Anda di halaman 1dari 17

A.

Sinopsis
Dukuh Paruk adalah sebuah desa kecil yang terpencil dan
miskin. Namun,warganya memiliki suatu kebanggaan tersendiri
karena mewarisi kesenian ronggeng yang senantiasa
menggairahkan hidupnya. Tradisi itu nyaris musnah setelah
terjadi musibah keracunan tempe bongkrek yang mematikan
belasan warga Dukuh Paruk sehingga lenyaplah gairah dan
semangat kehidupan masyarakat setempat. Untunglah mereka
menemukan kembali semangat kehidupan setelah gadis cilik
pada umur belasan tahun secara alamiah memperlihatkan
bakatnya sebagai calon ronggeng ketika bermain-main bersama
Rasus, Warta, Darsun.
Permainan menari itu terlihat oleh kakek Srintil, Sakarya,
yang kemudian mereka sadar bahwa cucunya sungguh berbakat
menjadi seorang ronggeng. Berbekal keyakinan itulah, Sakarya
menyerahkan Srintil kepada dukun ronggeng Kartareja. Dengan
harapan kelak Srintil menjadi seorang ronggeng yang diakui
oleh masyarakat. Dalam waktu singkat, Srintil pun membuktikan
kebolehannya menari disaksikan orang-orang Dukuh Paruk
sendiri dan selanjutnya dia pun berstatus gadis pilihan yang
menjadi milik masyarakat.
Sebagai seorang ronggeng yang sah, Srintil harus menjalani
serangkaian upacara tradisional yang puncaknya adalah
menjalani upacara bukak klambu, yaitu menyerahkan
keperawanannya kepada siapa pun lelaki yang mampu
memberikan imbalan paling mahal. Meskipun Srintil sendiri
merasa ngeri, tak ada kekuatan dan keberanian untuk
menolaknya. Srintil telah terlibat atau larut dalam kekuasaan
sebuah tradisi, di sisi lain, Rasus yang mencintai gadis itu tidak
bisa berbuat banyak setelah Srintil resmi menjadi ronggeng
yang dianggap milik orang banyak. Oleh karena itu, Rasus
memilih pergi meninggalkan Srintil sendirian di Dukuh Paruk.
Kepergian Rasus ternyata meninggalkan luka yang
mendalam di hati Srintil dan kelak besar sekali pengaruhnya
terhadap perjalanan hidupnya. Rasus yang terluka hatinya
memilih meninggalkan Dukuh Paruk menuju pasar Dawuan, di
tempat itulah Rasus mengalami perubahan garis perjalanan
hidupnya dari seorang remaja dusun yang miskin dan buta
huruf menjadi seorang prajurit atau tentara yang gagah setelah
terlebih dahulu menjadi tobang. Dengan ketentaraannya itulah
kemudian Rasus memperoleh penghormatan dan penghargaan
seluruh orang Dukuh Paruk, lebih-lebih setelah berhasil
menembak dua orang perampok yang berniat menjarah rumah
Kartareja yang menyimpan harta kekayaan ronggeng Srintil.
Beberapa hari singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat menikmati
kemanjaan dan keperempuanan Srintil sepenuhnya. Tapi itu
semua tidak menggoyahkan tekadnya yang bulat untuk
menjauhi Srintil dan dukuhnya yang miskin. Pada saat fajar,
Rasus melangkah gagah tanpa berpamitan pada Srintil yang
masih pulas tidurnya. Kepergian Rasus tanpa pamit sangat
mengejutkan dan menyadarkan Srintil bahwa ternyata tidak
semua lelaki dapat ditundukkan oleh seorang ronggeng. Setelah
kejadian itu Srintil setiap hari tampak murung dan sikap Srintil
menimbulkan keheranan orang-orang disekitarnya. Kebanyakan
mereka tidak senang menyaksikan kemurungan Srintil, sebab
mereka tetap percaya ronggeng Srintil telah menjadi simbol
kehidupan Dukuh Paruk.
