Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebijakan desentralisasi melalui otonomi daerah yang dicanangkan

pemerintahan di era reformasi telah mendorong adanya pembangunan nasional.

Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, pembangunan

nasional menuntut peran pemerintah daerah agar mampu mengatur rumah

tangganya sendiri termasuk dalam hal penerimaan daerah. Pajak daerah merupakan

penerimaan asli daerah yang paling besar komposisinya dalam Pendapatan Asli

Daerah (PAD). Nantinya Pendapatan Asli Daerah digunakan untuk pembangunan

daerah yang akan berlangsung secara terus menerus dan berkesinambungan dengan

tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Keberhasilan desentralisasi ini

memerlukan komitmen pemerintah daerah, legislatif, masyarakat, dan stakeholder

lain secara berkesinambungan dalam pembangunan.

Menurut Srimindarti dalam Andiza (2014) penilaian kinerja pada organisasi

publik sangat penting untuk dilakukan, agar dapat meningkatkan kualitas pelayanan

publik. Penilaian kinerja tersebut digunakan menilai keberhasilan kinerja sebuah

organisasi publik dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat. Selain itu,

penilaian kinerja pada organisasi publik digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi

kinerja pada periode yang lalu, untuk digunakan sebagai dasar penyusunan strategi

organisasi selanjutnya.
Pembayaran pajak yang diterima mendorong organisasi publik untuk dapat

mengelola jasa pelayanan publik secara baik dan bertanggungjawab, apabila

dikelola secara baik dan bertanggungjawab, organisasi publik tersebut akan

memberikan kontribusi pemasukan kepada kas daerah, yang nantinya akan menjadi

sumber pendapatan asli daerah (PAD). Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan

organisasi yang profesional sehingga mampu menciptakan suatu organisasi publik

yang berorientasi pada value for money (efectifity, efficiency, economy)

(Mardiasmo, 2004).

Value for money akan dapat terwujud jika didukung adanya komitmen semua

individu dalam organisasi atau yang sering disebut komitmen organisasi (Robbins,

2007). Komitmen organisasi adalah komitmen yang diciptakan oleh semua

komponen-komponen individual dalam menjalankan operasional organisasi.

Komitmen tersebut dapat terwujud apabila individu dalam organisasi, menjalankan

hak dan kewajiban mereka sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing

dalam organisasi, karena pencapaian tujuan organisasi merupakan hasil kerja semua

anggota organisasi yang bersifat kolektif.

Faktor yang tidak kalah penting berpengaruh pada kinerja organisasi selain

komitmen organisasi adalah budaya organisasi. Budaya organisasi yang baik

tentunya akan mempengaruhi kualitas pelayanan publik. Hal ini sesuai dengan

pendapat Tjiptono (dalam Andiza, 2014) yang mengemukakan bahwa kualitas

pelayanan sendiri sebenarnya dipengaruhi oleh banyak aspek, salah satunya adalah

budaya organisasi dan cara pengorganisasiannya. Budaya organisasi sangat

berpengaruh terhadap perilaku para anggota organisasi, sehingga jika budaya


organisasi baik, maka tidak mengherankan jika anggota organisasi adalah orang-

orang yang baik dan berkualitas pula (Tjiptono dalam Andiza, 2014).

Budaya organisasi merupakan sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar

yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu

dengan maksud agar organisasi bisa mengatasi, menanggulangi permasalahan yang

timbul akibat adaptasi eksternal dan integritas internal yang sudah berjalan dengan

cukup baik sehingga perlu diajarkan dan diterapkan kepada anggota-anggota baru

sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan dan merasakan berteman

dengan mereka-mereka tersebut (Scain dalam Lako, 2004).

Kinerja organisasi dapat juga dipengaruhi sistem pengendalian internal itu

sendiri. SPIP bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai bagi

tercapainya: efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan

pemerintahan negara, keandalan laporan keuangan, pengamanan aset negara dan

ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan sehingga dituntut harus

meningkatkan kinerja agar terjapai tujuan organisasi.

Peran pemerintah dalam menyusun akuntabilitasnya harus transparan dan

dapat menyediakan informasi tentang pengelolaan program-program

pembangunan. Tingkat keberhasilannya secara luas yang mudah diakses, diketahui,

dan dievaluasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan, seperti masyarakat luas, hal

tersebut untuk perbaikan program dan strategi pemerintah kearah yang lebih baik.

Sehingga partisipasi masyarakat juga berpengaruh terhadap kemajuan dan

keberhasilan pemerintah di masa yang akan datang.


Sumber Daya Manusia (pegawai) merupakan unsur yang strategis dalam

menentukan sehat tidaknya suatu organisasi. Pengembangan SDM yang terencana

dan berkelanjutan merupakan kebutuhan yang mutlak terutama untuk masa depan

organisasi. Dalam kondisi lingkungan tersebut, pemimpin dituntut untuk

mengembangkan cara baru untuk mempertahankan pegawai pada produktifitas

tinggi serta mengembangkan potensinya agar memberikan kontribusi maksimal

pada organisasi. Masalah sumber daya manusia yang kelihatannya hanya masalah

intern dari suatu organisasi sesungguhnya mempunyai hubungan yang erat dengan

masyarakat luas sebagai pelayanan publik yang diukur dari kinerja (Riska, 2012).

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya. Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Abdulah dan Herlin (2010) yang berjudul Pengaruh

Budaya Organisasi, Komitmen Organisasi, Dan Akuntabilitas Publik Terhadap

Kinerja Organisasi Pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan

Bengkulu. Hasil perhitungan analisis pengaruh menunjukkan bahwa akuntabilitas

publik dapat memediasi pengaruh antara budaya organisasi terhadap kinerja

organisasi dengan pengaruh yang positif dan signifikan dan memediasi pengaruh

antara komitmen organisasi terhadap kinerja organisasi dengan pengaruh yang

lemah dan tidak signifikan.

Selain itu penelitian sejenis juga dilakukan oleh Rizki (2011) tentang

Pengaruh Komitmen Organisasi, Budaya Organisasi, Dan Kepuasan Kerja

Terhadap Kinerja Organisasi Publik (Studi Pada Pemerintah Daerah Kabapaten

Demak) yang menunjukkan hasil bahwa komitmen organisasi dan budaya

organisasi tidak berpengaruh terhadap kinerja organisasi.


