Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peningkatan usaha resusitasi serta perkembangan teknologi dan pengetahuan
mengenai proses penyakit telah meningkatkan harapan hidup pasien yang sakit parah
dan menimbulkan suatu kelainan baru yang disebut Sindrom Disfungsi Organ
Multipel (Multiple Organ Dysfunction Syndrome/ MODS) atau gagal organ multipel
(Multiple Organ Failure/ MOF). Pada beberapa dekade lalu, pasien seringkali
meninggal pada awal perjalanan penyakitnya, jauh sebelum mereka mengalami
disfungsi organ. Berbagai kemajuan dalam tatalaksana suportif disertai harapan
hidup pasien yang lebih lama tersebut meningkatkan probabilitas pasien sakit berat
untuk mengalami stadium akhir dari penyakitnya sekaligus membuat mereka
menjadi rentan terhadap berbagai komplikasi penyakit beratnya tersebut.
Awalnya sindrom kegagalan multi organ diduga sebagai akibat dari sepsis. Ide
ini berdasarkan pengamatan bahwa onset dini dari kegagalan respiratorik setelah
sejumlah kejadian stress koinsiden dengan respon septic pada banyak pasien. Respon
ini antara lain meliputi demam, leukosistosis, peningkatan cardiac output dan
penurunan resistensivascular perifer. peneliti mendemonstrasikan bahwa lebih dari
50% pasien mengalami kegagalan multi system organ tanpa bukti adanya infeksi.
Sebagai tambahan, Nuytinck dkk. menemukan bahwa pasien dengan kegagalan multi
organ yang meninggal memiliki bukti adanya inflamasi akut dan kronik pada seluruh
organ mereka. Penemuan ini mengarah pada ide bahwa kegagalan multi system organ
berasal dari sindrom respon inflamasi sistemik (systemic inflammatory response
syndrome/SIRS) dan disregulasi respon hiperinflamasi sistemik dari pada sepsis atau
infeksi. Satu kejadian tersering yang dapat menyebabkan penyakit ini adalah iskemia
atau cedera reperfusi.
Kegagalan multi organ terus menjadi penyebab kematian lanjut setelah cedera.
Kegagalan multi organ juga menjadi penyebab terbanyak mortalitas di unit terapi
intensif setelah komplikasi bedah. Patogenesis dari sindrom ini masih belum dapat
dimengerti sepenuhnya, tapi cenderung berkaitan dengan sejumlah kombinasi dari
respon inflamasi disregulasi, aliran darah inadekuat, cedera iskemia-reperfusi dan
disregulasi fungsi imun.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan MODS ?
1.2.2 Apa etiologi dari MODS ?
1.2.3 Bagaimana manifestasi dari MODS ?
1.2.4 Bagaimana patofisiologi dari MODS ?
1.2.5 Bagaimana penatalaksanaan dari MODS ?
1.2.6 Bagaimana Asuhan Keperawatan MODS ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian MODS
1.3.2 Untuk mengetahui etiologi MODS
1.3.3 Untuk mengetahui manifestasi klinis MODS
1.3.4 Untuk mengetahui patofisiologi MODS
1.3.5 Untuk mengetahui penatalaksanaan MODS
1.3.6 Untuk mengetahui asuhan keperawatan MODS
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Sindrom disfungsi organ multiple (multiple organ dysfunction syndrome,
MODS) adalah kegagalan progresif dari dua atau lebih organ yang terjadi akibat
penyakit akut dan parah atau cedera (sepsis, trauma, luka bakar) yang membutuhkan
intervensi medis untuk mencapai homeostasis. Setelah organ mengalami kegagalan,
angka kematian meningkat tajam.
Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) adalah perubahan fungsi
organ pada klien dengan penyakit akut seperti homeostasis yang tidak dapat diatasa
tanpa intervensi, disebut MODS jika organ yang mengalami kegagalan dua atau lebih
organ (Black & Hawks, 2014). Deskripsi MODS menunjukkan bahwa terjadi infeksi
laten atau tidak terkontrol (Hermato & Amin, 2009).
2.2 Etiologi
Penyebab MODS meliputi jaringan yang mati, jaringan yang cedera, defisit perfusi,
dan sumber inflamasi yang persisten (Black & Hawks, 2014). Sedangkan orang yang
berisiko tinggi mengalami MODS adalah orang yang memiliki respon imun yang
rendah seperti lansia, klien dengan penyakit kronis, klien dengan gizi buruk, klien
dengan kanker, korban trauma berat dan klien yang menderita sepsis (Black & Hawks,
2014). Menurut Balk R.A (2000 dalam Herwanto & Amin, 2009) faktor risiko tinggi
terjadinya MODS adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), syok
dan hipotensi berkepanjangan, trauma berat, operasi besar, gagal hati stadium akhir,
infark usus, disfungsi hati, usia > 65 tahun.

