Anda di halaman 1dari 29

RESPONSI

ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


HERPES ZOSTER-POST HERPETIC NEURALGIA

Pembimbing :

Penyusun :
Indra Pramanasari
2016.04.2.0086

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
RSAL DR. RAMELAN SURABAYA
2017
RESPONSI ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
Penyusun : Indra Pramanasari
NIM : 2016.04.2.0086

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. R
Umur : 54 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Sidoarjo
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
Status Perkawinan : Menikah
Suku / Bangsa : Jawa / Indonesia
Tanggal Pemeriksaan : 31 Maret 2017

II. ANAMNESA
1. Keluhan Utama
Nyeri hebat di daerah bawah payudara di tempat luka bekas
herpes

2. Keluhan Tambahan
--

3. Riwayat Penyakit Sekarang


4. Penderita datang ke poli kulit kelamin RSAL pada hari jum’at
tanggal 31 Merat 2017 dengan keluhan nyeri yang hebat sekali di
daerah bawah payudara di tempat luka bekas herpes. Pasien
mengaku nyeri bisa timbul secara mendadak ataupun pada saat
terkena sentuhan tangan ataupun saat berganti pakaian. Pasien
didiagnosa herpes pada tanggal 10 maret di poli kulit kelmain
RSAL, kemudian mendapat pengobatan acyclovir, CTM dan

1
asam mefenamat serta talkum salicyl 2% dan kemudian pasien
mengaku luka akibat herpesnya sudah mengering setelah 6 hari
mengkonsumsi obat tetapi nyeri yang sejak awal timbul
bersamaan dengan luka masih ada sampai sekarang. Pernah
ada riwayat cacar air pada kelas 2 sd dan maag kronis sejak
sekitar 9 tahun yang lalu. Pasien mengaku berobat penyakit
maag di poli penyakit dalam sebelum terkena herpes.

5. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Sakit seperti ini : disangkal
Riwayat Penyakit kulit sebelumnya : disangkal
Riwayat Alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Diabetes Melitus : disangkal

6. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan
penderita : disangkal

7. Riwayat Psikososial
 Penderita mandi teratur 2x sehari memakai sabun mandi
batang dan menggunakan air PDAM.
 Penderita mengganti pakaian yang digunakan sehari – hari
2x dan memakai handuk sendiri tidak bergantian dengan
anggota keluarga lain.
 Lingkungan tempat tinggal penderita cukup bersih dan tidak
padatpenduduk. Penderita tinggal satu rumah dengan istri
dan kedua anaknya.

2
III. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sehat
Kesadaran : Compos Mentis
Tinggi Badan : tidak diukur
Berat Badan : tidak diukur
A/I/C/D : -/-/-/-
Kepala dan Leher : Lihat status dermatologi
Thorax : Dalam batas normal
Abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas : Dalam batas normal

Status Dermatologi
 Efloresensi:
Tampak makula dan papul hiperpigmentasi pada regio
thoracalis dextra setinggi T2-T3

3
IV. RESUME
Anamnesa
Penderita datang ke poli kulit kelamin RSAL pada hari jum’at
tanggal 31 Merat 2017 dengan keluhan nyeri yang hebat sekali di
daerah bawah payudara di tempat luka bekas herpes. Pasien
mengaku nyeri bisa timbul secara mendadak ataupun pada saat
terkena sentuhan tangan ataupun saat berganti pakaian. Pasien
didiagnosa herpes pada tanggal 10 maret di poli kulit kelmain
RSAL, kemudian mendapat pengobatan acyclovir, CTM dan asam
mefenamat serta talkum salicyl 2% dan kemudian pasien mengaku
luka akibat herpesnya sudah mengering setelah 6 hari
mengkonsumsi obat tetapi nyeri yang sejak awal timbul bersamaan
dengan luka masih ada sampai sekarang. Pernah ada riwayat
cacar air pada kelas 2 sd dan maag kronis sejak sekitar 9 tahun
yang lalu. Pasien mengaku berobat penyakit maag di poli penyakit
dalam sebelum terkena herpes.

Pemeriksaan Fisik
Status generalis : Dalam Batas Normal.
Status Dermatologi :
 Efloresensi:
Tampak makula dan papul hiperpigmentasi pada regio
thoracalis dextra setinggi T2-T3.

