Anda di halaman 1dari 16

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Isu-Isu Kontemporer


Isu-isu global kontemporer adalah isu yang berkembang serta meluas
setelah Perang Dingin berakhir pada era 1990-an. Pengertian mengenai isu-isu
global kontemporer terkait erat dengan sifat dari isu-isu tsb yang tidak lagi
didominasi oleh hubungan Timur-Barat, seperti, ancaman perang nuklir,
persaingan ideologi antara Demokrasi-Liberal dan Marxisme-Leninisme,
diplomasi krisis, dsb. Masyarakat internasional kini dihadapkan pada isu-isu
global yang terkait dengan “Tatanan Dunia Baru” (New World Order). Isu2
mengenai persoalan2 kesejahteraan ini berhubungan dengan Human Security
antara negara2 maju (developed) dengan negara2 berkembang (developing
countries) serta masalah lingkungan.
Isu-isu global kontemporer merupakan isu yang lahir sebagai bentuk baru
ancaman keamanan yang mengalami transformasi sejak berakhirnya Perang
Dingin menjadi suatu “Agenda Global Baru” (New Global Agenda). Transformasi
ini erat kaitannya dengan makin besarnya perhatian dunia terhadap bentuk baru
ancaman tsb, terutama pasca tragedi 11 September 2001. Ancaman dalam bentuk
baru ini bukan berupa “serangan militer” yg dilakukan oleh suatu negara terhadap
negara lain tetapi tindakan kejahatan yang dilakukan oleh non-state actor dan
ditujukan kepada state actor maupun individu atau warga negara yang mengancam
keamanan umat manusia (Human Security). Ancaman tsb dapat berupa tindakan
terorisme atau kejahatan transnasional yg terorganisir (Transnational Organized
Crime/TOC), kesejahteraan (kemiskinan), degradasi lingkungan, konflik etnis dan
konflik komunal yang berdimensi internasional, hutang luar negeri, dsb.
Bagi negara2 Dunia Ketiga, isu-isu yg terkait dgn ancaman keamanan
dalam bentuk baru (Human Security) ini merupakan “ancaman keamanan yang
nyata” karena memiliki relevansi dengan kondisi domestik Negara2 Dunia Ketiga
yg masih disibukkan oleh berbagai persoalan mengenai:
1. Situasi transisi politik,
2. Lemahnya kekuasaan pemerintah akibat tidak maksimalnya upaya penegakan
hukum,

2
3

3. Ketidakpastian politik,
4. Krisis ekonomi,
5. Masalah konflik di wilayah perbatasan,
6. Konflik etnis dan konflik komunal dengan berbagai dimensi internasionalnya,
7. Persoalan disintegrasi bangsa,
8. Peningkatan jumlah pelaku terorisme,
9. Kemampuan melakukan tindakan ancaman terhadap human security, dsb.

Sifat Isu-isu Global Kontemporer adalah sbb:


1. Nonkonvensional,
2. Nontradisional,
3. Nonmiliter,
4. Multidimensional, dan
5. Transnasional.

Berkembangnya isu-isu global merupakan akibat dari perkembangan


ancaman dan berbagai persoalan kontemporer yang bersifat nonkonvensional,
multidimensional, maupun transnasional tsb. Meluasnya persoalan global
kontemporer ini juga didorong oleh perkembangan teknologi, terutama teknologi
informasi dalam era globalisasi pasca Perang Dingin. Dengan demikian, isu-isu
global kontemporer dengan sifat2 utamanya tsb telah mengalami transformasi
yang menggeser persepsi mengenai ancaman keamanan yang bersifat
konvensional. Berbeda dengan isu-isu global kontemporer yang berkembang
setelah Perang Dingin berakhir, ancaman keamanan konvensional sebelumnya
telah mendominasi isu-isu politik internasional selama era Perang Dingin dengan
hanya berorientasi terhadap ancaman militer atau perluasan ideologis dari
persaingan dua negara adidaya dalam sistem internasional.
Persoalan-persoalan yg dikategorikan sebagai isu ancaman nonmiliter/
nontradisional di antaranya adalah:
1. Degradasi lingkungan,
2. Kesejahteraan ekonomi,
3. Organisasi kriminal transnasional,
4. Migrasi penduduk.
4

