Anda di halaman 1dari 18

BLOK SISTEM SARAF DAN PSIKATRI

SKENARIO

Winda, 16 tahun dirujuk dari RS setalah mengalami kecelakaan lalu lintas. Sewaktu di RS, Winda
sempat sadar, lalu secara perlahan kesadarannya turun kembali dan diperjalanan muntah 2 kali.
Setelah dilakukan peeriksaan oleh dokter jaga, ditemukan kesadaran seporos dengan GCS 11 ( E2,
V4, M5 ). TD 150/90 mmHg Nadi 56 x/menit, suhu 37,6 derajat celcius, nafas 20 x/menit, ppil
anisokor, kanan 5 mm dan kiri 2 mm. Winda dikonsulkan ke bagian penyakit araf. Dari pemeriksaan
ditemukan reflek cahaya kanan menurun, kiri normal, reflek bisep dan trisep kanan-kiri normal, dan
ditemukan reflek babinsky di sisi kiri. Hasil pemeriksaan rontgen foto schedel serta pemeriksaan CT
scan kepala di temukan adanya fraktur linier os temporal kanan serta lesi hiperdens di frontotemporal
kanan. Segera dilakukan konsul cito ke bagian bedah saraf. Dari hasil konsul bedah saraf, Winda
dianjurkan operasi craniectomy untuk evakuasi hematonm. Setelah operasi selesai, Winda dirawat 3
hari di ICU dan setelah semua kondisi stebil, Winda dipindahkan ke bangsal penyakitsaraf untuk
pemulihan.

Di bangsal penyakit saraf, Winda dirawat diruangan pemulihan. Ruangan ini bersebelahan dengan
ruang emergency ini dirawat pasien pasien dengan berbagai gangguan yang menyebabkan kesadaran
menurun. Seperti pada bed no. 1, seorang laki-laki 56 tahun dirawat dengan hemiparesis dupleks ex
causa perdarahan intra cerebral dan ini adalah serangan stroke yang kedua, sedangkan pada bedno 4,
pasien dirawat dengan menngitis. Menurut kepala ruangan emergency, semua pasien di ruangan ini
tetap menjalani fisioterapi pasif untuk mencegah atrofi otot dan kontraktur.

Bagaiman anda menjelaskan berbagai kondisi pasien dengangangguan kesadaran ini?

TERMINOLOGI ASING

1. Soporous adalah : Berkaitan dengan koma atau tidur malam ( keadaan mengantuk yang dalam ),
pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsangan yang kuat misalnya; rangsangan nyeri, tapi
pasien tidak terbangun sempurna.

Sumber : Kamu saku kedokteran dorland ed. 28

2. GCS adalah : Skala yang dipkai untuk menila atau menentukan tingkat kesadaran pasien, mulai
dari sadar sepenuhnya sampai kesadaran koma.

Sumber : Kamus kesehatan

3. Kontraktur adalah : Hilangnya atau kurang penuhnya lingkup gerak sendi secara pasif maupun
aktif karena keterbatasan sendi, otot dan kulit.

Sumber : Kamus kesehatan

4. Craniectomy adalah : Proses pembedahan untuk menghilangan bagian Dri tengkorak yang
disebut flappy tulang, untuk mengurangi tekanan intrakranial.

Sumber : kamus saku kedokteran dorland, ed. 28


5. Pupil anisokor adalah : Pupil ipsilateral melebar.

Sumber : Kamus kesehatan

6. Reflek babinsky adalah : Tindakan reflek jari2 kaki, yag ditimbulkan dengan stimulus gesekan
pada telapak kaki yang menyebabkan semua jari2 menekuk ke bawah.

Sumber : Kamus kesehatan

7. Hematom adalah : Kumpulan darah tidak normal diluar pembulha darah.

Sumber : Kamus saku kedokteran dorland ed. 28

8. V4 adalah : Respon verbal kacau ( confused )

Sumber : Kamus kesehatan

9. Reflek bisep adalah : Reflek dari otot yang berada pada lengan bagian atas yang akan
berkontraksi saat menekuk tangan dan berelaksasi saat meluruskan tangan.

Sumber : Kamus kesehatan

10. Fraktur adalah : Garis fraktur tinggal pada tengkorak yang meliputi seluruh kesehatan tulang

Sumber : Kamus kesehatan

11. M5 adalah : Respon motoriknya dapat melokalisasi nyeri atau dapat melakukan tarikan terhadap
sentuhan

Sumber : Kamus kesehatan

12. Hemiparesis adalah : Satu tangan / satu kaki, satu sisi wilayah menji lemah namuun tak
sepenuhnya lumpuh.

Sumber : Kamus kesehatan

13. E2 adalah : Mata bisa membuka dengan rangsangan nyeri

Sumber : Kamus kesehatan

RUMUSAN MASALAH
1) Apa indikasi dilakukan craniectomy ?

