Anda di halaman 1dari 21

SEMINAR ILMU KESEHATAN JIWA

SINDROM MUNCHAUSEN

Pembimbing:
dr. Iman Santosa, Sp. KJ

Penyusun:
Qonita Achmad 2017.04.2.0138
R. Dimas Bagus Wiryatmanto 2017.04.2.0139
Rachmatika Ninda Eriani 2017.04.2.0140
Lydia Irtanto 2017.04.2.00283
M. Alfi Maulidi 2017.04.2.00284
M. Prima Sakti 2017.04.2.00285
Made Edgard Surya Erlangga Rurus 2017.04.2.00286
Maria Evane Navy Cahaya Putri 2017.04.2.00287
Mekar Pratiwi Samuel Mehang 2017.04.2.00288
Melissa Suta 2017.04.2.00289

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Seminar dengan judul “Sindrom Munchausen” ini telah diperiksa


dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi
kepaniteraan Dokter Muda di bagian Ilmu Kedokteran Jiwa di RSAL Dr.
Ramelan Surabaya.

Surabaya, 19 Oktober 2018


Pembimbing

dr. Iman Santosa, Sp. KJ

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa


karena atas berkah dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan
pembuatan seminar “Sindrom Munchausen” dengan lancar. Seminar ini
disusun sebagai salah satu tugas wajib untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik di bagian Jiwa RSAL Dr. Ramelan Surabaya, dengan
harapan dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu pengetahuan yang
bermanfaat bagi pengetahuan penulis maupun pembaca.
Dalam penulisan dan penyusunan seminar ini tidak lepas dari
bantuan dan dukungan berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. dr. Iman Santosa, Sp. KJ, selaku pembimbing seminar
2. Para dokter di bagian Jiwa RSAL Dr. Ramelan Surabaya
3. Para perawat dan pegawai di bagian Jiwa RSAL Dr. Ramelan
Surabaya.
Penulis menyadari bahwa seminar yang disusun ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak sangat diharapkan. Semoga seminar ini dapat memberikan manfaat.

Surabaya, 10 Oktober 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... i

KATA PENGANTAR ...................................................................................ii

DAFTAR ISI ............................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................... 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 2

2.1 Definisi.............................................................................. 2

2.2 Epidemiologi ..................................................................... 2

2.3 Etiologi.............................................................................. 3

2.4 Faktor Resiko ................................................................... 4

2.5 Klasifikasi ......................................................................... 4

2.6 Gejala Klinis ..................................................................... 9

2.7 Diagnosa ........................................................................ 10

2.8 Diagnosa Banding .......................................................... 11

2.8.1 Gangguan Somatoform ...................................... 11

2.8.2 Gangguan Kepribadian....................................... 12

2.8.3 Malingering ......................................................... 12

2.8.4 Sindrom Ganser (Ganser syndrome, GS) .......... 13

2.8.5 Penyalahgunaan Zat .......................................... 13

2.9 Terapi ............................................................................. 13

2.10 Prognosis ....................................................................... 14

BAB 3 KESIMPULAN ............................................................................ 16

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 17

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

Kesehatan merupakan salah satu aspek kehidupan yang sangat


tak ternilai harganya. Manusia seringkali rela mengorbankan waktu dan
biaya sebesar apapun agar mereka dapat terhindar dari penyakit.
Berbagai organisasi dan fasilitas kesehatan di dunia didirikan dengan
tujuan mencegah penyakit dan meningkatkan kesehatan manusia
sehingga kualitas hidup dapat ditingkatkan (Yudakusuma, 2015).
Pada penderita sindrom Munchausen, terjadi hal yang sebaliknya.
Orang yang mengidap sindrom Munchausen tersebut berusaha
memalsukan keadaan agar ia tampak sedang menderita sebuah penyakit
tertentu. Orang ini dapat berbohong hingga melukai dirinya sendiri agar
para tenaga kesehatan bersedia menangani penyakit yang menurutnya ia
derita. Semua hal itu dilakukan hanya semata-mata untuk mencari
perhatian, mendapat rasa aman atau mendapat kepuasan tersendiri dari
bantuan tenaga medis (Yudakusuma, 2015).
Nama sindrom Munchausen diambil dari seorang prajurit Jerman
abad ke-18, yang bernama Baron von Munchausen, yang dikenal sebagai
prajurit yang senang mengarang dan melebih-lebihkan cerita hidup dan
pengalamannya untuk menghibur sesama prajurit lainnya. Sindrom
Munchausen merupakan gangguan tiruan yang paling berat (Sadock dan
Sadock, 2011).
Sindrom Munchausen telah memberikan efek negatif terhadap
kehidupan sang penderita maupun komunitas lingkungan sekitarnya. Di
Amerika, diperkirakan sekitar $40.000.000 dana digunakan per tahun
untuk menjalani tes dan prosedur medis yang tidak diperlukan oleh
penderita sindrom Munchausen (Yudakusuma, 2015).