Penolakan Srintil masih bertahan ketika datang tawaran
menari dari Kantor Kecamatan Dawuan yang akan menggelar
pentas kesenian menyambut perayaan Agustusan. Kalau pun
pada akhirnya runtuh dan pasrah, bukan semata-mata tergugah
untuk kembali tampil menari sebagai seorang ronggeng,
melainkan mendengar ancaman Pak Ranu dari Kantor
Kecamatan. Srintil menyadari kedudukannya sebagai orang kecil
yang tak berhak melawan kekuasaan. Sama sekali ia tidak
membayangkan akibat lebih jauh dari penampilannya di
panggung perayaan Agustusan yang pada tahun 1964 sengaja
dibuat berlebihan oleh orang-orang Partai Komunis Indonesia
(PKI). Warna merah dipasang di mana-mana dan muncullah
pidato-pidato yang menyebut-nyebut rakyat tertindas, kapitalis,
imperalis, dan sejenisnya.Pemberontakan PKI kandas dalam
sekejap dan akibatnya orang-orang PKI atau mereka yang dikira
PKI dan siapa pun yang berdekatan dengan PKI di daerah mana
pun ditangkapi dan di tahan.
Pada mulanya, terjadi paceklik di mana-mana sehingga
menimbulkan kesulitan ekonomi secara menyeluruh. Pada
waktu itu, orang-orang Dukuh Paruk tidak berpikir panjang dan
tidak memahami berbagai gejala zaman yang berkembang di
luar wilayahnya. Dalam masa paceklik yang berkepanjangan,
Srintil terpaksa lebih banyak berdiam di rumah, karena amat
jarang orang mengundangnya berpentas untuk suatu hajatan.
Akan tetapi, tidak lama kemudian ronggeng Srintil sering
berpentas di rapat-rapat umum yang selalu dihadiri atau
dipimpin tokoh Bakar. Walaupun Srintil tidak memahami makna
rapat-rapat umum, pidato yang sering diselenggarakan orang.
Yang dia pahami hanyalah menari sebagai ronggeng atau
melayani nafsu kelelakian. Tapi hubungan mereka tetap baik.
Hubungan mereka merenggang setelah beberapa kali terjadi
penjarahan padi yang dilakukan oleh orang-orang kelompok
Bakar. Sukarya merasa tersinggung dengan Bakar, karena Bakar
mengungkit-ungkit masa lampau Ki Secamenggala yang dikenal
orang sebagai bromocorah. Karena hal itu Sakarya memutuskan
hubungan dengan kelompok Bakar. Sakarya tidak hanya
melarang ronggeng Srintil berpentas di rapat-rapat umum,
tetapi juga meminta pencabutan lambang partai. Akan tetapi,
Bakar menanggapinya dengan sikap bersahaja. Dalam tempo
singkat, Dukuh Paruk kembali ketradisinya yang sepi dan miskin.
Akan tetapi, kedamaian itu hanya sebentar, karena mereka
kemudian kembali bergabung dengan kelompok Bakar setelah
terkecoh oleh kerusakan cungkup makam Ki Secamenggala. Dan
Srintil pun semangat menari walaupun tariannya tidak seindah
penampilannya yang sudah-sudah.
Ternyata penampilan yang berlebihan itu merupakan akhir
perjalanan Srintil sebagai ronggeng. Mendadak pasar malam
bubar tanpa penjelasan apa pun dan banyak orang limbung,
ketakutan, dan kebingungan, sehingga kehidupan terasa sepi
dan mencekam. Berbagai peristiwa menjadikan orang-orang
Dukuh Paruk ketakutan, tetapi tidak mengetahui cara
penyelesaiannya. Yang terpikir adalah melaksanakan upacara
selamatan dan menjaga kampung dengan ronda setiap saat.
Keesokan harinya orang-orang Dukuh Paruk melepas langkah
Kartareja dan Srintil yang berniat meminta perlindungan polisi
di Dawuan. Tapi ternyata harapan berlindung kepada polisi itu
berantakan, karena kepolisian dan tentara justru sudah
menyimpan catatan nama Srintil yang terlanjur populer sebagai
ronggeng rakyat yang mengibarkan bendera PKI.