2) Mengapa winda sempat sadar dan mengalami penurunan kesadaran ?

3) Apa tujuan dilakukan craniectomy ?

4) Mengapa pada pemeriksaan pupil ditemukan pupil anisokor ?

5) Mengapa pada saat perjalanan winda muntah ?

6) Mengapa reflek cahaya kanan menurun ?


7) Mengapa ditemukan TD meningkat dan Nadi menurun ?

8) Bagaimana interpretasi GCS winda ?

HIPOTESIS
1) Indikasinya :

 Adanya penurunan kesadaran secara tiba-tiba

 Adanya tanda laseralisasi/herniasi

 Adanya cedera sistemik yang mengeluarkan operasi emergency

2) Pada saat kecelakaan kemungkinan winda mengalami benturan dibagian kepala, trauma kepala
dapat menyebabkan pemurunan kesadaran dan sempat sadar karena telah diberikn pertolongan
petama pada winda dengan cara membuka jalan nafas.

3) Tujuannya :

 Menghailangkan bekuan darah (hematom)

 Mengontrol perdarahan pada kepala

 Untuk meringankan tekanan didalam tengkorak

4) Disebabkan oleh karna adanya trauma dikepala kemudian terjadi hematom yang meningkatkan
tekanan intrakranial lbus temporalis dan menekan saraf mata N. III ( N. Oculo Motorius )

5) Karena tekanan intrakranial meningkat merangsang pusat muntah dari nervus vagus sehingga
terjadi peningkatan tekanan inntraabdomen, peristaltik meningkat, spingter esofagus terbuka.

6) Menurun karena fraktur linier os. Temporalis kanan menyebabkan pupil anisokor kanan sehingga
terjadi cedera bagian kanan

7) TD meningkat karena winda mengalami trauma kepala yang mengakibatkan cedera pada otak
sehingga darah terlokalisasi ke daerah yang mengalami trauma akibatnya darah perifer menurun
dan TD meningkat. Sedangakan Nadi menurun karena sirkulasi ddarah lenih utama dibagia yang
mengalami trauma pada kasus ini di kepala sehingga darah perifer menurun.

8) Interpretasinya :

Soporus : GCS II : Sedang :

 E2 : Berarti mata bisa membuka dengan rangsangan nyeri

 V4 : Respon verbal kacau

 M5 : Respon motoriknya dapat melojalisasi nyeriatau dapat melakukan tarikan terhadap


sentuhan
STEP 6 ( PEMBAHASAN LO)

Trauma kepala (Trauma Capitis)


Cedera kepala atau trauma kepala adalah cedera yang terjadi pada tulang tengkorak, otak atau
keduanya disertai atau tanpa disertai adanya kerusakan struktur otak. Cedera kepala dapat bersifat
primer atau sekunder.

 Cedera primer adalah cedera yang menimbulkan kerusakan langsung setelah cedera terjadi
misalnya fraktur tengkorak, laserasio, kontusio.
 Cedera kepala sekunder merupakan efek lanjut dari cedera primer seperti perdarahan
intrakranial, edema serebral, peningkatan intrakranial, hipoksia, dan infeksi (Hickey, 2003).

Trauma capitis adalah bentuk trauma yang dapat mengubah kemampuan otak dalam menghasilkan
keseimbangan aktivitas fisik, intelektual, emosi, sosial atau sebagai gangguan traumatik yang dapat
menimbulkan perubahan pada fungsi otak. (Black, 1997)

Etiologi trauma capitis

Penyebab yang sering adalah kecelakaan lalu lintas dan terjatuh. Seiring dengan kemajuan teknologi,
frekuensi cedera kepala cenderung meningkat. Cedera kepala melibatkan kelompok usia produktif
yaitu antara 15-44 tahun dengan usia rata-rata 30 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki.

Menurut Cholik Harun Rosjidi & Saiful Nurhidayat, (2009 : 49) etiologi cedera kepala adalah:
a) Kecelakaan lalu lintas
b) Jatuh
c) Pukulan
d) Kejatuhan benda
e) Kecelakaan kerja atau industri
f) Cedera lahir
g) Luka tembak
Patofisiologi Cedera kepala
Kerusakan otak dapat diakibatkan cedera primer atau cedera sekunder pada kepala. Pada cedera
primer kerusakan otak akibat trauma itu sendiri, sedangkan pada cedera sekunder kerusakan pada otak
merupakan akibat dari pembengkakan (swelling), perdarahan (hematom), infeksi, hipoksia cerebral,
atau iskemia yang terjadi setelah cedera primer. Cedera sekunder dapat terjadi dalam waktu yang
cepat, dalam hitungan jam dari terjadinya cedera primer (Lemote & Burke, 2000). Selanjutnya dalam
uraian patofisiologi ini akan dideskripsikan beberapa hal meliputi terjadinya penurunan oksigen dan
glukosa kedalam otak, perubahan PH didalam otak dan gangguan elektrolit didalam otak.