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Istilah “Sindrom Munchausen” diciptakan oleh Richard Asher
sebagai sebuah sindroma di mana pasien mengisi sejarah pribadi mereka
dengan cerita palsu, mengarang gejala untuk mendapatkan rawat inap di
rumah sakit secara kronis/terus-menerus dalam jangka panjang, dan
pindah dari rumah sakit ke rumah sakit (Asher, 1951). Sindrom
Munchausen adalah penyakit kejiwaan yang langka yang disebut juga
sebagai factitious disorder. Dalam gangguan ini penderita berpura-pura
memiliki gejala fisik atau psikologis, atau berperan sakit untuk
mendapatkan simpati dan perhatian. Hal ini juga disebut sebagai sindrom
kecanduan rumah sakit (hospital addiction syndrome) atau sindrom
lompat-lompat rumah sakit (hospital hopper syndrome) (Mental Health
Foundation of Australia, 2015).
Sindrom Munchausen memiliki kesamaan dengan malingering
disorder, dimana penderita sama-sama melaporkan gejala yang palsu.
Bagaimanapun, pada malingering disorder, terdapat motivasi berupa
insentif eksternal, seperti menghindari tanggung jawab, memperoleh
kompensasi finansial, atau memperoleh substansi obat-obatan (Sadock
dan Sadock, 2011). Penderita dengan sindrom Munchausen tidak
berpura-pura sakit untuk keuntungan pribadi seperti uang, asuransi, obat-
obatan atau penghindaran terhadap hukum. Tetapi, penderita semata-
mata berkeinginan untuk mendapatkan perhatian atau simpati dari
lingkungan sekitarnya (Mental Health Foundation of Australia, 2015).

2.2 Epidemiologi
Tidak ada data epidemiologi yang komprehensif tentang sindrom
Munchausen. Studi yang terbatas mengindikasikan bahwa pasien dengan
Sindrom Munchausen menyusun kira-kira 0.8-1.0 persen dari pasien
konsultasi psikiatri (Sadock dan Sadock, 2011).
Sekitar dua per tiga pasien dengan sindrom Munchausen adalah

2
laki-laki. Umumnya, mereka merupakan kulit putih, setengah baya,
menganggur, tidak menikah, dan tanpa hubungan sosial atau keluarga
yang dekat. Sedangkan, pasien yang didiagnosis dengan sindrom
Munchausen dengan tanda dan gejala fisik kebanyakan adalah wanita
dengan perbandingan 3:1 dengan laki-laki. Mereka biasanya berusia 20
hingga 40 tahun dengan riwayat pekerjaan atau pendidikan dalam bidang
keperawatan atau pekerjaan perawatan kesehatan. Sindrom Munchausen
dengan tanda dan gejala fisik biasanya dimulai pada usia 20-an atau 30-
an, meskipun pada literatur didapatkan kasus factitious disorder dengan
variasi usia mulai 4 hingga 79 tahun. Untuk kasus-kasus sindrom
Munchausen dengan tanda dan gejala psikologis jauh lebih jarang
dilaporkan daripada sindrom Munchausen dengan tanda dan gejala fisik
(Sadock dan Sadock, 2011).
Sindrom Munchausen by proxy (disebut Sindrom Munchausen yang
diaplikasikan pada orang lain di Diagnostik dan Statistik Manual
Gangguan Mental edisi ke lima [DSM-5]) paling sering dilakukan oleh ibu
terhadap bayi atau anak kecil. Sindrom Munchausen by proxy merupakan
gangguan yang langka dan jarang dikenali. Gangguan ini menyumbang
kurang dari 0,04 persen, atau 1.000 dari 3 juta kasus pelecehan anak
yang dilaporkan di Amerika Serikat setiap tahun. Namun, data
epidemiologi yang baik masih belum tersedia (Sadock dan Sadock, 2011).

2.3 Etiologi
1. Faktor Psikososial
Dalam psikodinamika dari gangguan buatan tidak diketahui secara
pasti. Pasien dapat bersikeras bahwa gejala mereka bersifat fisik sehingga
terapi yang berorientasi psikologis tidak berguna. Suatu laporan kasus
menyatakan banyak pasien menderita penyiksaan, penelantaran pada
masa anak-anak yang menyebabkan seringnya mendapat perawatan di
rumah sakit selama masa perkembangan awal. Pada keadaan ini,
mendapatkan perawatan di rumah sakit mungkin telah dianggap sebagai
suatu pelarian dari situasi rumah yang traumatik. Kondisi itu memberikan
ruang nyaman bagi pasien dan beranggapan bahwa sejumlah tenaga

3
medis yang memberi perawatan (seperti dokter, perawat, dan karyawan
rumah sakit) adalah orang-orang yang dapat mengasihi dan merawat
mereka dengan penuh kasih sayang (Sadock, 2010).
2. Faktor Biologis
Sejumlah peneliti mengungkapkan bahwa disfungsi otak dapat
menjadi faktor gangguan buatan. Proses informasi yang terganggu
berperan dalam fantastika pseudologia pasien Munchausen dan perilaku
menyimpang. Pasien ini tidak memperlihatkan pola genetik pemeriksaan
elektroesenfalografik (EEG) dan memperlihatkan tidak adanya kelainan
yang spesifik (Sadock, 2010).

2.4 Faktor Resiko


Beberapa individu memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita
sindrom Munchausen dibandingkan individu lainnya. Beberapa faktor
resiko terjadinya sindrom Munchausen adalah (Sadock, 2010):
 Penyakit kronis semasa kecil sehingga orang tersebut pernah
menerima banyak perhatian karena penyakitnya.
 Penyakit kronis yang diderita anggota keluarga orang tersebut
yang terjadi saat masa kecilnya.
 Masalah hubungan dengan orang lain, kepercayaan diri atau
identitas.
 Kesulitan dalam membedakan realita dan fantasi.
 Kepawaian dalam berbohong dan manipulasi.
 Riwayat masalah mental seperti depresi, halusinasi atau Post-
Traumatic Stress Disorder (PTSD).
 Perlakuan kasar atau traumatik semasa kecil.
 Korban penelantaran, kejahatan seksual atau fisik.

2.5 Klasifikasi
Sindrom Munchausen telah dibagi menjadi dua kelompok
berdasarkan jenis tanda atau gejala berpura-puranya, yaitu gangguan
yang ditandai dengan tanda dan gejala psikologis; dan gangguan yang
ditandai dengan tanda dan gejala fisik. Keduanya dapat terjadi

4
bersamaan. Sedangkan, dalam DSM-5, gejala dari sindrom Munchausen
tidak terlalu dibedakan, dan sindrom Munchausen dibagi menjadi
“diaplikasikan pada diri sendiri” (self imposed) dan “diaplikasikan pada
orang lain" (imposed on other/by proxy) (Sadock dan Sadock, 2011).
Klasifikasi sindrom Munchausen, meliputi:
1. Sindrom Munchausen Self Imposed
a. Sindrom Munchausen dengan predominan tanda dan gejala
psikologis
Tanda dan gejala psikologis yang umum disimulasi meliputi
depresi, halusinasi, gejala disosiasi, reaksi konversi, dan perilaku
aneh/bizzare. Penderita dengan keluhan depresi umumnya akan
menceritakan riwayat kematian dari keluarga atau teman dalam
waktu dekat dengan situasi kematian yang dramatis. Beberapa
penderita juga dapat menggunakan substansi psikoaktif untuk
menghasilkan gejala, seperti stimulansia untuk menghasilkan gejala
gelisah dan sulit tidur, atau halusinogen untuk menyebabkan
distorsi dari realita (Sadock dan Sadock, 2011).
Diagnosis sulit ditegakkan dan memerlukan observasi dan
investigasi dalam waktu yang lama. Karena kondisi pasien yang
tidak membaik setelah terapi umum diberikan, penderita dapat
diberikan obat-obatan psikoaktif dalam dosis tinggi atau bahkan
terapi elektro konvulsif (ECT) (Sadock dan Sadock, 2011).
Presentasi klinis pada sindrom Munchausen dengan
predominan tanda dan gejala psikologis:

