Anda di halaman 1dari 19

PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR)

Dosen Pengampu : Dr. Sigid Edy Purwanto, M.Pd.

Di Susun Oleh :
Anindita Ekaning. S 1701105121
Nur Fitri Yani 1701105110
Shofiyah 1601105145
Siti Nur Afifah 1601105108
Umu Umairoh 1701105098

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas Pembelajaran Matematika Realistik yang berjudul “Pembelajaran Matematika
Realistik (PMR) atau dalam Bahasa inggris yaitu, Realistic Mathematics Education
(RME)”.
Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Sigid Edy Purwanto, M.Pd.
selaku dosen pengampu mata kuliah ini atas bimbingannya serta pihak-pihak yang
terkait dalam pembentukan makalah yang telah membantu selama berlangsungnya
penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwasanya makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu
kami menerima kritik dan saran yang membangun agar pembuatan makalah kami dapat
lebih baik lagi dimasa yang mendatang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua dan menjadi salah satu sumber informasi yang layak diketahui terutama generasi
muda sekarang ini.

Jakarta, 18 September 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................................ 3

B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 4

C. Tujuan Penulisan .............................................................................................. 4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Pembelajaran Matematika Realistik .............................................. 5

B. Sejarah Pembelajaran Matematika Realistik.................................................. 13

C. 5 Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik ...................................... 14

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................... 18

B. Saran ............................................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 19


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Matematika adalah salah satu ilmu dasar, yang semakin dirasakan
interkasinya dengan bidang-bidang ilmu lainnya seperti ekonomi dan teknologi.
Mengingat peranan matematika yang semakin besar dalam tahun-tahun mendatang,
tentunya banyak sarjana matematika yang sangat dibutuhkan yang sangat terampil,
andal, kompeten, dan berwawasan luas.
Dengan salah satu karakteristik matematika yang mempunyai objek yang
bersifat abstrak ini dapat menyebabkan banyak siswa mengalami kesulitan dalam
matematika, maka dari itulah Pembelajaran Matematika Realistik ini kemudian
muncul.
Pembelajaran matematika relaistik pertama kali diperkenalkan dan
dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Pembelajaran
matematika harus dekat dengan anak dan kehidupan nyata sehari-hari.
Biasanya ada sebagian siswa yang menganggap belajar matematika harus
dengan berjuang mati-matian dengan kata lain harus belajar dengan ekstra keras.
Hal ini menjadikan matematika seperti “monster” yang mesti ditakuti dan malas
untuk mempelajari matematika.
Cara mengurangi ketakutan siswa yaitu dengan pembelajaran matematika
realistik dimana pembelajaran ini mengaitkan dan melibatkan lingkungan sekitar,
pengalaman nyata yang pernah dialami siswa dalam kehidupan sehari-hari, serta
menjadikan matematika sebagai aktivitas siswa. Dengan pendekatan RME tersebut,
siswa tidak harus dibawa ke dunia nyata, tetapi berhubungan dengan masalah
situasi nyata yang ada dalam pikiran siswa. Jadi siswa diajak berfikir bagaimana
menyelesaikan masalah yang mungkin atau sering dialami siswa dalam
kesehariannya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah yang dimaksud pembelajaran matematika realistik?
2. Bagaimanakah sejarah dari pembelajaran matematika realistik?
3. Karakteristik apa saja yang ada dalam pembelajaran matematika realistik?

C. Tujuan
1. Mengetahui tentang pembelajaran matematika realistik
2. Mengetahui sejaran terbentuknya pembelajaran matematika realistik
3. Mengetahui karakteristik-karakteristik yang terdapat dalam pembelajaran
matematika realistik
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pembelajaran Matematika Realistik (PMR)


Pembelajaran matematika realistik merupakan teori belajar mengajar dalam
pendidikan matematika. Teori pembelajaran matematika realistik pertama kali
diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut
Freudenthal. Freudenthal berpendapat bahwa matematika harus diartikan dengan
realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Dari pendapat Freudenthal
memang benar alangkah baiknya dalam pembelajaran matematika harus ada
hubungannya dengan kenyataan dan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu
manusia harus diberi kesempatan untuk menemukan ide dan konsep matematika
dengan bimbingan orang dewasa. Matematika harus dekat dengan anak dan
kehidupan sehari-hari. Upaya ini dilihat dari berbagai situasi dan persoalan-
persoalan “realistik”. Realistic ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi
pada sesuatu yang dapat dibayangkan.
Adapun menurut pandangan konstruktifis pembelajaran matematika adalah
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep
matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi. Guru dalam
hal ini berperan sebagai fasilitator. Dalam pembelajaran matematika guru memang
harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan sendiri konsep-
konsep matematika dengan kemampuan siswa sendiri dan guru terus memantau
atau mengarahkan siswa dalam pembelajaran walaupun siswa sendiri yang akan
menemukan konsep-konsep matematika, setidaknya guru harus terus mendampingi
siswa dalam pembelajaran matematika.
Menurut Davis (1996), pandangan konstruktivis dalam pembelajaran
matematika berorientasi pada:
1. Pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi.
2. Dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa.
3. Informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui
suatu kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan
menginterpretasikan pengalamannya.
4. Pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang mereka
katakan atau tulis.
Pendapat Davis tersebut, dalam pembelajaran matematika siswa mempunyai
pengetahuan dalam berpikir melalui proses akomodasi dan siswa juga harus dapat
menyelesaikan masalah yang akan dihadapinya. Siswa mengetahui informasi baru
dikaitkan dengan pengalaman sehari-hari secara logis, dalam pembelajaran ini
harus bisa memahami dan berpikir sendiri dalam menyelesaikan masalah tersebut,
jadi tidak tergantung kepada guru, siswa juga dapat mempunyai cara tersendiri
untuk menyelesaikan masalah.
Beberapa konsepsi RME tentang siswa, guru dan tentang pengajaran yang
diuraikan berikut ini mempertegas bahwa RME sejalan dengan paradigma baru
pendidikan, sehingga ia pantas untuk dikembangkan di Indonesia.
1. Konsepsi tentang siswa
a. Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika
yang mempengaruhi belajar selanjutnya;
b. Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu
untuk dirinya sendiri;
c. Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi
penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan
penolakan;
d. Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri
berasal dari seperangkat ragam pengalaman;
e. Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu
memahami dan mengerjakan matematika.
2. Peran guru
a. Guru hanya sebagai fasilitator belajar;
b. Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;
c. Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif
menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa
dalam menafsirkan persoalan nyata; dan
d. Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum,
melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia nyata, baik fisik
maupun sosial.
3. Konsepsi tentang pengajaran Pengajaran matematika dengan pendekatan RME
meliputi aspek-aspek berikut (De Lange, 1995):
a. Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi
siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga
siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna;
b. Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut;
c. Siswa mengembangkan atau menciptakanmodel-model simbolik secara
informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan;
d. Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan
memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami
jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya,
menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain; dan
melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap
hasil pelajaran.