Beberapa jejas (insult) fisiologik maupun patologik dapat menyebabkan MODS.


1. Infeksi
a. Baktereremia
b. Viremia
c. Fungemia
d. Penyakit riket
e. Mycobacteria
f. Infeksi protozoa
g. Infeksi organ solid
2. Trauma
a. Trauma multiple
b. Pasca oprasi
c. Iskemia viseral
d. Status epilepticus
e. Healt injury
f. Abdominal compartement syndrome
3. Inflamasi
a. Pakreatitis
b. Vasculitis
c. HIV
d. Eklamsia
e. Gagal hati
f. Bypass kardiopulmoner
g. Transfuse masif
4. Non-infeksi
a. Kanker
b. Suntikan sitokin
c. Reaksi obat
d. Sindrom reperfusi
e. Reaksi transfungsi
f. Sindrom aspirasi

2.3 Patofisiologi

Sel T dan sel B


Sel NK
Makrofag

Respon Anti Inflamasi


Respon pro-inflamasi IL-10, IL-6, IL-4
IL-1, IL-6, TNF-α
Distribusi sistemik

Status respon
Status respon hipoinflamasi
hiperinflamasi
CARS
SIRS
Supresi sistem
Kompensasi kardiovaskuler imun
(syok)
Apoptosi
Hilangnya homeostasis

MODS
2.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi yang terlihat pada pasien MODS dapat menjadi kriteria yang digunakan
untuk mendiagnosis MODS. Salah satu kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis
MODS adalah Apache II yang terdiri dari (Black & Hawks, 2014):
1. Kegagalan kardiovaskular (terdapat satu atau lebih hal berikut)
 Tekanan arteri rata-rata < 49 mmHg (tekanan sistolik < 60 mmHg)
 Terjadi takikardi ventrikel atau fibrilasi ventrikel
 pH serum kurang dari sama dengan 7,24 dengan PaCO2 kurang dari sama
dengan 40 mmHg
2. Kegagalan Pernapasan (terdapat satu atau lebih hal berikut)
 RR kurang dari sama dengan 5 kali per menit atau lebih dari sama dengan 49
kali permenit dengan PaCO2 lebih dari sama dengan 50 mmHg
 Bergantung pada ventilator pada hari kedua
3. Kegagalan Ginjal (terdapat satu atau lebih hal berikut):
 Produksi urin kurang dari sama dengan 479 ml/24 jam atau kurang dari sama
dengan/8 jam
 BUN serum lebih dari sama dengan 100 mg/dl
 Kreatinin serum lebih dari 3,5 mg/dl
4. Kegagalan Neurologis
Skor GCS kurang dari sama dengan 6
5. Beragam Kegagalan Hepatik
 Bilirubin serum lebih dari sama dengan 6 mg%
 masa protombin lebih dari sama dengan 4 detik tanpa adanya antikoagulan
sistemik
Urutan klasik akumulasi MODS adalah gagal respirasi (dalam 72 jam pertama)
mendahului gagal hati (5-7 hari) dan intestinal (10-15 hari), diikuti gagal ginjal (11-
17 hari) (Hermanto & Amin, 2009).
2.5 Asuhan Keperawatan
a. Identitas Pasien: nama, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, tanggal
masuk, tanggal pengkajian, diagnose medik, rencana terapi.
b. Keluhan utama/ alasan masuk RS: adanya sepsis
c. Riwayat kesehatan
1. Riwayat Kesehatan sekarang
2. Riwayat kesehatan keluarga
3. Pola fungsi kesehatan
d. Aktivitas dan istirahat : menurunnya tenaga/ kelelahan insomnia
e. Pemeriksaan Fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang
dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian
belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan
wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka
termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Delp &
Manning. 2004)
b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan
kiri. Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata,
karena pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata
selanjutnya menjadi sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS
periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah

1) Mata: isokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil
mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata
(macies visus dan acies campus), apakah konjungtivanya anemis atau
adanya kemerahan, nyeri gatal-gatal, ptosis, exophthalmos, rasa
subconjunctival perdarahan, serta diplopia

2) Hidung: periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan


penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi
akan kemungkinan krepitasi dan suatu fraktur. periksa adanya nyeri,
tinitus, pembengkakan, penurunan
3) Telinga: atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai
keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum
4) Rahang atas :periksa stabilitas rahang atas
5) Rahang bawah :periksa akan adanya fraktur
6) Mulut dan faring :inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna,
kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban,
lesi, apakah tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi kemudian
rasakan apa ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi
amati adanya tonsil meradang atau tidak (tonsilitis/amandel). Palpasi
adanya respon nyeri
c. Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau
krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa, kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan
menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi
trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas,
pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan
simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga
airway, pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak
sekunder..
d. Toraks
Inspeksi :dinding dada bagian depan, samping dan belakang Inspeksi
untuk adanya trauma tumpultajam,luka, lecet, memar, ruam ekimosiss, bekas
luka, frekuensi dan kedalaman pemafsan, kesimetrisan expansi dinding dada,
penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah
terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (lombardo, 2005)
Palpasi: seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul emfisema
subkutan, nyeri tekan dan krepitasi
Perkusi: untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi: suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan
bunyi jantung (mumur, gallop, friction rub)

e. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada
keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan
kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot
dan nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang,
untuk adanya trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal, adakah
distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa, denyutan, benda
tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi bising usus, perkusi
abdomen, untuk mendapatkan, nyen lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk
mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan,
hepatomegali,splenomegali.defans muskuler.. nyeri lepas yang jelas atau uterus
yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra abdominal, dapat
dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage ataupun USG (Ultra
Sonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus halus gejala
mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu memerlukan re-evaluasi
berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang operasi bila
diperlukan (Tim YAGD 118, 2010)
f. Pevis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik
(pelvis menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan
masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang
PASG gurita untuk mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis (Tim YAGD
118, 2010)
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi, ruam, lesi, edema,
atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan
sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan adanya
darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh
tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan
colok vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi, jika
terdapat perdarahan vagina dicatat, karakter dan jumlah kehilangan darah harus
dilaporkan (pada tampon yang penuh memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga
harus dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita usia subur. Permasalahan
yang ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun jarang
dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle injury. Bila terjadi, kelainan ini
sulit dikenali, jika pasien hamil, denyut jantung janin (pertama kali mendengar
dengan Doppler ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu)
yang dinilai untuk frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih
harus ditanya tentang rasa sakit atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi,
hematuria, kencing berkurang, Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk
analisis.(Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006)
g. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi,
jangan upa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuak),
pada saat pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur
pada saat menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma
kompartemen intra kompartemen ekstremitas meninggi sehingga (tekanan
dalam membahayakan aliran darah), mungkin luput terdiagnosis pada penderita
dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2010).
Inspeksi pula adanya kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi harus
diperhatikan paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada jari-
jari periksa adanya clubbing finger serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung
berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan berat
pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament dapat
menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan
mengganggu pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan
kontraksi otot dapat disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya
fraktur torako lumbal dapat dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma.
Perlukaan bagian lain mungkin menghilangkan gejala fraktur torako lumbal,
dan dalam keadaan ini
hanya dapat didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan muskuloskletal tidak
lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan punggung penderita. Permasalahan
yang muncul adalah 1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit
dikontrol, sehingga terjadi syok yang dpat berakibat fatal
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam
keadaan tidak sada. Apabla kemudian kesadaran pulih kembali barulah
kelainan ini dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah
penderita mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan
penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat
dilakukan pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010) Periksa adanya
perdarahan, lecet, luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta
nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra periksa adanya deformitas.

I. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang ditel iti meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik.
Peubahan dalam status neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS.
Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau
saraf perifer Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar
servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur
servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai
terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga penderta masih dapat bergerak
dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita
memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi
neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan
gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat
gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi
(ABC). Peru adanya tindakan bila ada perdarahan epidural subdural atau
fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP Dr. M.Djamil,
2006) Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese,
hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia (kesukaran
dalam mengkoordinasi otot) ransangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo
dan respon sensori
C. Focused Assessment
Focused assessment atau pengakajian terfokus adalah tahap pengkajian
pada area keperawatan gawat darurat yang dilakukan setelah primary survey,
secondary survey, anamnesis riwayat pasien (pemeriksaan subyektif) dan
pemeriksaan obyektif (Head to toe). Di beberapa negara bagian Australia
mengembangkan focused assessment ini dalam pelayanan di Emergency
Department, tetapi di beberapa Negara seperti USA dan beberapa Negara
Eropa tidak menggunakan istilah Focused Assessment tetapi dengan istilah
Definitive Assessment (O'keefe et.al, 1998)
Focused assessment untuk melengkapi data secondary assessment bisa
dilakukan sesuai masalah yang ditemukan atau tempat dimana injury
ditemukan. Yang paling banyak dilakukan dalam tahap ini adalah beberapa
pemeriksaan penunjang diagnostik atau bahkan dilakukan pemeriksaan ulangan
dengan tujuan segera dapat dilakukan tindakan definitif
D. Reasses sment
Beberapa komponen yang perlu untuk dilakukan pengkajian kembali
(reassessment) yang penting untuk melengkapi primary survey pada pasien di
gawat darurat adalah
.
Komponen Pertimbangan
Airway Pastikan bahwa peralatan airway:Oro Pharyngeal Airway,
Laryngeal Mask Airway, maupun Endotracheal Tube (salah satu dari peralatan
airway) tetap efektif untuk menjamin kelancaran jalan napas. Pertimbangkan
penggunaaan peralatan dengan manfaat yang optimal dengan risiko yang
minimal
Breathing Pastikan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan pasien:
1. Pemeriksaan definitive rongga dada dengan rontgen foto thoraks, untuk
meyakinkan ada tidaknya masalah seperti Tension pneumothoraks,
hematotoraks atau trauma thoraks yang lain yang bisa mengakibatkan
oksigenasi tidak adekuat
2. Penggunaan ventilator mekanik
Circulation Pastikan bahwa dukungan sirkulasi menjamin perfusi jaringan
khususnya organ vital tetap terjaga, hemodinamik tetap termonitor serta
menjamin tidak terjadi over hidrasi pada saat penanganan Breathing
Circulation resusitasicairan.
Pemasangan cateter vena central
Pemeriksaan analisa gas darah
Balance cairan
Pemasangan kateter urin Disability
disability Setelah pemeriksaan GCS pada primary survey, perlu didukung
dengan: Pemeriksaan spesifik neurologic yang lain seperti reflex patologis,
deficit neurologi, pemeriksaan persepsi sensori dan pemeriksaan yang lainnya.
CT scan kepala, atau MRI

exposure Konfirmasi hasil data primary survey dengan


Rontgen foto pada daerah yang mungkin dicurigai trauma atau fraktur
USG abdomen atau pelvis

E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan lanjutan hanya dilakukan setelah ventilasi dan hemodinamika
penderita dalam keadaan stabil (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006). Dalam
melakukan secondary survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan diagnostik
yang lebih spesifik seperti
1) Endoskopi
Pemeriksaan penunjang endoskopi bisa dilakukan pada pasien dengan
perdarahan dalam. Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi kita bisa
mngethaui perdarahan yang terjadi organ dalam. Pemeriksaan endoskopi dapat
mendeteksi lebih dari 95 % pasien dengan hemetemesis, melena atau
hematemesis melena dapat ditentukan lokasi perdarahan dan penyebab
perdarahannya. Lokasi dan sumber perdarahan yaitu:
a. Esofagus :Varises,erosi,ulkus,tumor
b. Gaster: Erosi, ulkus, tumor, polip, angio displasia, Dilafeuy, varises
gastropati kongestif c. Duodenum: Ulkus, erosi,
Untuk kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan karena ruptur
varises dan perdarahan bukan karena ruptur varises (variceal bleeding dan non
variceal bleeding) (Djumhana, 2011)