Karakterisitik isu-isu global kontemporer sbg ancaman keamanan


nontradisional adalah:
1. Isu global kontemporer yg merupakan ancaman keamanan bersifat
nontradisional tsb tidak terpusat pada satu negara tertentu saja. Dengan
demikian, ancaman yang merupakan bagian dari isu-isu global kontemporer
ini tak hanya dihadapi oleh satu negara, tetapi telah mengancam sejumlah
negara ttt sekaligus (memiliki dimensi regional dan global). Oleh karena itu,
isu-isu global kontemporer sering disebut sbg “ancaman keamanan
transnasional”.
2. Isu global kontemporer tidak terfokus pada suatu lokasi geografis ttt saja.
Berdasarkan karakter geografisnya, isu-isu ini seringkali sulit “dikenali”
karena sifatnya yg melewati batas-batas antarnegara hingga batas-batas
regional (transnasional).
3. Isu-isu global kontemporer tidak dapat dihadapi hanya dgn kekuatan militer
semata. Memang kekuatan militer dapat digunakan dalam eskalasi yang
mengarah pada konflik bersenjata. Akan tetapi, kekuatan militer pada jangka
panjang tak dapat lagi digunakan secara efektif untuk mengatasi ancaman isu-
isu global tsb.
4. Persoalan keamanan yang menjadi isu-isu global kontemporer telah
mengancam eksistensi suatu negara maupun individu2 yang merupakan bagian
dari negara tsb.

B. Isu-Isu Kontemporer dalam Studi Islam


1. Islam dan Liberal
Setelah melalui sebuah pergulatan panjang selama satu dasawarsa, sejak
tahun 1980-an, pemikiran dan aksi Islam Indonesia tampak sekali mengalami
perubahan yang signifikan ini sekurang-kurangnya ditandai dengan tiga hal.[1]
Pertama, format pemikiran era 1990-an jauh berbeda dengan corak
pemikiran Islam era 1960-an sebagai gelombang awal pegulatan pemikiran
Islam Indonesia. Pemikiran Islam era 1990-an merupupakan kelanjutan dari
corak pemikiran Islam tahun 1970 dan 1980-an dengan aktor-aktor baru yang
muncul di pentas nasional, seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid,
Djohan Effendy, Ahmad Wahib, Kuntowijoyo, Moeslim Abdurrahman,
5

Amien Rais, Jalaludin Rakhmad, Dawam Rahardjo, dan Munawir Sjadzali.


Sementara pada era 1990-an, muncul aktor-aktor baru, seperti Mansour Fakih,
Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer, Quraish Shihab,
Amin Abdullah, dan Budi Munawar Rachman.
Tahun 1990-an merupakan era di mana rezim Soeharto telah mulai
menampakkan tanda-tanda penerimaannya terhadap Islam. Di era ini negara
sangat akomodatif terhadap Islam sehingga pemikiran dan aksi Islam
Indonesia juga cenderung akomodatif. Sekalipun masih ada kelompok Islam
yang konfrontatif, namun hal itu bukanlah ditujukan pada negara secara
langsung, tetapi lebih pada pemikiran umat Islam sendiri, terutama dalam hal
strategi perjuangan dan diskursus yang dikembangkan. Ini sangat berbeda pada
era tahun 1970-an dan 1980-an, dimana artikulasi politik dan corak pemikiran
Islam Indonesia cenderung konfrontatif terhadap rezim kekuasaan.
Kedua, perubahan sikap rezim kekuasaan terhadap Islam telah
mendukung perkembangan pemikiran Islam era 1990-an. Corak pemikiran
Islam pada era ini sejatinya mempunyai kecenderungan menjembatani
ketegangan konseptual antara gagasan-gagasan keislaman dengan ide-ide
politik dan kenegaraan 1980-an di bawah rezim Orde Baru. Kondisi tidak
produktif inilah yang membuat para aktor pemikir islam era 1990-an mencoba
menawarkan “jalan tengah” agar trauma politik dan pengalaman pahit di
bawah rezim Orde Baru tidak terulang. “Jalan tengah” yang disodorkan adalah
menawarkan pemikiran-pemikiran aktual yang lebih substansif yang
diharapkan bisa mendukung perkembangan serta kemajuan umat Islam.
Ketiga, pada tahun 1990-an telah muncul generasi baru pemikiran Islam
Indonesia, dengan nuansa yang lebih terbuka dan memunculkan apa yang
disebut mazhab baru pemikiran Islam Indonesia, yakni mazhab liberal Islam.
Era 1990-an juga bisa disebut sebagai “bulan madu” islam dengan negara,
sebab pada tahun ini negara benar-benar menengok Islam sebagai sesuatu yang
amat penting.
6

2. Islam dan Terorisme


a. Pengertian terorisme
Terorisme mempunyai beberapa pengertian. Dalam bahasa barat
terdapat beberapa definisi, seperti:
1) Pemakaian kekerasan secara sistematis untuk mencapai tujuan politik
(merebut, mempertahankan atau menerapkan kekuasaan).
2) Keseluruhan tindakan kekerasan, penyerangan, penyenderaan warga
sipil yang dilakukan sebagai organisasi politik untuk menimbulkan
kesan kuat atas suatu negara, negaranya sendiri maupun negara lain.
3) Sikap menakut-nakuti.
4) Penggunaan kekerasan dan intimidasi, terutama untuk tujuan-tujuan
politik.
5) Kekerasan yang sangat jelas ditujukan pada warga sipil yang dipilih
secara acak dalam usaha menimbulkan rasa takut yang menyebar
kemana-mana dan karenaya memengaruhi kebijakan-kebijakan
pemerintah.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teror diartikan dengan:


1) Perbuatan (pemerintah dan sebagainya) yang sewenang-wenang
(kejam, bengis, dsb.).
2) Usaha menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh
seseorang atau golongan. Terorisme berarti penggunaan kekerasan
untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan
(terutama tujuan politik), praktik-praktik tndakan teror.

Dari berbagai definisi di atas dapt disimpulkan bahwa dalam


terorisme terdapat unsur-unsur: (1) tindakan yang sisengaja untuk
menimbulkan ketakutan, (2) tujuan atau kepentingan yang akan dicapai
ole pembuat ketakutan dengan tindakan itu, (3) korban tindakan itu tidak
selalu berkaitan langsung dengan tujuan yang hendak dicapai. Dengan
demikian, tindakan atau penampilan tertentu yang tanpa disengaja
menyebabkan orang lain ketakutan tidak dapat dimasukkan dalam
kategori ketakutan. Demikian pula hukum atau ketentuan yang membuat
7

orang takut untuk melakukan pelanggaran, tidak termasuk ke dalam


kategori terorisme.[2]
b. Terorisme dalam fiqh
Pembahasan mengenai terorisme tidak terdapat secara sendiri dalam
kitab-kitab fiqh lama. Biasanya pembahasan mengenai terorisme terdapat
dalam pasal atau bab tentang pembegal (‫ )قاطع الطريق‬dan selalu berkenaan
dengan hukuman atas pelakunya.
Dalam kitab al-Umm misalnya, Imam asy-syafi’i mengatakan:
[129‫ ص‬5 ‫ ج‬, ‫وإدا أخافوا السبيل ولم ياًخذوا ماالنفوا من األرض ]سلسلة كتاب الشعب‬
“Jika menakut-nakuti orang yang lewat di jalan dan tidak mengambil
harta, maka hukumannya adalah dibuang ketempat yang jauh.”

Pembahasan yang serupa juga ditemukan dalam dua Imam Syafi’iyah


yang lain, yakni Imam al-Nawawi dan ibn hajar al-Haitami.
Imam al-Nawawi dalam kitabnya, ‫ المجموع شرح المهذب‬menyatakan:
‫من شهر االسالح وأجاف السبيل في مصرأوبرية وجب علي اإلمام طلبه ألنه إذا ترك قويت‬
‫ فاٍن وقع قبل أن ياًخذالمال ويقتل النفس عزر‬.‫شوكته وكثر الفسادبه في قتل انفوس وأخذاألموال‬
20 ‫ ]ج‬,‫ دارالفكر‬.‫ ألنه تعرقة بالنقب والمتعرض للزنا بالقبلة‬,‫وحبس علي حسب مايراه السلطان‬
[104 ‫ص‬
“Jika ada orang memamerkan senjata dan menakut-nakuti orang
yang lewat di jalan, maka imam (penguasa politik) wajib mencarinya dan
menangkapnya, karena jika dibiarkan, akan bertambah kekuatannya dan
terjadi banyak kerusakan dengan senjata itu dalam bentuk pembunuhan
dan perampasan. Jika ia tertangkap sebelum mengambil harta dan
membunuh, maka ia pasti di hukum takzir dan dibui sesuai dengan
pendapat penguasa, karena ia menunjukkan tanda-tanda akan melakukan
kedurhakaan besar, sebagaimana orang yang menunjukkan tanda-tanda
akan mencuri dengan merusak pagar dan orang yang menunjukkan
tanda-tanda akan berzina dengan mencium.”

Imam Ibn Hajar al-Haitami menyatakan dalam kitabnya,:‫تحفة المحتاج‬


8

‫ولوعلم اإلمام قوما يخيفون الطريق (أوواحدا) ولم يأخذوا ماال (نصابا) وال (قتلوا) نفسا عزرهم‬
[159 ‫ ] نفس المصدر ص‬.‫) بحبس وغيره‬...‫(وجوبا مالم يرالمصلحة في تركه‬
“Jika imam mengetahui sekelompok orang (atau satu orang)
menakut-nakuti jalan, tanpa mengetahui harta (sampai satu nishab) dan
tidak (membunuh) jiwa, maka ia pasti menerapkan takzir atas mereka
(sebagai suatu kewajiban, jika ia tidak melihat alasan yang dibenarkan
dalam membiarkannya...) dengan memenjarakan mereka atau dengan
cara lain.”
c. Hukum terorisme
Dalam tafsir ayat di atas di sebutkan bahwa variasi hukuman itu
berdasarkan atas kualitas kejahatan mereka. Hukum mati bagi mereka
yang membunuh saja dengan tidak merampas, pemalangan atau
penyaliban untuk mereka yang membunuh dan merampas, pemotongan
tangan dan kaki untuk mereka yang hanya merampas, sedangkan
pembuangan untuk mereka yang hanya mengganggu ketentraman umum.
Dalam tafsir al-Jalain, misalnya, dinyatakan:
‫فالقتل لمن قتل فقط والصلب لممن قتل وأخذ المال والقطع لمن أخذالمال ولم يقتل والنفي لمن‬
‫ قاله ابن عباس وعليه الشفعي وأصح قوليه أن الصلب ثالثا بعد القتل وقيل قبله قليال‬.‫أخاف فقط‬
‫ويلحق باالنفي ماأشبهه في التنكيل من الحبس وغيره‬
“Hukum bunuh merupakan hukuman bagi orang yang hanya
membunuh, penyaliban untuk orang yang membunuh dan mengambil
harta, potong tangan untuk yang mengambil harta tapi tidak membunuh
dan dan pembuangan untuk orang yang hanya menakut-nakuti. Demikian
pendapat yang dikemukakan Ibn Abbas dan diikuti asy-Syafi’i. Di antara
dua pendapat asy-Syafi’i adalah bahwa penyaliban tiga kali disebutkan
setelah hukum bunuh, dikatakan oleh sebagian ulama: sedikit sebelum
hukuman mati. Hukuman-hukuman yang menyerupainya seperti
pengurungan dikategorikan dalam pembuangan.”

Ini berarti terorisme pada umumnya, baik untuk tujuan mengambil


harta maupun untuk tujuan-tujuan politik dan lainnya, masuk dalam bab
memerangi Allah dan Rasul-Nya atau al-Hibarah, yang hukum dasarnya
jelas haram. Akibat terorisme sangat berpengaruh pada kehidupan
9

masyarakat. Rasa aman yang hilang merupakan siksaan kejiwaan yang


berdimensi luas dan mendalam. Ini termasuk dalam “kekerasan” yang
tindakan menimbulkannya sangat dilarang oleh Islam.
d. Faktor permasalahan terorisme
Faktor yang mendorong seseorang melakukan tindakan teroris atau
bergabung dengan kelompok teroris sangat variatif, diantaranya adalah
faktor psikologis, ekonomi, politik, religius, dan sosialis. Sejumlah
ilmuwan, seperti Kent Layne Oots dan Thomas C. Wiegele, bahkan
memasukkan faktor fisiologis. Dalam pendekatan terakhir ini, seseorang
lahir dengan ciri-ciri personality tertentu yang kelak akan mengantarkan
dia menjadi teroris. Dia hanya membutuhkan pancingan-pancingan luar
untuk meledakkan ciri fisiologisnya menjadi faktor pendorong terorisme.
Jadi, sangatlah terlihat simple dan terlihat ironis, mengaitkan terorisme
pada satu faktor saja, seperti agama misalnya. Untuk mengetahui
terorisme dengan lebih baik diperlukan pendekatan-pendekatan
multikausal sebagaimana di bawah ini:
1) Pendekatan historis
a) Akibat kekecewaan politik pada persoalan piagam Jakarta yang
tidak bisa dijadikan dasar Negara. Kelompok yang diketuai oleh
Kartosuwiryo ini tetap berkeinginan menjadikan Indonesia sebagai
Negara Islam atau paling tidak mendirikan Negara Islam di
Indonesia (D.I/TII). DII/Kartosuwiryo 13 tahun ditumpas pada
1963. Penentangan terhadap pemerintah RI mulai dari demo
sampaoi pemberontakan terus dilaksanakan oleh kelompok ini.
b) Akibat tekanan politik orde bar. Kelompok ini memang berbeda
dengan kelompok pertama. Tapi, benih-benih perlawanan terhadap
pemerintah Indonesia sudah muncul. Benih tersebut menemukan
ladangnya ketika orang semisal Abu Bakar Ba’asyir kembali dari
Malaysia, tempat dimana dia mendapatkan didikan yang matang
untuk menjadi muslim garis keras.
c) Memang dibentuk oleh aparat pemerintah Indonesia.
d) Terinspirasi oleh gerakan revolusi Iran 1979, kelompok ini lebih
dominan di kampus daripada di luar. Kelompok ini mengatakan
10

bahwa ideologi Timur Tengah (revolusi Iran, Ikhwan Muslimin)


adalah yang paling baik diterapkan di Indonesia.
e) faktor pembelajaran islam ala kampus sekuler (sebagai imbangan
liberalisasi kampus islam). Pematangan-pematangan ini melalui
beberapa media. Organisasi masa maupun politik. Ormas yang
dimaksud adalah seperti laskar jihad, Majlis Mujahidin Indonesia.
Sedangkan media politik disalurkan lewat partai yang berslogan
islam.
f) Akibat sentimen agama. Anggapan bahwa agama yang dianut
paling benar menyebabkan pandangan yang minor, tidak respek
terhadap agama lain dan penganutnya, dengan sikap yang lebih
ekstrim, terhadap agama lain dan penganutnya.
g) Sebagai bagian dari organisasi trans nasional. Globalisasi ternyata
merambah juga pada penyebaran ideologi dan paham politik.
Ahmadiyah di India, Darul Arqam di Malaysia, Hizbu Da’wah
Islamiyah di Irak, Ikhwan Muslimin di Mesir, ternyatabukan hanya
disebarkan di negara-negara dimana organisasi ini didirikan.
Mereka ingin menyebarkan ideologi mereka di seluruh dunia
termasuk indonesia.
h) Berangkat dari kekecewaan politik, ekonomi, monopoli, dan
kesenjangan sosial juga rentan menimbulkan gejolak kekerasan,
terkadang sampai pada tindakan teror.
2) Pendekatan politik
Hipotesa pendekatan ini adalah bahwa situasi politik tertentu
kondusif melahirkan terorisme. Situasi ini melibatkan politik
internasional, nasional, dan bahkan sub-nasional semacam universitas,
tempat dimana para mahasiswa menjadi familiar dengan ideologi
Marxist-Leninist atau ideologi-ideologi revolusioner lainnya, yang
kemudian mengantarkan mereka pada kelompok-kelompok radikal.
Charles A. Russel dan Bowman H. Miller bahkan mengidentifikasi
universitas sebagai basis utama perekrutan terorisme. Dengan
pendekatan ini, bisa dimengerti kuatnya pengaruh Revolusi Iran 1079
di kampus-kampus Indonesia melebihi pengaruhnya di luar. Kelompok
mahasiswa tipe ini sering mengatakan bahwa ideologi Timur Tengah
11

