Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN KEGIATAN PPDH

SUB-ROTASI BEDAH DAN RADIOLOGI


RUMAH SAKIT HEWAN PENDIDIKAN DAN
KLINIK HEWAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
KOTA MALANG

Oleh :
GILANG ZAENI PERTIWI
NIM 180130100011005
GELOMBANG V / KELOMPOK II

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan berkat dan
pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kegiatan PPDH Rotasi
Interna Hewan Kecil di Klinik Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Brawijaya Malang. Laporan ini merupakan salah satu bukti dan syarat penulis telah
melaksanakan rotasi Interna Hewan Kecil. Dengan rasa hormat dan ketulusan hati penulis
mengucapkan terima kasih kepada:

1. Drh. Viski Fitri Hendrawan, M.Vet, selaku dosen koordinator rotasi Interna Hewan
Kecil yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan kepada penulis.
2. Dr. Ir. Sudarminto Setyo Yowono, M.App.Sc, dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya.
3. drh. Wawid Purwatiningsih, M.Si, koordinator PPDH FKH UB.
4. Keluarga penulis Bapak dan Ibu serta kakak –kakak penulis yang telah membantu baik
doa, moral maupun materi.
5. Teman-teman kelompok 2 dan PPDH Gel 12 yang telah memberikan semangat dan
kerjasamanya dalam menyelesaikan rotasi ini
Akhir kata, semoga laporan ini bermanfaat bagi para pembaca dan memberikan ilmu
yang bermanfaat.

Malang, Januari 2020

Penulis
LEMBAR PENGESAHAN ROTASI INTERNA HEWAN KECIL
SUB-ROTASI BEDAH DAN RADIOLOGI
yang dilaksanakan di
KLINIK HEWAN DAN RUMAH SAKIT HEWAN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Malang, 2 Desember 2019 – 10 Januari 2020

Oleh :
GILANG ZAENI PERTIWI
NIM. 180130100011005

PPDH Gelombang V Semester Ganjil TA 2018/2019, Kelompok II

Menyetujui,

Koordinstor PPDH Pembimbing Lapang


Rotasi Klinik, Rotasi Klinik,

drh. Viski Fiti Hendrawan, M.Vet drh. Nofan Rickyawan, M.Si


NIP. 19880518 201504 1 003 NIP. 198851116 201803 1 001
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
LAPORAN KASUS BEDAH KELOMPOK PADA ANJING ............................
LAPORAN KASUS BEDAH INDIVIDU RSHP..................................................
LAPORAN INTERPRETASI KASUS RADIOGRAFI RSHP..........................
LAMPIRAN .............................................................................................................
LAPORAN KEGIATAN PPDH
SUB-ROTASI BEDAH DAN RADIOLOGI
yang dilaksanakan di
RUMAH SAKIT HEWAN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

ENTEROTOMY PADA ANJING

Oleh :
GILANG ZAENI PERTIWI, S.KH
180130100011005

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Anjing lokal (Canis familiaris) merupakan salah satu hewan yang dijadikan
sebagai hewan kesayangan dan hobi. Selain mudah ditemukan di lingkungan sekitar,
kepemilikan anjing lokal dipengaruhi perawatannya yang murah, jinak, daya adaptasi
serta kemampuan reproduksi dan mempertahankan diri yang cukup baik dalam
lingkungan. Biasanya pemilik membiarkan anjingnya bebas berkeliaran di lingkungan
sekitar rumah mereka. Pemeliharaan anjing yang dilakukan secara semi intensif ini
memungkinkan benda asing (Corpus alineum) termakan oleh anjing, yang dapat
menyebabkan terjadinya obstruksi saluran cerna sehingga menimbulkan gangguan
terutama pada usus hewan yang bersangkutan. Dalam mendiagnosis adanya benda asing
pada saluran pencernaan diperlukan pemeriksaan radiografi dengan dan tanpa bahan
kontras dapat membantu diagnosis (Boothe, 2012).
Kasus obstruksi usus pada anjing akibat mengkonsumsi pakan yang keras
menunjukkan peningkatan (Capak et al., 2001). Untuk mengeluarkan benda asing
tersebut maka dilakukan prosedur bedah yang disebut enterotomi berupa penyayatan
bagian usus dari mulai serosa sampai ke bagian lumen mukosa. Enterotomi sering
dilakukan pada anjing untuk mengangkat benda asing yang menyebabkan obstruksi usus
(Boothe, 2012).
Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan praktik tindakan OH pada kegiatan
PPDH di Klinik Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya.
Tujuan kegiatan koasistensi kasus bedah kelompok enterotomi pada anjing untuk
mengetahui tata cara melakukan operasi enterotomi pada anjing dan manajemen
perawatan setelah operasi serta melatih dan meningkatkan keterampilan mahasiswa
koasistensi PPDH dalam melakukan operasi.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah yang dapat diambil sebagai
berikut:
1. Bagaimana prosedur pre-operatif bedah enterotomi pada anjing?
2. Bagaimana prosedur bedah enterotomi pada anjing?
3. Bagaimana penanganan pasca operasi setelah bedah enterotomi pada anjing?

1.3 TUJUAN
Dilaksanakannya bedah enterotomi pada anjing ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui prosedur pre-operasi enterotomi pada anjing
2. Mengetahui pelaksanaan prosedur operasi enterotomi pada anjing
3. Mengetahui penanganan pasca operasi enterotomi pada anjing

1.4 MANFAAT
Pelaksanaan kegiatan Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) rotasi Interna
Hewan Kecil (IHK) adalah mampu melakukan persiapan sebelum operasi, prosedur
operasi, serta penanganan pasca operasi pada bedah enterotomi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ENTEROTOMY
Enterotomi adalah suatu tindakan penyayatan pada usus yang bertujuan untuk
mengangkat benda asing atau kemungkinan adanya gangren pada usus (Yusuf, 1995).
Benda asing yang ditemukan itu sangat bervariasi seperti kulit yang keras, kain, jarum
besi, kawat, seng, rambut, tulang yang keras dan lain-lain yang akan menyebabkan
obstruksi pada usus. Indikasi dilakukannya enterotomi yang lain adalah dilakukannya
biopsi, pengambilan benda asing (corpus alienum), serta pemeriksaan lumen (Fossum,
1997). Untuk mendiagnosa adanya benda asing pada saluran pencernaan tidak mudah
tetapi dengan pemeriksaan rontgen dapat membantu diagnosa (Ibrahim,2000).
Enterotomi dapat dilakukan jika pulsasi masih ada, jaringan tidak mengalami
nekrosis, elastisitas usus masih baik dan warna jaringan masih muda (Yudhi, 2010).
Penyayatan dilakukan pada daerah dengan sedikit inervasi pembuluh darah. Penyayatan
pada enterotomi sebaiknya tidak terlalu lebar, hal ini dikarenakan jaringan pada usus
sangat lunak, lembut dan mudah robek. Apabila sayatan terlalu lebar maka akan
mempersulit pada saat penjahitan. Sayatan dilakukan secukupnya atau jika terdapat
benda asing pada lumen usus, sayatan sebaiknya sepanjang benda asing yang akan
dikeluarkan dengan benda asing tersebut digunakan sebagai tumpuan saat menyayat.

2.2 PRINSIP OPERASI


Keuntungan utama dari laparotomi dan enterotomi adalah bahwa (1)
memungkinkan akses ke seluruh saluran pencernaan, (2) memberikan biopsi penuh-
ketebalan, yang penting dalam massa submukosa, dan (3) dapat memeriksa sampel sisa
abdomen. Kerugian utama dari laparotomi adalah bahwa (1) itu adalah teknik yang
paling mahal dan paling invasif (yaitu, itu bukan prosedur rawat jalan), (2) tidak
memungkinkan seseorang untuk mendeteksi lesi mukosa, (3) tidak memungkinkan
untuk mendapatkan sebagai sampel mukosa sebagai Endoskopi fleksibel, dan (4) adalah
mungkin untuk mengambil sampel jaringan nondiagnostic jika teknik yang tepat tidak
diikuti. Pada saat enteretomi dilakukan isolasi intestin dari abdomen dengan handuk atau
laparotomi sponge untuk meminimalisir tumpahan isi dari intestin (Fossum, 2002).
Insisi enterotomi longitudinal dan transversal dapat dilakukan untuk
mengumpulkan sampel biopsi. Beberapa biopsy harus dilakukan dan sampel harus
cukup besar (berdiameter 4 – 5 mm) serta harus mengandung jumlah mukosa yang
memadai. Sebelum dilakukan biopsy harus dilakukan eksplorasi abdomen secara
menyeluruh. Indikasi enterotomi lainnya adalah pengangkatan benda asing dan
pemeriksaan luminal (Fossum, 2013).

2.3 ANATOMI DAN FISIOLOGI


Usus pada anjing (Gambar 2.1) adalah sekitar lima kali panjang tubuh, dengan
80% usus kecil. Duodenum, jejunum, dan usus penyerapan membuat usus kecil.
Duodenum adalah bagian yang paling tetap, dimulai pada pylorus ke kanan midline dan
memanjang sekitar 25 cm. Pada usus duodenum caudal di mana ligamentum
duodenocolic menempel. Duodenum ascending terletak di sebelah kiri akar mesenterik.
Saluran empedu dan saluran pankreas yang umum terbuka dalam beberapa sentimeter
pertama dari duodenum di papila duodenum utama pada anjing. Saluran aksesori
pankreas memasuki caudal di papila duodenum kecil. Jejunum membentuk sebagian
besar dari kumparan usus halus terletak di ventrocaudal abdomen. Ini adalah segmen
terpanjang dan paling mobile dari usus halus. Ileum memiliki pembuluh antimesenterik
dan panjang sekitar 15 cm. Akar dari mesenterium menempel usus jejunum dan ileum
ke dinding tubuh dorsal (Fossum, 2013).

Gambar 2.1 Small intestine pada anjing A) Jejunum; B) Ileum, C) Caecum;


D) ascending colon; E) Right colic flexure; F) Transverse colon; G)
Descending colon; H) Descending duodenum; I) Caudal Flexure of the
Duodenum; J) Ascending Duodenum (Washington State University College
of Veterinary Medicine, 2019)

Cabang celiac dan arteri mesenterika (Gambar 2.2) mensuplai usus halus.
Kelenjar getah bening mesenterik terletak di sepanjang pembuluh di mesenterik. Lapisan
dinding usus terdiri dari mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa. Mukosa
merupakan barier penting yang memisahkan luminal dari cavitas abdominal. Kesehatan
mucosal dan suplai darah usus penting untuk sekresi normal usus dan absorpsi. Lapisan
submukosa terdiri dari pembuluh darah, limfatik, dan saraf. Ini adalah lapisan kekuatan
tarik terbesar. Muskularis diperlukan untuk motilitas normal. Serosa penting untuk
membentuk penyambungan secara cepat di tempat cedera atau incisi (Fossum, 2013).