Dalam penelitian yang dilakukan oleh Desmiyawati dan Wulan Witaliza

(2012) yang berjudul Pengaruh Komitmen Organisasi, Pengendalian Intern, Dan

Akuntabilitas Publik Terhadap Kinerja Organisasi (Studi Empiris pada Rumah

Sakit Swasta di Provinsi Riau) hasilnya menunjukkan komitmen organisasi

berpengaruh terhadap kinerja dengan akuntabilitas publik sebagai variabel

intervening.

Dan penelitian yang dilakukan oleh Andiza (2014) yang berjudul Pengaruh

Budaya organisasi dan Akuntabilitas Publik Terhadap Kinerja Organisasi Publik

(Studi pada Rumah Sakit Daerah Massenrempulu Kabupaten Enrekang). Hasil

analisis data dalam penelitian ini membuktikan 1. Budaya organisasi berpengaruh

positif dan signifikan terhadap kinerja organisasi publik. 2. Akuntabilitas publik

berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja organisasi publik. 3. Hasil uji F

yang telah dilakukan menunjukkan bahwa variabel budaya organisasi dan

akuntabilitas publik secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kinerja

organisasi publik.

Penelitian Komang Sri Wirnipin (2015) yang berjudul Komitmen organisasi,

budaya organisasi dan akuntabilitas publik berpengaruh positif dan signifikan

secara simultan terhadap kinerja organisasi publik. Hasil penelitian terlihat bahwa

komitmen organisasi memiliki pengaruh yang positif terhadap kinerja organisasi

publik, sedangkan budaya organisasi dan akuntabilitas publik pengaruh positif

terhadap kinerja organisasi publik.

Begitu pula dengan Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Buleleng yang

beralamat di Jalan Ngurah Rai No. 2 Singaraja, Telp (0362) 3437105 yang
merupakan salah satu organisasi sektor publik yang bergerak dalam bidang

pengelolaan pendapatan daerah. Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Buleleng

semakin menujukkan komitmen dalam mewujudkan visinya, dengan memberikan

pelayanan yang baik, memaksa pihak Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten

Buleleng untuk selalu memperbaiki kinerjanya, agar selalu dapat menambah

kepercayaan masyarakat.

Dengan melihat Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Buleleng yang

bertugas memberikan pelayanan yang baik dan layak kepada masyarakat, tentunya

akan berusaha untuk memperbaiki kualitas pelayanan dan memperbaiki kinerja

yang telah dijalankan selama ini. Kinerja dapat dilihat juga dari komitemen

organisasi, budaya organisai, pengendalian internal dan akuntabilitas publik.

Pada penelitian ini, akan diteliti mengenai pengaruh komitmen organisasi,

budaya organisasi, pengendalian internal dan akuntabilitas publik terhadap kinerja

organisasi publik dengan menambahkan variabel independen yaitu pengendalian

internal, maka penelitian ini menunjukkan adanya originalitas karya peneliti sendiri

bahwa peneliti tidak semata-mata hanya mereplikasi namun tetap melakukan

penambahan variabel independen yaitu pengendalian internal. Selain melakukan

penambahan variabel, penelitian ini membedakan sampel yang akan diteliti yaitu

pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Buleleng karena merupakan SKPD yang

berpendapatan paling tinggi, sehingga pengelolaannya harus efesien dan sebaik

mungkin yang akan menuntut Dinas Pendapatan Daerah terus meningkatkan

kinerjanya.
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas, maka penulis

tertarik mengambil judul penelitian “Pengaruh Komitmen Organisasi, Budaya

Organisasi, Pengendalian Internal Dan Akuntabilitas Publik Terhadap

Kinerja Organisasi Publik (Studi Pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten

Buleleng)”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraian di atas, maka yang menjadi

masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah komitmen organisasi berpengaruh terhadap kinerja organisasi publik

pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Buleleng ?

2. Apakah budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja organisasi publik pada

Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Buleleng ?

3. Apakah pengendalian internal berpengaruh terhadap kinerja organisasi publik

pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Buleleng ?

4. Apakah akuntabilitas publik berpengaruh terhadap kinerja organisasi publik

pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Buleleng ?

5. Apakah komitmen organisasi, budaya organisasi, pengendalian internal dan

akuntabilitas publik berpengaruh terhadap kinerja organisasi publik pada Dinas

Pendapatan Daerah Kabupaten Buleleng ?


C. Tujuan dan Kegunaan

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas maka tujuan

penelitian ini adalah untuk memperoleh temuan, penjelasan, atau eksplanatif yang

teruji menyangkut hal-hal sebagai berikut:

1. Untuk membuktikan secara empiris pengaruh komitmen organisasi terhadap

kinerja organisasi publik pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Buleleng.

2. Untuk membuktikan secara empiris pengaruh budaya organiasasi terhadap

kinerja organisasi publik pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Buleleng.

3. Untuk membuktikan secara empiris pengaruh pengendalian internal terhadap

kinerja organisasi publik pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Buleleng.

4. Untuk membuktikan secara empiris pengaruh akuntabilitas publik terhadap

kinerja organisasi publik pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Buleleng.

5. Untuk membuktikan secara empiris pengaruh komitmen organisasi, budaya

organisasi, pengendalian internal dan akuntabilitas publik terhadap kinerja

organisasi publik pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Buleleng.

Penelitian ini diharapkan dapat memiliki kegunaan bagi penulis maupun

pihak-pihak yang berkepentingan terhadap penelitian ini. Adapun kegunaan dari

hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teroritis

Secara umum temuan penelitian ini diharapkan dapat memberi wawasan baru

bagi dunia akuntansi, serta memperkaya hasil penelitian tentang Pengaruh

Komitmen Organisasi, Budaya Organisasi, Pengendalian Internal Dan


Akuntabilitas Publik Terhadap Kinerja Organisasi Publik Pada Dinas Pendapatan

Daerah Kabupaten Buleleng.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Peneliti

Diharapkan mampu menambah ilmu pengetahuan tentang Pengaruh Komitmen

Organisasi, Budaya Organisasi, Pengendalian Internal Dan Akuntabilitas Publik

Terhadap Kinerja Organisasi Publik Pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten

Buleleng, dengan cara membandingkan teori dan kondisi yang ada sesungguhnya

di lapangan berdasarkan hasil penelitian.

b. Bagi Akademis

Diharapkan dapat digunakan sebagai acuan, pertimbangan serta perbandingan

untuk penulisan penelitian di masa yang akan datang.

c. Bagi Pemerintah

Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran sebagai suatu evaluasi

organisasi sektor publik khususnya pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten

Buleleng.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu langkah yang dilakukan oleh peneliti

dalam rangka untuk mengumpulkan informasi atau data serta investigasi pada data

tersebut. Adapun yang termasuk bagian dari metode penelitian yaitu :

1. Objek penelitian
Dalam penelitian kali ini yang menjadi sasaran atau objek dari suatu penelitian

adalah Komitmen Organisasi, Budaya Organisasi, Pengendalian Internal Dan

Akuntabilitas.