(Revolusi Iran, Ikhwan Muslimin) adalah yang paling baik untuk


diterapkan di Indonesia.
3) Pendekatan organisasional
Pendekatan yang dikenalkan diantaranya oleh Martha Crenshaw
ini melihat terorisme sebagai program tindakan yang rasional dan
setrategis, yang diputuskan oleh sebuah kelompok. Menurut Crenshaw,
tindakan terorisme tidak dilakukan oleh individu, tapi sebuah
kelompok yang mengambil keputusan secara kolektif, berdasarkan
pada kepercayaan (iman/believe) yang diyakini bersama-sama, walau
tingkat komitmen individu bervariasi. Pendekatan ini terasa kurang
menyakinkan, karena kurangnya penelitian lapangan. Apalagi dengan
mengambil sampel kelompok teroris ternama (bonafit), yang seringkali
didominasi total oleh pemimpin tunggal yang kharismatik, seperti Abu
Nidal, Osama ben Laden. Menurut Erix E. Hudson, rasanya mustahil
kelompok teroris dengan para pemimpin yang dominan seperti itu
mengambil keputusan-keputusan tindak terorisme secara kolektif.
Kemungkinan paling mendekati kebenaran adalah para pemimpin
kharismatik tersebut menginstruksikan tindakan terorisme tertentu
kemudian menyerahkan detail-detail operasionalnya kepada mereka.
4) Pendekatan psikologis
Pendekatan psikologis memiliki proposi yang sama dengan
pendekatan sosiologis dan politik, yakni tak ada seseorang yang lahir
sebagai teroris. Ini berbeda dengan pendekatan fisiologis seperti yang
menyatakan satu hipotesa bahwa seseorang lahir dengan ciri-ciri
personaliti tertentu yang diduga merupakan faktor utama dia menjadi
seorang teroris.
Yang membedakan antara pendekatan sosial-politik dan
pendekatan psikologis adalah pada tingkat analisanya. Pertama tertuju
pada tingkat makro (macro-level), yaitu konteks sosial politik yang
mempengaruhi organisasi terorisme, kedua menganalisa tingkat mikro
(micro-level), yakni per-individu teroris yang meliputi cara dan model
rekrutmen, personaliti, keyakinan, motivasi dan karier sebagai teroris.
12

5) Pendekatan ideologis/ teologis


Ada satu pandangan umum, hanya seorang abnormal yang
sanggup melakukan tindak teror seperti menanam bom di pesawat,
meledakkan bom mobil di jalanan ramai, atau melempar granat ke
sebuah kafe yang sesak. Oleh karena itu, banyak psikolog yang
mempelajari personaliti para teroris mnelalui pengamatan orientasi
psikopatologis, yakni studi tentang disfungsi perilaku dan psikologis
yang terjadi kerena gangguan mental atau dis-organisasi sosial.
Pandangan ini menyiratkan bahwa untuk melakukan tindakan super
keji dibutuhkan dorongan kuat yang mampu menutupi kekejian
tersebut. Selain sakit mental, hal lain uyang bisa mendorong seseorang
melakukannya adalah “fanatisme”. Terorisme adalah mereka yang
fanatik, dan fanatisme seringkali mengarah kepada tindakan kejam dan
sadis.
e. Agenda dunia islam dalam menanggulangi terorisme
1) Mengedepankan sikap toleransi yang dianjurkan Islam dan
memberikan pemahaman yang benar, melalui sarana pengetahuan dan
pendidikan, sehingga dapat dibedakan antara
pengertian jihad dan irhab (terorisme), baik dalam segi bentuk dan
substansinya.
2) Penanggulangan terorisme harus dilakukan secara transparan dengan
menggunakan bukti-bukti tang valid, karena pada dasarnya hak-hak
asasi manusia (HAM) harus dihargai, kecuali terbukti melanggar
undang-undang.
3) Kesalahan hanya dibebankan pada pelaku teroris dan tidak berlaku
bagi orang lain. Hal ini sebagaimana sisebutkan dalam shuhuf Musa
dan Ibrahim serta al-Qur’an:
‫أم لم بنيّا بما في صحف موسي وإبراهيم الذي وفّي الما تزروزرة وزر أخري‬

4) Menghormati nota kesepakatan aturan internasional sekaligus setiap


negara menghormati keberadaan negara lain, sehingga di saat terjadi
tindakan terorisme hanya negara tersebut yang bergerak tanpa
13

intervensi negara lain, kecuali menyampaikan ke pihak yang terkena


kerugian.
5) Perlu adanya pengentasan kemiskinan dunia dan memberikan setiap
negara untuk maju sesuai kemampuan masing-masing negara.
6) Harus menghormati perbedaan beragama, peradaban dan kebudayaan
manusia dan tidak dianggap sebagai benturan. Oleh karena itu, perlu
adanya pengembangan dialog yang bersandar pada logika, nilai dan
kemanfaatan bersama.
7) Perlu adanya penegakan kedzaliman, terutama kedzaliman sejarah
yang berkaitan dengan Palestina, karena ini termasuk inti dari akar
terorisme.