Gambar 2.2 Arteri mesenterika dan mesenterium (Stickland et al., 2009)

2.4 KESEMBUHAN LUKA


Ada tiga fase dalam proses penyembuhan luka, dimana ketiganya saling tumpang
tindih, yaitu fase inflamasi, proliferasi dan remodeling
(Lorenz, Longaker, 2006). Pada setiap fase penyembuhan tersebut terdapat satu jenis sel
khusus yang mendominasi. Fase awal yakni fase inflamasi dimulai segera setelah
terjadinya suatu cidera, dengan tujuan untuk menyingkirkan jaringan mati dan mencegah
infeksi. Fase proliferasi berlangsung kemudian, di mana akan terjadi keseimbangan
antara pembentukan jaringan parut dan regenerasi jaringan. Fase yang paling akhir
merupakan fase terpanjang dan hingga saat ini merupakan fase yang paling sedikit
dipahami, yaitu fase remodeling yang bertujuan untuk memaksimalkan kekuatan dan
integritas struktural dari luka (Gurtner, 2007).
Pembagian fase penyembuhan luka pada respon normal mamalia yang
mengalami defek akibat kerusakan integritas kulit yang terjadi adalah fase inflamasi,
fase proliferasi dan fase maturasi.
 Fase inflamasi (lag phase)
Pada fase inflamasi terjadi proses hemostasis yang cepat dan dimulainya
suatu siklus regenerasi jaringan (Lorenz, Longaker, 2006). Fase inflamasi
dimulai segera setelah cidera sampai hari ke-5 pasca cidera. Tujuan utama fase
ini adalah hemostasis, hilangnya jaringan yang mati dan pencegahan kolonisasi
maupun infeksi oleh agen mikrobial patogen (Gurtner, 2007).

Gambar 2.3 Fase inflamasi (Gurtner, 2007)


Komponen jaringan yang mengalami cidera, meliputi fibrillar collagen
dan tissue factor, akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik dan mencegah
perdarahan lebih lanjut. Pembuluh darah yang cidera mengakibatkan
termobilisasinya berbagai elemen darah ke lokasi luka. Agregasi platelet akan
membentuk plak pada pembuluh darah yang cidera. Selama proses ini
berlangsung, platelet akan mengalami degranulasi dan melepaskan beberapa
growth factor. Hasil akhir kaskade koagulasi jalur intrinsik dan ekstrinsik adalah
konversi fibrinogen menjadi fibrin (Gurtner, 2007). Berbagai mediator inflamasi
dan produk degradasi bakteri seperti lipopolisakarida (LPS) akan menarik sel
netrofil sehingga menginfiltrasi matriks fibrin dan mengisi kavitas luka. Migrasi
netrofil ke luka juga dimungkinkan karena peningkatan permeabilitas kapiler
akibat terlepasnya serotonin dan histamin oleh mast cell dan jaringan ikat.
Netrofil pada umumnya akan ditemukan pada 2 hari pertama dan berperan
penting untuk memfagositosis jaringan mati dan mencegah infeksi. Keberadaan
netrofil yang berkepanjangan merupakan penyebab utama terjadinya konversi
dari luka akut menjadi luka kronis yang tak kunjung sembuh (Regan, Barbul,
1994; Gurtner, 2007).
Makrofag juga akan mengikuti netrofil menuju luka setelah 48-72 jam
dan menjadi sel predominan setelah hari ke-3 pasca cidera. Debris dan bakteri
akan difagositosis oleh makrofag. Makrofag juga berperan utama memproduksi
berbagai growth factor yang dibutuhkan dalam produksi matriks ekstraseluler
oleh fibroblas dan pembentukan neovaskularisasi. Keberadaan makrofag oleh
karenanya sangat penting dalam fase penyembuhan ini (Gurtner, 2007). Limfosit
dan mast cell merupakan sel terakhir yang bergerak menuju luka dan dapat
ditemukan pada hari ke-5 sampai ke-7 pasca cidera. Peran keduanya masih
belum jelas hingga saat ini (Gurtner, 2007). Fase ini disebut juga lag phase atau
fase lamban karena reaksi pembentukan kolagen baru sedikit, belum ada tensile
strength, di mana pertautan luka hanya dipertahankan oleh fibrin dan fibronektin
(Regan, Barbul, 1994). Sel punca mesenkim akan bermigrasi ke luka,
membentuk sel baru untuk regenerasi jaringan baik tulang, kartilago, jaringan
fibrosa, pembuluh darah, maupun jaringan lain. Fibroblas akan bermigrasi ke
luka dan mulai berproliferasi menghasilkan matriks ekstraseluler. Sel endotel
pembuluh darah di daerah sekitar luka berproliferasi membentuk kapiler baru
untuk mencapai daerah luka. Ini akan menandai dimulainya proses angiogenesis.
Pade akhir fase inflamasi, mulai terbentuk jaringan granulasi yang berwarna
kemerahan, lunak dan granuler. Jaringan granulasi adalah suatu jaringan kaya
vaskuler, berumur pendek, kaya fibroblas, kapiler dan sel radang tetapi tidak
mengandung ujung saraf (Anderson, 2000).
 Fase proliferasi (fibroplasi, regenerasi)
Fase proliferasi berlangsung mulai hari ke-4 hingga hari ke-21 pasca
cidera. Keratinosit yang berada pada tepi luka sesungguhnya telah mulai bekerja
beberapa jam pasca cidera, menginduksi terjadinya reepitelialisasi. Pada fase ini
matriks fibrin yang didominasi oleh platelet dan makrofag secara gradual
digantikan oleh jaringan granulasi yang tersusun dari kumpulan fibroblas,
makrofag dan sel endotel yang membentuk matriks ekstraseluler dan neovaskular
(Gurtner, 2007)
Gambar 2.4 Fase proliferasi (Gurtner, 2007)
Faktor setempat seperti growth factor, sitokin, hormon, nutrisi, pH dan
tekanan oksigen sekitar menjadi perantara dalam proses diferensiasi sel punca
(Anderson, 2000). Regresi jaringan desmosom antar keratinosit mengakibatkan
terlepasnya keratinosit ke daerah luka dan juga bermigrasi secara aktif karena
terbentuknya filament aktin di dalam sitoplasmanya. Akibat interaksinya dengan
protein sekretori, keratinosit bermigrasi melalui perantara integrin spesifik di
antara matriks temporer yang akan digantikan secara bertahap oleh jaringan
granulasi yang kaya fibroblas, makrofag dan sel endotel. Sel tersebut akan
membentuk matriks ekstraseluler dan pembuluh darah baru.Jaringan granulasi
umumnya mulai dibentuk pada hari ke-4 setelah cidera (Lorenz, Longaker,
2006). Fibroblas merupakan sel utama selama fase ini karena menyediakan
kerangka untuk migrasi keratinosit. Makrofag juga akan menghasilkan growth
factor yang akan menginduksi fibroblas untuk berploriferasi, migrasi dan
membentuk matriks ekstraseluler. Matriks temporer akan digantikan secara
bertahap. Sel endotel akan membentuk pembuluh darah baru dan jaringan
granulasi merupakan tanda penting fase proliferasi karena ketiadaannya
pembuluh darah baru dan atau jaringan granulasi merupakan tanda dari
gangguan penyembuhan luka. Setelah kolagen mulai menggantikan matriks
temporer, fase proliferasi mulai berhenti dan fase remodeling mulai berjalan
(Gurtner, 2007). Faktor proangiogenik yang diproduksi makrofag menstimulasi
sel endotel membentuk neovaskular melalui proses angiogenesis. Fibroblas akan
segera menghilang setelah matriks kolagen mengisi kavitas luka dan
pembentukan neovaskular akan menurun melalui proses apoptosis. Kegagalan
regulasi pada tahap ini dianggap penyebab kelainan fibrosis seperti jaringan
parut hipertrofik (Gurtner, 2007).

 Fase maturasi (remodeling)


Fase ketiga dan terakhir adalah fase remodeling. Selama fase ini jaringan
baru yang terbentuk akan disusun sedemikian rupa seperti jaringan asalnya. Fase
maturasi ini berlangsung mulai hari ke-21 hingga sekitar 1 tahun. Fase ini segera
dimulai segera setelah kavitas luka terisi oleh jaringan granulasi dan proses
reepitelialisasi usai. Perubahan yang terjadi adalah penurunan kepadatan sel dan
vaskularisasi, pembuangan matriks temporer yang berlebihan dan penataan serat
kolagen sepanjang garis luka untuk meningkatkan kekuatan jaringan baru. Fase
akhir penyembuhan luka ini dapat berlangsung selama bertahun-tahun (Gurtner,
2007).

Gambar 2.5 Fase remodeling (Gurtner, 2007)

Kontraksi dari luka dan remodeling kolagen terjadi pada fase ini.
Kontraksi luka terjadi akibat aktivitas miofibroblas yakni fibroblas yang
mengandung mikrofilamen aktin intraselular. Pada fase ini, kolagen tipe III
digantikan kolagen I secara gradual dengan bantuan matrix metalloproteinase
(MMP) yang disekresi oleh fibroblas, makrofag dan sel endotel (Gurtner, 2007)
dan terjadinya keseimbangan sintesis dan degradasi kolagen. Kolagen yang
berlebihan didegradasi oleh enzim kolagenase lalu diserap. Sisanya akan
mengerut sesuai tegangan yang ada. Hasil akhir berupa jaringan parut yang
pucat, tipis, lemas dan mudah digerakkan dari dasarnya. Kolagen awalnya
tersusun secara tidak beraturan dan mengubah lisin menjadi hidroksilisin dengan
bantuan lysyl hydroxylase yang dianggap bertanggung jawab terhadap
terjadinya cross-linking antar kolagen. Cross-linking ini menyebabkan tensile
strength terjadi sehingga luka tidak mudah terkoyak lagi.
Tensile strength akan bertambah secara cepat dalam 6 minggu pertama,
kemudian akan bertambah perlahan selama 1-2 tahun. Pada umumnya tensile
strength pada kulit dan fascia tidak akan pernah mencapai 100%, namun hanya
sekitar 80% dari normal (Hidayat, 2013) Metaloproteinase matriks yang
disekresi oleh makrofag, fibroblas dan sel endotel akan mendegradasi kolagen
tipe III. Kekuatan jaringan parut bekas luka akan semakin meningkat akibat
berubahnya tipe kolagen dan terjadinya crosslinking jaringan kolagen. Pada
akhir fase remodeling, jaringan baru hanya akan mencapai 70% kekuatan
jaringan awal (Gurtner, 2007).

