Oleh :
GILANG ZAENI PERTIWI
NIM 180130100011005
GELOMBANG V / KELOMPOK II
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan berkat dan
pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kegiatan PPDH Rotasi
Interna Hewan Kecil di Klinik Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Brawijaya Malang. Laporan ini merupakan salah satu bukti dan syarat penulis telah
melaksanakan rotasi Interna Hewan Kecil. Dengan rasa hormat dan ketulusan hati penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drh. Viski Fitri Hendrawan, M.Vet, selaku dosen koordinator rotasi Interna Hewan
Kecil yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan kepada penulis.
2. Dr. Ir. Sudarminto Setyo Yowono, M.App.Sc, dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya.
3. drh. Wawid Purwatiningsih, M.Si, koordinator PPDH FKH UB.
4. Keluarga penulis Bapak dan Ibu serta kakak –kakak penulis yang telah membantu baik
doa, moral maupun materi.
5. Teman-teman kelompok 2 dan PPDH Gel 12 yang telah memberikan semangat dan
kerjasamanya dalam menyelesaikan rotasi ini
Akhir kata, semoga laporan ini bermanfaat bagi para pembaca dan memberikan ilmu
yang bermanfaat.
Penulis
LEMBAR PENGESAHAN ROTASI INTERNA HEWAN KECIL
SUB-ROTASI BEDAH DAN RADIOLOGI
yang dilaksanakan di
KLINIK HEWAN DAN RUMAH SAKIT HEWAN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Oleh :
GILANG ZAENI PERTIWI
NIM. 180130100011005
Menyetujui,
Oleh :
GILANG ZAENI PERTIWI, S.KH
180130100011005
1.3 TUJUAN
Dilaksanakannya bedah enterotomi pada anjing ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui prosedur pre-operasi enterotomi pada anjing
2. Mengetahui pelaksanaan prosedur operasi enterotomi pada anjing
3. Mengetahui penanganan pasca operasi enterotomi pada anjing
1.4 MANFAAT
Pelaksanaan kegiatan Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) rotasi Interna
Hewan Kecil (IHK) adalah mampu melakukan persiapan sebelum operasi, prosedur
operasi, serta penanganan pasca operasi pada bedah enterotomi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ENTEROTOMY
Enterotomi adalah suatu tindakan penyayatan pada usus yang bertujuan untuk
mengangkat benda asing atau kemungkinan adanya gangren pada usus (Yusuf, 1995).
Benda asing yang ditemukan itu sangat bervariasi seperti kulit yang keras, kain, jarum
besi, kawat, seng, rambut, tulang yang keras dan lain-lain yang akan menyebabkan
obstruksi pada usus. Indikasi dilakukannya enterotomi yang lain adalah dilakukannya
biopsi, pengambilan benda asing (corpus alienum), serta pemeriksaan lumen (Fossum,
1997). Untuk mendiagnosa adanya benda asing pada saluran pencernaan tidak mudah
tetapi dengan pemeriksaan rontgen dapat membantu diagnosa (Ibrahim,2000).
Enterotomi dapat dilakukan jika pulsasi masih ada, jaringan tidak mengalami
nekrosis, elastisitas usus masih baik dan warna jaringan masih muda (Yudhi, 2010).
Penyayatan dilakukan pada daerah dengan sedikit inervasi pembuluh darah. Penyayatan
pada enterotomi sebaiknya tidak terlalu lebar, hal ini dikarenakan jaringan pada usus
sangat lunak, lembut dan mudah robek. Apabila sayatan terlalu lebar maka akan
mempersulit pada saat penjahitan. Sayatan dilakukan secukupnya atau jika terdapat
benda asing pada lumen usus, sayatan sebaiknya sepanjang benda asing yang akan
dikeluarkan dengan benda asing tersebut digunakan sebagai tumpuan saat menyayat.
Cabang celiac dan arteri mesenterika (Gambar 2.2) mensuplai usus halus.
