Anda di halaman 1dari 7

1. Jelaskan fisiologi dari pengosongan lambung?

Sherwood, L. 2017. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC hal 634-635
2. Bagaimana proses sekresi asam lambung dan proses fisiologis pertahanan esophagus dan mukosa lambung dari asam lambung
?
Sekresi asam lambung

Sherwood, L. 2017. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC hal 638
Sherwood, L. 2017. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC hal 639
Pertahanan esofagus
Sfingter gastroesofagus mencegah refluks isi lambung
Kecuali sewaktu menelan, sfingter gastroesofagus, yang merupakan otot polos yang berbeda dengan sfingter
gastroesofagus atas, tetap berkontraksi dengan cara aktivitas miogenik. Kontraksi juga meningkat selama inspirasi sehingga
menurunkan kemungkinan refluks isi lambung yang asam ke dalam esofagus pada saat ketika tekanan intrapleura yang
subatmosferik akan mendorong pergerakan kembali isi lambung. Jika isi lambung akhirnya mengalir balik meskipun terdapat
sfingter, keasaman isi lambung ini mengiritasi esofagus, menyebabkan ras tak nyaman di esofagus yang dikenal sebagai nyeri ulu
hati atau heartburn..
Sewaktu gelombang peristaltik menyapu menuruni esofagus, sfingter gastroesofagus melemas sehingga bolus dapat
masuk ke lambung. Setelah bolus masuk lambung, proses menelan tuntas dan sfingter gastroesofagus kembali berkontraksi.
Sekresi esofagus seluruhnya bersifat protektif
Sekresi esofagus seluruhnya terdiri dari mukus, yang melumasi lewatnya makanan sehingga mengurangi kemungkinan
cedera esofagus akibat setiap sisi makanan yang tajam. Mukus juga membantu melindungi esofagus dari cedera oleh asam dan
enzim dalam getah lambung jika terjadi refluks. (pada kenyataanya, mukus protektif disekresikan di sepanjang saluran cerna).
Keseluruhan waktu transit di faring dan esofagus hanya sekitar 6 hingga 10 detik, terlalu singkat untuk terjadinya
pencernaan atau penyerapan di bagian ini.
Sherwood, L. 2017. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC hal 632
Pertahanan lambung
Mukus bersifat protektif
Permukaan mukosa lambung ditutupi oleh suatu lapisan mukus yang berasal dari sel epitel permukaan dan sel mukus. Mukus ini
berfungsi sebagai sawar protektif terhadap beberapa bentuk cedera yang dapat mengenai mukosa lambung :
 Berkat sifat pelumasnya, mukus melindungi mukosa lambung dari cedera mekanis.
 Mukus membantu mencegah dinding lambung mencerna dirinya sendiri karena pepsin terhambat jika kontak dengan
mukus yang menutupi bagian dalam lambung. (Namun, mukus tidak mempengaruhi aktivitas pepsin di lumen, tempat
pencernaan protein makanan berlangsung tenpa gangguan).
 Karena bersifat basa, mukus membantu melindungi lambung dari cedera asam karena menetralkan HCl di dekat lapisan
dalam lambung, tetapi tidak mengganggu fungsi HCl di lumen. Sementara pH di lumen dapat serendah 2, pH di lapisan
mukus di samping permukaan sel mukosa adalah sekitar 7).
Sherwood, L. 2017. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC hal 640
3. Mengapa pasien mengeluh dada terasa panas ?
Jika isi lambung akhirnya mengalir balik meskipun terdapat sfingter, keasaman isi lambung ini mengiritasi esofagus,
menyebabkan ras tak nyaman di esofagus yang dikenal sebagai nyeri ulu hati atau heartburn..