Pembelajaran Matematika Realistik di sekolah dilaksanakan dengan


menempatkan realitas dan lingkungan siswa sebagai titik awal pembelajaran.
Masalah-masalah yang nyata atau dapat dibayangkan dengan baik oleh siswa dan
digunakan sebagai sumber munculnya konsep atau pengertian-pengertian
matematika yang semakin meningkat. Jadi pembelajaran tidak dimulai dari definisi,
teorema atau sifat-sifat dan selanjutnya diikuti dengan contoh-contoh, namun sifat,
definisi, teorema itu diharapkan “seolah-olah ditemukan kembali” oleh siswa (R.
Soedjadi, 2001:2). Jelas bahwa dalam pembelajaran matematika realistik siswa
ditantang untuk aktif bekerja bahkan diharapkan agar dapat mengkonstruksi atau
membangun sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya.
Realistic Mathematic Education (RME) diawali dengan masalah-masalah
yang nyata, sehingga siswa dapat menggunakan pengalaman sebelumnya secara
langsung. Dengan Realistic Mathematic Education (RME) siswa dapat
mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa juga dapat
mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dan dunia nyata.
Pengajaran matematika dengan Realistic Mathematic Education (RME) meliputi
aspek-aspek berikut menurut De Lange (Daryanto, 2013:164).
1. Memulai pelajaran dengan mengajarkan masalah (soal) yang “riil” bagi peserta
didik sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya sehingga peserta
didik terlibat pelajaran secara bermakna.
2. Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai dalam pelajaran tersebut.
3. Peserta didik mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara
informal terhadap prsoalan atau masalah yang diajukan.
4. Pengajaran berlangsung secara interaktif: peserta didik menjelaskan dan
membrikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban
temannya (peserta didik lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan
ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain dan melakukan
refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.

Penjelasan lebih lanjut dikemukakan oleh Van den Heuvel (Wijaya, 2012:20)
bahwa penggunaan kata ”realistik” sebenarnya berasal dari bahasa Belanda ”zich
realiseren” yang berarti untuk dibayangkan. Jadi, RME tidak hanya menunjukkan
adanya keterkaitan dengan dunia nyata tetapi lebih mengacu pada fokus pendidikan
matematika realistik yaitu penekanan pada penggunaan situasi yang dapat
dibayangkan oleh siswa.
Hadi (2005:19) menjelaskan bahwa dalam matematika realistik dunia nyata
digunakan sebagai titik awal untuk pengembangan ide dan konsep
matematika.Penjelasan lebih lanjut bahwa pembelajaran matematika realistik ini
berangkat dari kehidupan anak, yang dapat dengan mudah dipahami oleh anak,
imajinasinya, dan dapat dibayangkan sehingga mudah baginya untuk mencari
kemungkinan penyelesaiannya dengan menggunakan kemampuan matematis yang
telah dimiliki. Tarigan (2006:3) bahwa pembelajaran matematika realistik
menekankan akan pentingnya konteks nyata yang dikenal siswa dan proses
konstruksi pengetahuan matematika oleh siswa sendiri.
Selain itu, RME menekankan pada keterampilan proses matematika,
berdiskusi dan berkolaborasi, beragumentasi dengan teman sekelas sehingga
mereka dapat menemukan sendiri dan akhirnya menggunakan matematika untuk
menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok. Namun, perlu
diketahui bahwa dalam RME tidak hanya berhenti pada penggunaan masalah
realistik. Masalah realistik hanyalah pengantar siswa untuk menuju proses
matematisasi.
Matematisasi adalah suatu proses untuk mematematikakan suatu fenomena.
Dalam penerapan RME terdapat dua jenis matematisasi yaitu matematisasi
horizontal dan matematisasi vertikal. Matematisasi horizontal berkaitan dengan
proses generalisasi (generalizing) yang diawali dengan pengidentifikasian konsep
matematika berdasarkan keteraturan (regularities) dan hubungan (relation) yang
ditemukan melalui visualisasi dan skematisasi masalah.
Jadi, pada matematisasi horizontal ini siswa mencoba menyelesaikan
soalsoal dari dunia nyata, dengan menggunakan bahasa dan simbol mereka sendiri,
dan masih bergantung pada model. Berbeda dengan matematisasi vertikal yang
merupakan bentuk proses formalisasi (formalizing) dimana model matematika yang
diperoleh pada matematisasi horizontal menjadi landasan dalam pengembangan
konsep matematika yang lebih formal melalui proses matematisasi vertikal. Dengan
kata lain, kedua jenis matematisasi ini tidak dapat dipisahkan secara berurutan,
tetapi keduanya terjadi secara bergantian dan bertahap (Wijaya, 2012: 41–43).
Jadi, dalam RME masalah realistik digunakan sebagai stimulator utama
dalam upaya rekonstruksi pengetahuan peserta didik. Selain itu, penerapan RME
diiringi oleh penggunaan model agar pembelajaran yang dilakukan benar-benar
dapat dibayangkan oleh siswa (imaginable), sehingga mengacu pada penyelesaian
masalah dengan berbagai alternatif melalui proses matematisasi yang dilakukan
oleh siswa sendiri.
a. Langkah-langkah Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME)
Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik menurut Suharta
(Nurdini, 2014:12) disajikan dalam Tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1
Aktivitas Guru Aktivitas Siswa
Guru memberikan masalah kontekstual Siswa secara mandiri atau
kelompok kecil mengerjakan
masalah dengan strategi
informal.
Guru merespon secara positif jawaban Siswa memikirkan strategi
siswa. Siswa diberi kesempatan untuk yang paling efektif
memikirkan strategi siswa yang paling
efektif
Guru mengarahkan siswa pada bebrapa Siswa secara sendiri-sendiri
masalah kontekstual dan selanjutnya atau berkelompok
mengerjakan masalah dengan menggunakan menyelesaikan masalah
pengalaman mereka tersebut

Guru mendekati siswa sambil meberikan Beberapa siswa mengerjakan


bantuan seperlunya di papan tulis melalui diskusi
kelas, jawaban siswa
dikonfirmasikan.
Guru mengenalkan istilah konsep Siswa merumuskan bentuk
matematika formal
Guru memberikan tugas di rumah, yaitu Siswa mengerjakan tugas di
mengerjakan soal atau membuat masalah rumah dan menyerahkan
cerita serta jawabannya sesuai dengan kepada guru
matematika formal
Lain halnya dengan Wijaya (2012:45) memaparkan proses matematisasi
untuk menyelesaikan masalah realistik dalam penerapan RME sebagai berikut.
1) Diawali dengan masalah dunia nyata (Real World Problem).
2) Mengidentifikasi konsep matematika yang relevan dengan masalah, lalu
mengorganisir masalah sesuai dengan konsep matematika.
3) Secara bertahap meninggalkan situasi dunia nyata melalui proses perumusan
asumsi, generalisasi, dan formalisasi. Proses ini bertujuan untuk
menerjemahkan masalah dunia nyata kedalam masalah matematika yang
representatif.
4) Menyelesaikan masalah matematika (terjadi dalam dunia matematika).
5) Menerjemahkan kembali solusi matematis ke dalam solusi nyata, termasuk
mengidentifikasi keterbatasan dari solusi.
Berdasarkan uraian pendapat di atas, diketahui bahwa penerapan RME
diawali dengan pemunculan masalah realistik. Dilanjutkan dengan proses
penyelesaian masalah yang terjadi dalam dunia matematika dan diterjemahkan
kembali ke dalam solusi nyata. Hasil dari proses ini, kemudian dipublikasikan
melalui diskusi kelas dan diakhiri dengan penyimpulan atas penyelesaian masalah
tersebut.

b. Implementasi Pembelajaran Matematika Realistik


Untuk memberikan gambaran tentang implementasi pembelajaran
matematika realistik, misalnya diberikan contoh tentang pembelajaran pecahan
di sekolah dasar (SD). Sebelum mengenalkan pecahan kepada siswa sebaiknya
pembelajaran pecahan dapat diawali dengan pembagian menjadi bilangan yang
sama misalnya pembagian kue, supaya siswa memahami pembagian dalam
bentuk yang sederhana dan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga
siswa benar-benar memahami pembagian setelah siswa memahami pembagian
menjadi bagian yang sama, baru diperkenalkan istilah pecahan. Pembelajaran
ini sangat berbeda dengan pembelajaran bukan matematika realistik dimana
siswa sejak awal dicekoki dengan istilah pecahan dan beberapa jenis pecahan.
Pembelajaran matematika realistik diawali dengan dunia nyata, agar dapat
memudahkan siswa dalam belajar matematika, kemudian siswa dengan bantuan
guru diberikan kesempatan untuk menemukan sendiri konsep-konsep
matematika. Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam
bidang lain.

B. Sejarah Pembelajaran Matematika Realistik (PMR)


Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) atau dalam Bahasa Inggris yaitu
Realistic Mathematics Education (RME), merupakan teori pembelajaran khusus
dalam matematika yang dikembangkan pertama kali di negeri Belanda, tepatnya di
the Freudenthal Institute, Utrecht University, sejak tahun 1970an (Freudenthal,
1991; Treffers, 1987; Van den Heuvel-Panhuizen & Drijvers, 2014). Permulaan
munculnya teori RME adalah sejak adanya proyek Wiskobas (matematika di
sekolah dasar) tahun 1968 yang digagas Edu Wijdeveld dan Fred Goffree, kemudian
turut bergabung Adri Treffers. Ketiga ahli pendidikan matematika inilah yang
pertama kali mengembangkan dasar-dasar dari teori RME.
Tahun 1971, ketika proyek Wiskobas menjadi bagian institut IOWO, dengan
Hans Freudenthal sebagai direktur pertama, dan tahun 1973 ketika institute IOWO
mengembangkan proyek Wiskivon untuk pendidikan matematika sekolah
menengah, maka hal inilah yang menjadi dasar permulaan dalam mereformasi
pendekatan pembelajaran matematika yang sebelumnya telah lama digunakan di
Belanda (Van den Heuvel-Panhuizen & Drijvers, 2014). Pendekatan yang
sebelumnya digunakan di Belanda adalah pendekatan mekanistik, yakni
matematika diajarkan secara langsung pada tahap formal, terpisah antar topik, dan
konten matematika disusun berdasarkan struktur matematika sebagai suatu disiplin
ilmiah. Siswa belajar matematika dengan cara mempelajari prosedur selangkah
demi selangkah mengikuti demonstrasi dan contoh guru dalam menyelesaikan
masalah matematika. Hal ini mengakibatkan matematika sebagai pengetahuan kaku
yang bersifat reproduktif. Sebagai alternatif dari pendekatan mekanistik ini,
matematika modern yang kala itu sedang tren di dunia hampir saja mempengaruhi
negeri Belanda. Untung saja, Freudenthal dengan timnya mampu membendung
masuknya pendekatan matematika modern ke Belanda, dan sebagai alternatifnya
pendekatan RME berkembang hingga kini dan seterusnya.
Karena institut IOWO dipimpin Freudenthal—pada tahun 1991 dinamai
Freudenthal Institute, merupakan institut untuk mereformasi pendidikan
matematika di Belanda di bawah naungan Utrecht University—teori RME banyak
dipengaruhi gagasan Freudenthal (Freudenthal, 1991). Menurut Freudenthal—
sekarang dipandang sebagai gagasan pokok teori RME—matematika itu hendaknya
dikenalkan sebagai pengetahuan yang bermakna bagi siswa, dan matematika itu
merupakan aktivitas manusia. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran,
matematika bukan dipelajari sebagai sistem tertutup, melainkan harus dipelajari
sebagai suatu aktivitas mematematisasi realitas dan mematematisasi matematika
itu sendiri.
Menurut Van den Heuvel-Panhuizen dan Drijvers (2014), gagasan
matematisasi horizontal dan vertikal dalam proses bermatematika yang semula
digagas oleh Treffers diambil alih dan disempurnakan oleh Freudenthal. Dalam
matematisasi horizontal, siswa menggunakan matematika untuk mentransformasi
situasi masalah realistik ke dalam situasi matematis dalam bentuk model
matematika; dan dalam matematisasi vertikal, siswa bekerja dalam dunia
matematika simbolik melalui proses reorganisasi model hingga ditemukan
penyelesaian masalah.
Hal lain yang perlu dipahami tentang RME adalah istilah tentang “realistic”
