Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelayanan asuhan keperawatan yang optimal akan terus menjadi
tuntutan bagi organisasi pelayanan kesehatan. Saat ini timbul keinginan
untuk mengubah sistem pemberian pelayanan kesehatan ke sistem
desentralisasi. Dengan meningkatnya pendidikan bagi perawat, diharapkan
dapat memberikan arah terhadap pelayanan keperawatan berdasarkan isu di
masyarakat.
Bertolak dari keadaan di atas, maka perlu dikembangkan model
praktik keperawatan yang perlu dan pantas diujicobakan, dengan
memberikan pengalaman belajar Praktik Klinik kepada mahasiswa (Ners,
Spesialis), sehingga diharapkan mutu pelayanan kesehatan bisa meningkat.
Sistem MAKP adalah suatu kerangka kerja yang mendefinisikan
empat unsur, yakni: standar, proses keperawatan, pendidikan keperawatan,
dan sistem MAKP. Definisi tersebut berdasarkan prinsip-prinsip nilai yang
diyakini dan akan menentukan kualitas produksi/jasa layanan keperawatan.
Jika perawat tidak memiliki nilai-nilai tersebut sebagai sesuatu pengambilan
keputusan yang independen, maka tujuan pelayanan kesehatan/keperawatan
dalam memenuhi kepuasan pasien tidak akan dapat terwujud.
Unsur-unsur dalam praktik keperawatan dapat dibedakan menjadi
empat, yaitu: standar, proses keperawatan, pendidikan keperawatan, dan
sistem MAKP. Dalam menetapkan suatu model, keempat hal tersebut harus
menjadi bahan pertimbangan karena merupakan suatu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan.
Kebutuhan pelayanan kesehatan yang meningkat dan tuntutan
masyarakat yang tinggi terhadap pelayanan kesehatan saat ini memerlukan
timbal balik positif dari perawat sebagai bagian penyedia layanan kesehatan
di rumah sakit. Dunia keperawatan diharapkan mampu mengimbangi
tuntutan tersebut dengan perubahan positif ke arah perbaikan. Perubahan
nyata yang dapat dilakukan oleh perawat salah satunya adalah membenahi

1
sistem asuhan keperawatan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat.
Pembenahan dalam sistem asuhan keperawatan harus diiringi dengan
manajemen keperawatan yang baik dan sesuai. Manajemen keperawatan
dilakukan dengan maksud untuk mempermudah asuhan keperawatan.
Asuhan keperawatan profesional yang dapat dikembangkan saat ini salah
satunya adalah Model Asuhan Keperawatan Profesional Tim (MAKP Tim)
merupakan suatu metode penugasan dimana satu orang perawat
bertanggung jawab penuh selama 1 shift terhadap asuhan keperawatan
pasien mulai dari pasien masuk sampai dengan keluar rumah sakit.
Keuntungan dari MAKP tim antara lain memungkinkan pelayanan
keperawatan yang menyeluruh, mendukung pelaksanaan proses
keperawatan. Selain itu pembagian tugas yang jelas dan memungkinkan
komunikasi antartim, sehingga konflik mudah diatasi dan memberi
kepuasan kepada anggota tim. Hal ini dapat meningkatkan kepuasan bagi
pasien, perawat dan tenaga kesehatan lainnya sehingga tercapai suatu
pelayanan yang berkualitas.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apakah itu M1?
1.2.2 Apakah itu M2?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian Pengumpulan data.
1.3.2 Untuk mengetahui apa itu M1
1.3.3 Untuk mengetahui apa itu M2

1.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan timbul dari pembuatan makalah ini,
diantaranya adalah

1.4.1 Bagi Penulis


Makalah ini bermanfaat untuk menambahkan pengetahuan penulis
tentang managemen keperawatan dalam pengumpulan data
1.4.2 Bagi Profesi Keperawatan

2
Makalah ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi untuk
bahan penelitian selanjutnya dan menambah pengetahuan tentang
managemen keperawatan dalam pengumpulan data yang memadai
sesuai dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan.
1.4.3 Bagi Rumah Sakit
Makalah ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi untuk
bahan penelitian selanjutnya dan menambah pengetahuan tentang
managemen keperawatan dalam pengumpulan data