2) Bronkoskop
Bronkoskopi adalah tindakan yang dilakukan untuk melihat keadaan intra
bronkus dengan menggunakan alat bronkoskop. Prosedur diagnostik dengan
bronkoskop ini dapat menilai lebih baik pada mukosa saluran napas normal,
hiperemis atau lesi infiltrat yang memperlihatkan mukosa yang compang-
camping. Teknik ini juga dapat menilai penyempitan atau obstruksi akibat
kompresi dari luar atau massa intrabronkial, tumor intra bronkus. Prosedur ini
juga dapat menilai ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening, yaitu
dengan menilai karina yang terlihat tumpul
akibat pembesaran kelenjar getah bening subkarina atau intra bronkus
(Parhusip, 2004)
3) CT Scan
CT-scan merupakan alat pencitraan yang di pakai pada kasus-kasus emergensi
seperti emboli paru, diseksi aorta, akut abdomen, semua jenis trauma dan
menentukan tingkatan dalam stroke. Pada kasus stroke, CT-scan dapat
menentukan dan memisahkan antara jaringan otak yang infark dan daerah
penumbra. Selain itu, alat ini bagus juga untuk menilai kalsifikasi jaringan.
Berdasarkan beberapa studi terakhir, CT-scan dapat mendeteksi lebih dari 90
% kasus stroke iskemik, dan menjadi baku emas dalam diagnosis stroke
(Widjaya, 2002). Pemeriksaaan CT. scan juga dapat mendeteksi kelainan-
kelainan seerti perdarahan diotak, tumor otak, kelainan-kelainan tulang dan
kelainan dirongga dada dan rongga perur dan khususnya kelainan pembuluh
darah, jantung (koroner), dan pembuluh darah umumnya (seperti penyempitan
darah dan ginjal (ishak, 2012)
4) USG
Ultrasonografi (USG) adalah alat diagnostik non invasif menggunakan
gelombang suara dengan frekuensi tinggi diatas 20.000 hertz >20 kilohertz)
untuk menghasilkan gambaran struktur organ di dalam tubuh.Manusia dapat
mendengar gelombang suara 20-20.000 hertz .Gelombang suara antara 2,5
sampai dengan 14 kilohertz digunakan untuk diagnostik. Gelombang suara
dikirim melalui suatu alat yang disebut transducer atau probe. Obyek didalam
tubuh akan memantulkan kembali gelombang suara yang kemudian akan
ditangkap oleh suatu sensor gelombang pantul tersebut akan direkam, dianalisis
dan ditayangkan di layar. Daerah yang tercakup tergantung dari rancangan
alatnya. Ultrasonografi yang terbaru dapat menayangkan suatu obyek dengan
gambaran tiga dimensi, empat dimensi dan berwama. USG bisa dilakukan pada
abdomen, thorak (Lyandra, Antariksa, Syaharudin, 2011)
5) Radiologi
Radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dilakukan di
ruang gawat darurat. Radiologi merupakan bagian dari spectrum
elektromagnetik yang dipancarkan akibat pengeboman anoda wolfram oleh
electron-elektron bebas dari suatu katoda. Film polos dihasikan oleh
pergerakan electron-elektron tersebut melintasi pasien dan menampilkan film
radiologi. Tulang dapat menyerap sebagian besar radiasi menyebabkan pajanan
pada film paling sedikit, sehingga film yang dihasilkan tampak berwama putih.
Udara paling sedikit menyerap radiasi,
meyebabakan pejanan pada film maksimal sehingga film nampak berwarna
hitam. Diantara kedua keadaan ekstrem ini, penyerapan jaringan sangat
berbeda-beda menghasilkan citra dalam skala abu-abu. Radiologi bermanfaat
untuk dada, abdoment, sistem tulang: trauma, tulang belakang, sendi penyakit
degenerative, metabolic dan metastatik (tumor). Pemeriksaan radiologi
penggunaannya dalam membantu diagnosis meningkat. Sebagian kegiatan
seharian di departemen radiologi adalah pemeriksaan foto toraks. Hal ini
menunjukkan betapa pentingnya pemeriksaan ini. Ini karena pemeriksaan ini
relatif lebih cepat, lebih murah dan mudah dilakukan berbanding pemeriksaan
lain yang lebih canggih dan akurat (Ishak 2012)
6) MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Secara umum lebih sensitive dibandingkan CT Scan. MRI juga dapat
digunakan pada kompresi spinal. Kelemahan alat ini adalah tidak dapat
mendeteksi adanya emboli paru, udara bebas dalam peritoneum dan faktor.
Kelemahan lainnya adalah prosedur pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih
lama, hanya sedikit sekali rumah sakit yang memiliki, harga pemeriksaan yang
sangat mahal serta tidak dapat diapaki pada pasien yang memakai alat
pacemaker jantung dan alat bantu pendengaran (Widjaya,2002)
BAB III

PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai