Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

Menurut UN Population Division, Department of Economic and Social

Affairs (1999) jumlah populasi usia lanjut (Lansia) >60 tahun diperkirakan hampir

mencapai mencapai 600 juta orang dan diproyeksikan menjadi 2 milyar pada tahun

2050. Saat itu Lansia akan melebihi jumlah populasi anak (0-14 tahun) (geriatri FK

UI hal.35).

Indonesia sekarang ada dalam transisi demografi, persentase Lansia

diproyeksikan menajadi 11,34% pada tahun 2020 yang akan datang. Struktur

masyarakat Indonesia berubah dari masyarakat/populasi “muda” (1971) menjadi

populasi yang lebih “tua” pada tahun 2020. Pergeseran ini menuntut perubahan

dalam strategi pelayanan kesehatan, dengan kata lain lebih minta perhatian dan

prioritas untuk penyakit – penyakit pada usia dewasa dan lansia (geriatric FK UI

hal.40-41).

Penyakit – penyakit yang diderita golongan lansia ini kebanyakan bersifat

endogenik, multiple, kronik, bersifat/bergejala atipik, menyebabkan imunitas

malahan menjadi lebih rentan terhadap penyakit/komplikasi yang lain (Geriatri FK

UI hal.53-54).

Pembesaran prostat jinak atau Benign Prostatic Hiperplasia yang selanjutnya

disingkat BPH merupakan penyakit tersering kedua penyakit kelenjar prostat di

klinik urologi di Indonesia. Penyebab BPH belum diketahui secara pasti, tetapi

sampai saat ini berhubungan dengan proses penuaan yang mengakibatkan


penurunan kadar hormon pria, terutama testosteron. Hormon Testosteron dalam

kelenjar prostat akan diubah menjadi Dihidrotestosteron (DHT). DHT inilah yang

kemudian secara kronis merangsang kelenjar prostat sehingga membesar.

Pada usia 60 tahun nodul pembesaran prostat tersebut terlihat pada sekitar 60

persen, tetapi gejala baru dikeluhkan pada sekitar 30-40 persen, sedangkan pada

usia 80 tahun nodul terlihat pada 90 persen yang sekitar 50 persen di antaranya

sudah mulai memberikan gejala-gejalanya. (1)


BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. T

Umur : 68 tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

Alamat : Jl. Pinisi Pare-Pare

Pekerjaan : Pensiunan

Status Pernikahan : Menikah

Tanggal MRS : 04 Mei 2017

No. MR : 001353

Perawatan : Anggrek

2.2 ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS)

Keluhan Utama : Tidak bisa buang air kecil (BAK)

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan keluhan tidak BAK sejak ± 2 hari yang lalu SMRS.

Pasien mengatakan sejak ± 3 bulan yll pancaran air kencing pasien mulai melemah,

dan saat buang air kecil pasien merasa tidak puas, sehingga pasien sering terbangun

tengah malam untuk buang air kecil. Pasien juga mengeluhkan rasa ingin buang air

kecil yang tidak tertahankan serta nyeri pada saat BAK, nyeri dirasakan seperti

ditusuk-tusuk pada daerah perut bagian bawah. Nyeri yang dirasakan tersebut

terkadang dirasakan menjalar sampai ke pinggang kiri dan menghilang setelah


BAK, kadang pasien juga harus mengejan agar air kencing bisa keluar.Riwayat

kencing berdarah disangkal, kencing berpasir atau batu disangkal, kencing

bernanah disangkal, riwayat trauma pada saluran kencing disangkal. Demam (-),

mual (-), muntah (-), sakit kepala (-), batuk (-). BAB biasa.

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat penyakit yang sama disangkal, riwayat

tumor disangkal, riwayat penyakit sistemik

disangkal.

Riwayat pengobatan : Pasien belum pernah berobat dengan keluhan yang

dirasakan sekarang.

Riwayat Penyakit keluarga : Riw.Penyakit yang sama pada keluarga disangkal.

Riw.penyakit tumor pada keluarga disangkal.

Riw.penyakit sistemik pada keluarga disangkal.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

Status generalis

Sakit sedang/gizi cukup/compos mentis (E4V6M5)

Status gizi : BB : 55

TB : 168

𝐵𝐵 55
IMT : Status Gizi =𝑇𝐵2=1,68𝑥1,68 = 19,50 kg/m2 => Normal

Status Vitalis
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Nadi : 90 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Temperatur : 36,50 C
a. Kepala-Leher
- Konjungtiva : Anemis -/-
- Sclera : Ikterik -/-
- Mata : Pupil bulat, isokor, θ 2,5mm/2,5mm, RC +/+
- Telinga : Normotia, Sekret (-/-)
- Hidung : Sekret (-/-), darah (-/-), deviasi septum (-)
- Faring : Hiperemis (-/-)
- Tonsil : T1-T1 Hiperemis (-/-)
- Bibir : Tidak sianosis, stomatitis(-)
- Pembesaran KGB : Tidak ada
- Leher : Trakea letak di tengah, Deviasi trakea (-)
b. Thorax
Inspeksi : Bentuk dada normochest, Simetris kiri dan kanan, ikut gerak napas
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada massa tumor, vokal fremitus
kanan=kiri
Perkusi : Sonor pada lapangan paru kanan dan kiri
Auskultasi : Bunyi pernapasan : vesikuler kanan=kiri
Bunyi tambahan : ronkhi -/- Wheezing -/-
c. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di Intercostal V midclavicularis Sinistra
Perkusi : Pekak, batas jantung kanan Intercostal 2 parasternalis kanan, batas
jantung kiri Intercostal VII 3 jari samping kiri linea midclavicularis
Auskultasi : S1/S2 reguler,tidak ada murmur
d. Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak nafas, ikterik (-), Distensi (-), Massa (-)

Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal

Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar dan lien tidak teraba.

Perkusi : Timpani
e. Extremitas : Edema -/- deformitas -/- jejas -/-
f. Anal – perianal :
Rectal Toucher :
 Tonus sfingter ani : Mencekik
 Mukosa rectum : Licin
 Ampula recti : Tidak kolaps
 Teraba pembesaran prostat pada arah jam 11 sampai jam 1,
permukaan rata, konsistensi lunak, mukosa licin, pole atas teraba
dengan sedikit usaha, nyeri tekan ada.
 Handscoon : Darah (-), lendir (-), feses (+)

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium:

- Darah lengkap pada tanggal 05 Mei 2017 :

HASIL NILAI RUJUKAN

WBC 9,69 3,70-10,1 x103/uL

Neutrofil 6,35 1,63-6,96 %

Limfosit 2,43 1,09-2,99 %

Monosit 0,539 0,240-0,790 %

Eosinofil 0,258 0,030-0,440

Basofil 0,113 0,00-0,08

RBC 5,09 4,06-5,58

Hemoglobin 14,8 12,9-15,9

Hematokrit 42,4 37,7-53,7

MCV 83,4 81,1-96,0


MCH 29,1 27,0-31,2

MCHC 34,9 31,8-35,4

PLT 214 155-366

SGOT 39 ≤37

SGPT 30 ≤40

Ureum 23 10-50

Creatinine 1,8 0,6-1,1

GDS 178 <140

HbsAG Negatif (-) Negatif

CT 9’00’’ <15’00’’

BT 2’00’ 1’00’’-3’00’’

- Darah lengkap pada tanggal 09 Mei 2017 :

HASIL NILAI RUJUKAN

WBC 14,7 3,70-10,1 x103/uL

Neutrofil 12,1 1,63-6,96 %

Limfosit 1,61 1,09-2,99 %

Monosit 0,726 0,240-0,790 %

Eosinofil 0,132 0,030-0,440

Basofil 0,065 0,00-0,08

RBC 5,06 4,06-5,58

Hemoglobin 14,5 12,9-15,9


Hematokrit 42,0 37,7-53,7

MCV 83,1 81,1-96,0

MCH 28,7 27,0-31,2

MCHC 34,6 31,8-35,4

PLT 212 155-366

USG ABDOMEN

Hasil pemeriksaan :

- Hepar : Bentuk/ukuran/echo normal. Tidak tampak dilatasi

vaskular/ bile duct.SOL -

- Lien/Pancreas : Bentuk/ukuran/echo normal. SOL –

- GB : Dinding baik. Tidak tampak batu/mass

- Ren Dextra : Bentuk/ukuran/echo cortex baik. Tidak tampak

batu/bendungan. Echosinus meninggi

- Ren Sinistra : Bentuk/ukuran/echo cortex baik. Tidak tampak

batu/bendungan. Echosinus meninggi


- Buli-buli : Dinding menebal 0,6 cm. Tidak tampak batu/massa.

Tampak lesi kistik 4,3 cm x 4,9 cm disekitarnya

- Prostat : Membesar volume 31,9 cm3. Echonormal

Kesan :

- Pyelitis bilateral

- Cystitis kronik dengan suspek divertikel buli-buli

- Hipertrophy prostat

Pemeriksaan Patologi Anatomi

Hasil histopatologi jaringan pasien diatas adalah :

Diagnosis Klinis : Hipertrofi prostat

Makroskopik : 2 jaringan ukuran diameter 2 cm dan 3 cm, kekuningan

kenyal 2 coupe

Mikroskopik : Sediaan jaringan menunjukkan proliferasi kelenjar dilapisi

lebih dari 2 lapis epitel inti atipikal, membran basalis intak

diantara stroma jaringan ikat fibromuskular

kesimpulan :HIGH GRADE PIN

Catatan : Observasi penderita


2.5 RESUME

Pasien masuk IGD RS Andi Makassau dengan keluhan tidak BAK sejak ± 2

hari yang lalu SMRS. Pasien mengatakan sejak ± 3 bulan yll pancaran air kencing

pasien mulai melemah, dan saat buang air kecil pasien merasa tidak puas. Pasien

juga mengeluhkan rasa ingin buang air kecil yang tidak tertahankan serta nyeri

pada saat BAK, nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk pada daerah perut bagian

bawah. Nyeri yang dirasakan tersebut terkadang dirasakan menjalar sampai ke

pinggang kiri dan menghilang setelah BAK. Skala IPSS pada pasien yaitu 28 skor

(bergejala berat).

Dari hasil pemeriksaan fisis pasien datang dengan sakit sedang / gizi cukup /

composmentis. Status vitalis, tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 90x/menit,

pernapasan 20 x/menit, dan suhu 36,50 C. Pada pemeriksaan rectal toucher

didapatkan teraba pembesaran prostat pada arah jam 11 sampai jam 1, permukaan

licin, konsistensi lunak, pole atas teraba dengan sedikit usaha, nyeri tekan ada,

nodul (-). Pada USG abdomen didpatkan Pyelitis bilateral, Cystitis kronik dengan

suspek divertikel buli-buli dan Hipertrophy prostat. Pada pemeriksaan patologi

anatomi didapatkan kesimpulan dari hasilnya adalah HIGH GRADE PIN.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang dapat

ditegakkan diagnosis Benign Prostatic Hyperplasia Grade 2

2.6 DIAGNOSA KERJA

Benign Prostatic Hyperplasia Grade 2


2.7 DIAGNOSA BANDING

- Carcinoma prostat

- Prostatitis

2.8 PENATALAKSANAAN
Tanggal Operasi : 9 Mei 2017
Nama Operasi : Open Prostatectomy
Macam Operasi : Besar
Diagnosa Pre Op : Hipertrofi prostat
Diagnosa Post Op : Hipertofi prostat

Pre Operasi :
 Cek Lab : DL, CT, BT, SGOT, SGPT, Ureum, kreatinin
 Inform Consent
 Konsul Anestesi
 Puasa 8 jam sebelum operasi
 Profilaksis antibiotik 1 jam sebelum operasi: Injeksi ceftriakson 1gr/iv
 Siapkan darah PRC 2 bag

Laporan Operasi :
1. Pasien tidur dengan posisi supine dengan General Anestesi
2. Desinfeksi dan drapping lapangan operasi dengan betadine + alkohol 70%
3. Incisi midline 2 jari diatas simpisis pubis sampai 2 jari dibawah umbilikus,
perdalam lapis demi lapis
4. Fascia dibuka sampai M. Rectus abdominalis, di incisi, identifikasi buli-buli,
buka buli-buli
5. Identifikasi prostat hipertrofi, lakukan prostatectomy dengan gunakan jari,
kontrol perdarahan dengan jahit richer, pasang kateter 3way, spooling, jahit
lapis demi lapis dengan satu buah drain
6. Dilakukan (nama operasi) : Open prostatectomy
7. Komplikasi : Tidak ada
8. Penutupan lapangan operasi : Jahit luka operasi lapis demi lapis
9. Hasil operasi : Baik
10. Pengiriman jaringan operasi : Histopatologi
11. Catatan post operasi : Evaluasi luka bekas operasi

Post operasi :
 IVFD RL 28 tpm
 Injeksi fosmisin 1 gr/12j/iv
 Injeksi ranitidine 50 mg/8j/iv
 Injeksi ketorolac 30 mg/8j/iv
 Cocktail drips/tgc
 Boleh minum sore
 GV/2 hari

2.9 FOLLOW UP
Tanggal Perjalanan Penyakit Tindakan
10/05/2017 S: Nyeri pada daerah bekas operasi - IVFD RL 28 tpm
O: KU : Sakit Sedang/ Composmentis - Spooling kateter Nacl
TD: 100/56 mmHg 40 tpm
N : 69x/i - Pindah traksi
SO2 :95% - Fosmisin 1 gr/12j/iv
S: 36,50 C - Ranitidin 50 mg/8j/iv
Kepala: Anemis -/- Ikt -/- - Santagesik 500 mg/8j/iv
Thorax : Rh -/- wh-/- - Coctail drips/tgc
Abdomen : Peristaltik (+) kesan normal - Diet bubur
Ekstremitas: Edema -/- - GV/2 hari
A : POH-1 open prostatectomy

11/05/2017 S: Nyeri pada daerah bekas operasi IVFD RL 28 tpm


O: KU : Sakit Sedang/ Composmentis - Fosmisin 1 gr/12j/iv
TD: 110/60 mmHg - Santagesik 500mg/8j/iv
N : 80 x/i - Ranitidin 50mg/8j/iv
P : 20 x/i - Coctail drips/tgc
S: 36,20 C - Spooling 30-40tpm
Kepala: Anemis -/- Ikt -/- - Diet biasa
Thorax : Rh -/- wh-/-
Abdomen : Peristaltik (+) kesan normal
Ekstremitas: Edema -/-
A: POH-2 open prostatectomy
12/05/2017 S: Nyeri pada daerah bekas operasi, IVFD RL 28 tpm
Batuk Berlendir (+) - Fosmisin 1 gr/12j/iv
O: KU : Sakit Sedang/ Composmentis - Santagesik 500mg/8j/iv
TD: 110/60 mmHg - Ranitidin 50mg/8j/iv
N : 80 x/i - Vip albumin 3x2
P : 22 x/i - Nutriflam 2x1
S: 36,50 C - Stop coctail
Kepala: Anemis -/- Ikt -/- - Spooling 28tpm
Thorax : Rh -/- wh-/-
Abdomen : Peristaltik (+) kesan normal
Ekstremitas: Edema -/-
A: POH-3 open prostatectomy
13/05/2017 S: Tidak ada keluhan IVFD RL 28 tpm
O: KU : Sakit sedang/Composmentis - Fosmisin 1 gr/12j/iv
TD: 110/70 mmHg - Santagesik 500mg/8j/iv
N : 80 x/i - Ranitidin 50mg/8j/iv
P : 20 x/i - Vip albumin 3x2
S: 36,20 C - Nutriflam 2x1
Kepala: Anemis -/- Ikt -/- - Spooling 28tpm
Thorax : Rh -/- wh-/-
Abdomen : Peristaltik (+) kesan normal
Ekstremitas: Edema -/-
A: POH-4 open prostatectomy
14/05/2017 S: Tidak ada keluhan Aff infus
O: KU : Sakit ringan/Composmentis Cefixime 200mg/12j/oral
TD: 110/70 mmHg Ranitidin 150mg/12j/oral
N : 80 x/i As.Mefenamat
P : 20 x/i 500mg/8j/oral
S: 36,20 C Boleh rawat jalan
Kepala: Anemis -/- Ikt -/-
Thorax : Rh -/- wh-/-
Abdomen : Peristaltik (+) kesan normal
Ekstremitas: Edema -/-
A: POH-5 open prostatectomy
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) / pembesaran prostat jinak adalah
diagnosa histologis yang mengacu pada proliferasi otot polos dan sel-sel epitel
dalam zona transisional prostat. Secara makroskopik ditandai dengan pembesaran
kelenjar prostat yang secara histologis disebabkan oleh hiperplasia stroma dan
kelenjar sel prostat yang progresif. BPH adalah proses patologik yang berkontribusi
terhadap timbulnya Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) pada pria lanjut usia.
Meskipun BPH tidak mengancam jiwa, manifestasi klinis sebagai LUTS dapat
menurunkan kualitas hidup pasien. LUTS terdiri dari gejala-gejala yang
mengganggu seperti, dysuria, frekuensi (berkemih lebih sering dari normal),
urgensi (perasaan berkemih yang sulit ditahan), serta nokturia (terbangun untuk
berkemih beberapa kali pada malam hari), dan gejala-gejala obstruksi berkemih
seperti, aliran lambat, keragu-raguan (sulit untuk memulai proses berkemih),
intermitten, mengedan saat berkemih, rasa tidak puas berkemih, dan menetesnya
urine di akhir berkemih. Pada lelaki usia 50 tahun, angka kejadiannya sekitar 50%,
dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut di atas akan
menyebabkan gejala dan tanda klinis. 1,5
Dalam perkembangannya, BPH dapat berkembang menjadi benign
prostatic enlargement (BPE), benign prostatic obstruction (BPO), dan lower
urinary tract symptoms (LUTS).1

3.2 ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia
prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan
proses aging (menjadi tua). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasia prostat jinak adalah : (1) Teori Dihidrotestosteron, (2)
Adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron, (3) Interaksi antara sel
stroma dan sel epitel prostat, (4) Berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan (5)
Teori Stem sel.3,5

a. Teori Dihidrotestosteron (DHT)


Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting
pada pertumbuhan sel- sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel
prostat oleh enzim 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang
telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks
DHT-RA pada inti dan sel selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang
menstimulasi pertumbuhan sel prostat. 3,5
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh
berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas
enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini
menyebabkan pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih
banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal. 3,5

b. Ketidakseimbangan estrogen dan testosteron


Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun, sedangkan kadar
estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen : testosterone relatif
meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam
terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas
sel- sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah
reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel- sel prostat (apoptosis).
Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel-
sel baru akibat rangsangan testosterone menurun, tetapi sel – sel prostat yang telah
ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar. 3

c. Interaksi stroma epitel


Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung
dikontrol oleh sel- sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu.
Setelah sel- sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel- sel
stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel- sel
stroma itu sendiri secara intrakin dan autokrin, serta mempengaruhi sel- sel epitel
secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel- sel epitel
maupun stroma. 3

d. Berkurangnya kematian sel prostat (Apoptosis)


Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik homeostatis
kelenjar prostat. Pada jaringan nomal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi
sel dengan kematian sel. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang apoptosis
menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin meningkat sehingga
mengakibatkan pertambahan massa prostat. Diduga hormon androgen berperan
dalam menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi
peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat. 3

e. Teori stem cell


Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi bahwa pada
kelenjar prostat, selain ada hubungannya dengan stroma dan epitel, juga ada
hubungan antara jenis-jenis sel epitel yang ada di dalam jaringan prostat. Stem sel
akan berkembang menjadi sel aplifying, yang keduanya tidak tergantung pada
androgen. Sel aplifying akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung
secara mutlak pada androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan
berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal. 3

3.3 PATOZFISIOLOGI
Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional, sedangkan
pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer. Pertumbuhan kelenjar ini
sangat bergantung pada hormon testosteron, yang di dalam sel- sel kelenjar prostat
hormon akan dirubah menjadi metabolit aktif dihidrotestosteron (DHT) dengan
bantuan enzim 5α reduktase. Dihidrotestosteron inilah yang secara langsung
memacu m-RNA di dalam sel- sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth
factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat. 3
Pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat
dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan
menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari
kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses
pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran
kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi
pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat,
serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau
divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut,
maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak
mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin.
Pasien tidak bisa mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan
terjadi statis urin. Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri.1,3,5
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat
mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang
menetes, kencing terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien
mengalami kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga
menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang
tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya
tidak menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval disetiap
berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien
mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat
berkemih /disuria. 1,3,5
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi,
akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko
ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal
dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan sehingga
lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa
urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batu
ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut
dapat juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan
pielonefritis. 1,3,5

3.4 MANIFESTASTASI KLINIK


a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS)
Terdiri atas gejala obstruksi dan iritasi :
Obstruksi Iritasi
 Hesistansi  Frekuensi
 Pancaran miksi lemah  Nokturi
 Intermitensi  Urgensi
 Miksi tidak puas  Disuria
 Distensi abdomen Urgensi dan disuria jarang
 Terminal dribbling (menetes) terjadi, jika ada disebabkan
 Volume urine menurun oleh ketidakstabilan detrusor

 Mengejan saat berkemih sehingga terjadi kontraksi


involunter.
Tabel 1. Gejala Obstruksi dan Iritasi Benigna Prostat Hiperplasia1,3,5

Gejala pertama dan yang paling sering dijumpai adalah penurunan kekuatan
pancaran dan kaliber aliran urine, oleh karena lumen urethra mengecil dan tahanan
di dalam urethra mengecil dan tahanan di dalam urethra meningkat, sehingga
kandung kemih harus memberikan tekanan yang lebih besar untuk dapat
mengeluarkan urine. 1,3,5

• Sulit memulai kencing (hesitancy) menunjukan adanya pemanjangan periode


laten, sebelum kandung kemih dapat menghasilkan tekanan intra-vesika yang
cukup tinggi. 1,3,5

• Diperlukan waktu yang lebih lama untuk mengosongkan kandung kemih, jika
kandung kemih tidak dapat mempertahankan tekanan yang tinggi selama berkemih,
aliran urine dapat berhenti dan dribbling (urin menetes setelah
berkemih) bisa terjadi. Untuk meningkatkan usaha berkemih pasien biasanya
melakukan valsava manouver sewaktu berkemih. 1,3,5

• Otot-otot kandung kemih menjadi lemah dan kandung kemih gagal


mengosongkan urine secara sempurna, sejumlah urine tertahan dalam kandung
kemih sehingga menimbulkan sering berkemih (frequency) dan sering berkemih
malam hari (nocturia). 1,4

• Infeksi yang menyertai residual urine akan memperberat gejala, karena akan
menambah obstruksi akibat inflamasi sekunder dan oedem. Residual urine juga
dapat sebagai predisposisi terbentuknya batu kandung kemih. 1,3,5