Sherwood, L. 2017. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC hal 640
Terjadi karena masuknya konten dari gaster ke dalam esofagus/refluks gastroesofagus yang berlangsung secara kronis, refluks
merupakan salah satu proses yang secara fisiologis dapat terjadi, akan tetapi sistem gastrointestinal memiliki mekanisme
antirefluks yang sangat baik. Kegagalan mekanisme antirefluks akan mengakibatkan refluksat barrier, sehingga dapat merusak
lapisan epitel saluran pencernaan dan iritasi esofagus. Biasa terasa setelah mengonsumsi makanan.
Hom C, Vaezi MF. 2013. “Extra-esophageal Manifestations of Gastroesophageal Reflux Diseases : Diagnosis and Treatment” : 1281-1295.
4. Mengapa pasien sering mengeluh bersendawa, mual, tengorokan terasa pahit, dan suara dirasakan serak ?
5. Mengapa keluhan sering terjadi pada malam hari dan setelah makan makanan berlemak ?
6. Bagaimana hubungan karies gigi graham dengan keadaan pasien ?
7. Bagaimana hubungan bmi pasien dengan kasus di scenario ?
Obesitas diduga menyebabkan GERD melalui berbagai faktor antara lain meningkatkan: 1) perubahan (gradient) tekanan sfingter
gastroesofagus, 2) kejadian hiatal hernia, 3) tekanan intra-abdomen, dan 4) pengeluaran enzim pankreas dan empedu.9 Bukti
penelitian epidemiologis yang ada mengenai hal ini masih saling bertentangan, meskipun sebagian besar mendukung hubungan
GERD dengan obesitas.
Dua meta-analisis dari penelitian epidemiologis di Amerika menunjukkan adanya hubungan antara indeks massa tubuh (body
mass index, BMI) dengan GERD. Salah satu meta-analisis menyatakan bahwa bila dibandingkan dengan orang yang tidak
overweight dan tidak obesitas, gejala GERD lebih banyak dialami oleh orang overweight (BMI 25-30 kg/m2) sebesar 1,43 kali (OR
1,43; 95% CI 1,158-1,774), dan oleh obesitas (BMI >30 kg/m2) sebesar hampir 2 kali (OR 1,94; 95% CI 1,468-2,566). Sementara itu,
2 studi berbasis populasi dan 2 studi cross sectional di Australia dan beberapa negara Eropa tidak menunjukkan adanya
hubungan tersebut. Perbedaan ini diperkirakan terjadi karena 1) perbedaan etnis, 2) banyaknya mekanisme patogenesis GERD,
yang mana tidak semua mekanisme tersebut berhubungan dengan atau dipengaruhi oleh adanya obesitas, serta 3) perbedaan
metodologi penelitian. Peningkatan berat badan pasien yang mempunyai BMI normal juga berhubungan dengan munculnya
gejala GERD baru.
Irawati, S. (2013). Penatalaksanaan Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Rasional, 11(1).
8. Jelaskan tentang alarm symptoms pada kasus GERD?
9. Apa diagnosis dan diagnosis banding dari scenario ?
Diagnosis : GERD
DD : Dispepsi, gastritis, esofagitis.
Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease yang dikeluarkan oleh American
College of Gastroenterology tahun 1995 dan revisi tahun 2013, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan:
1) Empirical Therapy
2) Use of Endoscopy
3) Ambulatory Reflux Monitoring
4) Esophageal Manometry (lebih direkomendasikan untuk evaluasi preoperasi untuk eksklusi kelainan motilitas yang jarang
seperti achalasia atau aperistaltik yang berhubungan dengan suatu kelainan, misalnya skleroderma).
Diagnosis GERD ditegakkan berdasarkan gejala klasik dari hasil anamnesis dan pengisian kuesioner, serta berdasarkan hasil uji
terapi PPI (Proton Pump Inhibitor). Selain itu, gejala klasik GERD juga dapat dinilai dengan Gastroesophageal Reflux Disease –
Questionnairre (GERD-Q).
Saputera, M. D., & Budianto, W. Diagnosis dan Tatalaksana Gastroesophageal Re ux Disease (GERD) di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer.