Srintil pulang ke Dukuh Paruk setelah dua tahun mendekam
dalam tahanan politik dengan kondisi kejiwaan yang sangat
tertekan. Ia berjanji menutup segala kisah dukanya selama
dalam tahanan dan bertekad melepas predikat ronggengnya
untuk membangun sebuah kehidupan pribadinya yang utuh
sebagai seorang perempuan Dukuh Paruk, meskipun tidak
mengetahui sedikitpun keberadaan Rasus. Tanpa
sepengetahuan Srintil, Nyai Kartareja menghubungi Marsusi.
Untunglah Srintil masih bisa mengelak perangkap Marsusi.
Selepas dari perangkap Marsusi, Srintil kembali mendapat
tekanan dari lurah Pecikalan agar mematuhi kehendak Pak
Bajus. Bajus hendak menikahi Srintil, sehingga Srintil berusaha
mencintai Bajus. Tapi Srintil sangat kecewa, karena Bajus
ternyata lelaki impoten yang justru hanya berniat
menawarkannya kepada seorang pejabat proyek. Srintil pun
mengalami goncangan jiwa dan akhirnya menderita sakit gila
sampai akhirnya dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Rasus.
B. Unsur intrinsik
1. TEMA
Dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk” pengarang
(Ahmad Tohari) mengangkat cerita yang bertemakan tentang
politik, sosial, dan ekonomi. Cerita ini dibuat saat terjadinya
Gerakan 30 September Tahun 1965, dimana pengarang menjadi
saksi hidup dan tersadar atas kejahatan yang dilakukan oleh PKI
pada saat itu. Oleh karena itu, Ahmad Tohari sering kali memuat
tentang nasib manusia (rakyat) yang menderita, dan secara
garis besar cerita dalam novel ini mengiisah tentang
penderitaan, keterpinggiran atau kenelangsaan masyarakat
bawah.
2. TOKOH DAN PENOKOHAN
Di novel ini akan dibahas mengenai beberapa tokoh
utama yang terdapat dalam cerita, dan bagaimana saja
penokohan yang mereka perankan dalam jalannya cerita
tersebut. Tokoh dan penokohan tersebut meliputi berikut ini:
a) Srintil :
a. Merasa Takut. “masih merangkulku kuat-kuat, Srintil
mengisak,…kurasakan tubuhnya hangat dan gemetar”
b. Bersifat Kekanak-kanakan. “tetapi Srintil tidak malas
melakukan perbuatan yang lucu dimata orang-orang Dukh
Paruk. Bercengkrama dengan anak-anak gembala….”
c. Merasa Rindu “sementara Srintil yang tidak tahu menahu
soal malapetaka tempe bongkrek itu hanya teringat akan
Rasus….”
d. Merasakan Sedih “Srintil masih menundukan kepala, kini
matanya basah. …”
e. Menjadi Senang / ceria “lihatlah Srintil yang mulai tertawa
melihat Goder gagal menangkap capung, dan wajah Sritil
berseri-seri…..”
f. Menjadi Gila “…..sementara itu Srintil terus berlagu….lalu
terdengar Srintil terbahak-bahak…”.
b) Rasus :
a. Merasa senang “Srintil didandani dengan pakaian
kebesaran seorang roonggeng. Aku melihat keris kecil yang
kuberikan kepada Srintil terselip di pingggang ronggeng itu”.
b. Berani “….ketika perampok itu membelakangiku, aku maju
dengan hati-hati. Pembunuhan kulakukan untuk pertama
kali….”
c. Membayangkan “,,,penampilan Srintil membantuku
mewjudkan anganku tentang pribadi perempuan yang telah
melahirkanku”.
d. Mengingat Masa Kecil “Ketika masih kecil aku sering keluar
dari Dukuh Paruk malam hari bersama teman-teman untuk
melihat pagelaran wayang kulit”.