2. Tempat penelitian

Tempat yang dijadikan untuk bahan penelitian adalah Dinas Pendapatan

Daerah Kabupaten Buleleng Provinsi Bali.

3. Jenis data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Sekunder

4. Metode pengumpulan data

a. Observasi

Observasi adalah metode pengumpulan data yang kompleks karena melibatkan

berbagai factor dalam pelaksanaannya. Dalam penelitian kali ini digunakan metode

observasi atau lebih spesifik non participant observation karena teknik / metode ini

cocok untuk penelitian yang bertujuan mempelajari perilaku, proses kerja, dan

kegiatan-kegiatan lainnya.

b. Wawancara

Dalam peneilitian ini wawancara sangat diperlukan dalam mencari informasi

tentang apa yang hendak digali dari narasumber untuk bahan penelitian.

E. Teknik Analisis

Analisis data kualitatif dilakukan apabila data empiris yang diperoleh adalah

data kualitatif berupa kumpulan berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka

serta tidak dapat disusun dalam kategori-kategori/struktur klasifikasi. Data bisa saja
dikumpulkan dalam aneka macam cara (observasi, wawancara, intisari dokumen,

pita rekaman) dan biasanya diproses terlebih dahulu sebelum siap digunakan

(melalui pencatatan, pengetikan, penyuntingan, atau alih-tulis), tetapi analisis

kualitatif tetap menggunakan kata-kata yang biasanya disusun ke dalam teks yang

diperluas, dan tidak menggunakan perhitungan matematis atau statistika sebagai alat

bantu analisis. Menurut miles dan Huberman, kegiatan analisis terdiri dari tiga alur

kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan

penarikan kesimpulan/verivikasi. Terjadi secara bersamaan berarti reduksi data ,

penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verivikasi sebagai sesuatu yang saling

jalin menjalin merupakan proses siklus dan interaksi pada saat sebelum, selama, dan

sesudah pengumpulan data dalam bentuk sejajar yang membangun wawasan umum

yang disebut “analisis” (Ulber Silalahi, 2009).

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif mencakup

transkip hasil wawancara, reduksi data, analisis, interpretasi data dan triangulasi.

Dari hasil analisis data yang kemudian dapat ditarik kesimpulan, berikut ini adalah

teknik analisis data yang digunakan oleh peneliti:

1. Reduksi Data

Reduksi data bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis. Reduksi data

diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,

pengabstraksian, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan

tertulis di lapangan. Kegiatan reduksi data berlangsung terus-menerus, terutama

selama proyek yang berorientasi kualitati berlangsung atau selama pengumpulan

data. Selama pengumpulan data berlangsung, terjadi tahapan reduksi, yaitu membuat
ringkasan, mengkode, menelusuri tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi,

dan menulis memo.

Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan,

mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data sedemikian

rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan diverivikasi.

Reduksi data atau proses transformasi ini berlanjut terus sesudah penelitian

lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun. Jadi dalam penelitian kualitatif

dapat disederhanakan dan ditransformasikan dalam aneka macam cara: melalui

seleksi ketat, melalui ringkasan atau uraian sigkat, menggolongkan dalam suatu pola

yang lebih luas, dan sebagainya.

2. Triangulasi

Selain menggunakan reduksi data peneliti juga menggunakan teknik

Triangulasi sebagai teknik untuk mengecek keabsahan data. Dimana dalam

pengertiannya triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap

objek penelitian (Moloeng, 2004:330)

Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang berbeda

(Nasution, 2003:115) yaitu wawancara, observasi dan dokumen. Triangulasi ini

selain digunakan untuk mengecek kebenaran data juga dilakukan untuk

memperkaya data. Menurut Nasution, selain itu triangulasi juga dapat berguna untuk

menyelidiki validitas tafsiran peneliti terhadap data, karena itu triangulasi bersifat

reflektif.
Denzin (dalam Moloeng, 2004), membedakan empat macam triangulasi

diantaranya dengan memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori.

Pada penelitian ini, dari keempat macam triangulasi tersebut, peneliti hanya

menggunakan teknik pemeriksaan dengan memanfaatkan sumber. Triangulasi

dengan sumber artinya membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan

suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam

penelitian kualitatif (Patton,1987:331). Adapun untuk mencapai kepercayaan itu,

maka ditempuh langkah sebagai berikut :

a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara

b. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang

dikatakan secara pribadi.

c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian

d. dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.

e. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat

dan pandangan masyarakat dari berbagai kelas.

f. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

Sementara itu, dalam catatan Tedi Cahyono dilengkapi bahwa dalam riset

kualitatif triangulasi merupakan proses yang harus dilalui oleh seorang peneliti

disamping proses lainnya, dimana proses ini menentukan aspek validitas informasi

yang diperoleh untuk kemudian disusun dalam suatu penelitian. teknik pemeriksaan

keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk

keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik

triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lain.
Model triangulasi diajukan untuk menghilangkan dikotomi antara pendekatan

kualitatif dan kuantitatif sehingga benar-benar ditemukan teori yang tepat. Murti B.,

2006 menyatakan bahwa tujuan umum dilakukan triangulasi adalah untuk

meningkatkan kekuatan teoritis, metodologis, maupun interpretatif dari sebuah riset.

Dengan demikian triangulasi memiliki arti penting dalam menjembatani dikotomi

riset kualitatif dan kuantitatif, sedangkan menurut Yin R.K, 2003 menyatakan

bahwa pengumpulan data triangulasi (triangulation) melibatkan observasi,

wawancara dan dokumentasi. Penyajian data merupakan kegiatan terpenting yang

kedua dalam penelitian kualitatif. Penyajian data yaitu sebagai sekumpulan

informasi yang tersusun member kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan

pengambilan tindakan (Ulber Silalahi, 2009: 340).

Penyajian data yang sering digunakan untuk data kualitatif pada masa yang lalu

adalah dalam bentuk teks naratif dalam puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan

halaman. Akan tetapi, teks naratif dalam jumlah yang besar melebihi beban

kemampuan manusia dalam memproses informasi. Manusia tidak cukup mampu

memproses informasi yang besar jumlahnya; kecenderungan kognitifnya adalah

menyederhanakan informasi yang kompleks ke dalam kesatuan bentuk yang

disederhanakan dan selektif atau konfigurasi yang mudah dipahami. Penyajian data

dalam kualitatif sekarang ini juga dapat dilakukan dalam berbagai jenis matriks,

grafik, jaringan, dan bagan. Semuanya dirancang untuk menggabungkan informasi

yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu padan dan mudah diraih. Jadi,

penyajian data merupakan bagian dari analisis.

3. Menarik Kesimpulan
Kegiatan analisis ketiga adalah menarik kesimpulan dan verivikasi. Ketika

kegiatan pengumpullan data dilakukan, seorang penganalisis kualitatif mulai

mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-

konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, dan proposisi. Kesimpulan yang mula-

mulanya belum jelas akan meningkat menjadi lebih terperinci. Kesimpulan-

kesimpulan “final” akan muncul bergantung pada besarnya kumpulan-kumpulan

catatan lapangan, pengkodeannya, penyimpanan, dan metode pencarian ulang yang

digunakan, kecakapan peneliti, dan tuntutan pemberi dana, tetapi sering kali

kesimpulan itu telah sering dirumuskan sebelumnya sejak awal.


BAB II

LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Komitmen Organisasi

Keberhasilan pengelolaan organisasi sangatlah ditentukan oleh keberhasilan

dalam mengelola sumber daya manusia (SDM). Tinggi rendahnya komitmen

karyawan terhadap organisasi tempat mereka bekerja, sangatlah menentukan

kinerja yang akan dicapai organisasi. Dalam dunia kerja komitmen karyawan

memiliki pengaruh yang sangat penting, bahkan ada beberapa organisasi yang

berani memasukkan unsur komitmen sebagai salah satu syarat untuk memegang

jabatan/posisi yang ditawarkan dalam iklan lowongan kerja. Namun demikian,

tidak jarang pengusaha maupun pegawai masih belum memahami arti komitmen

secara sungguh-sungguh. Padahal pemahaman tersebut sangat penting bagi

organisasi agar tercipta kondisi kerja yang kondusif, sehingga organisasi dapat

berjalan secara efektif dan efisien.

Setiap pegawai memiliki dasar dan perilaku yang berbeda tergantung pada

komitmen organisasi yang dimiliknya. Pegawai yang memiliki komitmen tinggi

akan melakukan usaha yang maksimal dan keinginan yang kuat untuk mencapai

tujuan organisasi. Sebaliknya Pegawai yang memiliki komitmen rendah akan

melakukan usaha yang tidak maksimal dengan keadaan terpaksa.

Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan komitmen sebagai suatu keadaan

dimana seorang individu memihak organisasi serta tujuan-tujuan dan keinginannya


untuk mempertahankan keangotaannya dalam organisasi. Komitmen

organisasional sebagai derajad dimana karyawan percaya dan mau menerima

tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan

organisasinya. Terdapat beberapa pendekatan yang berbeda untuk mendefinisikan

komitmen organisasi. Pendekatan-pendekatan tersebut antara lain pendekatan

perilaku, pendekatan sikap dan pendekatan multidemensional (Zangaro dalam

Ciliana dan Wilman, 2008). Pendekatan ini berfokus pada proses berfikir individu

tentang hubungan mereka dengan organisasi (Mowday at el dalam Ciliana dan

Wilman, 2008). Individu akan mempertimbangkan kesesuaian nilai dan tujuan

mereka dengan organisasi. Komitmen organisasi yang tinggi akan ditunjukkan

dengan keyakinan yang kuat dan penerimaan terhadap nilai-nilai serta tujuan

organisasi tersebut. Sedangkan pendekatan perilaku berhubungan dengan proses

dimana individu itu telah terikat dengan organisasi tertentu.

Mowday yang dikutip Sopiah (2008) menyatakan ada tiga aspek komitmen

orgnisasi, yaitu:

1) Affective commitment, yang berkaitan dengan adanya keinginan untuk terikat

pada organisasi. Individu menetap dalam organisasi karena keinginan sendiri.

Kunci dari komitmen ini adalah want to.

2) Continuance commitment, adalah suatu komitmen yang didasarkan akan

kebutuhan rasional. Dengan kata lain, komitmen ini terbentuk atas dasar untung

rugi, dipertimbangkan atas apa yang harus dikorbankan bila akan menetap pada

suatu organisasi. Kunci dari komitmen ini adalah kebutuhan untuk bertahan

(need to).
3) Normative Commitment, adalah komitmen yang didasarkan pada norma yang

ada dalam diri karyawan, berisi keyakinan individu akan tanggungjawab

terhadap organisasi. Ia merasa harus bertahan karena loyalitas. Kunci dari

komitmen ini adalah kewajiban untuk bertahan dalam organisasi (ought to). Pada

dasarnya komitmen karyawan (individu) akan mendorong terciptanya komitmen

organisasi.

2. Budaya Organisasi

a. Pengertian Budaya

Budaya suatu organisasi diturunkan dari filsafat pendirinya, kemudian budaya

ini sangat mempengaruhi kriteria yang digunakan dalam merekrut/memperkerjakan

anggota organisasi. Setelah mempengaruhi proses perekrutan, proses pembentukan

budaya organisasi kemudian bergulir pada perilaku para atasan.

Menurut Sarplin (dalam Asri Laksmi Liani, 2011) budaya organisasi

merupakan suatu sistem nilai, kepercayaan dan kebiasaan dalam suatu organisasi

yang saling berinteraksi dengan struktur sistem formalnya untuk menghasilkan

norma-norma perilaku organisasi. Hal ini di dukung oleh pendapat Robbins (2007)

yang menyatakan bahwa organisasi merupakan suatu sistem makna bersama yang

dianut oleh anggota organisasi yang membedakan organisasi tersebut berbeda

dengan organisasi lain. Menurut Sentot Imam Wahjono (2010) budaya organisasi

yang baik adalah kebiasaan yang memungkinkan setiap anggota organisasi mampu

menjadi manusia yang produktif, kreatif, bekerja dengan antusias sesuai dengan

permintaan dan mampu mengubah produk asing menjadi produk yang mempunyai

nilai tambah dengan inovasi yang unik.


Fungsi utama budaya organisasi menurut Tika (2006) adalah sebagai berikut:

1. Sebagai batas pembeda terhadap lingkungan, organisasi maupun kelompok

lain,

2. Sebagai perekat bagi karyawan dalam suatu organisasi,

3. Mempromosikan stabilitas sistem sosial,

4. Sebagai mekanisme kontrol dalam memadu dan membentuk sikap serta

perilaku karyawan,

5. Sebagai integrator,

6. Membentuk perilaku bagi karyawan,

7. Sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah-masalah pokok organisasi,

8. Sebagai acuan dalam menyusun perencanaan perusahaan,

9. Sebagai alat komunikasi,

10. Sebagai penghambat

b. Karakteristik Budaya Organisasi

Menurut Robbins (dalam Tika, 2006:10) terdapat beberapa karakteristik yang

apabila dicampur dan dicocokkan maka akan menjadi budaya internal yaitu:

1. Inisiatif individu

Inisiatif individu tersebut perlu dihargai oleh kelompok atau pimpinan suatu

organisasi sepanjang menyangkut ide untuk memajukan dan mengembangkan

organisasi.

2. Toleransi terhadap tindakan beresiko

Tindakan yang beresiko yang dimaksudkan adalah segala akibat yang timbul

dari pelaksanaan tugas dan fungsi yang dilakukan oleh pegawai.


3. Pengarahan

Sejauh mana pimpinan suatu organisasi dapat menciptakan dengan jelas

sasaran dan harapan yang diinginkan, sehingga para pegawai dapat memahaminya

dan segala kegiatan yang dilakukan para pegawai mengarah pada pencapaian tujuan

organisasi. Sasaran dan harapan tersebut jelas tercantum dalam visi dan misi.

4. Integrasi

Menurut Handoko (2003:195) koordinasi merupakan proses pengintegrasian

tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada unit-unit yang terpisah (departemen atau

bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan.

5. Dukungan manajemen

Dukungan manajemen yaitu sejauhmana para pimpinan organisasi dapat

memberikan komunikasi atau arahan, bantuan serta dukungan yang jelas terhadap

pegawai. Dukungan tersebut dapat berupa adanya upaya pengembangan

kemampuan para pegawai seperti mengadakan pelatihan.

6. Kontrol

Adanya pengawasan dari para pimpinan terhadap para pegawai dengan

menggunakan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan demi kelancaran

organisasi. Pengawasan menurut Handoko (2003:360) dapat didefinisikan sebagai

proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi tercapai.

7. Sistem imbalan

Sejauh mana alokasi imbalan (seperti kenaikan gaji, promosi, dan sebagainya)

didasarkan atas prestasi kerja pegawai, bukan sebaliknya didasarkan atas senioritas,

sikap pilih kasih, dan sebagainya.


8. Toleransi terhadap konflik

Sejauh mana para pegawai didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik

secara terbuka guna memajukan organisasi, dan bagaimana pula tanggapan

organisasi terhadap konflik tersebut.

9. Pola komunikasi

Menurut Handoko (2003:272) komunikasi itu sendiri merupakan proses

pemindahan pengertian atau informasi dari seseorang ke orang lain. Komunikasi

yang baik adalah komunikasi yang dapat memenuhi kebutuhan sasarannya,

sehingga akhirnya dapat memberikan hasil yang lebih efektif.

a. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)

Seperti telah diuraikan dalam pendahuluan, Sistem Pengendalian Intern

Pemerintah (SPIP) Pengendalian internal didefinisikan merupakan suatu cara untuk

mengarahkan, mengawasi, dan mengukur sumber daya suatu organisasi, serta

berperan penting dalam pencegahan dan pendeteksian penggelapan (fraud). Bastian

(2006) mengungkapkan bahwa tujuan pengendalian internal untuk meningkatkan

kinerja organisasi, pengendalian internal dilakukan untuk melindungi harta/aktiva

organisasi. Pengendalian intern terdiri atas kebijakan dan prosedur yang digunakan

dalam mencapai sasaran dan menjamin atau menyediakan informasi keuangan yang

andal, serta menjamin ditaatinya hukum dan peraturan yang berlaku. Dilihat dari

tujuan tersebut, maka sistem pengendalian intern dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Pengendalian intern akuntansi


Dibuat untuk mencegah terjadinya inefisiensi yang tujuannya adalah

menjaga kekayaan organisasi dan memeriksa keakuratan data akuntansi. Sebagai

contoh, adanya pemisahan fungsi dan tanggung jawab antar unit organisasi.

b. Pengendalian administratif

Dibuat untuk mendorong dilakukannya efisiensi dan mendorong

dipatuhinya kebijakan manajemen. Contohnya adalah adanya pemeriksaan laporan

untuk mencari penyimpangan yang ada, untuk kemudian diambil tindakan.

SPIP merupakan suatu langkah nyata pemerintah dalam memberikan acuan

serta pijakan bagi pemerintah daerah agar pengelolaan keuangan dapat

dilaksanakan secara akuntabel dan transparan. Wilkinson et al., (2000)

menyebutkan subkomponen dari aktivitas pengendalian yang berhubungan dengan

pelaporan keuangan adalah

a. perancangan yang memadai dan penggunaan dokumen-dokumen

dan catatan-catatan bernomor

b. pemisahan tugas

c. otorisasi yang memadai atas transaksi-transaksi

d. pemeriksaan independen atas kinerja

e. penilaian yang sesuai/tepat atas jumlah yang dicatat.

Unsur-unsur pokok yang diperlukan dalam menciptakan pengendalian

akuntansi yang efektif antara lain (Wahana Komputer, 2003): Adanya perlindungan

fisik terhadap harta, pemisahan fungsi organisasi yaitu pemisahan fungsi organisasi

yang saling berkaitan, adanya jejak audit yang baik dan sumber daya manusia yang

optimal.
2.4 Akuntabilitas

2.4.1 Akuntabilitas

Mardiasmo (2009) dalam bukunya menyebutkan akuntabilitas dipahami

sebagai kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk memberikan

pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan segala

aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi

amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta

pertanggungjawaban tersebut.

Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pengelolaan sumber daya serta

pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada entitas pelaporan dalam

mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara periodik (KK, SAP, 2005) dalam

(Tanjung, 2013).

Mahsun et al (2011) dalam akuntansi sektor publik menjelaskan bahwa

aspek akuntabilitas publik merupakan salah satu dari tiga aspek yang tercakup

dalam anggaran sektor publik. Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban

kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.

Akuntabilitas publik terdiri atas dua macam, yaitu:

a. Akuntabilitas vertikal (vertical accountability)

Akuntabilitas vertikal (vertical accountability) yaitu

pertanggungjawaban atas pengelolaan dana kepada otoritas yang

lebih tinggi.

b. Akuntabilitas horisontal (horizontal accountability)


Akuntabilitas horisontal (horizontal accountability) yaitu

pertanggungjawaban kepada masyarakat luas. Dalam konteks

organisasi pemerintah, akuntabilitas publik adalah pemberian

informasi dan disclosure atas aktivitas dan kinerja finasial

pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan

laporan tersebut. Agar pelaksanaan sistem akuntabilitas kinerja

instansi pemerintah lebih efektif, sangat diperlukan komitmen yang

kuat dari organisasi yang mempunyai wewenang dan

bertanggungjawab di bidang pengawasan dan penilaian terhadap

akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.

Menurut Akbar (2011) dalam Arifin (2012) Akuntabilitas publik juga

melekat pada fungsi pengendalian dan pengawasan, artinya informasi yang

disajikan terutama aspek pelaporan keuangan kepada publik harus auditable

atau dapat diaudit oleh baik aparat internal dan eksternal pengawasan

fungsional Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Inspektorat maupun auditor

lainnya yang terkait. Sebaiknya akuntansi pemerintahan sebagai penyedia

informasi tidak hanya menyediakan informasi yang bersifat keuangan tetapi

juga menyediakan informasi tentang penggunaan sumber daya oleh setiap

entitas publik yang terkait untuk mewujudkan landasan.

Prinsip akuntabilitas menuntut dua hal, yaitu: (1) kemampuan menjawab

dan (2) konsekuensi. Komponen pertama (istilah yang merujuk pada

responsibilitas) adalah berhubungan dengan tuntutan bagi aparat untuk

menjawab secara periodik setiap pertanyaan yang berhubungan dengan


bagaimana mereka menggunakan wewenang mereka, ke mana sumber yang

telah digunakan, dan apa yang telah dicapai dengan sumber daya tersebut.

Aspek yang terkandung dalam pengertian akuntabilitas adalah bahwa

publik mempunyai hak untuk mengetahui kebijakan-kebijakan yang diambil

oleh pihak-pihak yang mereka beri kepercayaan. Media pertanggungjawaban

dalam konsep akuntabilitas tidak terbatas pada laporan pertanggungjawaban

saja, tetapi juga mencakup praktik-praktik kemudahan pemberi mandat

mendapatkan informasi, baik langsung maupun tidak langsung secara lisan

maupun tulisan. Dengan demikian, akuntabilitas akan tumbuh subur pada

lingkungan yang mengutamakan keterbukaan sebagai landasan penting dan

dalam suasana yang transparan dan demokrasi dalam keterbukaan dalam

mengemukakan pendapatan.

Lembaga Administrasi Negara (LAN) seperti dikutip Laitte (2011:10)

membedakan akuntabilitas dalam tiga macam, yaitu

1. Akuntabilitas keuangan

Akuntabilitas keuangan merupakan pertanggungjawaban mengenai

integritas keuangan, pengungkapan, dan ketaatan terhadap peraturan

perundang-undangan. Sasarannya adalah laporan keuangan yang

mencakup penerimaan, penyimpanan, dan pengeluaran keuangan

instansi pemerintah. Komponen pembentuk akuntabilitas keuangan

terdiri atas:

a) Integritas keuangan
Agar laporan keuangan dapat diandalkan informasi yang

terkandung di dalamnya harus menggambarkan secara jujur

transaksi serta peristiwa lainnya yang seharusnya disajikan atau

yang secara wajar dapat diharapkan untuk disajikan.

b) Pengungkapan

Konsep pengungkapan mewajibkan agar laporan keuangan

didesain dan disajikan sebagai kumpulan gambaran atau

kenyataan dari kejadian ekonomi yang mempengaruhi instansi

pemerintahan untuk suatu periode dan berisi cukup informasi.

c) Ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan

Akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah harus

menunjukkan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan pelaksanaan akuntansi pemerintahan.

Apabila terdapat pertentangan antara standar akuntansi

keuangan pemerintah dengan peraturan perundang-undagan

yang lebih tinggi, maka yang digunakan adalah peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi.

2. Akuntabilitas manfaat

Akuntabilitas manfaat pada dasarnya memberi perhatian pada hasil-

hasil dari kegiatan pemerintahan. Hasil kegiatannya terfokus pada

efektivitas, tidak sekedar kepatuhan terhadap prosedur. Bukan hanya

output, tapi sampai outcome. Outcome adalah dampak suatu program

atau kegiatan terhadap masyarakat. Outcome lebih tinggi nilainya


daripada output, karena output hanya mengukur dari hasil tanpa

mengukur dampaknya terhadap masyarakat. Sedangkan outcome

mengukur output dan dampak yang dihasilkan. Pengukuran outcome

memiliki dua peran yaitu restopektif dan prospektif.

3. Akuntabilitas prosedural

Akuntabilitas yang memfokuskan kepada informasi mengenai tingkat

kesejahteraan sosial. Diperlukan etika dan moral yang tinggi serta

dampak positif pada kondisi sosial masyarakat. Akuntabilitas

prosedural yaitu merupakan pertanggungjawaban mengenai aspek

suatu penetapan dan pelaksanaan suatu kebijakan yang

mempertimbangkan masalah moral, etika, kepastian hukum, dan

ketaatan pada keputusan politik untuk mendukung pencapaian tujuan

akhir yang telah ditetapkan.

Dalam sektor publik, dikenal beberapa bentuk dari

akuntabilitas, yaitu:

1. Akuntabilitas keatas (upward accountability), menunjukkan

adanya kewajiban untuk melaporkan dari pimpinan puncak dalam

bagian tertentu kepada pimpinan eksekutif, seperti seorang dirjen

kepada menteri.

2. Akuntabilitas keluar (outward accountability), bahwa tugas

pimpinan untuk melaporkan, mengkonsultasikan, dan

menanggapi kelompok-kelompok klien dan stakeholders dalam

masyarakat.
3. Akuntabilitas kebawah (downward accountability),

menunjukkan bahwa setiap pimpinan dalam berbagai tingkatan

harus selalu mengkomunikasikan dan mensosialisasikan berbagai

kebijakan kepada bawahannya karena sebagus apapun suatu

kebijakan hanya akan berhasil apabila dipahami dan dilaksanakan

oleh seluruh pegawai.

2.4.2 Konsep Akuntabilitas Publik

Menurut Mahmudi (2005) dalam (Abdulah dan Herlin, 2010) mengatakan

bahwa akuntabilitas berbeda dengan konsep responsibilitas. Akuntabilitas dapat

dilihat sebagai salah satu elemen dalam responsibiltas. Akuntabilitas juga

berarti kewajiban untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan

atau tidak dilakukan oleh seseorang, sedangkan responsibilitas merupakan

akuntabilitas yang berkaitan dengan kewajiban menjelaskan kepada

orang/pihak lain yang memiliki kewenangan untuk meminta

pertanggungjawaban dan memberi penilaian. Namun demikian, tuntutan

akuntabilitas harus diikuti dengan pemberian kapasitas untuk melakukan

keleluasaan dan kewenangan.

2.4.3 Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

Sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah merupakan suatu tatanan,

instrumen, dan metode pertanggungjawaban yang intinya meliputi tahap-tahap

sebagai berikut (Laitte, 2011:15):

a. Penetapan perencanaan strategi

b. Pengukuran kinerja
c. Pelaporan kinerja

d. Pemanfaatan informasi kinerja bagi perbaikan kinerja secara

berkesinambungan

2.5 Kinerja Organisasi Publik

2.5.1 Kinerja (Performance)

Secara etimologi, kinerja berasal dari kata prestasi kerja (performance).

Sebagaimana dikemukakan oleh Mangkunegara (2005:67) bahwa istilah kinerja

berasal dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau

prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang) yaitu hasil kerja secara kualitas

dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya

sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kinerja dibedakan

menjadi dua, yaitu kinerja individu dan kinerja organisasi. Kinerja individu

adalah hasil kerja karyawan baik dari segi kualitas maupun kuantitas

berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan, sedangkan kinerja organisasi

adalah gabungan dari kinerja individu dengan kinerja kelompok

(Mangkunegara, 2005:15).

2.5.2 Organisasi

Organisasi pemerintah adalah sebuah organisasi yang mempunyai tujuan,

untuk melayani masyarakat, mulai dari lapisan masyarakat yang paling bawah

sampai dengan lapisdan yang paling atas. Dalam era pembangunan sekarang

ini, banyak tuntutan masyarakat tentang peningkatan pelayanan yang diberikan

oleh pemerintah dapat terwujud secara memuaskan. Untuk dapat mewujudkan

keinginan tersebut tentunya peningkatan kinerja pegawai negeri sangat


dibutuhkan. Semakin baik kinerja pegawai maka akan semakin baik pula

pelayanan terhadap masyarakat.

Pengukuran kinerja organisasi sektor publik adalah sistem yang bertujuan

membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur

finansial dan nonfinansial (Mardiasmo dalam Rizki, 2011). Sedangkan dalam

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:

Per/09/M.PAN/5/2007, “pengukuran kinerja adalah kegiatan manajemen

khususnya membandingkan tingkat kinerja yang dicapai dengan standar,

rencana, atau target dengan menggunakan indikator kinerja yang telah

ditetapkan”. (Mardiasmo dalam Rizki, 2011) menyebutkan bahwa ada tiga

maksud dilakukannya pengukuran kinerja sektor publik, yaitu: (1) membantu

memperbaiki kinerja pemerintah, (2) pengalokasian sumber daya dan

pembuatan keputusan, (3) mewujudkan pertanggungjawaban publik dan

memperbaiki komunikasi kelembagaan.

Kinerja organisasi publik dinilai dari bagaimana anggota-anggota dalam

organisasi sektor publik berupaya untuk memberikan pelayanan terbaik dengan

mendayagunakan sumber daya yang ada di organisasinya untuk memberikan

kepuasan kepada masyarakat sebagai pihak yang dilayani. Instrumen kinerja

terkait dengan pencapaian target kinerja kegiatan dari suatu program, akurasi

(ketepatan dan kesesuaian) hasil, tingkat pencapaian program, dampak hasil

kegiatan terhadap kehidupan masyarakat, kesesuaian realisasi anggaran dengan

anggaran, pencapaian efisiensi operasional, perilaku pegawai.


Menurut Prawirosentono dalam Rizki (2011) menyatakan bahwa kinerja

organisasi yang baik, akan dapat tercapai apabila didukung oleh faktor-faktor

yang mempengaruhi kinerja organisasi tersebut.

Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi kinerja menurut Siagian dalam

Rizki (2011), yaitu: kompensasi, komitmen organisasi, motivasi kerja,

akuntabilitas, kepemimpinan, budaya organisasi, disiplin kerja, kepuasan kerja,

pengendalin internal dan komunikasi.

2.5.3 Tahapan Kinerja

Dalam organisasi instansi pemerintah untuk dapat mencapai keberhasilan

kinerja maka sebaiknya dibuat suatu tahapan kinerja mulai dari perencanaan,

penetapan dan pengukuran kinerja. Perencanaan kinerja merupakan proses

penjabaran lebih lanjut dari sasaran dan program yang telah ditetapkan dalam

rencana strategik (renstra) yang mencakup periode tahunan. Rencana kinerja

menggambarkan kegiatan tahunan yang akan dilaksanakan oleh instansi

pemerintah dan indikator kinerja beserta target-targetnya berdasarkan program,

kebijakan, dan sasaran yang telah ditetapkan dalam rencana strategik. Target

kinerja tahunan di dalam rencana kinerja ditetapkan untuk seluruh indikator

kinerja yang ada pada tingkat sasaran dan kegiatan. Target kinerja tersebut

merupakan komitmen bagi instansi untuk mencapainya dalam satu periode

tahunan. Informasi yang termuat dalam rencana kinerja antara lain: sasaran

yang ingin dicapai pada periode yang bersangkutan indikator kinerja sasaran

dan targetnya, program kegiatan serta kelompok indikator kinerja dan targetnya,

serta keterangan yang antara lain menjelaskan keterkaitan kegiatan dengan


sasaran, kebijakan dan programnya, serta keterkaitan dengan kegiatan-kegiatan

yang dilaksanakan oleh instansi. Penetapan kinerja merupakan pernyataan

tekad dan janji dalam bentuk kinerja yang akan dicapai, antara pimpinan

instansi pemerintah/unit kerja yang menerima amanah/tanggung jawab/kinerja

dengan pihak yang memberikan amanah/tanggung jawab/kinerja. Dengan

demikian, penetapan kinerja ini merupakan suatu janji kinerja yang akan

diwujudkan oleh seorang pejabat penerima amanah kepada atasan langsungnya.