1. Penurunan oksigen dan glukosa otak


Neuron membutuhkan suplai nutrien dalam bentuk glukosa dan oksigen secara konstan dan sangat
rentan terhadap cedera metabolik apabila suplai nutrien tersebut terhenti. Jika suplai ini terganggu,
maka sirkulasi serebral dapat kehilangan kemampuannya untuk meregulasi ketersediaan volume darah
dalam sirkulasi, dan menyebabkan terjadinya iskemia pada area tertentu didalam otak (Lemone &
Burke, 2000).
2. Perubahan pH didalam otak
Respon terutama axon terhadap cedera adalah gagal dalam melakukan glikolisis aerobic,
memproduksi phosfokretin, mengaktivasi fungsi seluler energi tinggi, dan memproduksi ATP.
Kegagalan glokolisis aerobic meningkatkan produksi asam laktat dan menurunkan PH intrasell
mengakibatkan asidosis seluler.
3. Gangguan elektrolit diotak
Dengan kegagalan produksi ATP, pompa sodium potasium tidak mampu lama mempertahankan /
memelihara keseimbangan homeostatik ion-ion intrasel (konsentrasi kalium di intrasel dan natrium
dieksrasel tinggi). Akibatnya adalah kalium ekstrasel meningkat, karena kalium diintrasel keluar ke
ekstrasel sehingga terjadi edema (Hickey, 2003). Hilangnya homeostasis kalsium ini dapat
menghambat metabolisme sel. Lebih lanjut keadaan ini menyebabkan meningkatnya pemecahan
protein dan ipid, meningkatkan pemecahan membran sel dari hidrolisis phofolipid dan produksi toksin
(berupa eicosanoid, pletelit aktivating faktor, dan radika bebas). Secara bersamaan setelah trauma
terjadi pula kegagalan energi seluler yang berat menyebabkan peningkatan mencolok kadar
extraselluler exitatory neurotransmiter (EEN) seperti asam amino eksitatori (exitatori amino
acid/EAA) yaitu glutamat, aspartat dan acetilkolin amine. Komponen EEA ini diyakini mencederai,
mengurangi energi dan mendepolarisasi sel-sel neural.
4. Proses inflamasi yang terjadi di otak
Ruang intrakranial adalah ruang kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan unsur yang tidak
dapat ditekan yaitu otak (1400 gr), cairan serebrospinal (lebih kurang 75 ml) dan darah ( 75 ml).
Peningkatan volume salah satu diantara ketiga unsur ini mengakibatkan desakan pada ruangan yang
ditempati oleh unsur lainnya dan meningkatkan tekanan intrakranial. Peningkatan TIK tidak hanya
dijumpai setelah cedera kepala saja, tetapi mempunyai penyebab lainnya

Manifestasi trauma capitis


1. Nyeri yang menetap atau setempat.
2. Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial.
3. Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah
konjungtiva,memar diatas mastoid (tanda battle),otorea serebro spiral ( cairan cerebros piral keluar
dari telinga ), minorea serebrospiral (les keluar dari hidung).
4. Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah.
5. Penurunan kesadaran.
6. Pusing / berkunang-kunang.
7. Absorbsi cepat les dan penurunan volume intravaskuler
8. Peningkatan TIK
9. Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis edkstremitas
10. Peningkatan TD, penurunan frek. Nadi, peningkatan pernafasan

Penegakkan diagnosis trauma capitis

1. Anamnesis
Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan : riwayat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan. Pada orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di
rumah, misalnya jatuh dari tangga, jatuh di kamar mandi atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan
kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-kadang tak mengetahui
pasti urutan kejadiannya, jatuh kemudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum
jatuh.
Anamnesis lebih rinci tentang:
a. Sifat kecelakaan.
b. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit.
c. Ada tidaknya benturan kepala langsung.
d. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa. Bila si pasien
dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak sebelum terjadinya kecelakaan, sampai
saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat
disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang /
turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung / disorientasi (kesadaran berubah)

2. Indikasi Rawat Inap :


1. Perubahan kesadaran saat diperiksa.
2. Fraktur tulang tengkorak.
3. Terdapat defisit neurologik.
4. Kesulitan menilai kesadaran pasien, misalnya pada anak-anak, riwayat minum alkohol, pasien tidak
kooperatif.
5. Adanya faktor sosial seperti :
a. Kurangnya pengawasan orang tua/keluarga bila dipulangkan.
b. Kurangnya pendidikan orang tua/keluarga.
c. Sulitnya transportasi ke rumah sakit.