3. Islam dan Pluralisme Beragama


a. Isu Pluralisme
Agama turun untuk menjadi pegangan bagi penganutnya. Dalam
bahasa al-Qur’an pegangan ini disebut petunjuk (hudan). Manusia sebagai
penganut agama tentu syarat dengan konteks waktu, konteks tempat,
konteks masalah, konteks kebutuhan, konteks tuntutan dan sejenisnya.
Konsekuensinya, agamapun penuh dengan konteks, penuh dengan
historisitas, sesuai dengan konteks umat penerima agama, baik dari sisi
ajaran maupun sarana atau cara yang digunakan untuk menyampaikan
ajaran. Karena itu, isi maupun cara menyampaikan ajaran agama sangat
tergantung pada konteks penganut agama tersebut.[3]
Betapa besar pengaruh historisitas atau konteks penganut agama
terhadap isi agama, dapat dibuktikan dengan islam yang turun di Arab.
Dapat dibuktikan seluruh isi al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad SAW
merupakan jawaban terhadap persoalan-persoalan masyarakat Arab di
masa itu. Bisa juga, ajaran agama islam tidak seperti yang kita kenal
sekarang andaikan Nabi Muhammad SAW tidak hidup di Arab.
Pemahaman terhadap ajaran agamapun sangat dipengaruhi oleh
konteks penganutnya, baik bersifat positif maupun negatif terbukti
sepanjang sejarah muslim dikenal sejumlah mazhab (aliran-aliran) baik
dalam bidang fiqh maupun bidang-bidang lainnya seperti teologi, tafsir.
14

Bahkan ketika Nabi masih hidup sudah ada perbedaan pendapat (mazhab
atau aliran), dalam memahi sumber ajaran islam, dan nabi sendiri
mengakui keberadaannya.
b. Konsep Pluralisme
Tantangan keagamaan yang mendasar yang kita hadapi sekarang ini
bisa kita ungkap dengan satu kata, yaitu pluralisme. Pluralisme merupakan
tantangan, akan tetapi bila tantangan tersebut tidak diperhatikan dengan
sungguh-sungguh maka agama-agama akan kehilangan persepsi yang
benar tentang dunia dan masyarakat di mana mereka hidup.
Pluralisme telah menjadi ciri esensial dari dunia dan masyarakat
sekarang. Dunia telah menjadi satu dan menjadi sebuah kampung kecil di
mana umat manusia hidup bersama di dalamnya. Kelompok-kelompok
masyarakat hidup saling berhubungan, saling tergantung satu terhadap
yang lain. Jaringan komunikasi telah menembus tembok-tembok yang
tadinya mengisolasi kelompok-kelompok agama di masyarakat.
Pluralisme bukan sekadar multiplikasi kepelbagian, bukan hanya
ekstensif, akan tetapi kualitatif. Pluralisme masa sekarang, jenis bentuk
dan isinya berbeda dengan pluralisme yang kita alami di masa lampau.
Pluralisme masa lampau menuntut suatu respon kerukunan, koeksistensi,
dan keserasian hidup dari kelompok-kelompok agama di masyarakat.
Corak kepelbagian itu bersifat pasif, kalau kita mendatanginya kita baru
mengalaminya, akan tetapi pluralisme sekarang ini bersifat sangat aktif,
kalau kita tidak memperdulikannya maka kita akan digilasnya.[4]
Pluralisme di masa sekarang terjadi karena tiap-tiap kelompok itu
sudah mengalami proses emansipasi sedemikian rupa, sehingga setiap
bagian itu sudah melakukan emansipasi bersama, dan tampil bersama
secara setara. Tidak ada orang yang bisa mengatakan bahwa sesuatu pihak
tidak punya hak untuk tampil. Dengan demikian bisa dikatakan, bahwa
pluralisme jenis yang sekarag ini tampil bersama dengan kesadaran
emansipatoris dari setiap kelompok yang ada di masyarakat. Kenyataan
semarcam ini melahirkan urgensi baru untuk memahami serta
menanggapinya secara baru.
Menurut The Oxford English Dictionary, Pluralisme berarti “sebuah
watak untuk menjadi plural”, dan dalam ilmu politik didefinisikan
15