5
b. Sindrom Munchausen dengan predominan tanda dan gejala
fisik
Sindrom Munchausen dengan predominan tanda dan gejala
fisik merupakan tipe dari sindrom Munchausen yang paling banyak
diketahui. Gangguan ini seringkali disebut sebagai sindrom
kecanduan rumah sakit (hospital addiction) atau sindrom
kecanduan operasi (polysurgical addiction). Karakteristik yang
utama dari penderita sindrom ini adalah kemampuan mereka untuk
mempresentasikan tanda dan gejala fisik dengan sangat baik
sehingga mereka dapat memperoleh admisi dan perawatan dalam
rumah sakit (Sadock dan Sadock, 2011).
Penderita memahami diagnosis dari sebagian besar penyakit
yang membutuhkan perawatan dalam rumah sakit. Penderita dapat
mengarang gejala fisik dari suatu penyakit dan memaparkan
presentasi klinis dari suatu penyakit dengan baik, misalnya
hematoma, hemoptysis, nyeri abdomen, demam, hipoglikemia,
mual, muntah, pusing, dan kejang. Penderita dapat melakukan
tindakan tertentu untuk menghasilkan presentasi klinis yang nyata,
misalnya, mengontaminasi urine atau feces dengan darah,
mengonsumsi antikoagulan untuk mensimulasi gangguan
perdarahan, atau menginjeksi insulin untuk menghasilkan keadaan
hipoglikemia. Penderita juga seringkali meminta agar dilakukan
operasi, dengan alasan adanya perlekatan dari prosedur operasi
sebelumnya (Sadock dan Sadock, 2011).
Presentasi klinis pada sindrom Munchausen dengan predominan tanda
dan gejala fisik.

6
7
8
c. Sindrom Munchausen dengan kombinasi tanda dan gejala fisik
dan psikologis
Pada tipe ini, didapatkan baik tanda dan gejala fisik maupun
tanda dan gejala psikologis. Dalam suatu laporan kasus, seorang
penderita dapat berubah-ubah antara demensia, depresi karena
berkabung, dan kejang (Sadock dan Sadock, 2011).
2. Sindrom Munchausen Imposed on Others/ By Proxy
Pada tipe ini, penderita dengan sengaja menghasilkan tanda dan
gejala fisik pada orang lain yang berada dibawah perawatan penderita.
Tujuan dari perilaku ini adalah mengambil peran secara tidak langsung
sebagai orang yang sakit. Kasus yang paling umum dari tipe ini adalah ibu
yang menipu dokter untuk mempercayai bahwa anaknya sakit. Penipuan
yang dilakukan dapat berupa memberikan rekam medis yang palsu,
mengkontaminasi sampel laboratorium, atau menyebabkan cedera atau
penyakit dengan sengaja pada anak (Sadock dan Sadock, 2011).

2.6 Gejala Klinis


Orang dengan sindrom Munchausen mengalami kepuasan luar
biasa dari perhatian yang ia dapatkan berhubungan dengan kondisinya
yang berpura-pura sakit. Tanda dan gejala yang mungkin
mengindikasikan seseorang memiliki sindrom Munchausen diantaranya
(Mental Health Foundation of Australia, 2015):
 Riwayat medis yang spektakuler (pemeriksaan penunjang,
prosedur medis serta tidakan operasi yang bermacam-macam
yang luar biasa banyak jumlahnya).
 Gejala-gejala yang dikeluhkan tampak ganjil dan kurang/tidak
berhubungan.
 Tidak ditemukan hasil yang konklusif meskipun sudah
menjalani investigasi medis yang intensif.
 Gejala baru yang muncul setelah dilakukan sebuah/beberapa
pemeriksaan medis yang menunjukkan hasil negatif.
 Pengetahuan medis yang ekstensif terhadap penyakit yang
berbeda-beda.

9
 Doctor shopping atau hospital shopping.
 Kunjungan dalam jumlah banyak ke UGD (Unit Gawat
Darurat), biasanya di rumah sakit yang berbeda-beda.
 Permintaan untuk dilakukan prosedur medis yang invasif atau
operasi.
 Kegagalan untuk sembuh/membaik meski sudah diterapi.
 Kekambuhan penyakit atas dasar yang tidak jelas meski
sudah diterapi.