Pasien yang diperbolehkan pulang harus dipesan agar segera kembali ke rumah sakit bila timbul
gejala sebagai berikut :
1. Mengantuk berat atau sulit dibangunkan. Penderita harus dibangunkan tiap 2 jam selama periode
tidur.
2. Disorientasi, kacau, perubahan tingkah laku
3. Nyeri kepala yang hebat, muntah, demam.
4. Rasa lemah atau rasa baal pada lengan atau tungkai, kelumpuhan, penglihatan kabur.
5. Kejang, pingsan.
6. Keluar darah/cairan dari hidung atau telinga
7. Salah satu pupil lebih besar dari yang lain, gerakan-gerakan aneh bola mata, melihat dobel, atau
gangguan penglihatan lain
8. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat atau pola nafas yang tidak biasa
Rawat inap mempunyai dua tujuan, yakni observasi (pemantauan) dan perawatan. Observasi ialah
usaha untuk menemukan sedini mungkin kemungkinan terjadinya penyulit atau kelainan lain yang
tidak segera memberi tanda atau gejala.
Pada penderita yang tidak sadar, perawatan merupakan bagian terpenting dari penatalaksanaan.
Tindakan pembebasan jalan nafas dan pernapasan mendapat prioritas utama untuk diperhatikan.
Penderita harus diletakkan dalam posisi berbaring yang aman (4,5).

PEMERIKSAAN
1. Pemeriksaan Fisik
Hal terpenting yang pertama kali dinilai bahkan mendahului trias adalah status fungsi vital dan status
kesadaran pasien.
Status fungsi vital
Yang dinilai dalam status fungsi vital adalah:
• Airway (jalan napas) dibersihkan dari benda asing, lendir atau darah, bila perlu segera dipasang pipa
naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen. Manipulasi leher harus berhati-hati bila ada
riwayat / dugaan trauma servikal (whiplash injury).
• Breathing (pernapasan) dapat ditemukan adanya pernapasan Cheyne-Stokes, Biot / hiperventilasi,
atau pernapasan ataksik yang menggambarkan makin buruknya tingkat kesadaran.
• Circulation (nadi dan tekanan darah). Pemantauan dilakukan untuk menduga adanya shock, terutama
bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma abdomen, fraktur
ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan melambatnya frekuensi nadi
dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase akut
disebabkan oleh hematoma epidural.

Pemeriksaan Penunjang
Foto Rontgen tengkorak (AP Lateral) biasanya dilakukan pada keadaan: defisit neurologik fokal,
liquorrhoe, dugaan trauma tembus/fraktur impresi, hematoma luas di daerah kepala.
Perdarahan intrakranial dapat dideteksi melalui pemeriksaan arterografi karotis atau CT Scan kepala
yang lebih disukai, karena prosedurnya lebih sederhana dan tidak invasif, dan hasilnya lebih akurat.
Meskipun demikian pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan di setiap rumah sakit. CT Scan juga dapat
dilakukan pada keadaan: perburukan kesadaran, dugaan fraktur basis kranii dan kejang.

PENATALAKSANAAN
Pedoman resusitasi dan penilaian awal:
1. Menilai jalan napas : bersihkan jalan napas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu,
pertahankan tulang servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jioka cedera orofasial mengganggu
jalan napas, maka pasien harus diintubasi.
2. Menilai pernapasan : tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika tidak, beri oksigen
melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti
pneumotoraks, hemopneumotoraks, pneumotoraks tensif.
3. Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan
menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intraabdominal atau dada. Ukur dan catat
frekuensi denyut jatung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang jalur
intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit,
glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan larutan kristaloid (dekstrosa
atau dekstrosa dalam salin) menimbulkan eksaserbasi edem otak pasca cedera kepala.
4. Obati kejang : kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala. Mula-mula berikan diazepam
10 mg iv perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat
diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan iv perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50
mg/menit.
5. Menilai tingkat keparahan
a. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
• Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, atentif, dan orientatif)
• Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)
• Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang.
• Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
• Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematom kulit kepala.
• Tidak ada criteria cedera kepala sedang-berat.

b. Cedera kepala sedang (kelompok risiko sedang)


• Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
• Konkusi
• Amnesia pasca-trauma
• Muntah
• Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea, atau rinorea
cairan serebrospinal)
• Kejang

c. Cedera kepala berat (kelompok risiko berat)


• Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)
• Penurunan derajat kesadaran secara progresif
• Tanda neurologist fokal
• Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.
PENGOBATAN