e. Tabah/ tenang “aneh, Rasus justru berada dalam
ketenangan sempurna. Takzim dan khidmat ketika dia mengisap
wajah nenek agar matanya tertutup….”
f. Berserah diri “Aku bersembahyang, aku berdoa untuk
Dukuh Paruk agar dia sadar…”
c) Sakarya :
a. Marah dan menuduh “apa sampean tidak mengerti semua
ini terjadi karena ada sesuatu antara cucuku dan Rasus? kata
Sakarya, nadanya menuduh….”
b. Risau “perasaan kakek Srintil itu lebih dirisaukan oleh
peristiwa-peristiwa kecil namun baginya penuh makna…..”
c. Terkejut/ kaget “Sakarya terperanjat. Kata-kata bakar tak
diduganya sama sekali. Kata-kata itu mengandung
penghinaan….”
d.
d) Kartareja :
a. Bingung “kesulitan pertama yang dihadapi Kartareja
bukan masalah bagaimana memperbaiki alat musiknya,
melainkan bagaimana dia mendapat para penabuh…”
b. Senang “siapa yang akan menyalahkan Kartareja bila
dukun ronggeng itu merasa telah menang secara gemilang….”
c. Licik “jangan keliru yang asli buat Sulam. Lainya buat
Dower, kata Kartareja….”
e) Nyai Kartareja :
a. Resah “di rumahnya Nyai Kartareja mulai merasa was-was
karena ternyata Srintil tidak segera mengikutinya pulang…..”
b. Berusaha Menjauhkan “maka Ntyai Kartareja harus
berbuat sesuatu. Tali asmara yang mengikat Srintil dan Rasus
harus diputuskan…..”
c. Kecewa ”namun Nyai Kartareja memendam kekecawaan,
mengapa yang memberikan motivasi kegairahan Srintil adalah
Bajus….”
3. SUDUT PANDANG
Sudut pandang yang digunakan oleh Pengarang dalam
penulisan novel “Ronggeng Dukuh Paruk” ini adalah
menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai pelaku
utama seperti adanya kata “aku” dan sudut pandang pengganti
orang ketiga baik dalam cerita maupun diluar cerita. Bukti
pengarang menggunakan kata ganti orang ketiga adalah seperti
adanya kata “ dia dan –nya” dan menyebutkan nama tokoh
secara langsung.
4. LATAR
Latar atau tempat terjadinya cerita yang terdapat dalam
novel “Ronggeng Dukuh Paruk” ini adalah sebagai berikut:
a) Dukuh Paruk. “dua puluh tiga rumah berada di pedukuhan
itu, dihuni oleh orang-orang seketurunan…”.
b) Ladang/ Kebun “ditepi kampung, tiga anak sedang
bersusah payah mencabut sebatang singkong. Yakni Rasus,
Darsun dan Warta…”.
c) Dibawah pohon nangka. “dipelataran yang membatu
dibawah pohon nangka,...Srintil menari dan bertembang.
Gendang, gong dan calung mulut mengiringinya..”.
d) Rumah Nyai Kartareja. “di dalam rumah. Nyai Kartareja
sedang merias Srintil. Tubuhnya yang kecil dan masih lurus
tertutup kain sampai ke dada …”.\
e) Perkuburan. “rombongan bergerak menuju perkuburan
dukuh paruk. Kartareja berjalan paling depan membawa
pedupan….”.
f) Pasar Dawuan. “Perkenalanku dengan pedagang singkong
di pasar memungkinkan aku mendapat upah…”.
g) Di Markas Tentara. “pada hari pertama menjadi tobang,
banyak hal baru yang kurasakan…”
h) Di Hutan. “Sampai di hutan, perburuan langsung dimulai.