10. Apa etiologi dan factor resiko dari kasus di scenario?
Etiologi
GERD terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan defensif dari sistem pertahanan esofagus dan bahan
refluksat lambung. Yang termasuk faktor defensif sistem pertahanan esofagus adalah LES, mekanisme bersihan esofagus, dan
epitel esofagus.
Faktor Resiko
Beberapa faktor risiko GERD adalah:
1) Obat-obatan, seperti teofilin, antikolinergik, beta adrenergik, nitrat, calcium-channel blocker.
2) Makanan, seperti cokelat, makanan berlemak, kopi, alkohol, dan rokok.
3) Hormon, umumnya terjadi pada wanita hamil dan menopause. Pada wanita hamil, menurunnya tekanan LES terjadi akibat
peningkatan kadar progesteron. Sedangkan pada wanita menopause, menurunnya tekanan LES terjadi akibat terapi hormon
estrogen.
4) Struktural, umumnya berkaitan dengan hiatus hernia. Selain hiatus hernia, panjang LES yang < 3 cm juga memiliki pengaruh
terhadap terjadinya GERD.
5) Indeks Massa Tubuh (IMT); semakin tinggi nilai IMT, maka risiko terjadinya GERD juga semakin tinggi.
Saputera, M. D., & Budianto, W. Diagnosis dan Tatalaksana Gastroesophageal Re ux Disease (GERD) di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer.
11. Bagaimana patofisiologi dan patogenesiskasus di scenario ?
GERD terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan defensif dari sistem pertahanan esofagus dan
bahan refluksat lambung. Yang termasuk faktor defensif sistem pertahanan esofagus adalah LES, mekanisme bersihan esofagus,
dan epitel esofagus.
LES merupakan strukur anatomi berbentuk sudut yang memisahkan esofagus dengan lambung. Pada keadaan normal,
tekanan LES akan menurun saat menelan sehingga terjadi aliran antegrade dari esofagus ke lambung. Pada GERD, fungsi LES
terganggu dan menyebabkan terjadinya aliran retrograde dari lambung ke esofagus. Terganggunya fungsi LES pada GERD
disebabkan oleh turunnya tekanan LES akibat penggunaan obat-obatan, makanan, faktor hormonal, atau kelainan struktural.
Mekanisme bersihan esofagus merupakan kemampuan esofagus membersihkan dirinya dari bahan refluksat lambung;
termasuk faktor gravitasi, gaya peristaltik esofagus, bersihan saliva, dan bikarbonat dalam saliva. Pada GERD, mekanisme
bersihan esofagus terganggu sehingga bahan refluksat lambung akan kontak ke dalam esofagus; makin lama kontak antara
bahan refluksat lambung dan esofagus, maka risiko esofagitis akan makin tinggi. Selain itu, refluks malam hari pun akan
meningkatkan risiko esofagitis lebih besar. Hal ini karena tidak adanya gaya gravitasi saat berbaring.
Mekanisme ketahanan epitel esofagus terdiri dari membran sel, intercellular junction yang membatasi difusi ion H+ ke
dalam jaringan esofagus, aliran darah esofagus yang menyuplai nutrien-oksigen dan bikarbonat serta mengeluarkan ion H+ dan
CO2 , sel esofagus mempunyai kemampuan mentransport ion H+ dan Cl- intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.
Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah peningkatan asam lambung, dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet,
distensi lambung dan pengosongan lambung yang terlambat, tekanan intragastrik dan intraabdomen yang meningkat. Beberapa
keadaan yang mempengaruhi tekanan intraabdomen antara lain hamil, obesitas, dan pakaian terlalu ketat.
Saputera, M. D., & Budianto, W. Diagnosis dan Tatalaksana Gastroesophageal Re ux Disease (GERD) di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer.