V.DIAGNOSA KERJA
Post Herpetic Neuralgia

VI. DIAGNOSA BANDING


 Trigeminal Neuralgia
 Selulitis

4
VII. PENATALAKSANAAN
1. Planning Diagnosa :
--
2. Planning Terapi :
 Medikamentosa:
Oral : Amytriptilin 1x25mg, Gabapentin 2x300mg
Asam mefenamat 3 x 500mg
Topikal : Bedak salicyl 2% atau Capsaisin cream
 Non Medikamentosa:
- Menjaga higienitas tubuh dengan mandi 2 x sehari
dengan menggunakan sabun mandi untuk mencegah
infeksi sekunder.
- Menjelaskan pada penderita dapat timbul rasa nyeri
pada daerah bekas bintil-bintil setelah sembuh.
- Menjelaskan bahwa penyakit ini dapat kambuh lagi jika
daya tahan tubuh penderita menurun
3. Planning Monitoring
- Kontrol setiap 1 minggu
- Keluhan penderita berkurang, tetap atau makin
bertambah berat.
- Perkembangan perluasan lesi. Lesi meluas atau
menetap atau mulai berkurang
4. Planning Edukasi
- Menyarankan agar penderita tetap menjaga higienitas
serta merawat diri agar terhindar dari infeksi sekunder
dengan cara tetap mandi dengan menggunakan sabun.
- Memberitahukan agar penderita tidak menggaruk lesi
kulit jika terasa gatal, karena dengan garukan tersebut
malah dapat memperdalam lesi sehingga timbul sikatrik/
jaringan parut.

5
- Menyarankan agar penderita makan makanan yang
seimbang untuk meningkatkan daya tahan tubuh
sehingga proses penyembuhan dapat lebih cepat.
- Mengingatkan penderita meminum obat secara teratur
dan disiplin agar proses penyembuhan dapat berjalan
lancar.

VIII. PROGNOSA
Baik jika dirawat dini dan belum terjadi komplikasi

6
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Pendahuluan
Herpes Zoster merupakan infeksi dermatom yang dihubungkan
dengan reaktivasi dari VZV. Secara keseluruhan kejadian herpes
zoster di Amerika sekitar 500.000 orang per tahun. Herpes Zoster
terjadi pada penderita yang pernah menderita varisela, karena
reaktivasi virus yang laten. Penyakit ini sering pada pasien dengan
imunitas yang rendah seperti pada orang tua. Manifestasi klinisnya
pada kulit adalah gerombolan vesikel-bula unilateral sesuai dengan
dermatom yang terkena dengan keluhan tersering adalah nyeri yang
sangat.(1)

1.2 Definisi
Herpes Zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
virus varisela-zoster yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini
merupakan reaktivasi virus yang dorman setelah infeksi
primer(4)Herpes Zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
Varisela-Zoster yang sifatnya terlokalisir, terutama menyerang orang
dewasa dengan ciri khas berupa nyeri radikuler, unilateral, dan
gerombolan vesikel yang tersebar sesuai dermatom.(3)

1.3 Sinonim
Herpes Zoster disebut juga sebagai dampa, cacar ular,
shingles(1)(4)

1.4 Epidemiologi dan Faktor Resiko


Di Amerika Serikat, hampir 100% dari dewasa yang mempunyai
seropositif terhadap antibodi anti-VZV. Kadang-kadang varisela ini
berlangsung subklinis, tetapi ada pendapat yang menyatakan

7
kemungkinan transmisi virus secara aerogen dari pasien yang
sedang menderita varisela atau herpes zoster.(1)(3)
Lebih dari 500.000 kasus herpes zoster tiap tahunnya. Pada
data statistik kohort menunjukkan 5% individu dengan herpes zoster
merupakan penderita HIV dan 5% yang lainnya penderita kanker.
Herpes zoster terjadi pada 25% dari individu yang terinfeksi HIV.
Kekambuhan Herpes zoster lebih sering terjadi pada individu yang
immunocompromised. Imunisasi VZV pada masa kanak-kanak akan
mempengaruhi epidemiologi dari Herpes Zoster.(1)
Insiden dari herpes zoster ditentukan oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi hubungan antara inang dan virus, antara lain:
1. Usia tua. Menurut studi di Amerika utara dan Eropa, insiden
herpes zoster 1,5 sampai 3 per 1000 penduduk per tahun pada
semua usia, dan 7 sampai 11 per 1000 penduduk per tahun pada
usia lebih dari enam puluh tahun.
2. Disfungsi imunitas selular. Pasien dengan imunosupresi
mempunyai resiko 20 sampai 100 kali lebih besar terinfeksi
herpes zoster dibandingan dengan pasien imunokompeten yang
berusia sama. Kondisi imunosupresif juga termasuk infeksi HIV,
transplantasi sumsum tulang, leukimia, limfoma, penggunaan
kemoterapi kanker dan kortikosteroid.
3. Faktor-faktor lain yaitu jenis kelamin perempuan, trauma fisik
pada dermatom yang terkena, polimorfik gen interleukin 10, ras
kulit hitam (2)

1.5 Transmisi
Pasien dengan Herpes zoster lebih tidak menular daripada
pasien dengan varicella. Virus dapat terisolasi dari vesikel dan pustul
pada herpes zoster tanpa komplikasi sampai dengan tujuh hari
setelah munculnya rash dan lebih lama pada individu yang
immunocompromised. Pasien dengan herpes zoster dermatomal
tanpa komplikasi dapat menularkan infeksi melalui kontak langsung

8
dengan lesi kulitnya, namun pada pasien dengan herpes zoster
diseminata mentransimiskan infeksi melalui udara.(2)