2.5 ANESTESI, ANALGESI, PREMEDIKASI, DAN ANTIBIOTIK


Atropine sulfat diberikan dengan dosis untuk anjing 0,02- 0,04 mg/kgBB dapat
dilakukan secara intramuscular, subkutan dan intravena. Atropin sulfat digunakan
sebagai premedikasi anastesi dengan tujuan utama untuk menekan produksi air liur dan
sekresi jalan nafas dan juga mencegah reflek yang menimbulkan gangguan jantung atau
mencegah timbulnya bradikardia (Sardjana dan Kusumawati, 2004). Setelah 10 menit
kemudian dilanjutkan dengan pemberian obat anestesi (Kumar, 1997).
Anestesi yang digunakan adalah ketamine dan xylazine. Dimana ketamin dapat
menimbulkan efek analgesia dan amnesia tetapi relaksasi muskulus yang buruk (Brander
and Pugh, 1977). Dosis untuk anjing sebagai sedasi 0,6 mg/kg IV, IM dan SC (Plumb,
2008). Ketamin dapat menimbulkan efek analgetik visceral dan somatik serta dapat
menghambat pusat rasa sakit (Tenant, 2002). Fungsi respirasi menurun, tetapi akan
meningkatkan kadar gula darah dalam hepar dan tekanan darah. Tidak mengganggu
dalam ekskresi saliva, reflek menelan tetap ada dan mata tetap membuka (Brander et al,
1991). Dosis yang digunakan untuk anjing adalah 10-20 mg/kgBB dimana onset akan
timbul dalam waktu 3-5 menit. Efek dari ketamin dapat bertahan kurang dari 30 menit
tetapi masa rekoveri dapat berlangsung selama 2-6 jam. Dosis tambahan perlu diberikan
30-50 % dari dosis induksi (Sawyer, 1982). Sedangkan, xylazine merupakan obat agonis
reseptor adrenergik alpha 2, sedatif non narkotik paling kuat dan analgesik visceral yang
baik dan menimbulkan relaksasi muskulus (Sawyer, 1982; Tenant, 2002). Efek sedatif
dan analgesik akan mendepres sistem syaraf pusat dan relaksasi muskulus dengan
menghambatan transmisi impuls intraneural. Efek samping dalam penggunaan klinis
adalah terjadi hipertensi, bradikardia dan muntah sehingga perlu diberikan premedikasi
menggunakan Atropine Sulfat.. Efek dari xylazine dapat bertahan selama 1-2 jam
(Sawyer, 1982). Kombinasi antara ketamin dan xylazine memiliki efek lebih pendek jika
dibandingkan dengan pemberian ketamin saja, tetapi kombinasi ini menghasilkan
relaksasi muskulus yang baik tanpa konfulsi. Emesis sering terjadi pasca pemberian
ketamine-xylazine tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian atropine sulfat 15 menit
sebelum pemberian ketamine-xylazine. Efek anastesi akan timbul setelah 10-30 menit
dan kembalinya kesadaran timbul setelah 1-2 jam (Jones and Lumb, 1984).
Antibiotik yang digunakan adalah amoxcillin Amoksisilin merupakan suatu
antibiotik semisintetik penicillin yang memiliki cincin â-laktam memiliki aktivitas
sebagai antibakteri yang disebabkan oleh mikroorganisme yang rentan. Amoksisilin
termasuk antibiotic spektrum luas dan memiliki bioavailabilitas oral yang tinggi, dengan
puncak konsentrasi plasma dalam waktu 1-2 jam sehingga pengkonsumsiannya sering
diberikan kepada anak-anak dan juga orang dewasa. Antibiotik amoksisilin ini juga
dapat digunakan pada terapi pneumonia dan penyakit lain, termasuk infeksi bakteri
(Brander,1991).
Analgesik yang digunakan adalah ketoprofen. Ketoprofen merupakan obat
antiinflamasi non steroid (AINS) turunan asam fenil alkanoat yang bekerja sebagai
antiinflamasi, antipiretik, analgetik, dan digunakan secara luas sebagai antireumatik
(rheumatoid arthritis) (Hosny, 2013). Aktivitas antiinflamasi ketoprofen dihasilkan
melalui inhibisi non selektif pada siklooksigenase dan lipoksigenase (Tripathi, 2008).
Ketoprofen dapat menginhibisi kedua subtipe enzim siklooksigenase, yaitu COX-1 dan
COX-2 (Adachi, 2011). Ketoprofen tidak memiliki potensi adiktif maupun sedasi,
namun praktis tidak larut dalam air serta kecepatan disolusi dan bioavaibilitas yang
rendah. Ketoprofen dapat digunakan secara oral maupun topical. Penggunaan secara
topical dapat dilakukan melalui patch transdermal (Adachi, 2011).

2.6 STADIUM ANESTESI


Anastesi umum adalah suatu kedaan tidak sadar akibat intoksikasi sistem syaraf
pusat yang bersifat reversibel dan terkontrol, sedangkan sentivitas terhadap stimulasi
yang berasal dari luar menurun dan respon motor terhadap stimulasi akan berkurang.
Secara umum anestesi umum terbagi menjadi 4 stadium, sedangkan pada stadium III
dibagi lagi menjadi 4 plane.
1. Stadium I (Analgesisia)
Stadium analgesia dimulai dari hilangnya kesadaran. Pada stadium ini
hewan berusaha melepaskan diri dari pengaruh anestesi dan juga ditandai dengan
adanya defekasi, urinasi, pulsus meningkat, dilatasi pupil, peningkatan sekresi
saliva dan sekresi bronchial. Pada akhir stadium ini hewan menjadi lebih tenang
dan mulai menampakkan efek analgesia.
2. Stadium II (Dellirium atau eksitasi)
Stadium ini dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium
pembedahan. Pada stadium ini terlihat gerakan yang tidak menurut kehendak dan
terlihat jelas adanya eksitasi. Pernafasan tidak teratur, tonus otot meningkat,
inkonentia urine, muntah, medriasis, hipertensi, takikardia. Pada stadium ini bisa
terjadi kematian dan untuk mencegahnya stadium ini harus cepat dilewati.
3. Stadium III (Pembedahan)
Stadium pembedahan dimulai dengan teraturnya pernafasan, tanda yang
harus dikenali yaitu :
a. Pernafasan tidak teratur pada stadium II telah menghilang.
b. Reflek kelopak mata dan konjungtiva menghilang, bila dilepas tidak akan
menutup dan kelopak mata tidak berkedip jika bulu mata disentuh.
c. Kepala dapat digerakkan bebas ke kanan atau ke kiri.
d. Gerakan bulu mata yang tidak menurut kehendak merupakan tanda spesifik
untuk permulaan stadium III.
Stadium III dapat dibagi menjadi 4 plane berdasarkan tanda-tanda sebagai
berikut :
Plane I. Pernafasan teratur, spontan, terjadi gerakan bola mata yang tidak
menurut kehendak, pernafasan dada perut seimbang dan belum tercapai
relaksasi otot lurik yang belum sempurna.
Plane II. Pernafasan teratur tetapi kurang dalam bila dibandingkan tingkat I, bola
mata tidak bergerak, pupil mulai melebar, relaksasi otot rangka sedang
dan refek laring hilang.
Plane III. Pernafasan perut lebih nyata dibandingkan pernafasan dada, relaksasi
otot lurik sempurna, pupil lebih besar dari tingkat II tapi belum
maksimal.
Plane IV. Pernafasan perut sempurna, tekanan darah mulai menurun, pupil mata
sangat lebar dan reflek terhadap cahaya hilang.
4. Stadium IV (Paralisa)
Stadium paralisa dimulai dengan melemahnya pernafasan perut
dibandingkan dengan plane IV, tekanan darah tidak dapat diukur, jantung
berhenti berdenyut dan akhirnya mati.(Brander et al., 1991).