12. Apa saja manifestasi pada kasus di scenario (konsesus montreal)?
Tanda dan gejala khas GERD adalah regurgitasi dan hearburn. Regurgitasi merupakan suatu keadaan refluks yang terjadi
sesaat setelah makan, ditandai rasa asam dan pahit di lidah. Heartburn adalah suatu rasa terbakar di daerah epigastrium yang
dapat disertai nyeri dan pedih. Dalam bahasa awam, heartburn sering dikenal dengan istilah rasa panas di ulu hati yang terasa
hingga ke daerah dada. Kedua gejala ini umumnya dirasakan saat setelah makan atau saat berbaring.
Gejala lain GERD adalah kembung, mual, cepat kenyang, bersendawa, hipersalivasi, disfagia hingga odinofagia. Disfagia
umumnya akibat striktur atau keganasan Barrett’s esophagus. Sedangkan odinofagia atau rasa sakit saat menelan umumnya
akibat ulserasi berat atau pada kasus infeksi. Nyeri dada non-kardiak, batuk kronik, asma, dan laringitis merupakan gejala
ekstraesofageal penderita GERD.
Saputera, M. D., & Budianto, W. Diagnosis dan Tatalaksana Gastroesophageal Re ux Disease (GERD) di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer.
13. Jelaskan kuisoner GERD Q?
GERD-Q merupakan sebuah kuesioner yang terdiri dari 6 pertanyaan mengenai gejala klasik GERD, pengaruh GERD pada
kualitas hidup penderita serta efek penggunaan obat-obatan terhadap gejala dalam 7 hari terakhir. Berdasarkan penilaian
GERD-Q, jika skor >8 maka pasien tersebut memiliki kecenderungan yang tinggi menderita GERD, sehingga perlu dievaluasi
lebih lanjut. Selain untuk menegakkan diagnosis, GERD-Q juga dapat digunakan untuk memantau respons terapi.
Saputera, M. D., & Budianto, W. Diagnosis dan Tatalaksana Gastroesophageal Re ux Disease (GERD) di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer.
14. Apa pemeriksaan penunjang untuk kasus di scenario?
15. Apa tatalaksana farmakologis dan dari scenario?

Saputera, M. D., & Budianto, W. Diagnosis dan Tatalaksana Gastroesophageal Re ux Disease (GERD) di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer.
Penatalaksanaan Nonfarmakologi Penatalaksanaan
GERD tanpa obat yang saat ini direkomendasikan karena didasari oleh bukti penelitian yang cukup antara lain: 1) menurunkan
berat badan bagi pasien yang overweight (kelebihan berat badan) atau yang baru saja mengalami peningkatan berat badan,
serta 2) menaikkan posisi kepala pada saat tidur dan tidak makan 2-3 jam sebelum waktu tidur malam untuk pasien yang
mengalami gejala refluks di malam hari (nocturnal GERD).
Menurunkan BB
Penurunan berat badan terbukti berhubungan dengan berkurangnya gejala GERD. Berdasarkan satu kajian sistematis, terdapat 5
penelitian mengenai hal ini. Satu studi tak terkontrol (n = 34 pasien obesitas) dalam kajian sistematis tersebut menunjukkan
penurunan berat badan berkorelasi signifikan dengan pH esofagus (OR 0,55; p<0,001). Ketiga penelitian lainnya juga
menunjukkan korelasi positif, sementara hanya 1 penelitian (n = 20 pasien obesitas dan refluks esofagitis) yang menunjukkan
tidak ada perbedaan gejala refluks antara kelompok kontrol dan kelompok pasien yang menurunkan berat badan sebesar 10%
setelah 6 bulan.9 Efek penurunan berat badan yang diinduksi oleh tindakan operasi atau endoskopik juga dievaluasi. Terjadi
penurunan signifikan paparan asam terhadap mukosa esofagus selama penurunan berat badan menggunakan balon
intragastrik. Perbaikan gejala GERD juga terjadi setelah berat badan diturunkan menggunakan metode operasi bariatrik dan
Roux-en-Y gastric bypass. Suatu studi kasus-kontrol yang besar menunjukkan bahwa dibandingkan dengan kelompok kontrol,
wanita yang menurunkan berat badannya sebesar 3,5 kali berat badan kelompok kontrol, mengalami penurunan frekuensi gejala
refluks sebesar 40%.