• Hematuria sering terjadi oleh karena pembesaran prostat menyebabkan pembuluh


darahnya menjadi rapuh. 1,3,5

• Bladder outlet obstruction ataupun overdistensi kandung kemih juga dapat


menyebabkan refluk vesikoureter dan sumbatan saluran kemih bagian atas yang
akhirnya menimbulkan hydroureteronephrosis. 1,3,5

• Bila obstruksi cukup berat, dapat menimbulkan gagal ginjal (renal failure) dan
gejala-gejala uremia berupa mual, muntah. 1,3,5

Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih


tergantung tiga faktor, yaitu:1
1. Volume kelenjar periuretral
2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Kekuatan kontraksi otot detrusor
Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli
untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami kepayahan
(fatigue) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam
bentuk retensi urin akut.3,6
Timbulnya dekompensasi buli-buli ini didahului oleh faktor pencetus antara lain :
1) Volume buli-buli tiba-tiba penuh (cuaca dingin, konsumsi obat-obatan yang
mengandung diuretikum, minum tertalu banyak)
2) Massa prostat tiba-tiba membesar (setelah melakukan aktivitas seksual/ infeksi
prostat)
3) Setelah mengkonsumsi obat-obat yang dapat menurunkan kontraksi otot
detrusor (golongan antikolinergik atau adrenergic-α)3

Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan


penentuan jenis pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan BPH,
dibuatlah suatu skoring yang valid dan reliable. Terdapat beberapa sistem skoring,
di antaranya skor International Prostate Skoring System (IPSS) yang diambil
berdasarkan skor American Urological Association (AUA). Skor AUA terdiri dari
7 pertanyaan. Pasien diminta untuk menilai sendiri derajat keluhan obstruksi dan
iritatif mereka dengan skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara 0-35. Skor 0-7
ringan, 8-19 sedang, dan 20-35 berat.

Tabel 2. Skor International Prostate Skoring System (IPSS)4,5


b. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Merupakan penyulit dari hiperplasi prostat, berupa gejala obstruksi antara
lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (hidronefrosis), demam (infeksi/
urosepsis).3

c. Gejala di luar saluran kemih


Keluhan pada penyakit hernia/ hemoroid sering mengikuti penyakit
hipertropi prostat. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada
saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal.3
Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan, anoreksia,
mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik (Brunner & Suddarth,
2001). Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu:5
 Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (colok dubur)
ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine kurang dari 50 ml.
 Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih
menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml tetapi
kurang dari 100 ml.
 Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa
urin lebih dari 100 ml.
 Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total.5

3.5 PEMERIKSAAN FISIK


Buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis
akibat retensi urine. Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu menetes yang
merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksa. 5
Pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination ( DRE )
Merupakan pemeriksaan yang sangat penting, DRE dapat
memberikangambaran tonus sfingter ani, mukosa rektum, adanya kelainan lain
sepertibenjolan di dalam rektum dan tentu saja meraba prostat. Pada perabaan
prostat harus diperhatikan :
 Konsistensi pada pembesaran prostat kenyal
 Adakah asimetri
 Adakah nodul pada prostat
 Apakah batas atas dapat diraba dan apabila batas atas masih dapat diraba
biasanya besar prostat diperkirakan <60 gr. 5

Gambar 1. Pemeriksaan Colok Dubur5


Pada BPH akan ditemukan prostat yang lebih besar dari normal, permukaan
licin dan konsistensi kenyal. Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada
traktus urinaria bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah
terjadi pnielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang.
Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, buli-buli penuh
(ditemukan massa supra pubis) yang nyeri dan pekak pada perkusi. Daerah inguinal
harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus
pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat
menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior,
fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus. 5
Tabel 3. Derajat berat hipertrofi prostat berdasarkan klinis5
b. Derajat berat obstruksi
Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin
setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih
dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui dengan
melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi. Sisa urin lebih dari
100cc biasanya dianggap sebagai batas untuk indikasi melakukan intervensi
pada hipertrofi prostat.Derajat berat obstruksi dapat pula diukur dengan
mengukur pancaran urin pada waktu miksi, yang disebut uroflowmetri. Angka
normal pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran maksimal
sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, pancaran menurun antara 6
– 8 ml/detik, sedangkan maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang.5

3.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan laboratorium:
a. Sedimen urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi pada
saluran kemih. Mengevaluasi adanya eritrosit, leukosit, bakteri, protein atau
glukosa.3

b. Kultur urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan
sensifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.3
c. Faal ginjal
Mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran kemih
bagian atas. Elektrolit, kreatinin berguna untuk insufisiensi ginjal kronis pada
pasien yang memiliki postvoid residu (PVR) yang tinggi. 3

d. Penanda tumor PSA (prostat spesifik antigen)


Prostat Spesifik Antigen (PSA) adalah enzim proteolitik yang dihasilkan
oleh epitel prostat dan dikeluarkan bersamaan dengan cairan semen dalam
jumlah yang banyak. Prostat Spesifik Antigen memiliki nilai normal ≤ 4ng/ml.
Pemeriksaan PSA sangat baik digunakan bersamaan dengan pemeriksaan DRE
dan TRUSS dengan biopsy. Peningkatan kadar PSA bisa terjadi pada keadaan
Benign Prostate Hyperplasya (BPH), infeksi saluran kemih dan kanker prostat
sehingga dilakukan penyempurnaan dalam interpretasi nilai PSA yaitu PSA
velocity atau perubahan laju nilai PSA, densitas PSA dan nilai rata – rata PSA,
yang nilainya bergantung kepada umur penderita.2,7
Tabel 4. Rata-rata nilai normal Prostat Spesifik Antigen menurut umur2,7

Umur (tahun) Rata – Rata Nilai Normal PSA


(ng/mL)