BAB 2
ISI

2.1 Sumber Daya Manusia (M1-Man)


a) Umur

3
Semakin tua usia seseorang karyawan semakin kecil kemungkinan
keluar dari pekerjaan, karena semakin kecil alternatif untuk memperoleh
kesempatan pekerjaan lain. Di samping itu karyawan yang bertambah tua
biasanya telah bekerja lebih lama, memperoleh gaji yang lebih besar dan
berbagai keuntungan lainnya. Hubungan usia dengan kinerja atau
produktivitas dipercaya menurun dengan bertambahnya usia. Hal ini
disebabkan karena ketrampilan-ketrampilan fisiknya sudah mulai
menurun. Tetapi produktivitas seseorang tidak hanya tergantung pada
ketrampilan fisik serupa itu. Karyawan yang bertambah tua, bisa
meningkat produktivitasnya karena pengalaman dan lebih bijaksana
dalam mengambil keputusan (Mangkunegara, 2006).
b) Jenis Kelamin
Beberapa isu yang sering diperdebatkan, kesalahpahaman dan
pendapat-pendapat tanpa dukungan mengenai apakah kinerja wanita
sama dengan pria ketika bekerja. Misalnya ada/tidaknya perbedaan yang
konsisten pria-wanita dalam kemampuan memecahkan masalah,
ketrampilan, analisis, dorongan, motivasi, sosiabilitas atau kemampuan
bekerja.
Secara umum diketahui ada perbedaan yang signifikan dalam
produktifitas kerja maupun dalam kepuasan kerja, tapi dalam masalah
absen kerja karyawati lebih sering tidak masuk kerja daripada laki-laki.
Alasan yang paling logis adalah karena secara tradisional wanita
memiliki tanggung jawab urusan rumah tangga dan keluarga. Bila ada
anggota keluarga yang sakit atau urusan sosial seperti kematian tetangga
dan sebagainya, biasanya wanita agak sering tidak masuk kerja.

c) Masa Kerja
Banyak studi tentang hubungan antara senioritas karyawan dan
produktivitas. Meskipun prestasi kerja seseorang itu bisa ditelusuri dari
prestasi kerja sebelumnya, tetapi sampai ini belum dapat diambil
kesimpulan yang meyakinkan antara dua variabel tersebut. Hasil riset

4
menunjukkan bahwa suatu hubungan yang positif antara senioritas dan
produktivitas pekerjaan. Masa kerja yang diekspresikan sebagai
pengalaman kerja, tampaknya menjadi peramal yang baik terhadap
produktivitas karyawan. Studi juga menunjukkan bahwa senioritas
berkaitan negatif dengan kemangkiran. Masa kerja berhubungan negatif
dengan keluar masuknya karyawan dan sebagai salah satu peramal
tunggal paling baik tentang keluar masuknya karyawan (Mangkunegara,
2003).
d) Pendidikan
Pendidikan yaitu tuntunan di dalam tumbuhnya anak-anak, adapun
maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada
pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya. Salah satu upaya untuk meningkatkan sumber daya
keperawatan adalah melalui pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi,
mengikuti pelatihan perawatan keterampilan teknis atau keterampilan
dalam hubungan interpersonal. Sebagian besar pendidikan perawat
adalah vokasional (D3 Keperawatan).
Untuk menjadi perawat profesional, lulusan SLTA harus menempuh
pendidikan akademik S1 Keperawatan dan Profesi Ners. Tetapi bila ingin
menjadi perawat vokasional, (primary nurse) dapat mengambil D3
Keperawatan/Akademi Keperawatan. Lulusan SPK yang masih ingin
menjadi perawat harus segera ke D3 Keperawatan atau langsung ke S1
Keperawatan. Selanjutnya, lulusan D3 Keperawatan dapat melanjutkan
ke S1 Keperawatan dan Ners. Dari pendidikan S1 dan Ners, baru ke
Magister Keperawatan/spesialis dan Doktor/Konsultan.
e) Pelatihan Kerja
Secara umum pelatihan merupakan bagian dari pendidikan yang
menggambarkan suatu proses dalam pengembangan organisasi maupun
masyarakat. Pendidikan dengan pelatihan merupakan suatu rangkaian
yang tak dapat dipisahkan dalam sistem pengembangan sumberdaya