yang berasal dari istilah bahasa Belanda “zich REALISEren” yang bermakna “untuk
dibayangkan”. Dengan demikian, kata “realistic” bisa bermakna: (1) konteks nyata
yang ada dalam kehidupan sehari-hari; (2) konteks matematis formal dalam
dunia matematika; atau (3) konteks hayalan yang tak terdapat dalam kenyataan
tetapi dapat dibayangkan. Ketiga makna ini dipandang sebagai arti dari istilah
“realistic” asalkan konteks-konteks tersebut dapat dibayangkan di dalam pikiran
siswa yang sedang belajar matematika (Freudenthal, 1991, Van den Heuvel-
Panhuizen, 2003; Van den Heuvel-Panhuizen & Drijvers, 2014).
C. 5 Karakteristik Realistic Mathematics Education (RME)
Dasar RME (Realistic Matematics Education), dirancang oleh Freudenthal,
seorang ahli matematika (topologi) terkemuka, bersama koleganya di Belanda.
Kemudian dikembangkan oleh Institut Freudenthal di Universitas Utrecht. Menurut
Freudenthal, matematika sebaiknya diajarkan dengan mengaitkannya dengan
realitas sejarah dan pengalaman peserta didik secara relefan terhadap masyarakat.
Bahan pelajaran hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga peserta didik
berturunan ‘menemukan kembali’ (guided re-invention) matematika atau
rumusnya.
Ini berarti bahwa alam pendidikan matematika, bukanlah pada matematika
sebagai suatu produk yang siap pakai melainkan pada kegiatan, pada proses
matematisasi. Ini menuntut inisiatif dan kreatifitas dari peserta didik, membuat
peserta didik jadi pembelajar yang aktif. Dalam hal ini matematika harus dekat
dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Dalam RME
(Realistic Matematics Education), masalah realistik dijadikan pangkal tolak
pembelajaran. Peserta didik menjawab masalah realistik dengan menggunakan
pengetahuan informasi.
Menurut Marja Van Den Hauzel-Panhuizen, karakteristik RME (Realistic
Matematics Education), yaitu: a) The dominating place of context problems b) The
broad attention paid to the development of models c) The contributions of students
by means of own productions and constructions d) The interactive character of the
learning process; and e) The intertwinement of learning strands.
Maksudnya 5 karakteristik utama dari pembelajaran RME (Realistic
Matematics Education), adalah sebagai berikut:
1. The use of context (Menggunakan konteks), artinya dalam pembelajaran
matematika realistik lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah
dimiliki peserta didik dapat dijadikan sebagai bagian materi belajar yang
kontekstual bagi peserta didik.
2. Use models, bridging by vertical instrument (Menggunakan model), artinya
permasalahan atau ide dalam matematika dapat dinyatakan dalam bentuk
model, baik model dari situasi nyata maupun model yang mengarah ke tingkat
abstrak.
3. Students constribution (Menggunakan kontribusi peserta didik), artinya
pemecahan masalah atau penemuan konsep didasarkan pada sumbangan
gagasan peserta didik.
4. Interactivity (Interaktif), artinya aktivitas proses pembelajaran dibangun oleh
interaksi peserta didik dengan peserta didik, peserta didik dengan guru, peserta
didik dengan lingkungan dan sebagainya.
5. Intertwinement (terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya), artinya topik-
topik yang berbeda dapat diintegrasikan sehingga dapat memunculkan
pemahaman tentang suatu konsep secara serentak.