2.7 TERAPI CAIRAN


Terapi cairan merupakan tindakan pengobatan esensial untuk pasien dalam
kondisi kritis atau memerlukan perawatan intensif. Terapi cairan harus menjadi pilihan
dan mendapat perhatian yang serius terutama pada pasien anjing dan kucing yang telah
lama tidak mau makan dan minum (Mar Vista Medical Center, 2006). Hewan masih
dapat hidup dalam beberapa minggu tanpa makan, tetapi akan mati hanya dalam
beberapa hari atau beberapa jam jika tidak ada air. Air berfungsi sebagai pelarut zat-zat
makanan dalam tubuh. Air dan elektrolit tidak dapat dipisahkan dari komponen diet,
karena keseimbangan air sangat diperlukan dalam metabolisme dan melarutkan hasil
metabolisme untuk dapat dimanfaatkan oleh sel tubuh. Tujuan utama dari terapi cairan
untuk mengatasi dehidrasi, memulihkan volume sirkulasi darah pada keadaan
hipovolemia atau shock, mengembalikan dan mempertahankan elektrolit (Na+ dan K+),
dan asam basa dalam tubuh ke arah batas normal.
Jenis cairan yang digunakan dalam terapi cairan dikelompokkan menjadi larutan
kristaloid dan koloid. Larutan kristaloid adalah larutan yang dapat menembus membran
sel dengan mudah. Larutan ini mengandung elektrolit dalam berbagai macam komposisi.
Kandungan utamanya adalah natrium. Apabila dimasukkan ke dalam tubuh, lebih dari
75% larutan kristaloid akan meninggalkan ruang intravaskular dalam waktu 30 menit
setelah pemberian (Willyanto, 2010). Larutan koloid adalah larutan yang memiliki
osmolalitas lebih tinggi dari cairan ekstraseluler. Larutan koloid tidak dapat menembus
dinding pembuluh darah dan menjaga tekanan osmotik cairan darah. Pemberian cairan
koloid bersamaan dengan cairan kristaloid pada waktu resustensi atau maintenance akan
memulihkan dan mempertahankan tekanan intravaskular.
 Larutan Kristaloid
Secara umum larutan polionik dan isotonic seperti larutan laktat ringer adalah
larutan serbaguna karena komposisinya mirip dengan larutan ekstraselular. Laktat ringer
adalah larutan alkalin karena mengandung laktat sebagai precursor bicarbonate. Larutan
ringer mengandung sejumlah chlor sebagai pengganti laktat yang berfungsi sebagai
larutan penetral asam. Laktat ringer dan larutan ringer mengandung kalium (kalium)
dalam jumlah kecil. Penambahan kalium chlorida (KCl) pada larutan diperlukan untuk
pasien dengan kondisi kehilangan kalium yang banyak (hipokalemia) (Hall, 1983;
Lorenz et al., 1987).
Larutan hipotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas lebih rendah dari
serum darah (cairan ekstraseluler) contoh larutan hipotonik adalah 0,45% NaCl atau
2,5% dektrose/NaCl. Larutan ini tidak digunakan dalam keadaaan shock, tetapi dapat
digunakan sebagai cairan maintenance pada pasien yang memiliki risiko retensi cairan
atau gagal jantung.
Larutan isotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas sama dengan serum
darah. Sangat bergunan untuk maintenance dan terapi shock. Contoh larutan isotonik:
Lactated ringer’s solution, Normosol, dan NaCl 0,9%. Natrium chloride (0.9%) atau
saline sering disebut larutan fisiologis, tidak mengandung kalsium. kalium, dan
magnesium. Konsentrasi natrium (Na) mirip dengan cairan ekstraselular tetapi
konsentrasi chloridanya lebih tinggi. Peningkatan jumlah chloride dapat menyebabkan
keasaman cairan ekstraselular meningkat (hiperchloremik metabolic acidosis). Larutan
ini harus dihindari pada pasien yang menderita gagal jantung, hipertensi, dan asidosis
metabolik (Baldwin, 2001b).
Larutan lactate ringers solution (LRS) mengandung kalsium, kalium dan laktat.
Kandungan laktatnya akan diubah menjadi karbonat oleh hati. Larutan ini harus
dihindari pada pasien penderita penyakit hati, kanker, hiperkalsemia, dan hiperkalemia.
Normosol menyerupai LRS tetapi mengandung magnesium dan mengandung asetat dan
glukonat, asetat dan glukonat dimetabolisme di otot (Wilyanto, 2010).
Larutan hipertonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas lebih tinggi dari
serum. Contohnya adalah 7,5% NaCl. Cairan ini baik diberikan pada penderita shock
untuk meningkatkan tekanan intravaskular. Biasanya diberikan dalam bentuk bolus kecil
(3-5ml/kg). Cairan ini bekerja dengan cara menarik cairan dari rongga interstitial dan
intraseluler.
Larutan glukosa 5% juga bersifat isotonis. Awalnya digunakan untuk menyuplai
air untuk mengurangi dehidrasi karena kehilangan air murni (pure water)
(hipernatremia) seperti pada kasus kelelahan karena hipertermia. Air murni tidak dapat
diberikan secara parenteral karena bersifat hipotonik dan menyebabkan eritrosit bengkak
dan hemolisis. Karena glukosa 5% tidak mengandung elektrolit maka tidak baik
diberikan pada pasien yang kehilangan elektrolit. Larutan glukosa 10%, 20% dan 50%
dapat diberikan secara intra vena secara perlahan-lahan sampai terlarut dengan baik.
Awalnya diberikan untuk mensuplai kalori dan penderita diuresis osmotic pada
penderita insufisiensi renal. Larutan glukosa hanya dapat diberikan secara intravena
(Baldwin, 2001b).
 Larutan Koloid
Ada tiga macam larutan koloid sintetik yang biasa digunakan, yaitu :
1. Hetastarch, larutan ini memiliki berat molekul yang lebih tinggi daripada
cairan ekstraseluler, karena itu akan tetap berada di dalam pembuluh darah
selama 12 – 48 jam.
2. Dektran, memiliki berat molekul yang lebih rendah dari hetastarch, tetapi
ukuran molekul lebih bervariasi dan memiliki daya osmotik lebih kuat.
Berada dalam pembuluh darah selama 4 – 8 jam.
3. Oxyglobin adalah larutan hemoglobin sapi yang telah mengalami pemurnian
dicampur dalam LRS yang sudah dimodifikasi. Larutan oxyglobin dapat
berfungsi sebagai sistem transportasi oksigen dalam tubuh. Sangat baik
diberikan pada penderita anemia hemolitik dan trauma. Kapasitas
pengankutan oksigen dapat dipertahankan sampai 40 jam (Willyanto 2010).
Pemilihan larutan yang diberikan pada pasien yang kehilangan cairan, harus
diketahui kehilangan elektrolit tubuh dan patofisiologi penyakit yang diderita oleh
anjing.
Jika pemberian cairan dilakukan secara berlebihan, maka risiko yang paling
sering terjadi adalah overhidrasi. Gejala kelebihan cairan akan ditunjukan dengan edema
pulmonum sebagai gejala akhir, gejala yang mengawali adalah: gelisah, menggigil,
takikardia, keluar leleran serous dari hidung, takipnea, rales basah, batuk, mata
mendelik, muntah, dan diare (Baldwin, 2001b).
Kesalahan umum yang sering dilakukan pada terapi cairan diantaranya tidak
menimbang berat bada pasien, memberikan cairan yang mengandung kadar natriun yang
tinggi pada pasien yang berisiko edema, memberikan furosemid pada penderita yang
sedang mendapatkan terapi cairan, tidak memperhitungkan kebutuhan kalium pasien
atau pasien tidak cukup mendapat kalium dari infus yang digunakan, memberikan cairan
yang berlebihan pada penderita gagal ginjal, memberikan cairan terlalu lambat pada
penderita shock (Willyanto, 2010).
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, yang dapat mengancam jiwa
pasien, maka perlu dilakukan monitoring terhadap kondisi pasien secara regular setiap 4
jam dan dicatat kondisi selama 24 jam termasuk jumlah urin yang dikeluarkan.
Parameter yang harus dicatat dan frekuensi monitoring tergantung atas kasus pasien,
sebaiknya semua hal tentang perkembangan pasien dicatat sehingga dapat data yang
lengkap dari pasien. Untuk monitoring terapi cairan hal-hal yang perlu dicatat adalah
PCV, total protein plasma, berat badan, BUN, elektrolit serum terutama Natrium dan
Kalium (Baldwin, 2001a).

2.8 TEKNIK OPERASI


Setelah pasien dalam keadaan teranestesi, pasien diletakkan di atas meja
operasi dengan posisi ventrodorsal (Gambar 2.4). Untuk mempertahankan posisi
tersebut, keempat kaki pasien difiksasi pada meja operasi. Daerah abdomen diolesi
dengan alkohol secara sirkuler dari sentral keperifer, kemudian setelah kering (±2
menit) diolesi dengan povidone iodine. Setelah itu duk dipasang dan difiksir
dengan duk clamp.

Gambar 2.4 Posisi ventrodorsal (Fossum, 2013)

Operasi dimulai dengan melakukan insisi pada kulit bagian linea median
dari umbilicus ke caudal sepanjang kurang lebih 5 – 6cm. Dilanjutkan dengan membuka
subcutan lalu dipreparasi tumpul sampai menemukan linea alba. Setelah linea alba
ditemukan dilakukan irisan kecil dibantu dengan pinset anatomis untuk memfiksasi agar
tepat dilinea alba. Irisan diperpanjang dengan gunting tajam-tumpul dengan bagian
tumpulnya berada di dalam abdomen agar tidak merusak organ dalamnya.dan terakhir
peritoneum yang tipis. Insisi dilakukan pada linea alba dengan menggunakan blade pada
scalpel. Tepi insisi dikuakkan dengan menggunakan clamp sehingga rongga abdomen
terekspose.
Kemudian organ intestinum dikeluarkan dari rongga abdomen dimana bagian
kiri dan kanan yang akan disayat dijepit dengan jari tangan co-operator agar tidak
merusak jaringan usus (Gambar 2.5a). Insisi pada dinding usus dilakukan pada daerah
dimana vaskularisasinya sedikit sampai terlihat bagian lumen usus. Usahakan agar usus
tetap dalam keadaan basah dengan cara mebilas dengan NS.
Gambar 2.5 Enterotomi a, b, c insisi dinding usus; d menutup dinding usus (Sumber:
Fossum, 2013)

Penutupan dinding usus lapisan mucosa dijahit dengan simple continous dan
dinding usus lapisan serosa dijahit dengan pola jahitan simple interrupted dengan
menggunakan benang catgut chromic. Sebelum rongga abdomen ditutup, dilakukan uji
kebocoran pada sambungan usus yang berfungsi untuk memastikan tidak adanya
kebocoran atau kebuntuan pada daerah jahitan dengan cara memasukkan cairan NaCl
fisiologis kedalam lumen usus untuk uji kebocoran kemudian memasukan larutan
penstrep kedalam lumen usus pada daerah jahitan, untuk mencegah infeksi sekunder.
Setelah jahitan selesai, usus dikembalikan kedalam rongga abdomen pada
posisinya semula dan masukkan larutan penstrep kedalam rongga abdomen untuk
meminimalisir kemungkinan terjadi kontaminasi. Bersihkan bagian usus dan seluruh
abdomen jika terjadi kontaminasi. Tempatkan omentum di atas garis jahitan sebelum
menutup bagian perut (Fossum,2002).
Penutupan dinding abdomen dimulai dengan penjahitan linea alba dan
peritoneum dengan pola jahitan simple interrupted menggunakan benang catgut
chromic. Muskulus dan subcutan dijahit dengan pola simple continuous menggunakan
benang catgut chromic, dan kemudian kulit dijahit simple interrupted menggunakan
benang vicryl. Bagian yang dijahit tersebut kemudian dibersihkan dengan povidone
iodine.

2.9 TINDAKAN GAWAT DARURAT


Hal-hal yang dapat terjadi saat bedah enterotomi meliputi:
 Hypoxemia
Jika masih ada pulsus saat auskultasi heart rate dapat diberikan manual breath
dan mendengarkan pergerakan udara di trachea dan paru-paru menggunakan
stetoskop untuk mengetahui adanya obstruksi, adanya mucus, crackles, kongesti,
wheesez, bronkokonstriksi. Jika sistem respirasi masih normal dipastikan
oksigen masih didapatkan pasien. Sedangkan pulsus dan heart rate tidak
terdeteksi perlu dilakukan CPR.
 Perdarahan
Jika terjadi perdarahan dicari terlebih dahulu sumber perdarahannya dan
diberikan kassa berepineprine.
 Jahitan lepas
Jika masih di kulit dapat dilakukan jahitan ulang tetapi jika di dalam dapat
menyebabkan hernia sehingga perlu dilakukan pemeriksaan penunjang berupa x-
ray ataupun USG.