Dalam hal ini aku kecewa karena tiga orang tentara yang
kuiringkan sama sekali tak berpengalaman dalam hal
berburu…”.
i) Rumah Sakarya.”kulihat dua orang perampok tetap tinggal
diluar rumah, satu dibelakang dan lainya dihalaman…..Sakarya
yang terkejut langsung mengerti…”.
j) Rumah Nenek “selagi orang-orang Dukuh Paruk
mengerumuni rumah Kartareja, aku duduk berdekatan dengan
Srintil di beranda rumah neneku sendiri”
k) Rumah Sakum “Sakum tak terusik oleh hiruk pikuk anak-
anaknya, jemarinya terus bekerja..…Sakum berhenti mendadak
ketika Srintil melangkah mendekatinya ”.
l) Rumah Tarim “panas udara mulai reda ketika Marsusi
diterima oleh Kakek Tarim….”.
m) Lapangan bola deka kantor Kecamatan.” Malam itu
semangat kota kecil dawuan berpusat dilapangan sepak bola
dekat kantor Kecamatan. Sebuah panggung lebar…..”
n) Di Alaswangkal “hampir setengah hari ketika rombonhan
dari Dukuh Paruk memasuki kampung Alaswangkal. Pemukiman
penduduk…”.
o) Kantor Polisi “dikantor itu ternyata bukan hanya polisi,
melainkan tentara juga ada disana mereka segera mengenal
siapa yang sedang melangkah…”
p) Di Penjara/ Tahanan “ Saya Prajurit Dua Rasus. Saya ingin
berjumpa Komandan kompleks tahanan ini secara pribadi…”.
q) Di Sawah “di tengah sawah, seratus meter diSebelah barat
dukuh paruk.Bajus memimpin..”
r) Di Pantai “sampai dipantai Bajus memilih tempat yang
agak terpencil buat memarkir jipnya…”
s) Di Vila “...Bajus membelokan mobilnya ke halaman sebuah
vila mungil yang ternyata kemudian sudah disewanya….”
t) Rumah Sakit “…ketegangan yang meliputi hatiku hanpir
berakhir ketika becak berhenti di gerbang rumah sakit
tentara….”
5. ALUR
Alur atau jalanya cerita dalam novel “Ronggeng Dukuh
Paruk” menggunakan alur maju yang disertai dengan “flash
back” atau kembali ( mundur ) kemasa lalu, baik yang dialami
oleh tokoh utama atau pemeran lainya. Dalam cerita ini yakni
ditengah-tengah cerita pengarang menceritakan kembali masa
lalu yang sempat dialami oleh pemeran cerita. Seperti
menceritakan kembali terjadinya peristiwa tempe bongrek
sebelas tahun yang lalu atau semasa bayinya Srintil, yakni :
“ Orang-orang Dukuh Paruk pulang kerumah masing-masing.
Mereka, baik lelaki maupun perempuan, membawa kenangan
yang dalam. Malam itu kenangan atas Srintil meliputi semua
orang Dukuh Paruk. Penampilan Srintil malam itu mengingatkan
kembali bencana yang menimpa Dukuh Paruk sebelas tahun
yang lalu........Sebelas tahun yang lalu ketika Srintil masih bayi.
Dukuh Paruk yang kecil basah kuyup tersiram hujab lebat…”.
6. GAYA CERITA
Gaya cerita atau penceritaan yang digunakan oleh
pengarang dalam penulisan novel “ Ronggeng Dukuh Paruk “ ini
adalah klimaks yakni permasalahan yang dihadapi oleh
pemeran utama semakin memuncak dan tidak mengalami suatu
“happy ending” atau penyelesaian yang bahagia pada akhir
cerita tersebut. Atau bagaimana kepastian mengenai nasib yang
di alami oleh tokoh utama masih belum dapat diketahui dengan
jelas, dan pembaca hanya bisa menebak-nebak nasib yang
dialami oleh para tokoh tersebut.