1.6 Etiologi
Virus Varisela-Zostertermasuk famili herpesvirus dan
merupakan salah satu dari delapan virus yang diketahui virus herpes
yang menginfeksi manusia (Tabel 1.1). Diameter virus ini kurang
lebih adalah 150-200 nm dan memiliki berat molekul sekitar 80 juta.
Ciri khas pada strukturnya adalah memiliki nukleokapsid isosahedral
dengan dikelilingi lipid envelop. DNA double stranded terletak
ditengah-tengah struktur virus tersebut. (MArio). Genome VZV
mengkode kurang lebih 70 gen yang unik, kebanyakan memiliki
susunan DNA dan fungsi yang homolog dengan virus herpes lainnya.
Early gene products meregulasi replikasi DNA, misalnya polymerase
DNA virus dan virus-specific tymidine kinase. Late genes mengkode
protein structural yang menjadi target oleh antibody dan respon imun
selular(2)
Tabel 1.1 Virus Herpes pada Manusia (1)

1.7 Patogenesis
Selama serangkaian terjadinya varisela, VZV melewati lesi
pada permukaan kulit dan mukosa menuju akhiranserabut saraf
sensoris yang berdekatan dan pindah secara sentripetal ke atas
serabut sensoris pada ganglion sensoris (ganglion dorsalis). Pada

9
ganglia, virus menjadi infeksi laten yang tetap ada selama
kehidupan. Reaktivasi terjadi paling sering pada dermatom dimana
rash varisela mencapai densitas tertinggi yang diinervasi oleh bagian
dari saraf trigeminal pertama (opthalmicus) dan ganglia sensoris
spinal dari T1-T2.(2)

Gambar 1.1 Patogenesis Herpes Zoster A. Infeksi VZV pada


ganglion dorsalis (Varisella), lesi tampak tersebar B. VZV laten
dalam ganglion dorsalis C. Reaktivasi VZV menjadi lesi bergerombol
pada kulit (Herpes Zoster)(1)

Mekanisme reaktivasi dari VZV laten masih belum jelas, namun


reaktivasi dapat dihubungkan dengan imunosupresi, stres emosi,
iradiasi pada kolumna spinalis, tumor pada korda spinalis dan
ganglion dorsalis, trauma lokal, manipulasi pembedahan pada spina,
dan sinusitis frontalis. Yang paling penting yakni penurunan imunitas
selular spesifik VZV yang terjadi seiring dengan peningkatan usia.
Sejumlah kecil antigen virus yang dilepaskan selama terjadinya
reaktivasi dapat menyebabkan stimulasi dan bertahannya imunitas
host terhadap VZV. Saat imunitas selular spesifik terhada VZV turun
pada kadar yang rendah, reaktivasi virus tidak dapat terjadi. Virus
bermultiplikasi dan menyebar di dalam ganglion, menyebabkan
inflamasi dan nekrosis neuronal, yang merupakan sebuah proses
yang sering disertai dengan neuralgia berat. Kemudian VZV

10
menyebar menuruni serabut saraf sensoris menyebabkan neuritis
yang intens, dan dilepaskan dari akhiran serabut saraf sensoris di
kulit, yang menyebabkan terjadinya sekelompok vesikel-vesikel.(2)

Patogenesis Nyeri pada Herpes Zoster dan Post Herpetic


Neuralgia
Nyeri merupakan gejala utama dari herpes zoster. Nyeri pada
herpes zoster umumnya menyertai rash nya dan sering menetap
setelah rash menyembuh, hal ini merupakan sebuah komplikasi yang
dikenal sebagai post herpetic neuralgia (PHN). Trauma pada serabut
saraf perifer pada ganglion memicu signal nyeri aferen. Inflamasi
pada kulit memicu signal nociceptif yang lebih lanjut dapat
menyebabkan nyeri pada kulit. Pelepasan berlebihan dari asam
amino eksitatori dan neuropeptida diinduksi oleh adanya impuls
afferen selama fase akut dan prodormal herpes zoster, yang
menyebabkan injuri eksotoksik dan hilangnya interneuron inhibitor
pada kornu posterior medula spinalis. Kerusakan neuron pada korda
spinalis, ganglion, dan serabut saraf perofer memegang peranan
penting pada patogenesis dari PHN (FP).

Gambar 1.2 Jalur nyeri pada saraf(2)

11
Gambar 1.3 Dermatome A. pars anterior B. pars posterior C.
percabangan dari N. trigeminal dan pecabangan dari N. vagus (1)

12
1.8 Gejala Klinis
Herpes zoster terjadi unilateral dengan distribusinya pada
serabut saraf sensori nervus spinalis atau cranialis sesuai dengan
dermatom diatas atau dibawahnya. Dermatom yang paling sering
terkena antara lain regio thorakal (55%), kranial (20%) ; dengan
nervus trigeminus yang paling sering terlibat, lumbal (15%) dan
sakral (5%)(5). Gejala klinis terbagi menjadi beberapa stadium,
yaitu:
1. Stadium Prodormal
Sebelum timbul gejala kulit, terdapat gejala prodormal
selama 2 minggu (84% kasus), sistemik atau lokal. Gejala
sistemiknya berupa demam, pusing, dan malaise. Sedangkan
gejala lokalnya berupa nyeri otot tulang, gatal, pegal, dan
sebagainya.(3)(4)
2. Stadium Erupsi
Setelah stadium prodormal kemudian dilanjutkan stadium
erupsi Mula-mula timbul papul atau plakat berbentuk urtika yang
setelah 1-2 hari akan timbul gerombolan vesikel di atas kulit yang
eritematus sedangkan kulit di antara gerombolan tetap normal.
Vesikel berisi cairan yang jernih, kemudian menjadi keruh
(berwarna keabuan), dapat menjadi pustule dan krusta. Kadang-
kadang vesikel mengandung darah dan disebut sebagai Herpes
Zoster hemoragik. Usia lesi pada satu gerombolan adalah sama
sedangkan usia lesi dengan gerombolan lain adalah tidak sama.
Lokasi lesi sesuai dengan dermatom, unilateral dan biasanya tidak
melewati garis tengah dari tubuh.(3)(4)
Papul (24 jam)

vesikel-bula (48 jam)

pustule (96 jam)

13
krusta (7-10 hari)
Gambar 1.4 Bagan lesi mukokutaneus pada Herpes Zoster(1)
3. Stadium Krustasi
Stadium ketiga adalah stadium krustasi. Disini, vesikel
menjadi purulen, mengalami krustasi dan lepas dalam waktu 1-2
minggu. Penyakit ini dapat pula menimbulkan infeksi sekunder
sehingga terjadi ulkus dengan penyembuhan berupa sikatriks.
Pada stadium ini juga sering terjadi pasca herpetika, terutama
pada orang tua yang dapat berlangsung berbulan-bulan parestesi
yang bersifat sementara.Individu tidak dapat mentransmisikan
VZV ketika lesi sudah menjadi krusta. (3)(4)

.
Gambar 1.5 (a).Herpes zoster dermatom thorakal dengan eritema
pada dermatom dan area yang terdapat kelompok vesikel. (b) Krusta
disertai vesikel dan bulla hemorragik pada dinding dada lateral. (c)
Herpes Zoster ophtalmicus (2)

Masa inkubasi adalah 7-12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa
lesi-lesi baru yang tetap timbul berlangsung kira-kira 1-2 minggu. Di
samping gejala kulit dapat juga dijumpai pembesaran kelenjar getah
bening regional. Lokalisasi penyakit ini adalah unilateral dan bersifat
dermatomal sesuai dengan tempat persarafan. Pada susunan saraf
tepi jarang timbul kelainan motorik, tetapi pada susunan saraf pusat
kelainan ini lebih sering karena struktur ganglion kranialis
memungkinkan hal tersebut. Hiperestesi pada daerah yang terkena

14
memberi gejala yang khas. Kelainan pada muka sering disebabkan
oleh karena gangguan pada nervus trigeminus (dengan ganglion
gaseri) atau nervus fasialis dan otikus (dari ganglion genikulatum).(4)
Acut Vesiculation adalah lesi herpes Zoster pada kulit, dapat
pruritik tetapi tidak nyeri. Zoster Sine Zoster adalah Herpes Zoster
yang mengenai saraf tanpa mengenai kulit. Abdominal Zoster terjadi
dengan gejala pada abdominal yang berat (nyeri dada) yang
mendahului rash selama beberapa jam atau hari. Chronic Stages
(PHN), di gambarkan sebagai panas seperti terbakar, dapat menetap
selama beberapa minggu, bulan, atau tahun setelah kelainan di kulit
sembuh.(1)

1.9 Diagnosa
Pada stadium pre erupsi, nyeri prodormal pada herpes zoster
sering dibingungkan dengan penyebab lain dari nyeri yang
terlokalisir. Pada saat erupsi muncul, karakter dan lokasi dermatom
dari rash dengan nyeri atau ketidaknyamanan dermatomal biasanya
membantu diagnosis menjadi nyata. Sekelompok vesikel-vesikel
terutama pada mulut atau genital, dapat merepresentasikan herpes
zoster, namun dapat juga merupakan suatu infeksi HSV rekuren.
Zosteriform herpes simplex lebih sukar dibedakan dengan herpes
zoster pada gejala klinik awal (2).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
1. Gejala klinis,
2. Sitologi (64% Tzank smear: adanya sel raksasa yang multilokuler
dan sel sel akantolitik)
3. Kultur virus (lembaga virologi) (3)

1.10 Diagnosa Banding


Diagnosa banding pada stadium prodormal antara lain migrain,
penyakit jantung atau pleura, kolik abdomen atau penyakit vertebra.
Sedangkan diagnosa banding pada stadium erupsi dermatomal

15
antara lain infeksi HSV Zostiform, dermatitis kontak, erisipelas,
impetigo bulosa dan fascitis nekrotik (1)

Gambar 1.6. Diagnosa banding Herpes Zoster (2)

1.11 Komplikasi
Penderita Herpes Zoster dapat mengalami penyulit neuralgia
paska herpetika, pada herpes Zoster oftalmika dapat terjadi
keratokonjungtivitis, ptosis paralitik, keratitis, skleritis, uveitis,
korioretinitis, dan neuritis oatak. Ramsay Hunt Sindrom terjadi pada
herpes yang mengenai ganglion genikulatum. Penyulit lainnya
yaituherpes Zoster abortif, Herpes Zoster generalisata, terjadi ulkus
dengan jaringan nekrotik pada penderita dengan defisiensi imunitas
dan paralisa motorik. Apabila infeksi menegnai ganglia nervus
kranialis dapat menyebabkan paresis dan meningoensefalitis. Hal ini
pada umumnya terjadi pada minggu kedua samapai keempat. (3)(4)

16
 Neuralgia Pasca Herpetika (PHN)
DEFINISI NEURALGIA PASCA HERPETIKA
Neuralgia ini dikarakteristikan sebagai nyeri seperti
terbakar, teriris atau nyeri disetetik yang bertahan selama
berbulan-bulan bahkan dapat sampai tahunan. Dworkin,
1994, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai
nyeri neuropatik yang menetap setelah onset ruam (atau 3
bulan setelah penyembuhan herpes zoster).2

PATOGENESIS

Nyeri
Proses terjadinya nyeri secara umum dapat dibagi
menjadi 3 jenis :2
1. Proses stimulasi singkat
Pada jenis I, pukulan, cubitan pada tubuh dan lain
sebagainya akan menyebabkan timbulnya persepsi
nyeri. Bila stimulasi yang terjadi tidak menyebabkan
terjadinya lesi, maka rasa nyeri yang terjadi hanya
dalam waktu singkat.
2. Proses stimulasi yang berkepanjangan sehingga
menyebabkan lesi atau inflamasi jaringan.
Pada jenis II, adalah jenis nyeri oleh karena terjadinya
inflamasi jaringan atau dikenal sebagai nyeri
nosiseptif. Ciri khas dari inflamasi ialah terjadinya
kalor, rubor, dolor dan fungsiolaesa.
3. Proses yang terjadi akibat lesi dari sistem saraf.
Pada Jenis III, dikenal sebagai nyeri neuropatik. Lesi
saraf tepi atau sentral akan mengakibatkan hilangnya
fungsi seluruh atau sebagian dari sistem saraf
tersebut. Lesi saraf menyebabkan perubahan fungsi
neuron sensorik yang dalam keadaan normal

17
dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan antara
neuron dengan lingkungannya. Gangguan yang
terjadi dapat berupa gangguan keseimbangan neuron
sensorik, melalui perubahan molekuler, sehingga
aktivitas sistem saraf aferen menjadi abnormal yang
selanjutnya menyebabkan gangguan nosiseptif
sentral (sensitisasi sentral).

Allodinia adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus


normal (secara normal semestinya tidak menimbulkan nyeri).
Impuls yang dijalarkan Aβ yang biasanya berupa sentuhan
halus atau raba normal dirasakan dengan rasa normal, tetapi
pada allodinia dirasakan nyeri.2
Nyeri pada neuralgia paska herpetika merupakan
nyeri neuropatik yang diakibatkan dari perlukaan saraf
perifer sehingga terjadi perubahan proses pengolahan sinyal
pada sistem saraf pusat. Saraf perifer yang sudah rusak
memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah sehingga
menunjukkan respon berlebihan terhadap stimulus.
Regenerasi akson setelah perlukaan menimbulkan
percabangan saraf yang juga mengalami perubahan
kepekaan. Aktivitas saraf perifer yang berlebihan tersebut
menimbulkan perubahan berupa hipereksitabilitas kornu
dorsalis sehingga pada akhirnya menimbulkan respon sistem
saraf pusat yang berlebihan terhadap semua rangsang
masukan/ sensorik. Perubahan ini berjalan dalam berbagai
macam proses sehingga dapat dimengerti bila pendekatan
terapeutik neuralgia paska herpetika memerlukan beberapa
macam pendekatan pula.2

MANIFESTASI KLINIS
Herpes zoster secara tipikal mengenai 1 atau 2
dermatom yang berlebihan, biasanya mengenai region
T3 sampai dengan L3. Lesi berkembang dari bercak lesi

18
eritem yang terrpisah menjadi vesikel berkelompok yang
dapat mngalami pustulasi dan krusta dalam 7 hingga 10
hari dan penyembuhannya makan waktu hingga 1 bulan
yang dapat meninggalkan bekas berupa jaringan perut,
perubahan pigmentasi, kulit, dan nyeri.(nyeri neuropatik).
Nyeri merupakan symptom herpes zoster yang paling
sering dan dirasakan beberapa hari atau beberapa
minggu sebelum timbulnya erupsi kulit, atau dapat pula
nyeri dialami sebagai gejala tunggal (zoster sine
herpete). Sensasi ini dapat menyembuh atau tetap
dirasakan secara tidak terduga, sehingga menimbulkan
kesulitan dalam membedakan nyeri herpes zoster
dengan neuralgia pasca-herpes.1,3
Sindroma neuralgia pasca-herpes dikenali secara
tunggal dengan adanya nyeri setelah seorang menderita
herpes zoster, baik dengan maupun tanpa interval bebas
nyeri. Definisi yang paling sering digunakan adalah nyeri
yang dirasakan lebih dari 1 bulan setelah onset ruam
zoster. Keluhan yang sering dilaporkan adalah nyeri
seperti terbakar, parestesi yang bisa disertai rasa sakit
(disestesi), respon nyeri berlebihan terhadap stimulus
(hiperestesi), atau nyeri seperti tersengat listrik. Nyeri
dapat diprovokasi antara lain oleh stimulus trivial
(alodinia), gatal-gatal yang tak tertahankan dan nyeri
yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang
berulang (wind-up pain).1,3

TERAPI
a. Analgesik
Analgesik non opioid seperti NSAID dan parasetamol
mempunyai efek analgesik perifer maupun sentral walaupun
efektifitasnya kecil terhadap nyeri neuropatik. Sedangkan
penggunaan analgesik opioid memberikan efektifitas lebih

19
baik. Tramadol telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri
neuropatik. Bekerja sebagai agonis mu-opioid yang juga
menghambat reuptake norepinefrin dan serotonin. Pada
sebuah penelitian, jika dosis dititrasi hingga maksimum 400
mg/hari dibagi dalam 4 dosis, tramadol terbukti lebih efektif
dibanding plasebo dalam pengobatan NPH. Namun, efek
pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan terjadinya
amnesia pada orang tua. Hal yang harus diperhatikan bahwa
pemberian opiat kuat lebih baik dikhususkan pada kasus
nyeri yang berat atau refrakter oleh karena efek toleransi
dan takifilaksisnya. Oxycodone berdasarkan penelitian
menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan plasebo
dalam meredakan nyeri, allodinia, gangguan tidur, dan
kecacatan. Dosis yang digunakan maksimal 60 mg/hari pada
NPH.2,4

b. Anti epilepsi
Mekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan
memodulasi voltage-gated sodium channel dan kanal
kalsium, meningkatkan efek inhibisi GABA, dan menghambat
transmisi glutaminergik yang bersifat eksitatorik.4
Gabapentin bekerja pada akson terminal dengan
memodulasi masuknya kalsium pada kanal kalsium,
sehingga terjadi hambatan. Karena bekerja secara sentral,
gabapentin dapat menyebabkan kelelahan, konfusi, dan
somnolen. Karbamazepin, lamotrigine bekerja pada akson
terminal dengan memblokade kanal sodium, sehingga terjadi
hambatan.2,4
Pregabalin bekerja menyerupai gabapentin. Onset
kerjanya lebih cepat. Seperti halnya gabapentin, pregabalin
bukan merupakan agonis GABA namun berikatan dengan
subunit dari voltage-gated calcium channel , sehingga
mengurangi influks kalsium dan pelepasan neurotransmiter

20
(glutamat, substance P, dan calcitonin gene-related peptide)
pada primary afferent nerve terminals. Dikatakan pemberian
pregabalin mempunyai efektivitas analgesik baik pada kasus
neuralgia paska herpetika, neuropati diabetikorum dan
pasien dengan nyeri CNS oleh karena trauma medulla
spinalis. Didapatkan pula hasil perbaikan dalam hal tidur dan
ansietas.4

c. Anti depressan
Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting
pada kasus neuralgia paska herpetika. Obat golongan ini
mempunyai mekanisme memblok reuptake (pengambilan
kembali) norepinefrin dan serotonin. Obat ini dapat
mengurangi nyeri melalui jalur inhibisi saraf spinal yang
terlibat dalam persepsi nyeri. Pada beberapa uji klinik obat
antidepressan trisiklik amitriptilin, dilaporkan 47-67% oasien
mengalami pengurangan nyeri tingkat sedang hingga sangat
baik. Amitriptilin menurunkan reuptake saraf baik
norepinefrin maupun serotonin. TCA telah terbukti efektif
dalam pengobatan nyeri neuropatik dibanding SSRI
(selective serotonine reuptake inhibitor ) seperti fluoxetine,
paroxetine, sertraline, dan citalopram. Alasannya mungkin
dikarenakan TCA menghambat reuptake baik serotonin
maupun norepinefrin, sedangkan SSRI hanya menghambat
reuptake serotonin.1,2 Efek samping TCA berupa sedasi,
konfusi, konstipasi, dan efek kardiovaskular seperti blok
konduksi, takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini juga dapat
meningkatkan berat badan, menurunkan ambang rangsang
kejang, dan hipotensi ortostatik. Anti depressan yang biasa
digunakan untuk kasus neuralgia pot herpetika adalah
amitriptilin, nortriptiline, imipramine, desipramine dan
lainnya.2,3,4
d. Terapi topikal

21
Penggunaan krim topikal seperti capsaicin cukup
banyak dilaporkan. Krim capsaicin sampai saat ini adalah
satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk neuralgia paska
herpetika. Capsaicin berefek pada neuron sensorik serat C
(C-fiber). Telah diketahui bahwa neuron ini melepaskan
neuropeptida inflamatorik seperti substansia P yang
menginisiasi nyeri. Dengan dosis tinggi, capsaicin
mendesensitisasi neuron ini. Pada suatu uji klinik acak
terkendali melibatkan 143 pasien neuralgia paska herpetika,
dilaporkan setelah pengobatan selama 4 minggu, 21% nyeri
berkurang pada kelompok yang mendapat terapi capsaicin ,
sedangkan 6% nyeri berkurang pada kelompok kontrol
(p<0.05). Tetapi sayangnya capsaicin mempunyai efek
sensasi rasa terbakar yang sering tidak bisa ditoleransi
pemakainya.2,3

PROGNOSIS
Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena
neuralgia paska herpetik tidak menyebabkan kematian.
Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya
mengganggu fungsi sensorik.1,2
Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena
setelah terapi didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat
beraktivitas baik seperti biasa.1,2
Prognosis ad sanactionam dubia ad bonam karena
risiko berulangnya HZ masih mungkin terjadi, namun selama
pasien mempunyai daya tahan tubuh baik kemungkinan
timbul kembali kecil.1,2
 Kerato-konjuntivitis pada herpes zoster optalmikus
Herpes Zoster oftalmika disebabkan oleh infeksi virus
varisalla-zoster pada cabang pertama nervus trigeminus (N.
Ophtalmicus), sehingga menimbulkan kelainan pada mata. Selain
itu, virus tersebut dapat menyerang cabang kedua (N. Maxillaris)

22
dan cabang ketiga (N. Mandibularis) yang menyebabkan kelainan
kulit pada daerah persarafannya.(3)(4)
Jika pada daerah kulit yang dipersarafi cabang nasociliaris
terkena, dengan vesikel pada sekitar dan ujung hidung
(Hutchison’s sign), 76% kemungkinan mengenai mata. Vesikel
pada ujung kelopak mata selalu mengenai mata. Oleh karena itu,
pasien denga Herpes Zoster Opthalmicus harus konsultasi
dengan ahli mata. Jika mengenai mata, kemungkinan dapat terjadi
uveitis (92%) dan keratitis (50%). Kemungkinan yang juga sering
terjadi tetapi lebih berat adalah glaucoma, optic neuritis,
ensefalitis, hemiplegic, dan nekrosis tretina akut. Komplikasi ini
dtelah berkurang dari 50% penderita dengan Herpes Zoster
Ophtalmicus menjadi 20% hingga 30% dengan terapi antivirus
yang efektif. Tidak seperti lesi pada kulit, lesi ocular pada herpes
zoster dan komplikasinya dapat terjadi kadang-kadang 10 tahun
setelah episode zoster.(5)

a. b.
Gambar 1.7 Herpes Zoster Opthalmicus(5)(6)
 Sindroma Ramsay-Hunt pada herpes yang mengenai ganglion
genikulatum
Ramsay Hunt Syndrome diakibatkan oleh gangguan nervus
fasialis dan otikus, sehingga memberikan gejala paralisa otot
muka (paralisa Bell) kelainan kulit yang sesuai dengan tingkat

23
persarafan, tinnitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus
dan nausea, juga terdapat gangguan pengecapan. Herpes Zoster
ini terjadi bila mengenai ganglion genikulatum.(2)(3)

a. b.
Gambar 1.8 a.Fasial palsy b. Herpes Zoster pada telinga(6)

 Zoster Generalisata: suatu zioster yang disertai dengan varisela


Pada Herpes Zoster generalisata kelainan kulitnya unilateral
dan segmental diambah kelainan kulit yang menyebar secara
generalisata berupa vesikel yang sliter dan ada umbilikasi. Kasus
ini terutam terjadi pada orang tua atau pada orang yang kondisi
fisiknya sangat lemah, misalnya pada penderita limfoma
malignum.(3)(4)
Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya
tanpa komplikasi. Sebaliknya, pada penderita yang disertai
defisiensi imunitas, infeksi HIV, keganasan atau berusia lanjut
dapat disertai komplikasi. Vesikel sering menjadi ulkus dengan
jaringan nekrotik.(3)(4)
Paralisa motorik terdapat dalam 1-5% kasus, yang terjadi
akibat penjalaran virus secara perkontinuitatum dari ganglion
sensorik ke system saraf yang berdekatan. Paralisis biasanya
timbul dalam dua minggu sejak awitan munculnya lesi. Berbagai
paralisis biasanya dapat terjadi, misalnya di muka, diafragma,
batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus. Umumnya

24
akan sembuh spontan.(4) Jika pada dermatom S2, S3, atau S4
terkena, dapat terjadi retensi urin. Hematuria dan pyuria juga
dapat terjadi. JIka mengenai dermatom T6 –T12, lumbar, dan
sakral dapat terjadi obstipasi, kontraksi sfingter ani, dilatasi, dan
spasme kolon.(2)