1. Memperbaiki / mempertahankan fungsi vital (ingat ABC)


2. Mengurangi edema otak dengan cara:
• Hiperventilasi. Bertujuan untuk menurunkan PO2darah sehingga men-cegah vasodilatasi pembuluh
darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan metabolisme anaerob,
sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, PO2dipertahankan > 100
mmHg dan PCO2di antara 2530 mmHg.
• Cairan hiperosmoler. Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus untuk "menarik" air dari
ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk
memperoleh efek yang dikehendaki, manitol harus diberikan dalam dosis yang cukup dalam waktu
singkat, umumnya diberikan 0,51 g/kgBB dalam 1030 menit.
• Kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu
yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid tidak / kurang
bermanfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini
menstabilkan sawar darah otak.
• Barbiturat digunakan untuk mem"bius" pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah
mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak
relatif lebih terlindung dari kemungkinan kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen
berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang ketat.
• Pada 2448 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 15002000 ml/24 jam agar tidak
memperberat edema jaringan.
3. Obat-obatan neuroprotectan seperti piritinol, piracetam dan citicholine dikatakan dapat membantu
mengatasi kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma.
4. Perawatan luka da pencegahan dekubitus harus dilakukan sejak dini
5. Hemostatik tidak digunakan secara rutin; pasien trauma kepala umumnya sehat dengan fungsi
pembekuan normal. Perdarahan intrakranial tidak bisa diatasi hanya dengan hemostatik.
6. Antikonvulsan diberikan bila pasien mengalami kejang, atau pada trauma tembus kepala dan
fraktur impresi; preparat parenteral yang ada ialah fenitoin, dapat diberikan dengan dosis awa1250 mg
intravena dalam waktu 10 menit diikuti dengan 250-500 mg fenitoin per infus selama 4 jam. Setelah
itu diberi- kan 3 dd 100 mg/hari per oral atau intravena. Diazepam 10 mg iv diberikan bila terjadi
kejang. Phenobarbital tidak dianjurkan karena efek sampingnya berupa penurunan kesadaran dan
depresi pernapasan

Komplikasi trauma kepala


1.Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinusfrontal atau dari fraktur
tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.2
2.Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini,minggu pertama) atau
lanjut (setelah satu minggu).3
3.Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkaihipofisis meyulitkan
penghentian sekresi hormone antidiupetik.

Prognosis trauma kepala


Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami penyembuhan total. Jenis
dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi.
Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehinnga area yang tidak mengalami
kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua
umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin
berkurang.
Penderita cedera kepala berat kadang mengalami amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat
sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran. Jika kesadaran telah kembali pada minggu
pertama, maka biasanya ingatan penderita akan pulih kembali.
Penderita bisa mengalami sindroma pasca konkusio, dimana sakit kepala terus menerus dirasakan dan
terjadi gangguan ingatan.
Status vegetatif kronis merupakan keadaan tak sadarkan diri dalam waktu yang lama, yang disertai
dengan siklus bangun dan tidur yang mendekati normal.
Keadaan ini merupakan akibat yang paling serius dari cedera kepala yang non-fatal. Penyebabnya
adalah kerusakan pada bagian atas dari otak (yang mengendalikan fungsi mental), sedangkan talamus
dan batang otak (yang mengatur siklus tidur, suhu tubuh, pernafasan dan denyut jantung) tetap utuh.
Jika status vegetatif terus berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, maka kemungkinan untuk
sadar kembali sangat kecil.

STROKE
Pengertian stroke
Stroke adalah kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke otak terganggu atau berkurang akibat
penyumbatan (stroke iskemik) atau pecahnya pembuluh darah (stroke hemoragik). Tanpa darah, otak
tidak akan mendapatkan asupan oksigen dan nutrisi, sehingga sel-sel pada sebagian area otak akan
mati. Kondisi ini menyebabkan bagian tubuh yang dikendalikan oleh area otak yang rusak tidak dapat
berfungsi dengan baik.

Stroke adalah keadaan darurat medis karena sel otak dapat mati hanya dalam hitungan menit.
Tindakan penanganan secara cepat dapat meminimalkan tingkat kerusakan otak dan kemungkinan
munculnya komplikasi.

Epidemiologi stroke
Menurut riset kesehatan dasar yang diselenggarakan oleh Kementrian Kesehatan RI pada tahun 2013,
di Indonesia terdapat lebih dari 2 juta penduduk, atau 12 dari 1000 penduduk, menderita stroke
dengan persentase terbesar berasal dari provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, stroke juga merupakan
pembunuh nomor 1 di Indonesia, lebih dari 15% kematian di Indonesia disebabkan oleh stroke. Stroke
iskemik memiliki kejadian yang lebih sering dibandingkan dengan stroke hemoragik, namun stroke
hemoragik membunuh lebih sering dibandingkan dengan stroke iskemik. Hipertensi yang diikuti
dengan diabetes dan kolesterol tinggi merupakan kondisi yang paling sering meningkatkan risiko
terjadinya stroke di Indonesia.