2.10 PERAWATAN PASCA OPERASI


Hewan harus dipantau secara dekat untuk muntah selama pemulihan.Analgesik
harus disediakan sesuai kebutuhan. Hidrasi harus dipertahankan dengan cairan
intravena, dan kelainan elektrolit dan asam-basa harus dipantau dan dikoreksi. Sejumlah
kecil air dapat diberikan 8 sampai 12 jam setelah operasi. Jika tidak ada muntah terjadi,
sejumlah kecil makanan mungkin diberikan 12 sampai 24 jam setelah operasi. Makanan
awal penting karena mempertahankan atau meningkatkan aliran pencernaan, mencegah
ulserasi, meningkatkan konsentrasi IgA, merangsang pertahanan sistem kekebalan tubuh
lainnya, dan merangsang perbaikan luka. Hewan harus diberi makan hambar dan
makanan rendah lemak. Diet normal harus diperkenalkan secara bertahap, mulai 48
sampai 72 jam setelah operasi.
Antibiotik harus dihentikan dalam waktu 2 sampai 6 jam operasi kecuali diduga
peritonitis. Setelah operasi usus, tanda klinis (misalnya, depresi, demam tinggi, nyeri
perut yang berlebihan, muntah, dan/atau ileus) dan respon terhadap palpasi perut harus
dipantau untuk bukti kebocoran dan selanjutnya peritonitis atau abses. Jika diduga
peritonitis, abdominokentesis, profil kimia, dan jumlah sel darah lengkap (CBC) harus
dilakukan. Cairan perut harus diserahkan untuk pengujian kultur dan sensitivitas, dan
antibiotik (misalnya, cefazolin, cefmetazole, cefoxitin, enrofloxacin ditambah ampisilin,
klindamycin ditambah enrofloxacin, ticarcillin ditambah asam klavulanat) dan terapi
cairan harus dimulai. Kelanjutan dari antibiotik harus didasarkan pada hasil pengujian
kultur dan kerentanan. Perut harus dieksplorasi jika neutrofil beracun dengan bakteri
yang tertelan atau kotoran usus yang ada (Fossum, 2012).
BAB III
MATERI DAN METODE

3.1 METODE KEGIATAN


Metode yang digunaka adalah melaksanakan bedah kelompok enterotomi pada
anjing dan diskusi dengan dokter hewan pembimbing koasistensi.

3.2 ALAT DAN BAHAN


Alat yang digunakan scalpel handle dan blade, sharp-sharp, sharp-blunt,
needle holder, needle round , needle taped, benang cat gut chromic, benang vicryl,
pinset anatomis dan chirurgis, allis tissue forceps, arteri clamp, drape, tampon,
spuit, stetoskop, termometer digital, infus set, pakaian khusus bedah, nierbeken, masker
dan glove.
Bahan yang digunakan meliputi catgut chromic 3.0, benang vicryl, tampon steril,
kasa steril, kapas, gloves, masker, spuit 1 cc, spuit 3 cc , underpad, IV catheher 24 G,
alcohol 70%, iodine 1 % , infus RL 1, hipafix , atropin sulfate, ketamine, dan xylazine,
Amoxicilin, Ketoprofen, NS flushing, bioplacenton®.

3.3 PERSIAPAN OPERASI


3.3.1 Persiapan Hewan
Sebelum operasi dilakukan, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan fisik
secara umum meliputi tekanan darah, frekuensi pulsus, frekuensi nafas, suhu tubuh,
keadaan umum dari anjing tersebut, dilakukan pemeriksaan hematologi, dipastikan
hewan bebas parasit (pemberian obat cacing dan obat kutu). Jika anjing dinyatakan
memenuhi syarat, maka operasi dapat dilaksanakan.
Anjing harus dipuasakan makan selama 12 jam dan puasa minum selama 6
jam terlebih dahulu sebelum operasi yang bertujuan untuk mengosongkan usus
sehingga anjing tidak muntah saat teranastesi. Daerah sekitar abdomen, terutama
daerah sekitar linea mediana, dibersihkan bulunya, yaitu dengan cara daerah
tersebut dibasahi dengan air sabun terlebih dahulu kemudian dicukur
rambutnya menggunakan clipper / pencukur yang tajam searah, kemudian daerah
tersebut dibersihkan dengan air lalu di olesi dengan alkohol 70 % ditunggu kira-kira
2menit baru diolesi dengan iodium tincture secara sirkuler
3.3.2 Sterilisasi Peralatan Operasi
Sterilisasi peralatan operasi, baju operasi, masker, penutup kepala, sarung
tangan, sikat dan handuk yang telah dicuci bersih serta dikeringkan dibungkus
dengan kain muslin atau non woven setelah dilipat terlebih dahulu dan ditata sesuai
dengan urutannya masing-masing. Peralatan yang telah dibungkus dimasukkan ke
dalam alat steril. Perlengkapan yang telah disterilisasi digunakan pada saat operasi
oleh operator dan co-operator.
Peralatan bedah yang akan digunakan dikumpulkan dalam suatu wadah
dan direndam dengan larutan sabun hingga seluruh bagiannya terendam. Setelah
direndam, peralatan dicuci bersih dengan menggunakan sikat hingga bersih.
Instrumen dicuci mulai dari bagian yang bersentuhan dengan tubuh pasien yaitu
bagian ujung hingga bagian yang paling jauh dan jarang bersentuhan dengan tubuh
pasien yaitu bagian pangkal. Instrumen-instrumen tersebut kemudian dibilas
dengan air bersih mulai dari bagian ujung hingga pangkal. Peralatan bedah minor
yang telah dicuci bersih kemudian dikeringkan terlebih dahulu baru setelah itu ditata
rapi di dalam kotak peralatan sesuai dengan urutan penggunaannya. Kotak peralatan
tersebut kemudian dimasukkan ke dalam alat sterilisasi. Peralatan yang telah
disterilisasi digunakan saat operasi.
3.3.3 Persiapan Meja Operasi
Meja operasi disterilisasi dengan cara dilap dengan lap basah
kemudian dikeringkan. Meja operasi disterilkan dengan menggunakan air sabun
dan dilap sampai bersih dan kering. Alat operasi dalam keadaan steril diletakkan
dimeja khusus dan disusun secara urut didekat meja operasi.
3.3.4 Persiapan Operator dan Co-operator
Operator dan co-operator harus dalam keadaan aseptis dan steril selama
operasi. Tangan dicuci bersih dari ujung jari sampai siku dengan sabun dan disikat
kemudian dibilas sampai bersih dengan air mengalir sampai bersih dan keran
ditutup menggunakan siku untuk mencegah kontaminasi lalu tangan dikeringkan.
Selama operasi operator dan co-operator menggunakan masker, glove , hair cap,
dan pakaian khusus operasi yang sudah disterilkan untuk meminimalkan
kontaminasi. Apabila pakaian operasi sudah dipakai operator harus berhati-hati
sehingga tidak bersentuhan dengan obyek atau barang lain.

3.4 PROSEDUR OPERASI


Pasanglah duk dan jepit dengan towel clamp agar duk tidak terlepas saat operasi
dilakukan. Penjepitan duk dengan towel clamp dilakukan dengan menjepit duk dan kulit
kucing.Selanjutnya lakukan incisi dengan menggunakan scalpel blade pada daerah
sekitar 2 jari dibawah umbilicus dengan panjang incisi sekitar 2 cm. Incisi dilakukan
pada daerah midline dibawah umbilicus. Pertama, incisi bagian kulit lalu subkutan dan
linea alba. Dalam mengincisi linea alba juga dapat dilakukan preparasi tumpul
menggunakan guting tumpul tumpul. Selanjutnya jepit lah bagian kulit yang terbuka di
sisi kiri dan kanan menggukan allis tisuue forceps agar lapang pandang operator menjadi
lebih luas dan lebih mudah dalam mengeksplorasi abdomen.
Isolasi intestine dari abdomen dengan handuk atau laparotomi sponge untuk
meminimalisir tumpahan isi dari intestin. Membuat sayatan menusuk ke lumen dengan
blade No.11. Hilangkan jaringan 2 – 3 mm berbentuk elips dengan gunting
Metzenbaum, atau buat sayatan kedua sejajar disekitar dengan yang pertama dengan
pisau bedah. Tutup sayatan dengan jahitan simple continues.

3.4 PERAWATAN PASCA OPERASI


Perawatan pasca operasi meliputi pemberian vitamin B.Comp untuk supportif.
Pemberian antibiotik berupa penstrep dengan dosis 10-20 mg/kg BB dan luka bekas
operasi sebelumnya dibersihkan dengan antiseptik, setelah itu diolesi dengan salep
bonti dua kali sehari sampai luka mengering. Selain itu juga dilakukan monitoring
terhadap heart rate, respiration rate, temperature tubuh, selaput lender, turgor, CRT,
makan, minum, defekasi, serta urinasi. Dalam pemberian makanan juga harus
diperhatikan, yaitu dengan permberian makanan halus dan mudah dicerna.
Pengambilan jahitan dilakukan 1 minggu pasca operasi (Fossum, 2002).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL
SINYALEMEN HEWAN

Gambar 4.1 Anjing Diana

Nama Hewan : Diana


Jenis Hewan : Anjing
Ras/Breed : Domestik
Warna Rambut : Hitam
Jenis Kelamin : Jantan
Umur : ± 1 tahun
Berat badan : 4,3kg
Habitus/ Tingkah laku : Aktif
Sikap Berdiri : Tegak kokoh
Gizi : Baik
Pertulangan Kepala dan Ekstremitas : tidak ada kelainan
Frekuensi Denyut Jantung : kali/menit
Frekuensi Nafas : kali/menit
Temperatur : °C
Capillary Refill Time : detik
Turgor : detik
Konjunctiva Mata : Pink
Mukosa Gusi : Pink