5
manusia, yang di dalamnya terjadi proses perencanaan, penempatan, dan
pengembangan tenaga manusia. Dalam proses pengembangannya
diupayakan agar sumberdaya manusia dapat diberdayakan secara
maksimal, sehingga apa yang menjadi tujuan dalam memenuhi
kebutuhan hidup manusia tersebut dapat terpenuhi.
Pelatihan adalah suatu bagian pendidikan yang menyangkut proses
belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan diluar sistem
pendidikan yang berlaku, dalam waktu yang relatif singkat dan dengan
metode yang lebih mengutamakan praktek daripada teori. Tujuan
pelatihan sebagai usaha untuk memperbaiki dan mengembangkan sikap,
tingkah laku dan pengetahuan, sesuai dari keinginan individu,
masyarakat, maupun lembaga yang bersangkutan. Dengan demikian
pelatihan dimaksudkan dalam pengertian yang lebih luas, dan tidak
terbatas sematamata hanya untuk mengembangkan keterampilan dan
bimbingan saja. Pelatihan diberikan dengan harapan individu dapat
melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Seseorang yang telah
mengikuti pelatihan dengan baik biasanya akan memberikan hasil
pekerjaan lebih banyak dan baik pula dari pada individu yang tidak
mengikuti pelatihan.
Dengan demikian, kegiatan pelatihan lebih ditekankan pada
peningkatan pengetahuan, keahlian/keterampilan (skill), pengalaman, dan
sikap peserta pelatihan tentang bagaimana melaksanakan aktivitas atau
pekerjaan tertentu. Hal ini sejalan dengan pendapat Henry Simamora
(1995) yang menjelaskan bahwa pelatihan merupakan serangkaian
aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan keahlian, pengetahuan,
pengalaman ataupun perubahan sikap seorang individu atau kelompok
dalam menjalankan tugas tertentu.
f) Bed Occuption Rate (BOR)
BOR adalah indikator tinggi rendahnya pemanfaatan tempat tidur di
rumah sakit. Rumus untuk mencari BOR adalah sebagai berikut:
BOR/hari = Jumlah pasien x 100%

6
TT
BOR/bulan = Jumlah pasien dalam 30 hari x 100%
TT x 30 hari
BOR/tahun = Jumlah pasien dalam 1 tahun x 100%
TT x 365
g) Kebutuhan Tenaga Keperawatan
a. Metode Gillies
Gillies (1989) mengemukakan rumus kebutuhan teanaga keperawatan
di satu unit perawatan adalagh sebagai berikut:
AXBXC = F=H
(C – D) E G
Keterangan:
A = Rata-rata jumlah perawatan/ pasien/ hari
B = Rata-rata jumlah pasien / hari
C = Jumlah hari/tahun
D = Jumlah hari libur masing-masing perawat
E = Jumlah jam kerja masing-masing perawat
F = Jumlah jam perawatan yang dibutuhkan per tahun
G = Jumlah jam perawatan yang diberikan perawat per tahun
H = Jumlah perawat yang dibutuhkan untuk unit tersebut
Prinsip perhitungan rumus Gillies:
Dalam memberikan pelayanan keperawatan ada tiga jenis bentuk
pelayanan, yaitu:
1) Perawatan langsung, adalah perawatan yang diberikan oleh
perawat yang ada hubungan secara khusus dengan kebutuhan
fisik, psikologis, dan spiritual. Berdasarkan tingkat
ketergantungan pasien pada perawat maka dapat diklasifikasikan
dalam empat kelompok, yaitu: self care, partial care, total care
dan intensive care. Kebutuhan keperawatan langsung setiap
pasien adalah empat jam perhari sedangkan untuk :
a) Self care dibutuhkan ½ x 4 jam : 2 jam