sebagai: pertama, sebuah teori yang menentang kekuasaan monolitik


negara dan bahkan menganjurkan untuk meningkatkan pelimpahan dan
otonomi organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan
seseorang dalam masyarakat. dalam hal ini juga dipercayai bahwa
kekuasaan harus dibagi diantara partai-partai politik yang ada. Kedua,
keberadaan toleransi keragaman kelompok-kelompok etnis budaya dalam
suatu masyarakat.
Secara historis, istilah pluralisme diidentikkan dengan sebuah aliran
filsafat, yang menentang konsep negara absolut dan berdaulat. Sementara
pluralisme klasik merupakan reaksi terhadap doktrin hukum tentang
kedaulatan negara, pluralisme kontemporer yang muncul tahun 1950-an,
dikembangkan tidak untuk menentang kedaulatan negara tetapi untuk
menentang teori-teori tentang elit. Pendapat i ni merujuk pada definisi
pluralisme yang pertama, yang menekankan pluralisme politik. Namun,
pluralisme yang asli merujuk pada problem masyarakat plural yang
pendukunganya tidak homogen tetapi terbagi-bagi oleh kesukuan, etnis,
ras, dan agama, dan apabila mereka menyatu justru cenderung
meningkatkan konflik.

4. Islam dan Kesetaraan Gender


a. Pengertian Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti “jenis kelamin”.
Menurut Nashiruddin Umar, pengertian ini kurang tepat, sebab pengertian
gender disamakan dengan seks yang berarti jenis kelamin pula. Persoalan
ini muncul barangkali adalah karena kata gender termasuk kosa kata baru,
sehingga pengertiannya belum di temukan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Dalam Webster’s New World Dictionary, diartikan sebagai
perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dari segi nilai dan
tingkah laku. Sementara dalam Women’s Studies Encyclopediadijelaskan
bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat
perbedaan dalam hal peran, prilaku, mentalitas, karakteristik emosional
antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Menurut Mansoer Fakih pengertian gender adalah sifat yang melekat
pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun
16

kultural. Misalnya, perempuan dikenal lemah lembut, cantik. Emosional,


keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa.
Akan tetapi ciri-ciri tersebut dapat ditukarkan. Artinya ada juga laki-laki
yang lemah lembut, sementara ada juga perempuan yang rasional, kuat,
dan perkasa. H. T. Wilson juga mengartika gender sebagai suatu dasar
untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam
membedakan antara laki-laki dan perempuan. Ia berpendapat bahwa
gender tidak lebih dari sekedar pembedaan antara laki-laki dan perempuan
dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender sebagai
konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa gender
adalah konsep perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai hasil bentukan
sosial dan budaya, bukan bersiafat biologis atau kodrati. Dengan demikian
perbedaannya adalah non-biologis. Perbedaan tersebut dapat dipertukarkan
dari satu tempat ke tempat lain.[5]
b. Islam dan Gender
Bagaimanapun juga, wacana tentang gender tidak bisa dilepaskan
dari masalah teologis. Dalam hal ini agama juga mempunyai andil besar di
kehidupan masyarakat. mengingat posisi perempuan dalam beberapa
agama dan kepercayaan ditempatkan pada the secound sex.
Berbeda dengan ajaran islam yang secara prinsip hubungan antara
laki-laki dan perempuan itu sejajar di hadapan Allah (khaliq). Hal ini
diperkuat dengan adanya sejumlah nash yang berbicara tentang
kesejajaran antara laki-laki dan perempuan yang dikelompokkan menjadi
delapan yakni:
1) Statemen umum tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
2) Asal usul
3) Amal
4) Saling kasih dan mencintai
5) Keadilan dan persamaan
6) Jaminan sosial
7) Saling tolong menolong
8) Kesempatan mendapatkan pendidikan.
17

Adapun lahirnya konsep gender dalam islam islam ada sepuluh


faktor yakni:
1) Penggunaan studi islam yang parsial
2) Belum ada kesadaran pentingnya pembedaan nash menjadi
normatif- universal dengan praktis-temporal
3) Terkesan sejumlah nash memarginalkan perempuan, sebagai akibat
penggunaan parsial.
4) Budaya-budaya muslim yang merasuk terhadap ajaran islam
5) Dominasi teologi laki-laki dalam memahami nash
6) Kajian islam dengan pendekatan murni
7) Generalisasi (mengambil hukum umum) dari kasus khusus
8) Mengambil hukum sebagai produk hukum dari penetapan hukum
berdasarkan siyasah al syari’ah
9) Kajia islam yang literais dan ahistoris (tekstual)
10) Perang kekuasaan (penguasa).

Anda mungkin juga menyukai