4.2 PROSES OPERASI


Sebelum melakukan operasi, alat-alat bedah yang akan digunakan harus dicuci
hingga bersih kemudian disterilisasi menggunakan oven dengan suhu 121°C selama 15
menit. Persiapan operator berupa pemakaian masker dan haircap lalu mencuci tangan
sampai bersih. Setelah itu, operator menggunakan glove steril. Persiapan hewan sebelum
operasi berupa puasa makan selama 12 jam dan puasa minum selama 6 jam, dilakukan
pemeriksaan fisik, uji hematologi, cukur rambut daerah insisi. Tujuan dari hewan
dipuasakan adalah untuk mencegah terjadinya vomit selama operasi berlangsung akibat
efek obat-obat anestesi (Eduardo, 2010). Pemeriksaan fisik dan uji hematologi dilakukan
untuk memastikan hewan dalam kondisi sehat dan layak untuk dilakukan bedah
enterotomi. Pencukuran rambut area insisi dilakukan untuk mempermudah saat akan
dilakukan insisi serta meminimalisir kontaminasi dari kotoran rambut
Sebelum dilakukan anastesi umum, hewan diberi premedikasi dahulu berupa
atropine sulfat secara subkutan dan acepromazine secara intramuskular. Dimana tujuan
dari pemberian premedikasi ini untuk menekan produksi air liur dan sekresi jalan nafas
dan juga mencegah reflek yang menimbulkan gangguan jantung atau mencegah
timbulnya bradikardia (Sardjana dan Kusumawati, 2004). Setelah 10 menit injeksi
atropine sulfat dilanjutkan dengan injeksi acepromazine.
Selama operasi, hewan diberi cairan infus NS secara intravena menggunakan
dosis maintenance. Hal ini dilakukan sebagai preventif jika terjadi shock hipovolemik
yang disebabkan adanya perdarahan selama operasi. Shock merupakan suatu sindrom
klinis kegagalan akut fungsi sirkulasi yang menyebabkan kurangnya perfusi jaringan
dan oksigenasi jaringan akibat gangguan mekanisme hemostatis. Shock hipovolemik
terjadi karena penurunan volume intravaskuler mencapai 15-25%. Selain itu, terapi
cairan ini juga berperan sebagai pengganti cairan yang hilang selama proses operasi
serta proses puasa hewan. Selanjutnya hewan diberikan anastesi kombinasi ketamine
dan xylazine.
Setelah hewan teranastesi, hewan posisi ventrodorsal dengan bagian abdomen
telah dicukur Keempat kaki difiksasi dengan tali agar posisi hewan tetap stabil saat
berlangsungnya operasi. Setelah difiksasi, bagian abdomen dibersihkan dengan
menggunakan alkohol 70% secara sirkuler (Gambar 4.1b) dilanjutkan dengan povidone
iodine (Gambar 4.1a) dengan cara yang sama untuk meminimalisir kontaminasi.

a b
Gambar 4.1 Tahap pembersihan area abdomen a) pemberian povidone
iodine; b) pembersihan secara sirkuler

Dilakukan pemasangan duk dan difiksasi dengan duk clamp pada area midline
abdomen yang akan diinsisi untuk membantu insisi tetap lurus. Tahap pertama,
dilakukan insisi pada daerah midline dari abdomen dari umbilicus ke caudal sepanjang
kurang lebih 5 – 6cm (Gambar 4.2a). Dilanjutkan dengan membuka subkutan (Gambar
4.2b) lalu dipreparasi tumpul sampai menemukan linea alba. Setelah linea alba
ditemukan dilakukan irisan kecil dibantu dengan pinset anatomis untuk memfiksasi agar
tepat dilinea alba. Irisan diperpanjang dengan gunting tajam-tumpul dengan bagian
tumpulnya berada di dalam abdomen agar tidak merusak organ dalamnya.dan terakhir
peritoneum yang tipis. Insisi dilakukan pada linea alba dengan menggunakan blade pada
scalpel. Tepi insisi dikuakkan dengan menggunakan allis tissue forceps sehingga rongga
abdomen terekspose.

a b
Gambar 4.2 Insisi kulit dan preparasi subkutan hingga muskulus a) insisi kulit;
b) insisi subkutan
Setelah rongga abdomen terespose dilanjutkan eksplorasi untuk menemukan
organ intestinal dengan menggunakan jari tangan. Setelah mulai teraba bagian
mesenterium dan usus dikeluarkan dari rongga abdomen Gambar 4.3a) dengan bagian
sekitarnya dialasi kassa yang telah diberi NS untuk menjaga kelembaban dari organ dan
meminimalisir kontaminasi dari duk. Kemudian mengekspose usus dari mesenterium
(Gambar 4.3b) untuk mempermudah mencari lokasi untuk dilakukan insisi. Setelah usus
terespose jelas, mencari bagian dari usus yang jauh dari vaskularisasi (Gambar 4.3c).

a b

c d

e
Gambar 4.3 Mengekspose small intestine a) small intestine beserta mesenterium; b)
jejunum; c) fiksasi bagian yang akan diinsisi jauh dari vaskularisasi; d)
enterotomi; e) pasca penjahitan daerah insisi

Bagian usus difiksasi yang akan dilakukan insisi dengan mengapit area yang
akan diinsisi dengan menggunakan jari cooperator dengan sedikit ditarik agar insisi
tetap lurus. Mulai dilakukan insisi pada usus sampai menembus bagian lumen
sehingga lumen usus terespose (Gambar 4.3d) dengan panjang insisi 4-5cm. setelah
dilakukan proses enterotomi, bagian insisi ditutup kembali dengan penjahitan.
Selama proses operasi, usus selalu dijaga kelembabannya dengan meneteskan NS.
Proses penjahitan dilakukan dengan menggunakan benang PGA ukuran 0 dan jarum
bulat agar tidak mengiritasi dengan pola simple continues dilanjutkan simple
interrupted pada bagian sela-sela jahitan simple continues agar lebih rapat (Gambar
4.3e). Setelah proses penjahitan bagian yang diinsisi selesai dilanjutkan tes
kebocoran dengan menginjeksi NS ke dalam daerah insisi untuk memastikan bahwa
daerah insisi sudah terjahit dengan rapat bersamaan memfiksasi usus dengan jari
tangan cooperator agar NS yang diinjeksikan tidak mengalir di dalam usus. Setelah
dipastikan tidak bocor dilanjutkan injeksi antibiotik untuk meminimalkan terjadinya
infeksi pada mukosa usus.
Setelah usus dipastikan tidak ada kebocoran, usus diposisikan ke posisi
semula dengan dibungkus mesenterium kembali serta ditetesi NS dan antibiotik.
Dimulai penutupan rongga abdomen dengan penjahitan peritoneum menggunakan
benang catgut chromic ukuran 3-0 menggunakan jarum tapper/tajam dengan pola
simple interrupted (Gambar 4.4a). Setelah peritoneum dipastikan terjahit rapat
dilanjutkan menjahit muskulus menggunakan benang catgut chromic ukuran 3-0
dan jarum tapper/tajam dengan pola jahitan simple continues dikombinasi simple
interrupted (Gambar 4.4b). Kemudian penjahitan secara intradermal (Gambar 4.4c)
menggunakan benang catgut chromic ukuran 3-0 dan jarum tepper/tajam. Lapisan
terakhir berupa kulit (Gambar 4.4d) dilakukan penjahitan menggunakan benang silk
dan jarum tapper/tajam dengan pola simple continues. Setiap lapisan yang dijahit
selalu ditetesi antibiotik untuk meminimalisir terjadinya infeksi. Setelah semua
lapisan selesai dijahit, area jahitan diberi povidone iodine dan salep gentamycin
dilanjutkan dengan pemasangan perban dan gurita agar daerah insisi tidak dijilat dan
digigiti oleh hewan.

a b

c d

Gambar 4.4 Penjahitan lapisan yang diinsisi a) peritoneum; b) muskulus; c)


intradermal; d) kulit

Setelah proses bedah enterotomi selesai, mulai dilakukan pelepasan duk clamp
dan duk serta tali yang digunakan untuk memfiksasi hewan selama proses operasi.
Hewan diistirahatkan dalam kandang dengan menjaga suhu hewan sampai stabil, jika
hewan mengalami hipotermi maka dilakukan tindakan dengan memberikan kehangatan
pada hewan menggunakan lampu infrared/ lampu pijar/ kantong berisi air panas yang
diletakkan disekitar hewan. Selain itu diinjeksi ketoprofen secara intramuskuler
(Gambar 4.5) sebagai analgesik termasuk dalam golongan Non Steroid Antiinflamation
Drug (NSAID)
Gambar 4.5 Injeksi ketoprofen secara intramuskuler

Pengamatan post operasi meliputi pemeriksaan temperatur,heart rate,


respiratory rate, nafsu makan, defekasi, minum, urinasi, dan kondisi jahitan yang
dilakukan setiap hari. Pembersihan dan penggantian penutup luka jahitan dilakukan
sekali sehari disertai pengobatan dengan pemberian salep gentamycin . Penggunaan
benang untuk mempertautkan luka insisi menimbulkan respon tubuh (Bailey, 2004).
Respon diawali oleh infasi neutrofil ke jaringan luka. Jika tidak terjadi komplikasi
seperti trauma atau infeksi, respon akut sel terhadap bahan benang jahit operasi akan
berubah dalam tiga hari setelah dilakukannya implantasi benang. Populasi neutrofil
kemudian digantikan dengan monosit, sel plasma, dan limfosit (Bushby, 2012). Setelah
itu terjadilah proliferasi fibroblas dan jaringan ikat. Dengan asumsi teknik yang sama,
jaringan, dan faktor yang berpengaruh lain, respon jaringan pada seluruh jenis benang
jahit relatif sama pada hari ke lima hingga hari ke tujuh. Setelah ini respon jaringan
terhadap jenis bahan benang jahit. Absorbsi benang jahit yang berasal dari bahan
sintetik terjadi dengan proses hidrolisis.cHidrolisis menyebabkan reaksi jaringan yang
lebih rendah bila dibandingkan dengan proses degradasi enzimatik.