7
b) Partial care dibutuhkan ¾ x 4 jam : 3 jam
c) Total care dibutuhkan 1- 1½ x 4 jam : 4-6 jam
d) Intensive care dibutuhkan 2 x 4 jam : 8 jam
2) Perawatan tak langsung, meliputi kegiatan-kegiatan membuat
rencana perawatan, memasang/ menyiapkan alat, ,konsultasi
dengan anggota tim, menulis dan membaca catatan kesehatan,
melaporkan kondisi pasien. Dari hasil penelitian RS Graha
Detroit (Gillies, 1989) = 38 menit/ pasien/ hari, sedangkan
menurut Wolfe & Young (Gillies, 1989) = 60 menit/ pasien/ hari
dan penelitian di Rumah Sakit John Hpokins dibutuhkan 60
menit/ pasien (Gillies, 1994)
3) Pendidikan kesehatan yang diberikan kepada klien meliputi:
aktifitas, pengobatan serta tindak lanjut pengobatan. Menurut
Mayer dalam Gillies (1994), waktu yang dibutuhkan untuk
pendidikan kesehatan ialah 15 menit/ pasien/ hari.
 Rata-rata pasien per hari adalah jumlah pasien yang dirawat di
suatau unit berdsasarkan rata-ratanya atau menurut “ Bed
Occupancy Rate” (BOR) dengan rumus:
Jumlah hari perawatan rumah sakit dalam waktu tertentu x 100%
Jumlah tempat tertentu x 365
 Jumlah hari pertahun, yaitu 365 hari
 Hari libur masing-masing perawat pertahun, yaitu 128 hari,
hari minggu= 52 hari dan hari sabtu = 52 hari. Untuk hari sabtu
tergantung kebijakan RS setempat, kalau ini merupakan hari
libur maka harus diperhitungkan, begitu juga sebaliknya, hari
libur nasional = 12 hari dan cuti tahunan = 12 hari
 Jumlah jam kerja tiap perawat adalah 40 jam per minggu
(kalau hari kerja efektif 5 hari maka 40/5 = 8 jam, kalu hari
kerja efektif 6 hari per minggu maka 40/6 jam = 6,6 jam
perhari)

8
 Jumlah tenaga keperawatan yang dibutuhkan di satu unit harus
ditambah 20% (untuk antisiapasi kekurangan/ cadangan)
4) Menentukan jumlah kebutuhan tenaga keperawatan yang
dibutuhkan perhari:
5) Menentukan jumlah tenaga keperawatan yang dibutuhkan per
shift, yaitu dengan ketentuan. Proporsi dinas pagi 47%, sore 36%,
dan malam 17%. Maka pada kondisi di atas jumlah tenaga
keperawatan yang dibutuhkan per shift adalah:
 Shift pagi: 5,17 orang (5 orang)
 Shift sore: 3,96 orang (4 orang)
 Shift malam: 1, 87 orang (2 orang)
6) Kombinasi jumlah tenaga menurut Intermountain Health Care
Inc. adalah:
 58% = 6,38 (6 orang) S I keperawatan
 26% = 2,86 (3 orang) D III keperawatan
 16% = 1,76 (2 orang) SPK
Kombinasi menurut Abdellah dan Levinne adalah:
 55% = 6,05 (6 orang) tenaga professional
 45% = 4,95 (5 orang) tenaga non professional
b. Metode Douglass
Klasifikasi Pasien Berdasarkan Tingkat Ketergantungan Dengan
Metode Douglas.

Tabel 2.1. Tingkat Ketergantungan Pasien


No. Klasifikasi dan Kriteria
1 Minimal Care (1-2 jam)
Dapat melakukan kebersihan diri sendiri, mandi, ganti pakaian dan minum

9
Pengawasan dalam ambulasi atau gerakan
Observasi Tanda vital setiap shift
Pengobatan minimal, status psikologi stabil
Persiapan prosedur pengobatan
2 Parsial Care (3-4 jam)
Dibantu dalam kebersihan diri, makan dan minum, ambulasi
Observasi tanda vital tiap 4 jam
Pengobatan lebih dari 1 kali
Pakai foley kateter
Pasang infuse, intake out-put dicatat
Pengobatan perlu prosedur
3 Total Care (5-6 jam)
Dibantu segala sesuatunya
Posisi diatur
Observasi tanda vital tiap 2 jam
Pakai NG tube
Terapi intravena, pakai suction
Kondisi gelisah / disorientasi / tidak sadar