Penetapan kinerja ini akan menggambarkan capaian kinerja yang akan

diwujudkan oleh suatu instansi pemerintah/unit kerja dalam suatu tahun tertentu

dengan mempertimbangkan sumber daya yang dikelolanya. Penyusunan

penetapan kinerja mempunyai tujuan umum dan tujuan khusus.

Tujuan umum penetapan kinerja dalam Laporan Kinerja Instansi

Pemerintah (2008) tujuan umum penyusunan penetapan kinerja adalah dalam

rangka: 1). Intensifikasi pencegahan korupsi, 2). Peningkatan kualitas

pelayanan publik, 3). Percepatan untuk mewujudkan manajemen pemerintahan

yang efektif, transparan, dan akuntabel.

Tujuan khusus penetapan kinerja dalam Laporan Kinerja Instansi

Pemerintah (2008) tujuan khusus penyusunan penetapan kinerja adalah:

1. Meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan kinerja aparatur.

2. Sebagai wujud nyata komitmen antara penerima amanah dengan

pemberi amanah.

3. Sebagai dasar penilaian keberhasilan/kegagalan pencapaian tujuan

dan sasaran organisasi.


4. Menciptakan tolok ukur kinerja sebagai dasar evaluasi kinerja

aparatur sebagai dasar pemberian reward atau penghargaan dan

sanksi.

2.5.4 Prinsip-prinsip Pemilihan Ukuran Kinerja

Menurut Bastian (2006:276) beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

memilih ukuran kinerja instansi yang sesuai dengan prinsip skema indikator

kinerja, yaitu:

1. Evaluasi kembali ukuran yang ada

Ukuran yang ada dievaluasi secara rutin. Apabila sudah tidak berguna,

maka alasan yang terkait dengan kenyamanan manajemen perlu

dikemukakan.

2. Mengukur kegiatan yang penting, tidak hanya hasil keseluruhan.

3. Pengukuran harus memotivasi tim kerja untuk pencapaian tujuan

(goal-driven teamwork). Pembagian proses pengukuran disesuaikan

dengan mekanisme tim kerja. Apabila tim bekerja dalam kerangka

pencapaian tujuan, maka pengukuran lebih pada proses pencapaian

tujuan tersebut. Ini berarti proses pengukuran memotivasi pencapaian

tujuan.

4. Proses pengukuran merupakan perangkat yang terintegrasi. Sistem

pengukuran harus terintegrasi dengan strategi organisasi. Sistem

pengukuran akan memonitor minimalisasi biaya, peningkatan kualitas,

pengurangan waktu pelaksaan produksi, dan pencipataan pengembalian

investasi yang wajar.


5. Fokus pengukuran harus melibatkan akuntabilitas publik.

Ukuran internal yang umumnya digunakan adalah perbandingan kinerja

dari tahun ke tahun atau antar unit, seperti divisi, departemen,

kelompok, dan individu. Selain itu, proses pengukuran harus

mempertimbangkan penerimaan hasil pengukuran, terutama oleh

masyarakat. Fokus internal ini biasanya dikaitkan dengan akuntabilitas

publik.

Menurut Bastian (2006:276) setiap organisasi biasanya tertarik pada

pengukuran kinerja dalam aspek berikut:

1. Aspek finansial

Aspek finansial meliputi anggaran atau cash flow. Aspek finansial ini

sangat penting diperhatikan dalam pengukuran kinerja sehingga

dianalogikan sebagai aliran darah dalam tubuh manusia.

2. Kepuasan pelanggan

Dalam globalisasi perdagangan, peran dan posisi pelanggan sangat

krusial dalam penentuan strategi organisasi. Untuk itu, manajemen

perlu memperoleh informasi yang relevan tentang tingkat kepuasan

pelanggan.

3. Operasi dan pasar internal

Informasi operasi dan mekanisme pasar internal diperlukan untuk

memastikan bahwa seluruh kegiatan organisasi dirancang untuk

pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Di samping itu, informasi


operasi dan pasar internal menentukan tingkat efisiensi dan efektivitas

operasi organisasi.

4. Kepuasan pegawai

Dalam organisasi yang banyak melakukan inovasi, peran strategis

pegawai amat menentukan kelangsungan organisasi. Peningkatan

kepuasan pegawai akan berdampak positif terhadap kinerja organisasi.

5. Kepuasan komunitas dan shareholders/stakeholder

Pengukuran kinerja perlu dirancang untuk mengakomidasi kepuasan

para stakeholders. Hal ini dikarenakan para stakeholders akan meninjau

kinerja organisasi secara berkelanjutan, dan hasil yang baik akan

memberikan manfaat langsung kepada organisasi.

6. Waktu

Informasi untuk pengukuran harus informasi terbaru, sehingga manfaat

hasil pengukuran kinerja dapat dimaksimalkan. Dengan memiliki

informasi terbaru, organisasi dapat segera menyelesaikan permasalahan

yang terjadi.

Menurut Bastian (2006:277) agar pengukuran kinerja dapat dilaksanakan

dengan baik, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Membuat komitmen dan menjalankan pengukuran kinerja.

Hal yang perlu dilakukan oleh instansi adalah sesegera mungkin

membuat komitmen pengukuran kinerja, dan menjalankannya dengan

tidak mengharapkan pengukuran kinerja akan langsung sempurna,


untuk itu perlu dilakukan evaluasi terhadap pengukuran kinerja

tersebut.

b. Perlakukan pengukuran kinerja sebagai suatu proses yang

berkelanjutan (ongoing process).

Pengukuran kinerja merupakan suatu proses yang bersifat interaktif.

Proses ini merupakan suatu cerminan upaya organisasi untuk

memperbaiki kinerja.

c. Menyesuaikan proses pengukuran kinerja dengan organisasi.

Organisasi harus menetapkan ukuran kinerja yang sesuai dengan bentuk

dan besarnya organisasi, budaya, visi, tujuan, sasaran, dan struktur

organisasi.

Anda mungkin juga menyukai