4.3 OBAT-OBATAN
Anjing dilakukan pemberian premedikasi yaitu Atropin Sulfat (dosis 0.025
mg/kg BB). Tujuan pemberian premedikasi untuk menenangkan hewan, merelaksasi
otot sehingga terjadi immobilisasi dan hiporefleksi, memberikan analgesik
(menghilangkan rasa sakit), memperoleh induksi anestesi yang perlahan dan aman,
stadium anestesi yang stabil dan pemulihan dari anestesi yang baik, serta mengurangi
dosis obat anestesi sehingga efek samping dapat dikurangi (Boden, 2005).
Atropine sulfat merupakan obat premedikasi golongan antikolinergik dimana
keuntungannya adalah mengurasi sekresi kelenjar saliva terutama bila dipakai obat
anestetik yang menimbulkan hipersekresi kelenjar saliva. Menurunkan keasaman
lambung, menghambat bradikardi, menurunkan motilitas intestinal, dan menyebabkan
bronchodilatasi (Boothe, 2001, Sardjana dan Kusumawati, 2004). Atropn sulfat
merupakan obat yang dapat memblokir kerja syaraf parasimpatik yang memberi efek
mengurangi aktivitas traktus digestivus, menekan urinasi dan aksi nervus vagus tetapi
menimbulkan peningkatan kecepatan metabolism, peningkatan denyut jantung,
nbradikardia atau takikardia serta dilatasi pupil (Lane and Copper, 2003).
Acepromazine tergolong phenothiazine yang berwarna kuning, tidak berbau,
rasanya pahit dan berbentuk bubuk dan cair (Plumb 2008). Menurut Mckelvey dan
Wayne (2003) ada tiga macam kelas sedasi (tranquilizer) yang digunakan dalam
kedokteran hewan yaitu phenothiazine, benzodiazepine dan alpha-2 agonist. Golongan
ini bekerja pada susunan syaraf pusat dan menghasilkan efek penenang pada hewan.
Obat-obat ini dapat juga menyebabkan ataksia, dan prolapsus membran niktitan.
Pemberian phenothiazine dapat melalui per oral, intra muscular, intra vena dan
subkutan. Efek yang ditimbulkan golongan phenothiazine antara lain sedasi, antiemetik,
antiaritmia, antihistamin, vasodilatasi pembuluh darah, perubahan perilaku dan prolaps
penis pada kuda. Efek samping acepromazine yaitu hipotensi, anemia dan dehidrasi.
Pada kuda dan anjing ras boxer penggunaan acepromazine sebaiknya dihindari.
Acepromazine digunakan sebagai transquilizer pada anjing, kucing dan kuda.
Acepromazine bersifat anti-kholinergik, anti-emetik, antispasmodik, antihistamin, dan
memblok alpha-adrenergik. Acepromazine menyebabkan hipotensi dan menurunkan
vasomotorik. Dapat juga berpengaruh terhadap respirasi, denyut jantung dan suhu tubuh
(Forney 2004).
Acepromazine mempunyai potensi untuk memblok postsinapsis reseptor
dopamin. Dopamin terutama berfungsi sebagai penghambat aktivitas otak (Adams
2008). Acepromazine mendepres susunan syaraf pusat (CNS) sehingga menghasilkan
efek sedasi, relaksasi otot, dan menurunkan aktifitas refleks. Selain itu efek lainnya
adalah anti kholinergik, antihistamin dan memblok alpha-adrenergik. Acepromazine
dimetabolisme di hati dan diekskresi melalui urin. Acepromazine jangan digunakan pada
hewan yang lemah, betina bunting, breed giant, greyhound, dan boxer. Hasil penelitian
menyatakan pada pengerat acepromazine menyebabkan embryotoxycity. Phenothiazine
tidak boleh digunakan pada hewan yang mempunyai depresi tulang belakang (Crowell-
Davis dan Murray 2005). Acepromazine onsetnya 15 sampai dengan 60 menit setelah
pemberian dan durasinya antara 3 sampai dengan 7 jam pada anjing dan kucing.
Ketamin merupakan disosiatif anestetikum yang mempunyai sifat analgesik,
anastetik, dan kataleptik dengan kerja singkat (Gunawan et al. 2009). Ketamin
diklasifikasikan sebagai anestesi disosiatif karena penderita tidak sadar dengan cepat,
namun mata tetap terbuka tapi sudah tidak memberikan respon rangsangan dari luar.
Dalam anestesi hewan, ketamin sering digunakan pada kucing, anjing, kelinci, tikus, dan
beberapa hewan kecil lainnya untuk pemberian efek anestesi dan analgesik. Ketamin
juga sering digunakan atau di kombinasikan dengan obat penenang agar menghasilkan
anastesi seimbang dan analgesia, serta sebagai infus tingkat konstan yang membantu
mencegah rasa sakit (Hilbery et al.1992).
Efek anestesi dari ketamin terjadi oleh adanya penghambatan efek membran dan
neurotransmitter eksitasi asam glutamat pada reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA).
Tahapan anestesinya diawali dengan terjadinya disosiasi mental pada 15 detik pertama,
kadang sampai halusinasi. Keadaan inilah yang dikenal sebagai anestesi disosiatif.
Anestesi disosiatif ini sering disertai keadaan kataleptik berupa dilatasi pupil, salivasi,
lakrimasi, gerakan-gerakan tungkai spontan, dan peningkatan tonus otot. Sifat analgesik
ketamin sangat kuat untuk sistem somatik, tetapi lemah untuk sistem viseral. Ketamin
tidak menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya sedikit
meninggi. Ketamin juga tidak menimbulkan terjadinya relaksasi otot sehingga dapat
menyebabkan kekejangan dan depresi ringan pada saluran respirasi. Refleks faring dan
laring tetap normal atau sedikit meninggi pada anestesi yang menggunakan ketamin.
Pada dosis anestesi yang tepat, ketamin bersifat merangsang, sedangkan pada dosis yang
tinggi ketamin akan menekan respirasi. Untuk mengurangi efek samping ketamin, pada
penggunaannya sering dikombinasikan dengan obat premedikasi seperti diazepam,
midazolam, medetomidin, atau xylazin (Gunawan et al.2009). Pada kasus ini digunakan
kombinasi ketamine-xylazine.
Xylazin menyebabkan penekanan sistem saraf pusat yang diawali dengan sedasi
kemudian pada dosis lebih tinggi digunakan untuk hipnotis, sehingga akhirnya hewan
menjadi tidak sadar atau teranestesi. Dalam anestesi hewan, xylazin biasanya paling
sering dikombinasikan dengan ketamin. Obat ini bekerja pada reseptor presinaptik dan
postsinaptik dari sistem saraf pusat dan perifer sebagai agonis sebuah adrenergik.
Xylazin menimbulkan efek relaksasi muskulus sentralis. Selain itu, xylazin juga
mempunyai efek analgesia, xylazin dapat menimbulkan kondisi tidur yang ringan
sampai kondisi narkosis yang dalam, tergantung dari dosis yang diberikan untuk
masing-masing spesies hewan (Mentari, 2013).
Menurut Adams (1992), á2 adrenoreseptor agonis mengerahkan efek
penghambatan pada fungsi sistem saraf pusat. Hal ini menyebabkan aktivitas saraf
simpatis menurun sehingga menurunkan frekuensi denyut jantung dan tekanan darah,
serta menurunkan tingkat kewaspadaan. Pada otot polos pembuluh darah arteri organ
dan vena abdomen ditemukan á2 adrenoreseptor. Ketika á2 adrenoreseptor diaktifkan
dapat menyebabkan vasokonstriksi. Selain itu, á2 adrenoreseptor dijumpai juga pada
sistem kardiovaskuler, sistem respirasi, sistem saraf pusat, ginjal, sistem endokrin, dan
trombosit. Pemberian xylazin sebagai preanestesi dapat memperpanjang durasi
analgesia, mengurangi dosis anestesi dan memperpendek efek pemulihan.
Efek xylazin pada dosis yang tinggi dapat menekan respirasi sehingga terjadi
volume tidal dan respirasi rata-rata (Plumb, 1991). Perubahan yang cukup jelas terlihat
pada sistem kardiovaskular. Xylazin tidak dianjurkan pada hewan yang menerima
epinefrin, penyakit jantung, darah rendah, penyakit ginjal dengan atau jika hewan sangat
lemah (Ramadhani 2013). Xylazin dapat menyebabkan gejala bradikardia, aritmia,
peningkatan tekanan sistem saraf pusat, pengurangan sistem sistolik, depresi respirasi
(pengurangan frekuensi respirasi dan volume respirasi permenit) serta hipertensi yang
dapat diikuti dengan hipotensi. Selain itu, xylazin memiliki efek farmakologis yang
terdiri dari penurunan cardiac output dimana terjadi penurunan setelah kenaikan awal
pada tekanan darah, dalam perjalanan efeknya vasodilatasi tekanan darah (menyebabkan
bradikardia), vomit, tremor, motilitas menurun, tetapi kontraksi uterus meningkat (pada
betina) bahkan dapat mempengaruhi keseimbangan hormonal seperti menghambat
produksi insulin dan antidiuretic hormone (ADH). Xylazin juga menghambat efek
stimulasi saraf postganglionik. Pengaruh xylazin dapat dihilangkan dengan
menggunakan antagonis reseptor adrenergik, misalnya atipamezole, yohimbine, dan
tolazoline (Sardjana, 2003).
Pada anjing dan kucing khususnya, xylazin dapat merangsang pusat muntah
sehingga obat tersebut digunakan sebagai obat emetik. Xylazin juga biasanya dapat
menyebabkan peningkatan urinasi pada kucing. Xylazin tidak boleh digunakan pada
pasien atau hewan dengan hipersensivitas atau alergi terhadap obat tersebut. Pada
ruminansia, xylazin dapat menyebabkan hipersalivasi, meningkatkan resiko pneumonia
pernafasan, tetapi hal tersebut dapat dihentikan oleh atropin. Untuk spesies lain, xylazin
menghambat aliran saliva (Sardjana, 2003).
Setelah diberi anastesi, hewan juga diberi antibiotik berupa ampicilin (dosis 15
mg/kg BB, IM) dan Terramicin® salep. Terramicin® salep pada mata bertujuan untuk
mencegah adanya iritasi dan ulser kornea, mengingat pemberian anastesi akan
menyebabkan mata menjadi kering. Sedangkan, Ampicilin diberikan untuk mencegah
infeksi sekunder saat operasi berlangsung. Ampicilin merupakan suatu turunan penisilin
semi sintetis bersifat bakterisida terhadap sejumlah besar mikroorganisme gram positif
dan negative. Kerja Ampicilin adalah dengan mengikat penicillin binding protein akan
merusak sintesis dinding sel bakteri, mengurangi kekuatan dinding sel bakteri, yang
mencegah untuk terjadinya pembelahan sel, pertumbuhan ataupun membentuk suatu
formasi perlindungan (Ramsey, 2011).
Pengobatan post operasi yang digunakan pada anjing Diana adalah antibiotic
ampicilin dengan dosis 15 mg/kg BB, q12h, selama 5 hari, analgesik ketoprofen dengan
dosis 2 mg/kg BB, q24h, 5 hari secara per oral, pakan recovery, dan salep gentamicin
untuk luka jahitannya. Pemberian antibiotik diberikan pada H+1 pasca operasi,
dikarenakan anjing telah mendapatkan antibiotik pada saat pre operasi. Antibiotik
dilanjutkan dengan pemberian oral selama 5 hari. Antibiotik Ampicilin diberikan karena
dapat membunuh bakteri dengan berbagai spesies dengan cara menghambat sintesis
dinding sel. Antibiotik ini bersifat bakteriosidal dengan menghambat sintesis
mucopeptide pada dinding sel yang menghasilkan rusaknya barrier dan terjadi
ketidakseimbangan osmotik. Antibiotik beta laktam dapat berikatan dengan beberapa
enzim (carboxypeptidase, transpeptidase, endopeptidase) yang terdapat didalam
membran sitoplasma bakteria. Perbedaan afinitas pada antibiotik beta laktamase
terhadap beberapa enzim menunjukkan perbedaan spektrum kerja obat (Plumb, 2008).
Gentamisin adalah golongan aminoglikosida yang dapat menghambat sintesis
protein bakteri dan membutuhkan lingkungan yang kaya oksigen agar efektif, sehingga
tidak efektif di lokasi rendah oksigen (abses, eksudat). Obat ini bersifat bakterisidal dan
mekanisme pembunuhannya bergantung pada konsentrasi. Obat ini aktif terhadap
bakteri Gram-negatif, tetapi juga sensitive pada beberapa spesies staphylococcal dan
streptococcal (Streptococcus faecalis). Resisten terhadap semua bakteri anaerob obligat
dan banyak streptokokus hemolitik. Penggunaan pada hewan peliharaan dibatasi oleh
nefrotoksisitas Pemberian ketoprofen berfungsi sebagai antiinflamasi, analgesik, dan
antipiretik. Ketoprofen diberikan ketika suhu tubuh mulai stabil, karena memiliki
aktivitas antipiretik. Ketoprofen bekerja seperti non steroid antiinflamatory drug lainnya
yaitu dengan menghambat sintesis cyclooxygenase dari asam arakidonat menjadi
prostaglandin di jaringan. Pemberian ketoprofen hanya h+1 lalu selanjutnya diberikan
tolfedine 4mg/kgBB q24h selama 3 hari. Tolfenamic acid bekerja dengan penghambatan
siklo-oksigenase. Penghambatan COX membatasi produksi prostaglandin yang terlibat
dalam peradangan. Juga dilaporkan memiliki aksi antagonis langsung pada reseptor
prostaglandin. Obat ini digunakan untuk mengurangi peradangan dan rasa sakit pada
anjing dan sebagai antipiretik (BSAVA, 2014).

