي ِب ِه َمن يَشَا ُء ِم ْن ِعبَا ِد ِه ۚ َولَ ْو أ َ ْش َر ُكوا لَ َح ِب‬
َ‫ط َع ْن ُهم َّما كَانُوا َي ْع َملُون‬
Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan
Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. [Al
An’am(6) ayat 88]
4. Tidak diterima amal (perbuatan) kebaikan dari pelaku syirik
‫صا ِل احا َو ََل يُ ْش ِر ْك‬ ِ ‫ي أَنَّ َما ِإ َٰ َل ُه ُك ْم ِإ َٰ َلهٌ َو‬
َ ‫احدٌ ۖ فَ َمن َكانَ َي ْر ُجو ِلقَا َء َر ِب ِه فَ ْل َي ْع َم ْل َع َم اَل‬ َّ َ‫قُ ْل ِإنَّ َما أ َنَا َبش ٌَر ِمثْلُ ُك ْم يُو َح َٰى ِإل‬
‫ِب ِع َبادَ ِة َر ِب ِه أَ َحداا‬
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”.
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam
beribadat kepada Tuhannya”. [AL Kahfi(18) ayat 110]
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini menyatakan bahwa syarat diterimanya suatu
amalan ada 2, salah satunya adalah ikhlash karena Allah. Sehingga amalan yang
dilakukan selain karena Allah seperti karena riya, atau sebagainya tidaklah diterima
(karena termasuk syirik)

2.4 Makna syahadat dan Impelementasinya

Kalimat tauhid (Laa Ilaaaha Illa – Allah) sering juga disebut dengan kalimat
Toyyibah, kalimat ini sebgai kunci pembuka dan penentu iman dan kemusliman
seseorang. Kalimah ini juga sebagai furqon (pembeda) antara muslim dan tidaknya
seseorang. Bila kita mencoba memahami kalimat ini perkata, yaitu :
 Asyhadu artinya saya bersaksi. Kata ini menunjukan rasa keakuan
(pribadi total) sekaligus menunjukan rasa tanggung jawab dan
pertanggungjawaba secara komunal di tengah masayrakat dan
tanggungjawab individu dihadap Allah kelak.
 Laa artinya tidak ada. Kata ini merupakan Laa Nafiya Lil jinsi ( yaitu
hurus nafi yang meniadakan segala hal jenis atau macam – macam jenis
(banyak jenis). Dalam hal ini yang ditiadakn adalah segala macam jenis
Illah (tuhan palsu) jika dirangkaikan “Laa Ilaaha” (tidak ada tuhan –
tuhan palsu beserta implikasinya). Harus dihilangkan karena tidak sesuai
dengan fitrak manusia.
 Illa adalah hurf istisna yang mengandung arti kecuali . arti yang demikian
mengarah pada pengertian ahad(esa).

Implementasinya :
 Kemerdekaan Manusia
 Sikap rgaliter menuju ukhuwah Islamiyah
 Prinsip musyawarah
 Perbedaan pendapat menuju kalimat sawa’ dalam musyawarah
 Keadilan social
 Sikap ikhlas
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Prinsip Tauhid akan memancarkan nilai kemanusiaan yang bersifat universal.


Nilai ikhlas, kemerdekaan, demokratis dan keadialan merupakan nilai yang bersifat
universal. Perwujudan nilai tersebut akan berhasil bila disemangati oleh iman dan
ketaqwaan (tauhid) yang kuat, dalam membangun diri dan menata tata kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pengingkaran terhadap nilai tersebut dalam
kehidupan pribadi dan masyarakat sama dengan pengingkaran “Fitrah”
(kesucian/Nurani) manusia, pada waktu yang samamanusia akan kehilangan harkat dan
martabatnya sebagai manusia mulia.

Anda mungkin juga menyukai