Menaikkan Posisi Kepala ketika Tidur
Posisi berbaring datar ketika tidur diperkirakan meningkatkan risiko refluks esofagus. Terdapat 3 penelitian terkait dengan
manfaat menaikkan posisi kepala ketika tidur. Penelitian pertama (n = 63 pasien) membandingkan berbagai posisi tubuh, antara
lain: duduk, berbaring dan menaikkan posisi kepala saat tidur. Hasilnya, dibandingkan dengan pasien yang tidur datar, pasien
yang menaikkan posisi kepala ketika tidur dengan menggunakan blok/penyangga setinggi 28 cm secara signifikan mengalami
episode dan gejala refluks lebih sedikit, durasi refluks lebih singkat, dan pembersihan asam lebih cepat. Penelitian kedua,
randomised trial, membandingkan antara tidur menggunakan bantalan, tidur dengan posisi kepala dinaikkan, dan tidur datar.
Hasilnya, tidur dengan posisi kepala dinaikkan berhubungan secara signifikan dengan berkurangnya paparan asam pada
esofagus bila dibandingkan dengan tidur secara datar. Pada penelitian acak lainnya, pada pasien dengan gejala refluks yang
diobati dengan golongan penghambat pompa proton (proton pump inhibitors, PPIs) dan cisapride, tidak ada hubungan antara
menaikkan posisi kepala selama 2 minggu dengan perbedaan penggunaan antasid atau perbaikan gejala, sehingga intervensi ini
tampaknya efektif pada sebagian pasien saja.
Menghindari Makan Terlalu Malam
Satu kajian sistematis dari 2 penelitian menyelidiki efek waktu makan di malam hari terhadap keasaman lambung selama 24 jam
pada subyek sehat. Penelitian pertama menunjukkan makan pada pk. 18.00 menghasilkan pH lambung yang lebih rendah
dibandingkan makan pada pk. 21.00 (median pH 1,39 vs 1,67; p<0,01), namun ini hanya terjadi antara tengah malam dan pk.
07.00 pagi. Studi kedua dilakukan pada 10 pasien sehat menunjukkan bahwa keasaman lambung 24 jam dan malam hari tidak
dipengaruhi oleh perubahan waktu makan malam.
Penatalaksanaan Nonfarmakologi Lainnya
Beberapa penatalaksanaan nonfarmakologi yang juga direkomendasikan antara lain: berhenti merokok dan menghindari
konsumsi makanan yang dapat memicu gejala GERD (contoh: coklat, jeruk, kopi, makanan berlemak, makanan pedas, minuman
berkarbonasi, dan alkohol). Akan tetapi, suatu meta-analisis tidak menemukan bukti yang kuat untuk mendukung hubungan
antara intervensi tersebut dengan GERD. Meskipun bukti fisiologis menunjukkan bahwa alkohol, coklat, jeruk, makanan berlemak,
atau rokok bisa saja berpengaruh negatif pada pH esofagus, namun belum ada bukti yang menunjukkan perbaikan klinis gejala
GERD bila konsumsi makanan-minuman tersebut dihentikan.
Farmakologi
Penghambat Pompa Proton dan Antagonis Reseptor H2 Obat-obat dari golongan penghambat pompa proton bekerja dengan
cara memblok pompa proton (H+ ,K+ -ATPase) yang terdapat di membran sel parietal lambung sehingga menghambat sekresi
asam lambung oleh sel parietal secara irreversibel.

Prokinetik
Obat-obat prokinetik, dalam hal ini metoclopramide, bekerja dengan meningkatkan kekuatan sfingter esofagus bagian bawah,
peristaltis esofagus, dan mempercepat pengosongan lambung
Irawati, S. (2013). Penatalaksanaan Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Rasional, 11(1).
16. Apa saja komplikasi dari scenario?

Anda mungkin juga menyukai