Obat yang Digunakan


FUNGSI OBAT DOSIS VOLUME RUTE WAKTU
(mg/kg (ml) ADMINISTRASI
BB)
Premedikasi Atropin sulfat 0.025 0.88 SC 10.40
Sedasi Acepromazine 0.05 0.029 IM 10.55
Ketamine 10 0.88 IV 11.00
Xylazine 2 0.88 IV 11.00
Induksi Keta-Xyla 1.76 IV 11.00
anastesi
Antibiotik Amoxicillin 10 5 IM 10.50
Keta-Xyla 0.44 IV 11.55
Keta-Xyla 0.44 IV 12.15
Epinephrine 1 12.25
Keta-Xyla 0.44 IV 12.35
Keta-Xyla 0.44 IV 12.50
Analgesik Ketoprofen 5 0.88 IM
Atropin sulfat : 8.8kg x 0.025 mg/kg BB = 0.88 ml
0.25 mg/ml
Acepromazine : 8.8kg x 0.05 mg/kg BB = 0.029 ml
15 mg/ml
Ketamine : 8.8kg x 10 mg/kg BB = 0.88 ml
100 mg/ml
Xylazine : 8.8kg x 2 mg/kg BB = 0.88 ml
20 mg/ml
Amoxicillin : 8.8kg x 10 mg/kg BB = 0.44 ml
200 mg/ml
Ketoprofen inject : 8.8kg x 5 mg/kg BB = 0.88 ml
50 mg/ml
Ketoprofen oral : 8.8kg x 5 mg/kg BB = 44mg

4.4 Monitoring Hewan Selama Operasi

WAKTU I
PARAMETER PRE- 0' 5' 10' 15' 20' 25' 30' 35' 40' 45' 50' 55' 60'
ANESTESI

RESPIRASI
(x/menit) 32 36 56 64 60 60 48 52 40 28 32 36 28 32

DENYUT
JANTUNG 100 120 128 132 116 132 116 124 96 80 76 86 86 72
(x/menit)
TEMPERATUR 38.1 38.6 38.5 38.3 38.3 38.1 37.4 37.5 37.1 36.9 36.9 36.7 36.4 36.3

WAKTU II
PARAMETER PRE- 65' 70' 75' 80' 85' 90' 95' 100' 105' 110' 115' 120' 125'
ANESTESI

RESPIRASI 32 28 32 28 32 36 36 36 32 36 36 40 44
(x/menit)

DENYUT 68 68 62 58 58 64 60 58 56 62 66 76 76
JANTUNG
(x/menit)
TEMPERATUR 35.9 35.7 34.5 34.6 35 34.6 34.5 34.8 34.6 33.9 33.7 34 33.8

WAKTU III

PARAMETER PRE- 130' 135' 140' 145' 150' 155' 160' 165' 170' 175' 180' 185' 190'
ANESTESI
RESPIRASI 40 48 32 32 32 24 24 24 28 24 24 24 32
(x/menit)

DENYUT 80 88 60 60 60 80 84 170 112 120 128 120 112


JANTUNG
(x/menit)
TEMPERATUR 33.3 33.5 33.0 32.7 32.8 32.9 33 32.9 35 36.5 37.1 37.9 38.3
DAFTAR PUSTAKA

Adachi , H. 2011. Physical Characteristics, Pharmacological Properties And


Clinical Efficacy of The Ketoprofen Patch: A New Patch Formulation.
European Review For Medical And Pharmacological Sciences, 15(7).

Baldwin K. 2001a. Transfusion Medicine for the companion animal. Atlantic


coast veteriner conference (ACVC) http://www.vin.com (diakses 3
Desember 2019)

Baldwin K. 2001b. Fluid Therapy for the companion animal. Atlantic coast
veteriner conference (ACVC). http://www.vin.com. (diakses tanggal
akses 3 Desember 2019)

Ballantyne GH. The experimental basis of intestinal suturing. Effect of surgical


technique, inflammation, and infection on enteric wound healing. Dis
Colon Rectum. 1984;27(1):61–71

Boothe HW. 2012. Instrument and tissue handling techniques. Dalam: Tobias
KM, Johnston SA, eds. Veterinary Surgery: Small Animal. St. Louis,
MO: Elsevier Saunders. Hlm. 201-213.

Brander G., D. Pugh, R. Bywater and W. Jenkins. 1991 .Veterinary Applied


pharmacolog and Therapeutics,5th edn., (Baillere, Tindall, London) 484-
488.

Capak D, Brkic A, Harapin I, Maticic D, Radisic B. 2001. Treatment of the


foreign body induced occlusive ileus in dogs. Vet Arhiv 71(6): 345-359.

Coolman B R, Ehrhart N, Marretta S M (2000) Use of Skin Staples for Rapid


Closure of Gastrointestinal Incisions in the Treatment of Canine Linear
Foreign Bodies. JAAHA 36 (6), 542-547 PubMed.

Done SH, Goody PC, Evans SA, Stickland NC. 2009. Color Atlas of Veterinary
Anatomy, The Dog and Cat. 3rd Edition. Missouri: Elsevier.

Ellison G W.1990. Enterotomy. In: Current techniques in Small Animal Surgery.


4th edn. Eds M J Bojrab, G W Ellison and B Slocum. Baltimore, Williams
and Wilkins, pp 245-248.

Fossum, T.W. 2002. Small Animal Surgery Second Edition. C.V. Mosby. St
Louis

Fossum, T.W. 2013. Small Animal Surgery Fifth Edition. C.V. Mosby. St Louis
Hall LW. 1983. Fluid therapy and intravenous nutrition. In Dog and Cat
nutrition. Editor ATB Edney. Pergamon Press. New York.
Gurtner LP, Hiatt JL. 2007. Integument in Color Textbook Histology. 3rd ed.
Elsevier Saunders. p: 327-344

Hosny, M. (2013). Ketoprofen Emulgel: Preparation, Characterization, And


Pharmacodinamic Evaluation. International Journal Of Pharmaceutical
Sciences Review And Research 20 (2), 306-310.

Kumar, A., 1997. Veterinary Surgical Techniques.Vikas Publishing House


PVTLTD. New Delhi

Lorenz, H.P., and Longaker, M.T.2009. Surgery Basic Science and Clinical
Evidence, 2 Ed., 191-298, Springer Sciene Bussines Media L. L, C.

Mar Vista Animal Medical Center. 2006. Fluid Therapy. The Cornerstone of
treatment.Http://marvistavet.com (diakses 3 desember 2019)

Plumb, D. C., 2008. Plumb’s Veterinary Drug Handbook 6th edition. The IOWA
State University Press. Ames.

Regan, Barbul, 1994Sardjana, I Komang Wirasa dan Kusumawati, D. 2004.


Anastesi Veteriner Jilid 1.Gadjah Mada University Press.Yogyakarta

Shales C J, Warren J, Anderson D M et al (2005) Complications following full-


thickness small intestinal biopsy in 66 dogs: a retrospective
study. JSAP 46 (7), 317-321 PubMed.

Sudisma, I.G.N., dkk, 2006. Ilmu Bedah Veteriner dan teknik Operasi. Pelawasai

Tripathi, K.D. 2008. Essentials Of Medical Pharmacology. New Delhi: Jaypee


Brothers Medical Publisher (P) Ltd.

Undergraduate Programs Washington State University College of Veterinary


Medicine.2019. Lab 10: Digestive (Intestines).Washington DC : WSU
https://undergraduate.vetmed.wsu.edu/courses/vph-308/gross/lab-9-
gross-digestive/digestive-tract/intestines (diakses 4 Desember 2019 pada
21.49 WIB)

Weisman D L, Smeak D D, Birchard S J et al (1999) Comparison of a Continuous


Suture Pattern with a Simple Interrupted Suture Pattern for Enteric
Closure in Dogs and Cats: 83 Cases (1991-1997). JAVMA 214 (10),
1507-1510 PubMed.

Wilyanto I. 2010. Terapi Cairan: memilih larutan terbaik untuk tiap pasien.
Seminar sehari continuing Education APDHKI Denpasar
Yudhi. 2010. Enterotomi dan Premedikasi serta Anastesi Umum. UGM.
Yogyakarta
Yusuf, I. 1995. Ilmu Bedah Khusus Veteriner. Diktat. Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh
LAPORAN KEGIATAN PPDH
SUB-ROTASI BEDAH DAN RADIOLOGI
yang dilaksanakan di
RUMAH SAKIT HEWAN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

ENTEROTOMY PADA TORTOISE PARADISE

Oleh :
GILANG ZAENI PERTIWI, S.KH
180130100011005

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
LAPORAN KEGIATAN PPDH
SUB-ROTASI BEDAH DAN RADIOLOGI
yang dilaksanakan di
RUMAH SAKIT HEWAN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

INTERPRETASI RADIOGRAFI

Oleh :
GILANG ZAENI PERTIWI, S.KH
180130100011005

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019

Anda mungkin juga menyukai