Kelenjar getah bening mesenterik terletak di sepanjang pembuluh di mesenterik. Lapisan
dinding usus terdiri dari mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa. Mukosa
merupakan barier penting yang memisahkan luminal dari cavitas abdominal. Kesehatan
mucosal dan suplai darah usus penting untuk sekresi normal usus dan absorpsi. Lapisan
submukosa terdiri dari pembuluh darah, limfatik, dan saraf. Ini adalah lapisan kekuatan
tarik terbesar. Muskularis diperlukan untuk motilitas normal. Serosa penting untuk
membentuk penyambungan secara cepat di tempat cedera atau incisi (Fossum, 2013).
Kontraksi dari luka dan remodeling kolagen terjadi pada fase ini.
Kontraksi luka terjadi akibat aktivitas miofibroblas yakni fibroblas yang
mengandung mikrofilamen aktin intraselular. Pada fase ini, kolagen tipe III
digantikan kolagen I secara gradual dengan bantuan matrix metalloproteinase
(MMP) yang disekresi oleh fibroblas, makrofag dan sel endotel (Gurtner, 2007)
dan terjadinya keseimbangan sintesis dan degradasi kolagen. Kolagen yang
berlebihan didegradasi oleh enzim kolagenase lalu diserap. Sisanya akan
mengerut sesuai tegangan yang ada. Hasil akhir berupa jaringan parut yang
pucat, tipis, lemas dan mudah digerakkan dari dasarnya. Kolagen awalnya
tersusun secara tidak beraturan dan mengubah lisin menjadi hidroksilisin dengan
bantuan lysyl hydroxylase yang dianggap bertanggung jawab terhadap
terjadinya cross-linking antar kolagen. Cross-linking ini menyebabkan tensile
strength terjadi sehingga luka tidak mudah terkoyak lagi.
Tensile strength akan bertambah secara cepat dalam 6 minggu pertama,
kemudian akan bertambah perlahan selama 1-2 tahun. Pada umumnya tensile
strength pada kulit dan fascia tidak akan pernah mencapai 100%, namun hanya
sekitar 80% dari normal (Hidayat, 2013) Metaloproteinase matriks yang
disekresi oleh makrofag, fibroblas dan sel endotel akan mendegradasi kolagen
tipe III. Kekuatan jaringan parut bekas luka akan semakin meningkat akibat
berubahnya tipe kolagen dan terjadinya crosslinking jaringan kolagen. Pada
akhir fase remodeling, jaringan baru hanya akan mencapai 70% kekuatan
jaringan awal (Gurtner, 2007).
Operasi dimulai dengan melakukan insisi pada kulit bagian linea median
dari umbilicus ke caudal sepanjang kurang lebih 5 – 6cm. Dilanjutkan dengan membuka
subcutan lalu dipreparasi tumpul sampai menemukan linea alba. Setelah linea alba
ditemukan dilakukan irisan kecil dibantu dengan pinset anatomis untuk memfiksasi agar
tepat dilinea alba. Irisan diperpanjang dengan gunting tajam-tumpul dengan bagian
tumpulnya berada di dalam abdomen agar tidak merusak organ dalamnya.dan terakhir
peritoneum yang tipis. Insisi dilakukan pada linea alba dengan menggunakan blade pada
scalpel. Tepi insisi dikuakkan dengan menggunakan clamp sehingga rongga abdomen
terekspose.
Kemudian organ intestinum dikeluarkan dari rongga abdomen dimana bagian
kiri dan kanan yang akan disayat dijepit dengan jari tangan co-operator agar tidak
merusak jaringan usus (Gambar 2.5a). Insisi pada dinding usus dilakukan pada daerah
dimana vaskularisasinya sedikit sampai terlihat bagian lumen usus. Usahakan agar usus
tetap dalam keadaan basah dengan cara mebilas dengan NS.
Gambar 2.5 Enterotomi a, b, c insisi dinding usus; d menutup dinding usus (Sumber:
Fossum, 2013)
Penutupan dinding usus lapisan mucosa dijahit dengan simple continous dan
dinding usus lapisan serosa dijahit dengan pola jahitan simple interrupted dengan
menggunakan benang catgut chromic. Sebelum rongga abdomen ditutup, dilakukan uji
kebocoran pada sambungan usus yang berfungsi untuk memastikan tidak adanya
kebocoran atau kebuntuan pada daerah jahitan dengan cara memasukkan cairan NaCl
fisiologis kedalam lumen usus untuk uji kebocoran kemudian memasukan larutan
penstrep kedalam lumen usus pada daerah jahitan, untuk mencegah infeksi sekunder.