2.7 Diagnosa
Gangguan buatan dengan tanda dan gejala fisik yang dominan
adalah jenis sindrom Munchausen yang paling dikenal. Gangguan yang
juga disebut ketergantungan rumah sakit, ketergantungan poli bedah ini
menghasilkan yang disebut dengan abdomen papan cuci dan sindrom
pasien professional, diantara nama-nama lain (Sadock, 2010).
Gambaran penting pasien dengan gangguan ini adalah
kemampuan mereka menampilkan gejala fisik sedemikian baik sehingga
mereka bisa masuk dan dirawat di rumah sakit. Untuk menyokong riwayat,
pasien dapat membuat gejala yang mengesankan suatu gangguan yang
dapat melibatkan suatu sistem organ. Mereka mengenali diagnosis
sebagian besar gangguan yang biasanya memerlukan obat atau dibawa
ke rumah sakit dan dapat memberikan riwayat yang sangat baik yang
mampu menipu bahkan klinisi berpengalaman. Gambaran klinisnya sangat
banyak dan mencakup hamatom, hemoptysis, nyeri abdomen, demam,
hipoglikemia, sindrom mirip lupus, mual, muntah, pusing, dan kejang.
Urine terkontaminasi darah atau tinja, antikoagulan dikonsumsi untuk
menghasilkan gangguan perdaraan, insulin digunakan untuk
menghasilkan hipoglikemia, dan seterusnya. Pasien tersebut sering
bersikeras untuk dioperasi dan menyatakan adanya perlekatan dari
prosedur operasi sebelumnya. Mereka dapat memperoleh abdomen mirip
besi pemanggang atau mirip papan cuci akibat berbagai prosedur.
Keluhan nyeri, terutama yang meniru kolik ginjal, lazim ada, pada pasien
yang menginginkan narkotik. Pada kira-kira setengah dari kasus yang

10
dilaporkan, pasien menuntut terapi dengan obat spesifik, biasanya
analgesik. Ketika di rumah sakit, mereka terus menuntut dan sulit. Ketika
setiap tes hasilnya negative, mereka dapat menuduh dokter tidak mampu,
mengancam menuntut, dan umumnya menjadi kasar. Beberapa segera
pergi sebelu yakin bahwa mereka akan dituduh untuk perilaku buatannya
(Sadock, 2010).
Tidak ada uji laboratorium spesifik untuk gangguan buatan.
Meskipun demikian, uji tertentu, seperti uji tapis obat, dapat membantu
memastikan adanya atau menyingkirkan suatu gangguan medis atau jiwa
yang spesifik (Sadock, 2010).

2.8 Diagnosa Banding


Setiap gangguan yang didominasi tanda dan gejala fisik harus
dipertimbangkan di dalam diagnosis banding, dan kemungkinan penyakit
fisik yang bersamaan atau sebenarnya harus selalu digali. Di samping itu,
riwayat banyak pembedahan pada pasien dengan gangguan buatan dapat
menjadi predisposisi bagi pasien mendapatkan penyulit atau penyakit
yang sesungguhnya yang bahkan memerlukan operasi lebih lanjut.
Gangguan buatan adalah variasi mendapatkan peran sakit. Pada satu sisi,
gangguan ini tidak di sadari dan bukan atas keinginan sendiri
(somatoform) dan pada sisi lain disadari dan diinginkan (malingering)
(Sadock, 2010).

2.8.1 Gangguan Somatoform


Gangguan buatan dibedakan dengan gangguan somatisasi
(sindrom Briquet) karena adanya gejala buatan yang dilakukan
secara sengaja, perjalanan rawat inap berulang di rumah sakit yang
ekstrem, dan keinginan untuk menjalani sejumlah besar prosedur
yang merusak pada pasien dengan gangguan buatan. Pasien
dengan gangguan konversi biasanya tidak memahami istilah medis
dan rutinitas rumah sakit, dan gejalanya memiliki hubungan waktu
langsung atau rujukan simbolik dengan konflik emosi spesifik
(Sadock, 2010).