Stroke adalah penyebab utama dari disabilitas. Stroke menurunkan mobilitas pada lebih dari 65%
pasien penderita stroke.Lebih dari 85% jenis serangan stroke adalah stroke jenis
penyumbatan/iskemik.Stroke adalah penyebab kematian ketiga terbesar di Eropa setelah penyakit
jantung dan kanker dan menyumbang 10% sebagai penyebab kematian di dunia. Ras kulit hitam
memiliki morbiditas dan mortalitas dua kali lebih tinggi jika dibandingkan orang kulit putih. Suku
Amerika Indian, Alaska dan kulit hitam lebih cenderung terkena stroke. Lebih dari 25% pasien yang
menderita stroke pernah terkena serangan stroke sebelumnya. Lebih dari 30% pasien yang memiliki
stroke berusia di atas 65 tahun. Di Amerika, setiap 4 detik seseorang terkena stroke dan setiap 4 menit
seseorang meninggal karena stroke.

Etiologi stroke
Penyebab stroke antara lain adalah aterosklerosis (trombosis), embolisme, hipertensi yang
menimbulkan perdarahan intraserebral dan ruptur aneurisme sakular. Stroke biasanya disertai satu
atau beberapa penyakit lain seperti hipertensi, penyakit jantung, peningkatan lemak dalam darah,
diabetes mellitus atau penyakit vascular perifer.

Faktor-faktor risiko terkena stroke:

Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi:

 Usia (Risiko terkena stroke meningkat dua kali lipat tiap 10 tahun pada usia >55 tahun)
 Jenis kelamin (pria 1,25 kali lebih mungkin terkena stroke)
 Riwayat keluarga
 Berat badan lahir rendah

Faktor risiko yang bisa dimodifikasi:

 Hipertensi
 Merokok
 Diabetes Melitus
 Dislipidemia
 Fibrilasi atrial
 Sickle Cell Disease
 Obesitas
 Alkohol
 Kurang olahraga
 Hiperkoagulabilitas
 Migrain dengan aura
 Sindroma metabolik [10]
Patofisiologi stroke
1. Trombosis (penyakit trombo – oklusif) merupakan penyebab stroke yang paling sering.
Arteriosclerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah penyebab utama trombosis
selebral. Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi, sakit kepala adalah awitan yang tidak umum.
Beberapa pasien mengalami pusing, perubahan kognitif atau kejang dan beberapa awitan umum
lainnya. Secara umum trombosis serebral tidak terjadi secara tiba-tiba, dan kehilangan bicara
sementara, hemiplegia atau parestesia pada setengah tubuh dapat mendahului awitan paralysis berat
pada beberapa jam atau hari.

Proses aterosklerosis ditandai oleh plak berlemak pada pada lapisan intima arteria besar. Bagian
intima arteria sereberi menjadi tipis dan berserabut , sedangkan sel – sel ototnya menghilang. Lamina
elastika interna robek dan berjumbai, sehingga lumen pembuluh sebagian terisi oleh materi sklerotik
tersebut. Plak cenderung terbentuk pada percabangan atau tempat – tempat yang melengkung. Trombi
juga dikaitkan dengan tempat – tempat khusus tersebut. Pembuluh – pembuluh darah yang
mempunyai resiko dalam urutan yang makin jarang adalah sebagai berikut : arteria karotis interna,
vertebralis bagian atas dan basilaris bawah. Hilangnya intima akan membuat jaringan ikat terpapar.
Trombosit menempel pada permukaan yang terbuka sehingga permukaan dinding pembuluh darah
menjadi kasar. Trombosit akan melepasakan enzim, adenosin difosfat yang mengawali mekanisme
koagulasi. Sumbat fibrinotrombosit dapat terlepas dan membentuk emboli, atau dapat tetap tinggal di
tempat dan akhirnya seluruh arteria itu akan tersumbat dengan sempurna.

2. Embolisme. Penderita embolisme biasanya lebih muda dibanding dengan penderita trombosis.
Kebanyakan emboli serebri berasal dari suatu trombus dalam jantung, sehingga masalah yang
dihadapi sebenarnya adalah perwujudan dari penyakit jantung. Setiap bagian otak dapat mengalami
embolisme, tetapi embolus biasanya embolus akan menyumbat bagian – bagian yang sempit.. tempat
yang paling sering terserang embolus sereberi adalah arteria sereberi media, terutama bagian atas.

3. Perdarahan serebri: perdarahan serebri termasuk urutan ketiga dari semua penyebab utama kasus
GPDO (Gangguan Pembuluh Darah Otak) dan merupakan sepersepuluh dari semua kasus penyakit
ini. Perdarahan intrakranial biasanya disebabkan oleh ruptura arteri serebri. Ekstravasasi darah terjadi
di daerah otak dan /atau subaraknoid, sehingga jaringan yang terletak di dekatnya akan tergeser dan
tertekan. Darah ini mengiritasi jaringan otak, sehingga mengakibatkan vasospasme pada arteria di
sekitar perdarahan. Spasme ini dapat menyebar ke seluruh hemisper otak dan sirkulus wilisi. Bekuan
darah yang semula lunak menyerupai selai merah akhirnya akan larut dan mengecil. Dipandang dari
sudut histologis otak yang terletak di sekitar tempat bekuan dapat membengkak dan mengalami
nekrosis.
Manifestasi stroke
Menurut Smeltzer (2001) manifestasi klinis stroke terdiri atas:
a. Defisit Lapang Penglihatan
1) Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah lapang penglihatan)
Tidak menyadari orang atau objek ditempat kehilanga n, penglihatan,
mengabaikan salah satu sisi tubuh, kesulitan menilai jarak.
2) Kehilangan penglihatan perifer
Kesulitan melihat pada malam hari, tidak menyadari objek atau batas objek.
3) Diplopia
Penglihatan ganda.
b. Defisit Motorik
1) Hemiparesis
Kelemahan wajah, lengan dan kaki pada sisi yang sama.
Paralisis wajah (karena lesi pada hemisfer yang berlawanan).
2) Ataksia
Berjalan tidak mantap, tegak
Tidak mampu menyatukan kaki, perlu dasar berdiri yang luas.
3) Disartria
Kesulitan dalam membentuk kata.
4) Disfagia
Kesulitan dalam menelan.
c. Defisit Verbal
1) Afasia Ekspresif
Tidak mampu membentuk kata yang dapat dipahami, mungkin mampu
bicara dalam respon kata tunggal.
2) Afasia Reseptif
Tidak mampu memahami kata yang dibicarakan, mam pu bicara tetapi tidak
masuk akal.
3) Afasia Global
Kombinasi baik afasia reseptif dan ekspresif.
d. Defisit Kognitif
Pada penderita stroke akan kehilangan memori jangka pendek dan panjang,
penurunan lapang perhatian, kerusakan kemampuan untuk berkonsentrasi ,
alasan abstrak buruk, perubahan penilaian.
e. Defisit Emosional
Penderita akan mengalami kehilangan kontrol diri, labilitas emosional,
penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stress, depresi, menarik
diri, rasa takut, bermusuhan dan marah, per asaan isolasi.
Penegakkan diagnosis stroke
Pada pasien stroke perlu dilakukan pemeriksaan lain seperti tingkat
kesadaran, kekuatan otot, tonus otot, pemeriksaan radiologi dan laboratorium.
Pada pemeriksaan tingkat kesadaran dilakukan pemeriksaan yang dikenal
sebagai Glascow Coma Scale untuk mengamati pembukaan kelopak mata,
kemampuan bicara, dan tanggap motorik (gerakan).
Pemeriksaan tingkat kesadaran adalah dengan pemeriksaan yang dikenal
sebagai Glascow Coma Scale (GCS)