KLASIFIKASI PASIEN
Minimal Parsial Total
Pagi Siang Malam Pagi Siang Malam Pagi Siang Malam
0,17 0,14 0,10 0,27 0,15 0,07 0,36 0,30 0,20

Contoh Perhitungan:
Di ruang bedah RSU “Sehat” dirawat 20 orang pasien dengan kategori
sebagai berikut: 5 pasien dengan perawatan minimal, 10 pasien dengan perawatan
parsial dan 5 pasien dengan perawatan total. Maka kebutuhan tenaga perawatan
adalah sebagai berikut:
1. untuk shift pagi: 2. untuk shift siang: 3. untuk shift malam:
5 ps x 0,17 = 0,85 5 ps x 0,14 = 0,70 5 ps x 0,10 = 0,50
10 ps x 0,27 = 2,70 10 ps x 0,15 = 1,50 10 ps x 0,07 = 0,70
5 ps x 0,36 = 1,80 5 ps x 0,30 = 1,50 5 ps x 0,20 = 1,00

10
total tenaga pagi = 5,35 total tenaga siang = 3,70 total tenaga malam= 2,20
Jadi jumlah tenaga yang dibutuhkan adalah: 5,35 + 3,70 + 2,20 = 11,25
(11 orang perawat).
c. Metode DEPKES
Pedoman cara perhitungan kebutuhan tenaga perawat dan bidan
menurut direktorat pelayanan keperawatan Dirjen Yan-Med Depkes RI (2001)
dengan memperhatikan unit kerja yang ada pada masing-masing rumah sakit.
Model pendekatan yang digunakan adalah tingkat ketergantungan pasien
berdasarkan jenis kasus, rata-rata pasien per hari, jumlah perawatan yang
diperlukan / hari / pasien, jam perawatan yang diperlukan/ ruanagan / hari dan
jam kerja efektif tiap perawat atau bidan 7 jam per hari.
Contoh Perhitungan:
Jumlah jam
Rata-rata jumlah Jumlah jam perawatan
Kategori*
No pasien/ hari perawat/ hari** ruangan/ hari (c
x d)
a b c d e
1 Askep Minimal 7 2,00 14,00
2 Askep sedang 7 3,08 21,56
3 Askep agak berat 11 4,15 45,65
4 Askep maksimal 1 6,16 6,16
Jumlah 26 87,37
Keterangan:
* : Uraian ada pada model Gillies di halaman depan
** : Berdasarkan penelitian di luar negeri

Jumlah perawat yang dibutuhkan adalah:


Jumlah jam perawatan ruangan/ hari = 87,37 = 12,5 perawat
Jam kerja efektif perawat 7

Untuk penghitungan jumlah tenaga tersebut perlu ditambah (factor koreksi)


dengan:
· Hari libur/ cuti/ hari besar (loss day)
Jumlah hari miggu dalam setahun + cuti + hari besar x Jumlah perawat tersedia
Jumlah hari kerja efektif
52 +12 + 14 x 12,5 = 3,4

11
286

· Perawat yang mengejakan tugas-tugas non-profesi (non-nursing jobs)


Seperti: membuat perincian pasien pulang, kebersihan ruangan, kebersihan
alat-alat makan pasien, dan lain-lain. Diperkirakan 25% dari jam
pelayanan keperawatan.
non-nursing jobs 25%
(Jumlah tenaga perawat + loss day) x 25% = (12,5 + 3,4) x 25% = 3,9
Jadi jumlah tenaga yang diperlukan= tenaga yang tersedia + factor koreksi
= 12,5 + 3,4 + 3,9 = 19,8 (dibulatkan menjadi 20 orang perawat/)