11
2.8.2 Gangguan Kepribadian
Oleh karena kebohongan patologis, tidak ada hubungan
dekat dengan orang lain, sikap manipulative dan bermusuhan,
serta penyalahgunaan zat terkait dan riwayat kriminal, pasien
dengan gangguan buatan sering digolongkan sebagai pasien yang
memiliki gangguan kepribadian antisosial. Meskipun demikian,
orang antisosial, biasanya tidak secara sukarela melakukan
prosedur invasive atau terpaksa menjalani cara hidup yang ditandai
dengan rawat inap di rumah sakit dalam jangka panjang atau
berulang (Sadock, 2010).
Oleh karena mencari perhatian dan kadang-kadang bakat
untuk sesuatu yang dramatic, pasien dengan gangguan buatan
sering digolongkan memiliki gangguan kepribadian histerionik.
Meskipun demikian, tidak semua pasien gangguan buatan memiliki
bakat dramatic, banyak yang menarik diri dan lemah lembut.
Pertimbangan mengenai gaya hidup seseorang yang kacau,
riwayat gangguan hubungan interpersonal, krisis identitas,
penyalahgunaan zat, tindakan merusak diri, dan taktik manipulative,
dapat mengarahkan diagnosis gangguan kepribadian ambang.
Orang dengan gangguan buatan biasanya tidak memiliki cara
berpakaian, pikiran, atau komunikasi yang eksentrik seperti pada
pasien gangguan kepribadian skizotipal (Sadock, 2010).

2.8.3 Malingering
Gangguan buatan harus dibedakan dengan malingering.
Malingering memiliki tujuan lingkungan yang jelas dan dapat
dikenali pada saat menimbulkan tanda dan gejala, seperti
perawatan di rumah sakit untuk mendapatkan kompensasi
keuangan, menghindari polisi, menghindari kerja, atau hanya untuk
mendapatkan tempat tidur gratis untuk malam itu. Lebih jauh lagi,
pasien ini biasanya dapat berhenti membuat gejala an tanda ketika
gejala dan tenda tersebut tidak lagi dianggap menguntungkan atau
ketika resikonya menjadi terlalu besar (Sadock, 2010).

12
2.8.4 Sindrom Ganser (Ganser syndrome, GS)
Gambaran penting sindrom ini adalah memberikan jawaban-
jawaban yang dikira aneh, dan sering tidak konsisten atas
pertanyaan sederhana. Pasien dapat menjawab 2+2 = 5, atau
ketika ditanya warna salju, pasien menjawab “hijau”. Sindrom ini
juga ditandai dengan kesadaran berkabut, pseudohalusinasi
dan/atau halusinasi (visual atau auditorik), dan gejala somatik.
Sindrom Ganser digolongkan di dalam ICD-10/DSM-IV-TR sebagai
Gangguan disosiatif yang tak tergolongkan. Sindrom Ganser
banyak muncul di populasi penjara dan merupakan varian dari
Malingering dalam hal pasien menghindari hukuman atau
kewajiban atas tindakannya. Meskipun demikian, pada gangguan
buatan dengan tanda dan gejala psikologis yang dominan, bisa
terdapat kesengajaan member jawaban yang tidak akurat (Sadock,
2010).

2.8.5 Penyalahgunaan Zat


Walaupun pasien dengan gangguan buatan dapat memiliki
riwayat penyalahgunaan zat yang menyulitkan, mereka sebaiknya
tidak hanya dianggap sebagai penyalahgunaan zat tetapi memiliki
diagnosis tersebut bersamaan (Sadock, 2010).

2.9 Terapi
1. Psikoterapi
Tidak ada terapi psikiatri spesifik dalam tatalaksana gangguan
buatan. Pasien menyangkal gangguan buatan pada mereka dan akhirnya
memilih lari dan menolak pengobatan secara psikiatri. Oleh karena itu,
sasaran pengobatan bukan penyembuhan, tetapi pengelolaan untuk
mencegah pasien kesakitan dan menjalani prosedur yang menyiksa.
Mungkin satu-satunya faktor yang penting dalam keberhasilan
penatalaksanaan adalah pengenalan awal dokter akan gangguan ini
(Sadock, 2010).

13
2. Farmakoterapi
Farmakoterapi pada gangguan buatan memiliki kegunaan yang
terbatas. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI) dapat berguna
untuk mengurangi perilaku impulsif bila perilaku tersebut merupakan
komponen utama perilaku berpura-pura. SSRI termasuk dalam golongan
obat anti depresan. Obat golongan ini diantaranya adalah Sertraline,
Fluvoxamine, Fluoxetine, dan Citalopram (Sadock, 2010).
Mulai dengan dosis rendah untuk penyesuaian efek samping.
Sertraline 50 mg/hari, dinaikkan secara bertahap, sampai tercapai dosis
efektif (100-150 mg/hari). Meskipun respon terhadap pengobatan SSRI
sudah dapat terlihat 1-2 minggu, untuk mendapatkan hasil yang memadai
setidaknya diperlukan waktu 2-3 bulan serta bertahan untuk jangka waktu
yang panjang (1-2 tahun). Sertraline dapat diberikan sesuai dosis
pemeliharaan yaitu sekitar 100 mg/hari, sambil dilakukan terapi perilaku
dan psikoterapi lainnya (Sadock, 2010).

2.10 Prognosis
Gangguan buatan khususnya dimulai pada masa dewasa awal
walaupun juga dapat tampak pada masa kanak atau remaja. Biasanya,
pasien atau kerabat dekat pernah dirawat di rumah sakit pada masa
kanak atau remaja awal untuk suatu penyakit yang sebenarnya. Setelah
itu, pola panjang perawatan di rumah sakit yang berturutan dimulai secara
samar dan menjadi berkembang. Ketika penyakit berkembang, pasien
menjadi lebih memahami obat dan rumah sakit (Sadock, 2010).
Gangguan buatan mengurangi kemampuan pasien dan sering
menimbulkan trauma berat atau reaksi tidak sesuai yang berkaitan
dengan terapi. Prognosis pada sebagian besar kasus adalah buruk.
Pasien juga dapat memiliki riwayat perawatan di rumah sakit untuk
gangguan psikiatri intermiten (Sadock, 2010).
Walaupun tidak ada data adekuat mengenai hasil akhir pasien ini,
sebagian kecil meninggal karena obat, instrumentasi atau operasi yang
tidak diperlukan. Gambaran yang mungkin menunjukkan prognosis baik
adalah adanya kepribadian depresif-masokistik; berfungsi pada tingkat

14
ambang, tidak selalu psikotik; dan adanya gangguan kepribadian
antisosial dengan gejala minimal (Sadock, 2010).

15
BAB 3
KESIMPULAN

Sindrom Munchausen merupakan sebuah kelainan psikologis pada


orang yang terus-menerus berpura-pura mengidap penyakit berat agar
mendapatkan pengobatan dari rumah sakit atau tenaga medis. Agar dapat
dipercaya, orang tersebut dapat melukai atau membahayakan dirinya
sendiri agar dapat menyerupai gejala dan tanda penyakit tertentu. Tujuan
berpura-pura sakit tidak dilakukan untuk keuntungan personal, melainkan
untuk mendapatkan perhatian atau simpati dari lingkungan sekitarnya.
Hingga saat ini, belum ada terapi khusus yang efektif terhadap sindrom
Munchausen. Meski demikian, tatalaksana yang dapat dilakukan
diantaranya psikoterapi, medikamentosa, pembatasan atau penghindaran
prosedur medis yang tidak perlu, komunikasi efektif dan edukasi anggota
keluarga.

16
DAFTAR PUSTAKA

Asher, R., 1951. Münchhausen syndrome. Lancet, 1(6650), pp.339-41.

Kay, J. and Tasman, A., 2006. Essentials of psychiatry. West Sussex, UK:
Wiley.

Mental Health Foundation of Australia, 2015. Munchausen syndrome.


Better Health Channel. [accessed 2018 Oct 08]. Available from:
http://www.betterhealth.vic.gov.au

Sadock ,Benjamin James dan Sadock, Virginia Alcott. 2010. Gangguan


Buatan. Dalam: Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Ed Ke-
2. EGC : Jakarta.

Sadock, B.J. dan Sadock, V.A., 2011. Kaplan and Sadock's synopsis of
psychiatry: Behavioral sciences/clinical psychiatry. Lippincott
Williams & Wilkins.

Yudakusuma, C., 2015. Referat Sindrom Munchausen. Fakultas


Kedokteran UPH, Jakarta.

17

Anda mungkin juga menyukai