Gambar 1.9 Komplikasi Herpes Zoster (2)


1.12 Penatalaksanaan
1.12.1 Umum
1. Analgetika: Metamphiron sehari 4 kali 1 tablet
2. Bila ada infeksi sekunder: antibiotic eritromisin 250-500 mg,
Dicloxasilin 125-500 mg sehari 3 kali atau lainnya.
3. Lokal (topikal)
- Bila basah: kompres larutan garam faali
- Bila erosi: Salep sodium fusidate
- Bila kering: bedak salicyl 2%, untuk mencegah pecahnya
vesikel agar tidak terjadi infeksi sekunder(3)
Pengobatan topical bergantung pada stadiumnya. Jika masih
stadium vesikel diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk
mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi sekunder.
Bila erosive diberikan kompres terbuka. Kalau terjadi ulserasi
dapat diberikan salep antibiotic.(4)

1.11.2 Khusus

25
1. Acyclovir
Tujuan utama terapi pada pasien herpes zoster antara lain
untuk membatasi durasi dan derajad keparahan dari nyeri dan
rash, mencegah penyebaran penyakit, dan mencegah
terjadinya PHN.
Dosis:
 Acyclovir oral : 800 mg 5 kali sehari, selama 7 hari
 Famciclovir : 500 mg tiap 8 jam selama 7 hari
 Valacyclovir : 1 gram 3 kali sehari selama 7 hari
Obat-obatan tersebut dapat mempercepat penyembuhan rash,
dan mempercepat durasi dan keparahan nyeri pada pasien
dewasa tua yang diterapi dalam 72 jam dari onset rash, namun
oleh U.S Food and Drug Administration masih belum diterima
dalam pencegahan PHN. Dikarenakan pada orang yang
berusia kurang dari 50 tahun mempunyai resiko yang lebih
rendah terhadap terjadinya PHN, terapi antivirus kurang
diperlukan dalam pengobatan herpes zoster tanpa komplikasi(2)

Gambar 1.10 Terapi Herpes zoster (2)

2. Neuralgia pasca herpetika


Untuk neuralgia pasca herpetic belum ada obat pilihan,
dapat dicoba dengan akupuntur. Obat yang direkomendasikan

26
di antaranya gabapentin dosisnya 1800 mg- 2400 mg sehari.
Mula-mula dosis rendah kemudian dinaikkan secara bertahap
untuk menghindari efek samping di antaranya nyeri kepala
dan rasa melayang. Hari pertama dosisnya 300 mg sehari
diberikan sebelum tidur, setiap 3 hari dosis dinaikkan 300 mg
sehari sehingga mencapai 1800 mg sehari. Bila belum ada
efeknya dosis dapat ditinggikan. Nyeri tersebut lambat laun
akan menghilang sendiri(4)

3. Pada H.Z. optalmikus perlu konsul ke spesialis mata atau


dapat diberikan:
a. Acyslovir salep mata 5 kali setiap 4 jam
b. Dan juga Ofloxacin/ Ciprofloxacin 0,3% obat tetes mata
Hari 1 dan 2: 1 tetes/ 2-4 jam
Hari 3-7: 1 tetes sehari 4 kali (3)

Indikasi pemberian kortikosteroid adalah untuk Sindrom


Ramsay Hunt. Pemberian harus sedini-dininya untuk mencegah
terjadinya paralisis. Pemberian prednisone dengan dosis 3x20 mg
sehari, setelah seminggu dosis diturunkan secara bertahap, akan
membuat imunitas akan tertekan sehingga lebih baik digabung
dengan obat antiviral. Dikatakan kegunaannya untuk mencegah
fibrosis ganglion(4)

1.13 Prognosis
Prognosis umumnya baik. Sedangkan pada Herpes Zoster
Oftalmikus, prognosisnya bergantung pada tindakan perawatan
secara dini(4)

27
Daftar Pustaka

1. Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, PAller AS, Leffell DJ.
Varicella and Herpes Zoster, In: Fitzpatrick’s : Color Atlas and Synopsis
of Clinical Dermatology, 6th ed. United State of America : The McGrow –
Hill Company, 2009, p: 837-844
2. Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, PAller AS, Leffell DJ.
Varicella and Herpes Zoster, In: Fitzpatrick’s : Dermatology in General
Medicine. 7thEdition. United State of America : The McGrow – Hill
Company, 2008, p: 1885-1898
3. Pedoman Diagnosis dan Terapi, Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin, edisi III, Surabaya, Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo,
2005, hal: 56-58
4. Handoko RP. Penyakit Virus, Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,
editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta: Fakultas
Kedokteran, Universitas Indonesia. 2007, hal: 110-113
5. James W.D, Berger T.G., Elston D.M., Andrews’ Disease of The Skin,
Clinical Dermatology, 10th ed, British, Saunders Elsevier, 2006, p: 379-
384
6. Gross G, Doerr HW, editors. Herpes Zoster: Recent Aspect of
Diagnosis and Control. Switzerland : Karger. 2006. p.VII;1;31-33, 47-49

28

Anda mungkin juga menyukai