Setelah jahitan selesai, usus dikembalikan kedalam rongga abdomen pada
posisinya semula dan masukkan larutan penstrep kedalam rongga abdomen untuk
meminimalisir kemungkinan terjadi kontaminasi. Bersihkan bagian usus dan seluruh
abdomen jika terjadi kontaminasi. Tempatkan omentum di atas garis jahitan sebelum
menutup bagian perut (Fossum,2002).
Penutupan dinding abdomen dimulai dengan penjahitan linea alba dan
peritoneum dengan pola jahitan simple interrupted menggunakan benang catgut
chromic. Muskulus dan subcutan dijahit dengan pola simple continuous menggunakan
benang catgut chromic, dan kemudian kulit dijahit simple interrupted menggunakan
benang vicryl. Bagian yang dijahit tersebut kemudian dibersihkan dengan povidone
iodine.
4.1 HASIL
SINYALEMEN HEWAN
a b
Gambar 4.1 Tahap pembersihan area abdomen a) pemberian povidone
iodine; b) pembersihan secara sirkuler
Dilakukan pemasangan duk dan difiksasi dengan duk clamp pada area midline
abdomen yang akan diinsisi untuk membantu insisi tetap lurus. Tahap pertama,
dilakukan insisi pada daerah midline dari abdomen dari umbilicus ke caudal sepanjang
kurang lebih 5 – 6cm (Gambar 4.2a). Dilanjutkan dengan membuka subkutan (Gambar
4.2b) lalu dipreparasi tumpul sampai menemukan linea alba. Setelah linea alba
ditemukan dilakukan irisan kecil dibantu dengan pinset anatomis untuk memfiksasi agar
tepat dilinea alba. Irisan diperpanjang dengan gunting tajam-tumpul dengan bagian
tumpulnya berada di dalam abdomen agar tidak merusak organ dalamnya.dan terakhir
peritoneum yang tipis. Insisi dilakukan pada linea alba dengan menggunakan blade pada
scalpel. Tepi insisi dikuakkan dengan menggunakan allis tissue forceps sehingga rongga
abdomen terekspose.
a b
Gambar 4.2 Insisi kulit dan preparasi subkutan hingga muskulus a) insisi kulit;
b) insisi subkutan
Setelah rongga abdomen terespose dilanjutkan eksplorasi untuk menemukan
organ intestinal dengan menggunakan jari tangan. Setelah mulai teraba bagian
mesenterium dan usus dikeluarkan dari rongga abdomen Gambar 4.3a) dengan bagian
sekitarnya dialasi kassa yang telah diberi NS untuk menjaga kelembaban dari organ dan
meminimalisir kontaminasi dari duk. Kemudian mengekspose usus dari mesenterium
(Gambar 4.3b) untuk mempermudah mencari lokasi untuk dilakukan insisi. Setelah usus
terespose jelas, mencari bagian dari usus yang jauh dari vaskularisasi (Gambar 4.3c).
a b
c d
e
Gambar 4.3 Mengekspose small intestine a) small intestine beserta mesenterium; b)
jejunum; c) fiksasi bagian yang akan diinsisi jauh dari vaskularisasi; d)
enterotomi; e) pasca penjahitan daerah insisi
Bagian usus difiksasi yang akan dilakukan insisi dengan mengapit area yang
akan diinsisi dengan menggunakan jari cooperator dengan sedikit ditarik agar insisi
tetap lurus. Mulai dilakukan insisi pada usus sampai menembus bagian lumen
sehingga lumen usus terespose (Gambar 4.3d) dengan panjang insisi 4-5cm. setelah
dilakukan proses enterotomi, bagian insisi ditutup kembali dengan penjahitan.
Selama proses operasi, usus selalu dijaga kelembabannya dengan meneteskan NS.
Proses penjahitan dilakukan dengan menggunakan benang PGA ukuran 0 dan jarum
bulat agar tidak mengiritasi dengan pola simple continues dilanjutkan simple
interrupted pada bagian sela-sela jahitan simple continues agar lebih rapat (Gambar
4.3e). Setelah proses penjahitan bagian yang diinsisi selesai dilanjutkan tes
kebocoran dengan menginjeksi NS ke dalam daerah insisi untuk memastikan bahwa
daerah insisi sudah terjahit dengan rapat bersamaan memfiksasi usus dengan jari
tangan cooperator agar NS yang diinjeksikan tidak mengalir di dalam usus. Setelah
dipastikan tidak bocor dilanjutkan injeksi antibiotik untuk meminimalkan terjadinya
infeksi pada mukosa usus.
Setelah usus dipastikan tidak ada kebocoran, usus diposisikan ke posisi
semula dengan dibungkus mesenterium kembali serta ditetesi NS dan antibiotik.
Dimulai penutupan rongga abdomen dengan penjahitan peritoneum menggunakan
benang catgut chromic ukuran 3-0 menggunakan jarum tapper/tajam dengan pola
simple interrupted (Gambar 4.4a). Setelah peritoneum dipastikan terjahit rapat
dilanjutkan menjahit muskulus menggunakan benang catgut chromic ukuran 3-0
dan jarum tapper/tajam dengan pola jahitan simple continues dikombinasi simple
interrupted (Gambar 4.4b). Kemudian penjahitan secara intradermal (Gambar 4.4c)
menggunakan benang catgut chromic ukuran 3-0 dan jarum tepper/tajam. Lapisan
terakhir berupa kulit (Gambar 4.4d) dilakukan penjahitan menggunakan benang silk
dan jarum tapper/tajam dengan pola simple continues. Setiap lapisan yang dijahit
selalu ditetesi antibiotik untuk meminimalisir terjadinya infeksi. Setelah semua
lapisan selesai dijahit, area jahitan diberi povidone iodine dan salep gentamycin
dilanjutkan dengan pemasangan perban dan gurita agar daerah insisi tidak dijilat dan
digigiti oleh hewan.
a b
c d
Setelah proses bedah enterotomi selesai, mulai dilakukan pelepasan duk clamp
dan duk serta tali yang digunakan untuk memfiksasi hewan selama proses operasi.
Hewan diistirahatkan dalam kandang dengan menjaga suhu hewan sampai stabil, jika
hewan mengalami hipotermi maka dilakukan tindakan dengan memberikan kehangatan
pada hewan menggunakan lampu infrared/ lampu pijar/ kantong berisi air panas yang
diletakkan disekitar hewan. Selain itu diinjeksi ketoprofen secara intramuskuler
(Gambar 4.5) sebagai analgesik termasuk dalam golongan Non Steroid Antiinflamation
Drug (NSAID)
Gambar 4.5 Injeksi ketoprofen secara intramuskuler
4.3 OBAT-OBATAN
Anjing dilakukan pemberian premedikasi yaitu Atropin Sulfat (dosis 0.025
mg/kg BB). Tujuan pemberian premedikasi untuk menenangkan hewan, merelaksasi
otot sehingga terjadi immobilisasi dan hiporefleksi, memberikan analgesik
(menghilangkan rasa sakit), memperoleh induksi anestesi yang perlahan dan aman,
stadium anestesi yang stabil dan pemulihan dari anestesi yang baik, serta mengurangi
dosis obat anestesi sehingga efek samping dapat dikurangi (Boden, 2005).
Atropine sulfat merupakan obat premedikasi golongan antikolinergik dimana
keuntungannya adalah mengurasi sekresi kelenjar saliva terutama bila dipakai obat
anestetik yang menimbulkan hipersekresi kelenjar saliva. Menurunkan keasaman
lambung, menghambat bradikardi, menurunkan motilitas intestinal, dan menyebabkan
bronchodilatasi (Boothe, 2001, Sardjana dan Kusumawati, 2004). Atropn sulfat
merupakan obat yang dapat memblokir kerja syaraf parasimpatik yang memberi efek
mengurangi aktivitas traktus digestivus, menekan urinasi dan aksi nervus vagus tetapi
menimbulkan peningkatan kecepatan metabolism, peningkatan denyut jantung,
nbradikardia atau takikardia serta dilatasi pupil (Lane and Copper, 2003).
Acepromazine tergolong phenothiazine yang berwarna kuning, tidak berbau,
rasanya pahit dan berbentuk bubuk dan cair (Plumb 2008). Menurut Mckelvey dan
Wayne (2003) ada tiga macam kelas sedasi (tranquilizer) yang digunakan dalam
kedokteran hewan yaitu phenothiazine, benzodiazepine dan alpha-2 agonist. Golongan
ini bekerja pada susunan syaraf pusat dan menghasilkan efek penenang pada hewan.
Obat-obat ini dapat juga menyebabkan ataksia, dan prolapsus membran niktitan.
Pemberian phenothiazine dapat melalui per oral, intra muscular, intra vena dan
subkutan. Efek yang ditimbulkan golongan phenothiazine antara lain sedasi, antiemetik,
antiaritmia, antihistamin, vasodilatasi pembuluh darah, perubahan perilaku dan prolaps
penis pada kuda. Efek samping acepromazine yaitu hipotensi, anemia dan dehidrasi.
Pada kuda dan anjing ras boxer penggunaan acepromazine sebaiknya dihindari.
Acepromazine digunakan sebagai transquilizer pada anjing, kucing dan kuda.
Acepromazine bersifat anti-kholinergik, anti-emetik, antispasmodik, antihistamin, dan
memblok alpha-adrenergik. Acepromazine menyebabkan hipotensi dan menurunkan
vasomotorik. Dapat juga berpengaruh terhadap respirasi, denyut jantung dan suhu tubuh
(Forney 2004).
Acepromazine mempunyai potensi untuk memblok postsinapsis reseptor
dopamin. Dopamin terutama berfungsi sebagai penghambat aktivitas otak (Adams
2008). Acepromazine mendepres susunan syaraf pusat (CNS) sehingga menghasilkan
efek sedasi, relaksasi otot, dan menurunkan aktifitas refleks. Selain itu efek lainnya
adalah anti kholinergik, antihistamin dan memblok alpha-adrenergik. Acepromazine
dimetabolisme di hati dan diekskresi melalui urin. Acepromazine jangan digunakan pada
hewan yang lemah, betina bunting, breed giant, greyhound, dan boxer. Hasil penelitian
menyatakan pada pengerat acepromazine menyebabkan embryotoxycity. Phenothiazine
tidak boleh digunakan pada hewan yang mempunyai depresi tulang belakang (Crowell-
Davis dan Murray 2005). Acepromazine onsetnya 15 sampai dengan 60 menit setelah
pemberian dan durasinya antara 3 sampai dengan 7 jam pada anjing dan kucing.
Ketamin merupakan disosiatif anestetikum yang mempunyai sifat analgesik,
anastetik, dan kataleptik dengan kerja singkat (Gunawan et al. 2009). Ketamin
diklasifikasikan sebagai anestesi disosiatif karena penderita tidak sadar dengan cepat,
namun mata tetap terbuka tapi sudah tidak memberikan respon rangsangan dari luar.
Dalam anestesi hewan, ketamin sering digunakan pada kucing, anjing, kelinci, tikus, dan
beberapa hewan kecil lainnya untuk pemberian efek anestesi dan analgesik. Ketamin
juga sering digunakan atau di kombinasikan dengan obat penenang agar menghasilkan
anastesi seimbang dan analgesia, serta sebagai infus tingkat konstan yang membantu
mencegah rasa sakit (Hilbery et al.1992).
Efek anestesi dari ketamin terjadi oleh adanya penghambatan efek membran dan
neurotransmitter eksitasi asam glutamat pada reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA).
Tahapan anestesinya diawali dengan terjadinya disosiasi mental pada 15 detik pertama,
kadang sampai halusinasi. Keadaan inilah yang dikenal sebagai anestesi disosiatif.
Anestesi disosiatif ini sering disertai keadaan kataleptik berupa dilatasi pupil, salivasi,
lakrimasi, gerakan-gerakan tungkai spontan, dan peningkatan tonus otot. Sifat analgesik
ketamin sangat kuat untuk sistem somatik, tetapi lemah untuk sistem viseral. Ketamin
tidak menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya sedikit
meninggi. Ketamin juga tidak menimbulkan terjadinya relaksasi otot sehingga dapat
menyebabkan kekejangan dan depresi ringan pada saluran respirasi. Refleks faring dan
laring tetap normal atau sedikit meninggi pada anestesi yang menggunakan ketamin.
Pada dosis anestesi yang tepat, ketamin bersifat merangsang, sedangkan pada dosis yang
tinggi ketamin akan menekan respirasi. Untuk mengurangi efek samping ketamin, pada
penggunaannya sering dikombinasikan dengan obat premedikasi seperti diazepam,
midazolam, medetomidin, atau xylazin (Gunawan et al.2009). Pada kasus ini digunakan
kombinasi ketamine-xylazine.
Xylazin menyebabkan penekanan sistem saraf pusat yang diawali dengan sedasi
kemudian pada dosis lebih tinggi digunakan untuk hipnotis, sehingga akhirnya hewan
menjadi tidak sadar atau teranestesi. Dalam anestesi hewan, xylazin biasanya paling
sering dikombinasikan dengan ketamin. Obat ini bekerja pada reseptor presinaptik dan
postsinaptik dari sistem saraf pusat dan perifer sebagai agonis sebuah adrenergik.
Xylazin menimbulkan efek relaksasi muskulus sentralis. Selain itu, xylazin juga
mempunyai efek analgesia, xylazin dapat menimbulkan kondisi tidur yang ringan
sampai kondisi narkosis yang dalam, tergantung dari dosis yang diberikan untuk
masing-masing spesies hewan (Mentari, 2013).
Menurut Adams (1992), á2 adrenoreseptor agonis mengerahkan efek
penghambatan pada fungsi sistem saraf pusat. Hal ini menyebabkan aktivitas saraf
simpatis menurun sehingga menurunkan frekuensi denyut jantung dan tekanan darah,
serta menurunkan tingkat kewaspadaan. Pada otot polos pembuluh darah arteri organ
dan vena abdomen ditemukan á2 adrenoreseptor. Ketika á2 adrenoreseptor diaktifkan
dapat menyebabkan vasokonstriksi. Selain itu, á2 adrenoreseptor dijumpai juga pada
sistem kardiovaskuler, sistem respirasi, sistem saraf pusat, ginjal, sistem endokrin, dan
trombosit. Pemberian xylazin sebagai preanestesi dapat memperpanjang durasi
analgesia, mengurangi dosis anestesi dan memperpendek efek pemulihan.
Efek xylazin pada dosis yang tinggi dapat menekan respirasi sehingga terjadi
volume tidal dan respirasi rata-rata (Plumb, 1991). Perubahan yang cukup jelas terlihat
pada sistem kardiovaskular. Xylazin tidak dianjurkan pada hewan yang menerima
epinefrin, penyakit jantung, darah rendah, penyakit ginjal dengan atau jika hewan sangat
lemah (Ramadhani 2013). Xylazin dapat menyebabkan gejala bradikardia, aritmia,
peningkatan tekanan sistem saraf pusat, pengurangan sistem sistolik, depresi respirasi
(pengurangan frekuensi respirasi dan volume respirasi permenit) serta hipertensi yang
dapat diikuti dengan hipotensi. Selain itu, xylazin memiliki efek farmakologis yang
terdiri dari penurunan cardiac output dimana terjadi penurunan setelah kenaikan awal
pada tekanan darah, dalam perjalanan efeknya vasodilatasi tekanan darah (menyebabkan
bradikardia), vomit, tremor, motilitas menurun, tetapi kontraksi uterus meningkat (pada
betina) bahkan dapat mempengaruhi keseimbangan hormonal seperti menghambat
produksi insulin dan antidiuretic hormone (ADH). Xylazin juga menghambat efek
stimulasi saraf postganglionik. Pengaruh xylazin dapat dihilangkan dengan
menggunakan antagonis reseptor adrenergik, misalnya atipamezole, yohimbine, dan
tolazoline (Sardjana, 2003).
Pada anjing dan kucing khususnya, xylazin dapat merangsang pusat muntah
sehingga obat tersebut digunakan sebagai obat emetik. Xylazin juga biasanya dapat
menyebabkan peningkatan urinasi pada kucing. Xylazin tidak boleh digunakan pada
pasien atau hewan dengan hipersensivitas atau alergi terhadap obat tersebut. Pada
ruminansia, xylazin dapat menyebabkan hipersalivasi, meningkatkan resiko pneumonia
pernafasan, tetapi hal tersebut dapat dihentikan oleh atropin. Untuk spesies lain, xylazin
menghambat aliran saliva (Sardjana, 2003).
Setelah diberi anastesi, hewan juga diberi antibiotik berupa ampicilin (dosis 15
mg/kg BB, IM) dan Terramicin® salep. Terramicin® salep pada mata bertujuan untuk
mencegah adanya iritasi dan ulser kornea, mengingat pemberian anastesi akan
menyebabkan mata menjadi kering. Sedangkan, Ampicilin diberikan untuk mencegah
infeksi sekunder saat operasi berlangsung. Ampicilin merupakan suatu turunan penisilin
semi sintetis bersifat bakterisida terhadap sejumlah besar mikroorganisme gram positif
dan negative. Kerja Ampicilin adalah dengan mengikat penicillin binding protein akan
merusak sintesis dinding sel bakteri, mengurangi kekuatan dinding sel bakteri, yang
mencegah untuk terjadinya pembelahan sel, pertumbuhan ataupun membentuk suatu
formasi perlindungan (Ramsey, 2011).
Pengobatan post operasi yang digunakan pada anjing Diana adalah antibiotic
ampicilin dengan dosis 15 mg/kg BB, q12h, selama 5 hari, analgesik ketoprofen dengan
dosis 2 mg/kg BB, q24h, 5 hari secara per oral, pakan recovery, dan salep gentamicin
untuk luka jahitannya. Pemberian antibiotik diberikan pada H+1 pasca operasi,
dikarenakan anjing telah mendapatkan antibiotik pada saat pre operasi. Antibiotik
dilanjutkan dengan pemberian oral selama 5 hari. Antibiotik Ampicilin diberikan karena
dapat membunuh bakteri dengan berbagai spesies dengan cara menghambat sintesis
dinding sel. Antibiotik ini bersifat bakteriosidal dengan menghambat sintesis
mucopeptide pada dinding sel yang menghasilkan rusaknya barrier dan terjadi
ketidakseimbangan osmotik. Antibiotik beta laktam dapat berikatan dengan beberapa
enzim (carboxypeptidase, transpeptidase, endopeptidase) yang terdapat didalam
membran sitoplasma bakteria. Perbedaan afinitas pada antibiotik beta laktamase
terhadap beberapa enzim menunjukkan perbedaan spektrum kerja obat (Plumb, 2008).
Gentamisin adalah golongan aminoglikosida yang dapat menghambat sintesis
protein bakteri dan membutuhkan lingkungan yang kaya oksigen agar efektif, sehingga
tidak efektif di lokasi rendah oksigen (abses, eksudat). Obat ini bersifat bakterisidal dan
mekanisme pembunuhannya bergantung pada konsentrasi. Obat ini aktif terhadap
bakteri Gram-negatif, tetapi juga sensitive pada beberapa spesies staphylococcal dan
streptococcal (Streptococcus faecalis). Resisten terhadap semua bakteri anaerob obligat
dan banyak streptokokus hemolitik. Penggunaan pada hewan peliharaan dibatasi oleh
nefrotoksisitas Pemberian ketoprofen berfungsi sebagai antiinflamasi, analgesik, dan
antipiretik. Ketoprofen diberikan ketika suhu tubuh mulai stabil, karena memiliki
aktivitas antipiretik. Ketoprofen bekerja seperti non steroid antiinflamatory drug lainnya
yaitu dengan menghambat sintesis cyclooxygenase dari asam arakidonat menjadi
prostaglandin di jaringan. Pemberian ketoprofen hanya h+1 lalu selanjutnya diberikan
tolfedine 4mg/kgBB q24h selama 3 hari. Tolfenamic acid bekerja dengan penghambatan
siklo-oksigenase. Penghambatan COX membatasi produksi prostaglandin yang terlibat
dalam peradangan. Juga dilaporkan memiliki aksi antagonis langsung pada reseptor
prostaglandin. Obat ini digunakan untuk mengurangi peradangan dan rasa sakit pada
anjing dan sebagai antipiretik (BSAVA, 2014).