Dari karakteristik pembelajaran matematika, maka penerapan RME (Realistic


Matematics Education) di sekolah, adalah sebagai berikut:
1. Sebelum suatu materi (pokok bahasan) diberikan kepada peserta didik,
diberikan kegiatan terencana (bisa lewat nyanyian, alat peraga, workshop mini,
permainan, atau 1-2 soal kontekstual/ realistik) yang mengarahkan agar peserta
didik dapat menemukan atau mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Semua
kegiatan yang dirancang tersebut dapat dikerjakan oleh para peserta didik secara
informal atau coba-coba berdasarkan apresiasi atau cara spesifik peserta didik
(karena materi atau algoritma soal tersebut belum diberikan oleh guru kepada
peserta didik).
2. Guru mengamati/ menilai/ memeriksa hasil pekerjaan peserta didik. Guru perlu
menghargai keberagaman jawaban peserta didik.
3. Guru dapat meminta 1 atau 2 peserta didik untuk mendemonstrasikan
temuannya (cara menyelesaikannya) di depan kelas.
4. Dengan tanya jawab, guru dapat mengulangi jawaban peserta didik agar peserta
didik yang lainnya memiliki gambaran yang jelas tentang pola pikir peserta
didik yang telah menyelesaikan soal tersebut.
5. Setelah itu, guru baru menerangkan pokok bahasan pendukung soal yang baru
saja dibahas (atau kegiatan yang baru saja dilakukan), termasuk memberikan
informasi tentang algoritma yang tepat untuk menyelesaikan soal tersebut.

Berdasarkan karakteristik model RME (Realistic Matematics Education),


pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik memberikan kepada peserta
didik, situasi masalah yang dapat mereka bayangkan yang memiliki hubungan
dengan dunia nyata. Dunia nyata dapat berupa media pembelajaran, model atau
benar-benar benda nyata yang dapat dimanipulasi. Selain itu, pendekatan realistik
menekankan pada keaktifan peserta didik dalam mempelajari matematika.
Dengan demikian, untuk menumbuhkan sikap positif terhadap matematika,
pembelajaran materi matematika harus dipilih dan disesuaikan dengan lingkungan
yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari (kontekstual) dan tingkat kognitif
peserta didik, dimulai dengan cara-cara informal melalui pemodelan sebelum cara
formal. Hal ini sesuai dengan karakteristik pembelajaran penerapan model RME
(Realistic Matematics Education).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pembelajaran matematika realistik merupakan teori belajar mengajar dalam
pendidikan matematika. Pembelajaran Matematika Realistik ditujukan untuk
mengurangi ketakutan siswa, yang dimana pengalaman nyata yang pernah dialami
siswa dalam kehidupan sehari-hari, serta menjadikan matematika sebagai aktivitas
siswa. Dengan pendekatan RME tersebut, siswa tidak harus dibawa ke dunia nyata,
tetapi berhubungan dengan masalah situasi nyata yang ada dalam pikiran siswa.
Jadi siswa diajak berfikir bagaimana menyelesaikan masalah yang mungkin atau
sering dialami siswa dalam kesehariannya.
Dalam pembelajaran matematika realistik terdapat 5 karakteristik, yaitu The
use of context (Menggunakan konteks), Use models, bridging by vertical instrument
(Menggunakan model), Students constribution (Menggunakan kontribusi peserta
didik), Interactivity (Interaktif), Intertwinement (terintegrasi dengan topik pembelajaran
lainnya).
Penerapan pendekatan pembelajaran matematika realistik dapat dilakukan
dengan langkah-langkahnya yaitu:
1. Memahami masalah kontekstual
2. Menjelaskan masalah kontekstual
3. Menyelesaikan masalah kontekstual
4. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
5. Menyimpulkan

B. Saran
Akhir dari penyajian makalah ini penyusun menyarankan kepada rekan
sejawat khususnya guru mata pelajaran matematika agar dapat menerapkan metode
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) saat mengajar matematika dalam upaya
meningkatkan aktivitas belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.referensimakalah.com/2012/11/rme-realistic-matematics-education.html
Ria Noviana Agus. 2016. Efektivitas Pembelajaran Matematika Melalui Pendekatan
Realistics Mathematics Education (Rme) Dengan Pemecahan Masalah Ditinjau Dari
Gaya Belajar Siswa. JIP STKIP Kusuma Negara (ISSN: 2085-7144), vol. 7, No.2.
RS. Noviani. 2016. Penggunaan Pendekatan dan Metode dalam Pembelajaran

Anda mungkin juga menyukai