7. AMANAT
Amanat atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang
kepada pembaca melalui novel “Ronggeng Dukuh Paruk” ini
adalah: agar kita semua mau dan mampu melihat seseorang itu
tidak hanya dari luarnya saja melainkan juga dari hatinya. Dan
agar kita mau berpikir mengenai tragedi-tragedi kemanusiaan
yang terjadi disekeliling kita. Pesan lain mungkin lebih
cenderung kepada ketidak senangan atau kebencian pengarang
terhadap pengkhianatanyang dilakukan oleh PKI di akhir
September 1965. sehingga novel ini muncul dan menjadi
penyuara kegetiran hati pengarang yang menggambarkan
keadaan di masa itu.
C. Unsur Ekstrinsik
1. Unsur Keagamaan (relegius)
Dalam novel ini, unsur keagamaan tidak terlalu diperlihatkan
karema warga Dukuh Paruk lebih mempercayai adanya nenek
moyang dan hal-hal animisme lainnya
2. Unsur Politik .
Unsur ini merupakan unsur yang paling utama terlintas dari
benak pengarang, karena pengarang merasa sangat prihatin
terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan yang telah
menindas orang-orang kecil yang kebanyakan dari mereka tidak
tahu menahu mengenai berbagai persoalan tentang politik,
khususnya persoalan mengenai pengkhianatan yang dilakukan
oleh PKI yang terjadi di akhir September 1965.
3. Unsur Sosial.
Unsur ini kemungkinan besar mengangkat tentang
kenyataan hidup yang pernah terekam dibenak pengarang, yang
terjadi saat pengkhianatan PKI. Tumbuhnya kesadaran setiap
orang Indonesia terhadap nilai-nilai kemanusiaan masih
menjadi persoalan yang penting dalam perjalanan sejarah
bangsanya. Banyak orang yang menyuarakan tentang demokrasi
dan hak asasi manusia , itu merupakan bukti bahwa masalah
kemanusiaan sangat sering terusik/ terjadi. Gambaran nyata
terdapat dinovel ini yang terwakili oleh sosok Srintil, Rasus dll,
yang berbicara tentang pentingnya kesadaran terhadap masalah
kemanusiaan.
4. Unsur Ekonomi.
Masalah yang ingin diangakat oleh pengarang diantaranya
adalah mengenai masalah ekonomi yang dialami oleh
masyarakat, dalam hal ini adalah “Dukuh Paruk”. Ini sering
terlihat dalam pergantian judul maupun pergantian bab, yang
mana mengggambarkan kemiskinan masyarakat “Dukuh Paruk”
yang terletak ditengah-tengah pematang sawah. Penggambaran
ini tampak jelas terlihat seperti : digambarkan luasnya ribuan
hektar sawah yang mengelilingi desa telah tujuh bulan kering
kerontang,…. Sampai anak-anak kecil rela bersusah payah
mencabut singkong yang terpendam dalam ditanah kapur,,,
itulah sedikit gambaran keadaan ekonmi yang sedang dialami
oleh masyarakat “Dukuh Paruk”, dan keadaan itulah yang
sebenarnya ingin ditunjukan oleh pengarang kepada pembaca.
5. Unsur Kebudayaan
Dalam novel ini, banyak terdapat unsur kebudayaan seperti:
menari, menyanyi sambil nyawer, memberikan sesaji kepada
nenek moyang
6. Latar belakang pengarang\
Ahmad Tohari adalah sebuah nama besar dan langka di
dalam khasanah kesusastraan Indonesia. Dari karya sastra yang
saya baca, nama Ahmad Tohari langgeng dan cepat nempel di
kalangan pembaca. Ketika mendengar namanya, maka asosiasi
yang muncul dari pengarang ini adalah lokalitas, tema
keislaman, dan nilai kehidupan kesederhanaan. Ronggeng
Dukuh Paruk adalah salah satu bibel Ahmad Tohari. Dengan
hadirnya serangkaian karya Ahmad sebagai juru bicara
kesusastraan bertema lokal. Pengetahuan Ahmad Tohari
mengenai dunia ronggeng dan filosofinya menegaskan bahwa
Ahmad Tohari adalah wakil dari suara orang-orang yang satu
daerah asalnya.

Anda mungkin juga menyukai