Pemeriksaan Penunjang
Menurut Harsono (1996) pemeriksaan penunjang yang da pat dilakukan
pada penderita stroke adalah sebagai berikut:
a. Head CT Scan
Pada stroke non hemorhargi terlihat adanya infark sedangkan pada stroke
haemorhargi terlihat perdarahan.
b. Pemeriksaan lumbal pungsi
Pada pemeriksaan pungsi lumbal untuk pemeriksaan dia gnostik diperiksa
kimia sitologi, mikrobiologi, virologi . Disamping itu dilihat pula tetesan cairan
cerebrospinal saat keluar baik kecepatannya, kejernihannya, warna dan
tekanan yang menggambarkan proses terjadi di intra spinal. Pada stroke non
hemorargi akan ditemukan tekanan normal dari cairan cerebrospinal jernih.
Pemeriksaan pungsi cisternal dilakukan bila tidak mungkin dilakukan pungsi
lumbal. Prosedur ini dilakukan dengan supervisi neurolog yang telah
berpengalaman.
c. Elektrokardiografi (EKG)
Untuk mengetahui keadaan jantung dimana jantung berperan dalam suplai
darah ke otak.
d. Elektro Encephalo Grafi
Elektro Encephalo Grafi mengidentifikasi masalah berdasarkan gelombang
otak, menunjukkan area lokasi secara spesifik.
e. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui keadaan darah, kekentalan
darah, jumlah sel darah, penggumpalan trombosit yang abnormal dan
mekanisme pembekuan darah.
f. Angiografi cerebral
Pada cerebral angiografi membantu secara spesifik penyebab stroke seperti
perdarahan atau obstruksi arteri, memperlihatkan secara tepat letak
oklusi atau ruptur.
g. Magnetik Resonansi Imagine (MRI)
Menunjukkan darah yang mengalami infark, haemorhargi, Malformasi Arterior
Vena (MAV). Pemeriksaan ini lebih canggih dibanding CT Scan.
h. Ultrasonografi dopler
Mengidentifikasi penyakit Malformasi Arterior Vena .
(Harsono,1996).
Menurut Wibowo (1991), pemeriksaan X-Ray kepala dapat menunjukkan
perubahan pada glandula peneal pada sisi yang berlawanan dari massa yang
meluas, klasifikasi karotis internal yang dapat dilihat pada trombosis cerebral,
klasifikasi parsial pada dinding aneurisme pada perdarahan subarachnoid.
Penatalaksanaan stroke
Menurut Harsono (1996), kematian dan deteriosasi neurologis minggu
pertama stroke iskemia oleh adanya odema otak. Odem otak timbul dalam
beberapa jam setelah stroke iskemik dan mencapai puncaknya 24 -96 jam.
Odema otak mula - mula cytofosic, karena terjadi gangguan pada
metabolisme seluler kemudian terdapat odema vasogenik karena rusaknya
sawar darah otak setempat. Untuk menurunkan od ema otak, dilakukan hal
sebagai berikut:
a. Naikkan posisi kepala dan badan bagian atas setinggi 20 -30.
b. Hindarkan pemberian cairan intravena yang berisi glukosa atau cairan
hipotonik.
c. Pemberian osmoterapi yaitu :
1) Bolus marital 1gr/kg BB dalam 20 -30 menit kemudian dilanjutkan dengan
dosis 0,25 gr/kg BB setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam. Target
osmolaritas 300-320 mmol/liter.
2) Gliserol 50% oral 0, 25 - 1gr/kg BB setiap 4 atau 6 jam atau geiseral 10%.
Intravena 10 ml/kg BB dalam 3 -4 jam (untuk odema cerebr i ringan,
sedang).
3) Furosemide 1 mg/kg BB intravena.
d. Intubasi dan hiperventilasi terkontrol dengan oksigen hiperbarik sampai
PCO2 = 29-35 mmHg.
e. Tindakan bedah dikompresif perlu dikerjakan apabila terdapat supra tentoral
dengan pergeseran linea mediarea atau cerebral infark disertai efek rasa.
f. Steroid dianggap kurang menguntungkan untuk terapi udara cerebral oleh
karena disamping menyebabkan hiperglikema juga naiknya resiko infeksi.

Komplikasi stroke
Komplikasi stroke menurut Satyanegara (1998):
a. Komplikasi Dini (0-48 jam pertama)
1) Edema serebri: defisit neurologis cenderung memberat, dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial, herniasi, dan akhirnya
menimbulkan kematian.
2) Infark miokard: penyebab kematian mendadak pada stroke stadium awal.
b. Komplikasi Jangka pendek (1-14 hari pertama)
1) Pneumonia: Akibat immobilisasi lama
2) Infark miokard
3) Emboli paru: Cenderung terjadi 7 -14 hari pasca stroke, seringkali pada
saat penderita mulai mobilisasi.
4) Stroke rekuren: Dapat terjadi pada setiap saat.
c. Komplikasi Jangka panjang
Stroke rekuren, infark miokard, ga ngguan vaskular lain: penyakit vaskular
perifer.
Menurut Smeltzer (2001), komplikasi yang terjadi pada pasien stroke
yaitu:
a. Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi
b. Penurunan darah serebral
c. Embolisme serebral.
Prognosis stroke
Menurut Harsono (1996) dipengaruhi oleh beberapa faktor:
a. Tingkat kesadaran: sadar 16 % mening gal, somnolen 39 % meninggal, yang
stupor 71 % meninggal, dan bila koma 100 % meninggal.
b. Usia: pada usia 70 tahun atau lebih, angka – angka kematian meningkat
tajam.
c. Jenis kelamin: laki – laki lebih banyak (16 %) yang meninggal dari pada
perempuan (39 %).
d. Tekanan darah: tekanan darah tinggi prognosis jelek.
e. Lain – lain: cepat dan tepatnya pertolongan.

STEP 7 ( DAFTAR PUSTAKA)


Boughman Diane. E (2001). Buku saku keperawatan medical bedah. EGC : Jakarta.

Evelyn C. Peace (1998). Anatomo fisiologi untuk paramedic. PT Gramedia: Jakarta.

Guyton& hall (1997). Buku ajar fisiologi kedoteran . EGC : Jakarta.


BLOK GANGGUAN SISTEM SARAF & PSIKIATRI
SKENARIO 1

DISUSUN OLEH :

NAMA : MUTIARA PUTRI ANDYLA

NPM : 61115085

DOSEN : dr. DEWI FITRIANA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM


ANGKATAN 2015
BLOK GANGGUAN SISTEM SARAF & PSIKIATRI
SKENARIO 1

DISUSUN OLEH :

NAMA : ANDHIKA WAHYU PRATAMA

NPM : 61115043

DOSEN : dr. DEWI FITRIANA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM


ANGKATAN 2015

Anda mungkin juga menyukai