40 – 49 0.0 – 2.5
50 – 59 0.0 – 3.5
60 – 69 0.0 – 4.5
70 – 79 0.0 – 6.5

Pasien yang memiliki kadar PSA lebih dari 10 ng/mL biasanya menderita kanker
prostat. Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa hanya 2% laki – laki yang
menderita BPH yang memiliki kadar PSA lebih dari 10 ng/mL. Sedangkan dari 103
pasien dengan semua stadium kanker prostat, 44% memiliki kadar PSA lebih dari
10 ng/mL . 2,7
2. Pencitraan pada Benigna Prostat Hiperplasia:
Pencitraan prostat dilakukan untuk menilai; ukuran prostat, bentuk
prostat, karsinoma, dan karakterisasi jaringan. Pilihan modalitas pencitraan
prostat dapat menggunakan:
a. Foto polos abdomen
Berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya
batu/kalkulosa prostat dan kadangkala menunjukan bayangan buli-buli
yang penuh terisi urine, yang merupakan tanda suatu retensi urine.3
b. Intravenous Pyelogram Intravenous pyelogram (IVP)
Adalah pemeriksaan x-ray ginjal, ureter dan kantung kemih yang
menggunakan material kontras iodine yang diinjeksi ke dalam vena.
Pembesaran signifikan dari kelenjar prostat dapat menyebabkan dasar
vesika urinaria elevasi dengan gambaran “J-ing” atau “Fish hooking”
pada ureter distal.3,4

Gambar 2. Gambaran vesika Gambar 3. Tampak gambaran


urinaria yang mengalami “J-ing” atau “fish hooking”
peradangan (cystitis) akibat pada ureter distal dan elevasi
retensi urin padapenderita3 pada vesika urinaria. 3
BPH.
c. Ultrasonografi trans abdominal
 Gambaran sonografi benigna hyperplasia prostat menunjukan
pembesaran bagian dalam glandula, yang relatif hipoechoic dibanding
zona perifer. Zona transisi hipoekoik cenderung menekan zona central
dan perifer. Batas yang memisahkan hyperplasia dengan zona perifer
adalah “surgical capsule”.8
 USG transabdominal mampu pula mendeteksi adanya hidronefrosis
ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama. 4
1.
2.
3.

Gambar 4. Gambaran Sonografi Prostat Normal4

Gambar 5. Gambaran Sonografi Benigna Prostat Hiperplasia4

d. Pemeriksaan ultrasonografi transrektal (TRUS)


Adalah tes USG melalui rectum. Dalam prosedur ini, probe
dimasukkan ke dalam rektum mengarahkan gelombang suara di prostat.
Gema pola gelombang suara merupakan gambar dari kelenjar prostat pada
layar tampilan. Untuk menentukan apakah suatu daerah yang abnormal
tampak memang tumor, digunakan probe dan gambar USG untuk memandu
jarum biopsi untuk tumor yang dicurigai. Jarum mengumpulkan beberapa
potong jaringan prostat untuk pemeriksaan dengan mikroskop. Biopsy
terutama dilakukan untuk pasien yang dicurigai memiliki keganasan
prostat.1,8
Transrektal ultrasonografi (TRUS) sekarang juga digunakan untuk
pengukur volume prostat, caranya antara lain :
 Metode “step planimetry”. Yang menghitung volume rata-rata area
horizontal diukur dari dasar sampai puncak.
 Metode diameter. Yang menggabungkan pengukuran tinggi (H/height),
lebar (W/width) dan panjang (L/length) dengan rumus : ½ (H x W x L)
1,8

e. Sistoskopi
Dalam pemeriksaan ini, disisipkan sebuah tabung kecil melalui
pembukaan urethra di dalam penis. Prosedur ini dilakukan setelah solusi
numbs bagian dalam penis sehingga sensasi semua hilang. Tabung, disebut
sebuah “cystoscope” , berisi lensa dan sistem cahaya yang membantu
dokter melihat bagian dalam uretra dan kandung kemih. Tes ini
memungkinkan dokter untuk menentukan ukuran kelenjar dan
mengidentifikasi lokasi dan derajat obstruksi.8

Gambar 6. Gambaran Sistoskopi Benigna Prostat Hiperplasia

3. Pemeriksaan lain:
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur:
 Residual urin :
Jumlah sisa urin setelah miksi, dengan cara melakukan kateterisasi/USG setelah
miksi3

 Pancaran urin/flow rate :


Dengan menghitung jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi berlangsung
(ml/detik) atau dengan alat uroflometri yang menyajikan gambaran grafik
pancaran urin. Aliran yang berkurang sering pada BPH. Pada aliran urin yang
lemah, aliran urinnya kurang dari 15mL/s dan terdapat peningkatan residu urin.
Post-void residual mengukur jumlah air seni yang tertinggal di dalam kandung
kemih setelah buang air kecil. PRV kurang dari 50 mL umum menunjukkan
pengosongan kandung kemih yang memadai dan pengukuran 100 sampai 200
ml atau lebih sering menunjukkan sumbatan. Pasien diminta untuk buang air
kecil segera sebelum tes dan sisa urin ditentukan oleh USG atau kateterisasi. 3,5

Gambar 7. Gambaran Pancaran Urin Normal dan pada BPH3


Keterangan :
Gambaran aliran urin atas : dewasa muda yang asimtomatik, aliran urin lebih
dari 15mL/s, urin residu 9 mL pada ultrasonografi.
Gambaran aliran urin bawah : dewasa tua dengan benigna hyperplasia prostat,
terlihat waktu berkemih memanjang dengan aliran urin kurang dari 10mL/s,
pasien ini urin residunya 100 mL.3

3.7 PENATALAKSANAAN
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalami tindakan medik.
Kadang-kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa
mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat saja. Namun adapula yang
membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena
keluhannya semakin parah.3
Tujuan terapi hyperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2)
meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi intravesika, (4)
mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume
residu urine setelah miksi dan (6) mencegah progrefitas penyakit. Hal ini dapat
dicegah dengan medikamentosa, pembedahan atau tindakan endourologi yang
kurang invasif.1,3
Observasi Medikamentosa Operasi Invasive Minimal

Watchful waiting Penghambat Prostatektomi  TUMT


adrenergi α terbuka
 TUBD
 Stent uretra
Penghambat Endourologi  TUNA
reduktase α

Fitoterapi 1. TURP
2. TUIP
3. TULP
Elektovaporasi
Tabel 5. Pilihan Terapi pada Hiperplasia Prostat Benigna1

a. Watchful waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pasien tidak mendapat terapi namun hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu
hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya jangan menahan
kencing terlalu lama. 1,3
Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya
keluhannya apakah menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku),
disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urin, atau
uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya,
mungkin perlu dipikirkan terapi yang lain. 1,3

b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk : (1) mengurangi
resistansi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi
infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergic alfa (adrenergic alfa
blocker dan (2) mengurangi volume prostat sebagai komponen static dengan
cara menurunkan kadar hormone testosterone/dihidrotestosteron (DHT)
melalui penghambat 5α-reduktase. 1,3
1) Penghambat reseptor adrenergik α.
Mengendurkan otot polos prostat dan leher kandung kemih, yang
membantu untuk meringankan obstruksi kemih disebabkan oleh
pembesaran prostat di BPH. 1,2
Efek samping dapat termasuk sakit kepala, kelelahan, atau ringan.
Umumnya digunakan alpha blocker BPH termasuk tamsulosin (Flomax),
alfuzosin (Uroxatral), dan obat-obatan yang lebih tua seperti terazosin
(Hytrin) atau doxazosin (Cardura). Obat-obatan ini akan meningkatkan
pancaran urin dan mengakibatkan perbaikan gejala dalam beberapa
minggu dan tidak berpengaruh pada ukuran prostat.1,3

2) Penghambat 5 α reduktase
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan
dihidrotestosteron (DHT) dari testosterone yang dikatalisis oleh enzim 5 α
reduktase di dalam sel prostat. Menurunnya kadar DHT menyebabkan
sintesis protein dan replikasi sel-sel prostat menurun. Dilaporkan bawa
pemberian obat finasteride 5 mg/24 jam yang diberikan sekali setelah 6
bulan mampu menyebabkan penurunan prostat hingga 28%, hal ini
memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. Pembesaran prostat di
BPH secara langsung tergantung pada DHT, sehingga obat ini
menyebabkan pengurangan 25% perkiraan ukuran prostat lebih dari 6
sampai 12 bulan.3,5

c. Tindakan Operatif

Tindakan operatif terbagi dua yaitu, prostatektomi terbuka, contohnya seperti

Retropubic infravesica (Terence Millin), Suprapubic Transvesica/TVP (Freeyer),

Transperineal dan prostatektomi endourologi seperti Transurethral resection


(TURP), Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP), dan Pembedahan dengan

laser (Laser prostatectomy). Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah

menghilangkan obstruksi pada leher buli-buli.

a. Trans urethral resection (TURP)

Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi hampir

seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer ditinggalkan

bersama kapsulnya. Metode ini cukup aman, efektif dan berhasil, bisa terjadi

ejakulasi retrograd dan pada sebagaian kecil dapat mengalami impotensi. Hasil

terbaik diperoleh pasien yang membutuhkan tindakan bedah. Untuk keperluan

tersebut, evaluasi urodinamik sangat berguna untuk membedakan pasien

dengan obstruksi dari pasien nonobstruksi.1,3

Evaluasi ini berperan selektif dalam penentuan perlu tidaknya dilakukan

TURP. Suatu penelitian menyebutkan bahwa hasil obyektif TURP meningkat

dari 72% menjadi 88% dengan mengikutsertakan evaluasi urodinamik pada

penilaian pra-bedah dari 152 pasien. Mortalitas TURP sekitar 1% dan

morbiditas sekitar 8%. Saat ini tindakan TURP merupakan tindakan operasi

paling banyak dikerjakan di seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat dilakukan

trans-uretra dengan mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar supaya

daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan

yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionik, yang dimaksudkan agar

tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan

harganya cukup murah adalah H2O steril (aquades).1,3


b. Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP)

Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi

ukuran prostatnya mendekati normal. Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu

besar dan pada pasien yang umurnya masih muda umumnya dilakukan metode

tersebut atau incisi leher buli-buli atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5

dan 7. Terapi ini juga dilakukan secara endoskopik yaitu dengan menyayat

memakai alat seperti yang dipakai pada TURP tetapi memakai alat pemotong

yang menyerupai alat penggaruk, sayatan dimulai dari dekat muara ureter

sampai dekat ke verumontanum dan harus cukup dalam sampai tampak kapsul

prostat.1.3

d. Tindakan Invasif Minimal

a. Trans Urethral Microwave Thermotherapy (TUMT)

Cara memanaskan prostat sampai 44,5°C – 47°C ini mulai

diperkenalkan dalam tiga tahun terakhir ini. Dikatakan dengan memanaskan

kelenjar periuretral yang membesar ini dengan gelombang mikro

(microwave) yaitu dengan gelombang ultarasonik atau gelombang radio

kapasitif akan terjadi vakuolisasi dan nekrosis jaringan prostat, selain itu juga

akan menurunkan tonus otot polos dan kapsul prostat sehingga tekanan uretra

menurun sehingga obstruksi berkurang.3,5

Prinsip cara ini ialah memasang kateter semacam Foley dimana

proximal dari balon dipasang antene pemanas yang baru dipanaskan dengan

gelombang mikro melalui kabel kecil yang berada didalam kateter.


Pemanasan dilakukan antara 1-3 jam. Dengan cara pengobatan ini dengan

mempergunakan alat THERMEX II diperoleh hasil perbaikan kira-kira 70-

80% pada symptom obyektif dan kira-kira 50-60% perbaikan pada flow rate

maksimal. Mekanisme yang pasti mengenai efek pemanasan prostat ini belum

semuanya jelas, salah satu teori yang masih harus dibuktikan ialah bahwa

dengan pemanasan akan terjadi perusakan pada reseptor alpha yang berada

pada leher vesika dan prostat.Cara kerja TUMT ialah antene yang berada pada

kateter dapat memancarkan microwave kedalam jaringan prostat. Oleh karena

temperature pada antene akan tinggi maka perlu dilengkapi dengan surface

costing agar tidak merusak mucosa ureter. Dengan proses pendindingan ini

memang mucosa tidak rusak tetapi penetrasi juga berkurang.3,5

b. Trans Urethral Ballon Dilatation (TUBD)

Dilatasi uretra pars prostatika dengan balon ini mula-mula dikerjakan

dengan jalan melakukan commisurotomi prostat pada jam 12.00 dengan jalan

melalui operasi terbuka (transvesikal). Konsep dilatasi dengan balon ini ialah

mengusahakan agar uretra pars prostatika menjadi lebar melalui mekanisme

prostat di tekan menjadi dehidrasi sehingga lumen uretra melebar, kapsul

prostat diregangkan, tonus otot polos prostat dihilangkan dengan penekanan

tersebut dan reseptor alpha adrenergic pada leher vesika dan uretra pars

prostatika dirusak.3,5
c. Trans Urethral Needle Ablation (TUNA)

Yaitu dengan menggunakan gelombang radio frekuensi tinggi untuk

menghasilkan ablasi termal pada prostat. Cara ini mempunyai prospek yang

baik guna mencapai tujuan untuk menghasilkan prosedur dengan perdarahan

minimal, tidak invasif dan mekanisme ejakulasi dapat dipertahankan.3,5

d. Stent Urethra

Pada hakekatnya cara ini sama dengan memasang kateter uretra, hanya saja

kateter tersebut dipasang pada uretra pars prostatika. Bentuk stent ada yang

spiral dibuat dari logam bercampur emas yang dipasang diujung kateter

(Prostacath). Stents ini digunakan sebagai protesis indwelling permanen yang

ditempatkan dengan bantuan endoskopi atau bimbingan pencitraan. Untuk

memasangnya, panjang uretra pars prostatika diukur dengan USG dan

kemudian dipilih alat yang panjangnya sesuai, lalu alat tersebut dimasukkan

dengan kateter pendorong dan bila letak sudah benar di uretra pars prostatika

maka spiral tersebut dapat dilepas dari kateter pendorong. Pemasangan stent ini

merupakan cara mengatasi obstruksi infravesikal yang juga kurang invasif,

yang merupakan alternatif sementara apabila kondisi penderita belum

memungkinkan untuk mendapatkan terapi yang lebih invasif. Bentuk lain ialah

adanya mesh dari logam yang juga dipasang di uretra pars prostatika dengan

kateter pendorong dan kemudian didilatasi dengan balon sampai mesh logam

tersebut melekat pada dinding uretra.3,5


Kontrol berkala
 Watchfull waiting
Kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui apakah
terdapat perbaikan klinis
 Pengobatan penghambat 5α-reduktase
Dikontrol pada minggu ke-12 dan bulan ke-6
 Pengobatan penghambat 5α-adrenegik
Setelah 6 minggu untuk menilai respon terhadap terapi dengan melakukan
pemeriksaan IPSS uroflometri dan residu urin pasca miksi
 Terapi invasive minimal
Setelah 6 minggu, 3 bulan dan setiap tahun. Selain dilakukan penilaian
skor miksi, juga diperiksa kultur urin
 Pembedahan
Paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui kemungkinan
penyulit.3

KESIMPULAN

Hiperplasia kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna


pada populasi pria lanjut usia. Dengan bertambah usia, ukuran kelenjar dapat
bertambah karena terjadi hiperplasia jaringan fibromuskuler dan struktur epitel
kelenjar (jaringan dalam kelenjar prostat). Gejala dari pembesaran prostat ini terdiri
dari gejala obstruksi dan gejala iritatif.3,9

Penatalaksanaan BPH berupa watchful waiting, medikamentosa, terapi


bedah konvensional, dan terapi minimal invasif. Prognosis untuk BPH berubah-
ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu walaupun gejalanya cenderung
meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki prognosis yang buruk
karena dapat berkembang menjadi kanker prostat. 3,9
DAFTAR PUSTAKA

1. McVary, Kevin T. American Urological Association Guideline:


Management of Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). American Urological
Association Education and Research, Inc. 2010.
2. Edwards, Jonathan L. Diagnostic and Management of Benign Prostatic
Hyperplasia. Ohio: American Family Physician; 2008. 1403-1410
3. Purnomo, Basuki B. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Kedua. Jakarta :
Sagung Seto. 2011.
4. Kozar Rosemary A, Moore Frederick A. Schwartz’s Principles of Surgery
8th Edition. Singapore: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005
5. Sjamsuhidajat R, De Jong W. Tumor Prostat. Dalam: Buku ajar Ilmu Bedah,
EGC, Jakarta, 1997; 2008. 1058-64.
6. Sarma. Aruna V. Benign Prostatic Hyperplasia and Lower Urinary Tract
Symptoms. The Department of Urology, University of Michigan, Ann
Arbor. 2012.
7. Senagore, Anthony J. The Gale Encyclopedia of Surgery Vol. 2. USA: Gale;
2004. 1041-1045
8. Rahardjo, J. Rahardjo, J. Prostat Hipertropi. Dalam : Kumpulan Ilmu Bedah.
Binarupa aksara, Jakarta ; 2005.160-169.
9. Lepor, Herbert. Pathophysiology, Epidemiology, and Natural History of
Benign Prostatic Hyperplasia. US: PMC. 2004.

Anda mungkin juga menyukai