Anda di halaman 1dari 13

KONSEP DASAR MEDIS

A. Definisi

Pembesaran jinak kelenjar prostat adalah proses yang sangat umum


terjadi pada hampir semua laki-laki dengan testis yang berfungsi. Istilah
pembesaran prostat jinak didefinisikan sebagai pertumbuhan prostat yang
cukup untuk mengobstruksi (menghambat) jalan keluar uretra, yang
menyebabkan gejala saluran kemih bawah (LUTS) yang mengganggu,
infeksi saluran kemih (ISK), hematuria atau gangguan fungsi saluran kemih
atas. Namun demikian, istilah hiperplasia prostat jinak (BPH), yang
didefinisikan sebagai pertumbuhan histologis nonmaligna. Benigna Prostatic
Hyperplasia atau BPH adalah masalah umum pada sistem genitourinari pada
pria dewasa yang ditunjukan dengan adanya peningkatan jumlah sel-sel
epitel dan jaringan stroma di dalam kelenjar prostat (Andre, Terrence &
Eugene, 2011). Benigna Prostat Hiperplasi adalah kelenjar prostat yang
mengalami pembesaran, yang dapat menyumbat uretra pars prostatika dan
menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Purnomo
2011).
Bukti histologis pembesaran prostat dimulai sekitar dekade ketiga
kehidupan dan meningkat secara proporsional dengan penuaan. Secara
spesifik, sekitar 43% laki-laki berusia 40-an akan tampak jelas mengalami
BPH, juga 50% laki-laki pada usia 50-an, 75%-88% pada usia 80-an, dan
hampir 100% laki-laki yang mencapai dekade kesembilan kehidupannya.
Orang Eropa dan Afrika Amerika memiliki angka prevalensi BPH yang
serupa, namun Asia Amerika cenderung memiliki angka BPH yang lebih
rendah. Namun, insiden BPH paling rendah di antara imigran, dan meningkat
pada generasi berikutnya, yang menunjukkan adanya perbedaan lingkungan
dan ras.
B. Etiologi dan Faktor Resiko

Etiologi BPH hanya dimengerti sebagian. Walaupun pembesaran


prostat hampir pada umumnya dialami oleh laki-laki dengan testis yang
berfungsi, didapatkan bahwa hal ini terjadi setelah orkiektomi bilateral.
Walaupun androgen, dan terutama testosteron, bukan penyebab langsung
BPH, keberadaannya sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan
prostat normal serta BPH.

Analisis prospektif terhadap 2115 laki-laki dari Olmstead Country,


Minnesota, menunjukkan bahwa walaupun laki-laki dengan diabetes melitus
cenderung mengalami LUTS yang mengganggu dibandingkan laki-laki non-
diabetes, mereka menunjukkan peningkatan ukuran prostat yang diragukan.
Aktivitas flsik telah diketahui memberikan efek protektif terhadap
pembesaran prostat, kemungkinan karena efek tidak langsung terhadap
obesitas. Penelitian yang dilakukan pada RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
didapatkan bahwa pasien BPH terbanyak pada tahun 2016 yaitu 15 pasien
(38,46%), disusul tahun 2014 sebanyak 11 pasien (28,21%), dan tahun 2017
sebanyak 10 pasien (25,64%), dan yang paling sedikit tahun 2015 sebanyak 3
pasien (7,69%). Hasil ini menunjukkan bahwa tahun 2016 dengan angka
kejadian BPH tertinggi. Pasien BPH dengan jumlah tertingg yaitu pada
kelompok usia 61-70 tahun 18 pasien (46,15%). Sekitar 5 juta laki-laki di
Indonesia berusia 60 tahun menderita gejala saluran kemih bagian bawah
akibat BPH. Gejala awal BPH meningkat 50% pada usia 60 tahun dan akan
sangat tinggi 90% pada usia >80 tahun.

Etiologi yang belum jelas maka terdapat beberapa faktor yang


mempengaruhi timbulnya BPH meliputi, Teori Dehidrotestosteron (DHT),
teori hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron), faktor
interaksi stroma dan epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel
(apoptosis), teori sel stem. (Purnomo, 2011). Yakni :
1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)

Di dalam prostat, testosteron diubah menjadi dihidrotestosteron


(DHT) di bawah pengaruh enzim 5α -reduktase. DHT adalah bentuk
aktif testosteron yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan
prostat selama kehidupan, dan prostat tetap sensitif terhadap produksi
androgen selama kehidupan untuk mempertahankan ukuran dan fungsi
prostat.

Saat laki-laki menjadi tua dan pembesaran prostat terjadi, kadar 5α -


reduktase dan DHT tetap serupa dengan yang tampak pada laki-laki
lebih muda, namun bukti terbaru menunjukkan bahwa keseimbangan
antara kedua bentuk enzim dapat terganggu, yang berkontribusi terhadap
pembesaran prostat. (Brunner & Suddarth, 2002)

2. Teori hormon ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)

Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosterone


sedangkan kadar estrogen relative tetap, sehingga terjadi perbandingan
antara kadar estrogen dan testosterone relative meningkat. Hormon
estrogen didalam prostat memiliki peranan dalam terjadinya poliferasi
sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah reseptor
androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis).
Meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan
testosterone meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada mempunyai umur
yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar.

3. Faktor interaksi Stroma dan epitel

Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung


dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut
Growth factor. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT
dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth faktor yang
selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan
autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu
menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.
Basic Fibroblast Growth Factor (BFGF) dapat menstimulasi sel stroma
dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan
pembesaran prostad jinak. BFGF dapat diakibatkan oleh adanya
mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.

4. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)

Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme


fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada
apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-
sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di
sekitarnya, kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan
normal, terdapat keseimbangan antara laju poliferasi sel dengan
kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat
dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati
dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru
dengan prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel
prostat secara keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi
pertambahan masa prostat.

5. Teori sel stem

Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru.
Didalam kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu
sel yang mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif.
Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone
androgen, sehingga jika hormon androgen kadarnya menurun, akan
terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan
sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang
berlebihan sel stroma maupun sel epitel.
C. Manifestasi Klinis
Obstruki prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun
keluhan di luar saluran kemih (Arora P. Et al,2006).
Gejala iritatif meliputi :
a). Peningkatan frekuensi berkemih
b). Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
c). Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda (urgensi)
d). Nyeri pada saat miksi (disuria)

Gejala obstruktif meliputi :


a). Pancaran urin melemah
b). Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
c). Kalau mau miksi harus menunggu lama
d). Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
e). Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
f). Urin terus menetes setelah berkemih
g). Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan
inkontinensia karena penumpukan berlebih.

Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia


(akumulasi produk sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi
urin kronis dan volume residu yang besar. Gejala generalisata seperti
seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman
pada epigastrik. Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi :
Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing
tak puas, frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari
Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan
mengeluh waktu miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam
bertambah hebat.
Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka
bisa timbul aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke
ginjal dan dapat menyebabkan pielonfritis, hidronefrosis.
Derajat IV : Blass penuh, colic abdomen, overlow incontinence, teraba
tumor, demam 40-41 c, gigil, delirium
D. PATOFISIOLOGI

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya
sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram.
Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000),
membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer,
zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra
(Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia
lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena
produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi
estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan
bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon
tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah
menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam
sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi
pertumbuhan,kelenjar,prostat.

Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya


perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan
patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan
oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher
vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor
dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan
prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya
pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher
vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi
keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih
tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan
sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli
balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan
mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut
divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot
dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi
lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat
digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi
disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat
sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi
terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas
setelah miksi.
Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai
hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi
sulitditahan/urgency,disuria). Karena produksi urin terus terjadi, maka satu
saat vesiko urinaria tidak mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan
intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga
terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka
ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius
bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus
mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin
dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal.
Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria
menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
(Sjamsuhidajat,2005)
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

 BNO/ IVP : untuk menentukan adanya divertikel, penebalan bladder.


 USG dengan Transuretral Ultrasonografi prostat (TRUS P) untuk
menentukan volume prostat.
 Trans-abdomal USG : untuk mendeteksi bagian prostat yang menonjol
ke buli-buli yang dapat dipakai untuk meramalkan derajat berat obstruksi
apabila ada batu dalam vesika.
 Dilakukan pemeriksaan colok dubur (rektaltuse) untuk merasakan /
meraba kelenjar prostat. Dengan pemeriksaan inni bias diketahui adanya
pembesaran prostat. Benjolan keras (menunjukkan kanker) dan nyeri
tekan (menunjukan adanya infeksi).

a). Grade 0 : Penonjolan prosrat 0-1 cm ke dalam rectum.


b). Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.
c). Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.
d). Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.
e). Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.
 Uretrosistoskopi, pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui
keadaaan uretra prostatika dan buli-buli. Uretrosistoskopi dilakukan pada
saat akan dilakukan tindakan pembedahan untuk menentukan tindakan
yang akan diambil yakni TUIP, TURP atau prostatektomi terbuka.
 Pemeriksaan laboratorium
1. Hasil Pemeriksaan darah lengkap tidak menunjukan
adanya kelainan, kecuali disertai dengan urosepsis yaitu adnya
peningkatan leukosit.
2. Pemeriksaan urin lengkap akan ditemukan adanya bakteri
patogen pada kultur jika ada infeksi dan adanya eritrosit jika terjadi
reptur pada jaringan prostat.
3. Pemeriksaan PSA (Prostate Spesific Antigen)
Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan
kadar PSA. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan
pada peradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau
TURP), pada retensi urin akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia
yang makin tua. Serum PSA meningkat pada saat terjadi retensi urin
akut dan kadarnya perlahan-lahan menurun terutama setelah 72 jam
dilakukan kateterisasi.

Rentang kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan usia adalah:

 40-49 tahun : 0-2,5 ng/ml


 50-59 tahun : 0-3,5 ng/ml
 60-69 tahun : 0-4,5 ng/ml
 70-79 tahun : 0-6,5 ng/ml

F. PENATALAKSANAAN
Continuous bladder irrigation adalah sebuah prosedur yang dirancang
untuk mencegah formasi dan retensi clot sehubungan dengan dilakukannya
TURP (Christine, Ng, 2001). Afrainin, Syah (2010) menjelaskan Continuous
Bladder Irrigation (CBI) merupakan tindakan membilas atau mengalirkan
cairan secara berkelanjutan pada bladder untuk mencegah pembentukan dan
retensi clot darah yang terjadi setelah operasi transurethral resection of the
prostate (TURP). Prosedur ini dilakukan dengan memasukkan kateter
threeway ke dalam uretra hingga ke kandung kemih. Prosedur ini umumnya
dilakukan pada 24 jam pertama post operasi TURP dan dilakukan sebagai
bagian dari perawatan post operatif post operasi TURP. Irigasi bladder tidak
boleh dianggap remeh oleh perawat karena risiko komplikasi yang dapat
timbul seperti perdarahan, retensi clot, infeksi genitourinari, dan kegagalan
untuk mengosongkan kandung kemih (Mebust, Holtgrewe, Cockett, and
Petters, 1989 dalam Afrainin, 2010).Afrainin, Syah (2010) menyatakan bahwa
penggunaan kateter tertutup dengan aliran yang berkelanjutan dapat
digunakan dengan kecepatan aliran yang direkomendasikan 500 ml/jam.
Normal saline juga sangat dianjurkan sebagai cairan irigasi bukan glycine
ataupun air steril, dengan kecepatan yang direkomendasikan untuk
mengurangi terjadinya hematuria. Air sebaiknya tidak digunakan sebagai
cairan irigasi, karena akan menyebabkan osmosis, dan akan mudah diabsorbsi
dan menyebabkan sindrom TURP.
Normal saline merupakan cairan yang paling baik karena merupakan
cairan isotonik dan tidak mudah diabsorbsi. Klien dengan irigasi kandung
kemih harus didokumentasikan intake dan output dalam sebuah chart irigasi
bladder. Selain itu, klien juga harus dipantau untuk mengetahui ada atau tidak
hematuria dengan memantau warna urin dan konsistensinya (Afrainin, 2010).
Jika tidak terdapat komplikasi, kecepatan aliran dapat dikurangi dan kateter
dapat dilepas pada hari pertama atau hari kedua post operasi.
Pemantauan CBI penting untuk dilakukan guna menghindari risiko
yang mungkin terjadi. Risiko tersebut diantaranya infeksi saluran kemih
(Kennedy, 1984 dalam Afrainin, 2010), clot yang terkumpul yang dapat
menimbulkan obstruksi dan menyebabkan nyeri, kelebihan volume cairan,
dan ruptur kandung kemih (Gilbert and Gobbi, 1989 dalam Afrainin, 2010).
Perawat bertanggung jawab untuk memberikan perawatan klien yang efektif
yang meliputi pemantauan aliran berkelanjutan selama 24 jam masa kritis.
Selain itu, perawat juga harus mampu mengidentifikasi kateter yang
tersumbat dan mengambil tindakan yang tepat untuk mengatasi hal tersebut.
Gilbert and Gobbi (1989) dalam Afrainin, Syah (2010) menjelaskan tanda
dari kateter yang tersumbat antara lain spasme kandung kemih, kebocoran
urin di sekitar kateter, distensi pada area suprapubik, terdapat clot pada
lumen. Selain itu, jumlah output drainase yang tidak sama dengan intake
irigasi atau klien mengeluh terdapat keinginan yang mendesak untuk BAB
(Afrainin, 2010).
KONSEP DASAR MEDIS TURP
A. Defenisi
Transurethral Resection of Prostate ( TURP ) adalah prosedur pembedahan yang
digunakan untuk merawat gejala Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) yang sedang
hingga parah, dengan cara memasukkan alat resectoscope (alat visual dan bedah)
ke dalam uretra untuk mengikis kelebihan jaringan prostat.

B. Tehnik Operasi
1. Marking
2. Positioning
3. Washing
4. Desinfection
5. Operating

C. Indikasi Operasi
1. Pasien dengan gejala sumbatan menetap

2. Pembesaran prostat yang progesif dan tidak dapat di terapi dengan obat

3. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran 30 –


60 gram dan pasien cukup sehat.

D. Komplikasi TURP

a.Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Timbulnya perubahan


pemeliharaan kesehatan karena tirah baring selama 24 jam pasca turp.
Adanya keluhan nyeri karena spasme buli-buli memerlukan penggunaan
antipasmodik sesuai terap dokter.

b. Pola nutrisi dan metabolisme klien yang dilakukan anasthesi SAB tidak
boleh makan dan minum sebelum flatus
c.Pola eliminasi. Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP.
Retensi urine dapat terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter.
Sedangkan inkontinensia dapat terjadi setelah kateter dilepas.

d. Pola aktivitas dan latihan. Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi


klien yang lemah dan terpasang traksi keteter selama 6-24 jam. Pada paha
yang dilakukan perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih
diperlukan.

e.Pola tidur dan istirahat. Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi
dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat.

f. Pola kognitif dan perseptual. Sistem penglihatan, pendengaran, pengecap,


peraba dan panghidu tidak mengalami gangguan pasca TURP

g. Pola persepsi dan konsep diri. Klien dapat mengalami cemas karena
kurang pengetahuan tentang perawatan serta komplikasi BPH pasca TURP

h. Pola hubungan dan peran karena klien harus menjalani perawatan di RS,
maka dapat mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga,
tempat kerja, dan masyarakat.

i. Pola reproduksi sexual. Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan


ejakulasi retrograd.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Anda mungkin juga menyukai