2.2 Metode (M2/ METHODE)


Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP) merupakan suatu
sistem (struktur, proses dan nilai-nilai professional) yang memungkinkan
perawat profesional mengatur pemberian asuhan keperawatan termasuk
lingkungan untuk menompang pemberian asuhan tersebut.
Berdasarkan pengalaman mengembangkan model PKP di RSUPN
Cipto Mangunkusumo sejak 1996, dan masukan dari berbagai pihak telah
dipikirkan untuk mengembangkan suatu MPKP, sebagai transisi menuju
model PKP yang disebut model praktek keperawatan professional pemula
(PKPP). Disamping itu sehubungan dengan adanya pola pengembangan
pendidikan tinggi keperawatan antara lain rencana pembukaan pendidikan
spesialis keperawatan, maka perlu dipikirkan pemanfaatan tenaga ini
nantinya di klinik. Oleh karena itu direncanakan terdapat beberapa jenis
MPKP, yaitu:
a. Model Praktek Keperawatan Profesional III
Melalui pengembangan MPKP III dapat diberikan asuhan
keperawatan professional tingkat III. Pada ketenagaan terdapat tenaga
perawat dengan kemampuan dokter dalam keperawatan klinik yang
berfungsi untuk melakukan riset dan membimbing para perawat

12
melakukan riset serta memanfaat hasil-hasil riset dalam memberikan
asuhan keperawatan.
b. Model Praktek Keperawatan Profesional II
Pada model ini, akan mampu memberikan asuhan keperawatan
profesional tingkat II. Pada ketenagan terdapat tenaga perawat dengan
kemampuan spesialis keperawatan yang spesifik untuk cabang ilmu
tertentu. Perawat spesialis berfungsi untuk memberikan konsultasi
tentang asuhan keperawatan kepada perawat primer pada area
spesialisasinya. Disamping itu melakukan riset dan memanfaatkan hasil-
hasil riset dalam memberikan asuhan keperawatan. Jumlah perawatan
spesialis direncanakan 1 orang untuk 10 perawat primer (1:10).
c. Model Praktek Keperawatan Profesional I
Model praktek keperawatan professional pemula (MPKP),
merupakan tahap awal untuk menuju MPKP. Pada model ini mampu
diberikan asuhan keperawatan professional tingkat pemula. Pada model
ini perawat mampu memberikan asuhan keperawatan profesional I dan
untuk ini diperlukan penataan 3 komponen utama, yaitu: ketenagaan
keperawatan, metode pemberian asuhan keperawatan dan dokumentasi
keperawatan. Model ini merupakan model yang akan dikembangkan
secara bertahap (Developmental model) dan telah telah diuji coba di
RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RSUP Persahabatan.

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sistem MAKP adalah suatu kerangka kerja yang mendefinisikan empat
unsur, yakni: standar, proses keperawatan, pendidikan keperawatan, dan
sistem MAKP. Definisi tersebut berdasarkan prinsip-prinsip nilai yang
diyakini dan akan menentukan kualitas produksi/jasa layanan keperawatan.

13
Jika perawat tidak memiliki nilai-nilai tersebut sebagai sesuatu pengambilan
keputusan yang independen, maka tujuan pelayanan kesehatan/keperawatan
dalam memenuhi kepuasan pasien tidak akan dapat terwujud.

3.2 Saran
3.2.1 Bagi Penulis
Sebaiknya lebih banyak membaca dan mencari referensi terkait dengan
managemen keperawatan dalam pengumpulan data agar menambah
pengetahuan dan wawasan,serta mengaktualisasikan pada proses menjadi
perawat professional yang memahami tentang pioderma dan asuhan
keperawatannya.
3.2.2 Bagi Perawat
Sebaikya perawat memiliki pengetahuan lebih terkait bagaimana
managemen keperawatan dalam pengumpulan data.
3.2.3 Bagi Rumah Sakit
Sebaiknya pihak rumah sakit lebih mampu memiliki pengetahuan lebih
terkait bagaimana managemen keperawatan dalam pengumpulan data.

DAFTAR PUSTAKA

Nursalam. (2002). Manajemen Keperawatan : Aplikasi dalam Praktik


Keperawatan Profesional. Jakarta: Salemba Medika.

14

Anda mungkin juga menyukai