WAKTU I
PARAMETER PRE- 0' 5' 10' 15' 20' 25' 30' 35' 40' 45' 50' 55' 60'
ANESTESI
RESPIRASI
(x/menit) 32 36 56 64 60 60 48 52 40 28 32 36 28 32
DENYUT
JANTUNG 100 120 128 132 116 132 116 124 96 80 76 86 86 72
(x/menit)
TEMPERATUR 38.1 38.6 38.5 38.3 38.3 38.1 37.4 37.5 37.1 36.9 36.9 36.7 36.4 36.3
WAKTU II
PARAMETER PRE- 65' 70' 75' 80' 85' 90' 95' 100' 105' 110' 115' 120' 125'
ANESTESI
RESPIRASI 32 28 32 28 32 36 36 36 32 36 36 40 44
(x/menit)
DENYUT 68 68 62 58 58 64 60 58 56 62 66 76 76
JANTUNG
(x/menit)
TEMPERATUR 35.9 35.7 34.5 34.6 35 34.6 34.5 34.8 34.6 33.9 33.7 34 33.8
WAKTU III
PARAMETER PRE- 130' 135' 140' 145' 150' 155' 160' 165' 170' 175' 180' 185' 190'
ANESTESI
RESPIRASI 40 48 32 32 32 24 24 24 28 24 24 24 32
(x/menit)
Baldwin K. 2001b. Fluid Therapy for the companion animal. Atlantic coast
veteriner conference (ACVC). http://www.vin.com. (diakses tanggal
akses 3 Desember 2019)
Boothe HW. 2012. Instrument and tissue handling techniques. Dalam: Tobias
KM, Johnston SA, eds. Veterinary Surgery: Small Animal. St. Louis,
MO: Elsevier Saunders. Hlm. 201-213.
Done SH, Goody PC, Evans SA, Stickland NC. 2009. Color Atlas of Veterinary
Anatomy, The Dog and Cat. 3rd Edition. Missouri: Elsevier.
Fossum, T.W. 2002. Small Animal Surgery Second Edition. C.V. Mosby. St
Louis
Fossum, T.W. 2013. Small Animal Surgery Fifth Edition. C.V. Mosby. St Louis
Hall LW. 1983. Fluid therapy and intravenous nutrition. In Dog and Cat
nutrition. Editor ATB Edney. Pergamon Press. New York.
Gurtner LP, Hiatt JL. 2007. Integument in Color Textbook Histology. 3rd ed.
Elsevier Saunders. p: 327-344
Lorenz, H.P., and Longaker, M.T.2009. Surgery Basic Science and Clinical
Evidence, 2 Ed., 191-298, Springer Sciene Bussines Media L. L, C.
Mar Vista Animal Medical Center. 2006. Fluid Therapy. The Cornerstone of
treatment.Http://marvistavet.com (diakses 3 desember 2019)
Plumb, D. C., 2008. Plumb’s Veterinary Drug Handbook 6th edition. The IOWA
State University Press. Ames.
Sudisma, I.G.N., dkk, 2006. Ilmu Bedah Veteriner dan teknik Operasi. Pelawasai
Wilyanto I. 2010. Terapi Cairan: memilih larutan terbaik untuk tiap pasien.
Seminar sehari continuing Education APDHKI Denpasar
Yudhi. 2010. Enterotomi dan Premedikasi serta Anastesi Umum. UGM.
Yogyakarta
Yusuf, I. 1995. Ilmu Bedah Khusus Veteriner. Diktat. Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh
LAPORAN KEGIATAN PPDH
SUB-ROTASI BEDAH DAN RADIOLOGI
yang dilaksanakan di
RUMAH SAKIT HEWAN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
Oleh :
GILANG ZAENI PERTIWI, S.KH
180130100011005
INTERPRETASI RADIOGRAFI
Oleh :
GILANG ZAENI PERTIWI, S.KH
180130100011005