Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Latar belakang

Nyeri dada menyumbang sekitar 6% dari alasan pasien datang ke Instalasi Gawat
Darurat (IGD) dan merupakan alasan paling umum untuk dirawat di rumah sakit secara
darurat. Penyakit jantung iskemik (PJK) adalah bentuk paling umum dari penyakit
jantung dan satu-satunya penyebab terpenting kematian dini di seluruh dunia meskipun
telah terdapat terobosan besar dalam tatalaksananya. Menurut Organisasi Kesehatan
Dunia, PJK bertanggung jawab atas 8,1 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2013
(interval ketidakpastian 95%, 7,3–8,8 juta) dan terdapat peningkatan 42% dalam jumlah
kematian PJK sejak 1990.1,2

Sindrom Koroner Akut (SKA) atau Acute coronary syndrome (ACS) digunakan
untuk menggambarkan berbagai iskemia miokard akut, di mana berkurangnya aliran
darah ke arteri koroner, yang biasanya disebabkan oleh peristiwa plak akut yang
mengarah ke obstruksi, menghasilkan infark miokard (MI). Acute coronary syndrome
(ACS) termasuk Angina tidak stabil atau Unstable Angina (UA) dan Evolved Myocardial
Infarction (MI) yang biasanya dibagi menjadi infark miokard dengan elevasi segmen-ST
(STEMI) atau onset baru blok cabang bundel kiri atau Left Bundle Branch Block (LBBB),
dan ACS tanpa elevasi segme ST (NSTEMI). Sindrom koroner akut atau ACS adalah
keadaan darurat yang harus didiagnosis dan dikelola sesegera mungkin. Infark miokard
dengan elevasi segmen ST adalah keadaan darurat absolut ('waktu adalah otot'),
sedangkan infark miokard tanpa elevasi segmen ST harus direvaskularisasi dalam waktu
48 jam paling lambat sesuai dengan pedoman.3

Riwayat klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) dan


penanda biokimiawi dari nekrosis miokard (mis. Troponin) semuanya digunakan untuk
mengidentifikasi pasien dengan dugaan ACS. Manajemen awal adalah dengan terapi anti-
trombotik dengan pandangan untuk PCI dalam waktu 24 jam untuk kasus yang paling
akut dan dalam waktu 72 jam untuk yang lain. Namun, berbagai jalur tatalaksana dan
akses ke layanan spesialis kardiologi menghasilkan waktu yang bervariasi untuk
perawatan definitif. Kemajuan dalam sensitivitas penanda biologis jantung dan
penggunaan alat penilaian risiko sekarang memungkinkan diagnosis yang cepat dalam
beberapa jam onset gejala. Kemajuan dalam tatalaksana invasif dan terapi obat telah
menghasilkan peningkatan hasil klinis dengan penurunan mortalitas yang terkait dengan
ACS.4

Pada laporan kasus ini, akan membahas mengenai NSTEMI HIGH RISK dengan
intermittent bundle branch block post PCI RCA.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sindrom Koroner Akut (SKA)


2.1.1 Patofisiologi

Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah
koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan
penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh
proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya
trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner,
baik secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh
koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan
vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya
aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti
selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark
miokard).3,5

Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner.
Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan
terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia,
selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating
dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan remodelling ventrikel (perubahan
bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak.
Mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri
koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme
maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi
Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia,
tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien
yang telah mempunyai plak aterosklerosis.3,5
2.1.2 Klasifikasi

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram


(EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:

1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation


myocardial infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non-ST segment
elevation myocardial infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)

Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat
keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi
gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan
tanpa perubahan. Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan
berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung.
Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil
pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis
menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non-ST-Elevation Myocardial
Infarction, NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung tidak meningkat
secara bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai ambang untuk peningkatan CK-MB
yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas (upper limits of normal,
ULN).3,5

Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau


menunjukkan kelainan yang non-diagnostik sementara angina masih berlangsung, maka
pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap menunjukkan
gambaran nondiagnostik sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien
dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang.3,5
Gambar 1. Algoritma evaluasi dan tatalaksana SKA6

2.2 Infark Miokardium Non-ST Elevasi atau Non-ST-segment Elevation


Myocardial Infarction (NSTEMI)
2.2.1 Diagnosis

Diagnosis infark miokardium non-ST elevasi (NSTEMI) ditegakkan atas dasar


keluhan angina tipikal yang dapat disertai dengan perubahan EKG spesifik, dengan atau
tanpa peningkatan marka jantung. Jika marka jantung meningkat, diagnosis mengarah ke
NSTEMI; jika tidak meningkat, diagnosis mengarah ke angina pektoris tidak stabil
(UAP). Sebagian besar pasien NSTEMI akan mengalami evolusi menjadi infark
miokardium tanpa gelombang Q. Dibandingkan dengan STEMI, prevalensi NSTEMI dan
UAP lebih tinggi, di mana pasien-pasien biasanya berusia lebih lanjut dan memiliki lebih
banyak komorbiditas. Selain itu, mortalitas awal NSTEMI lebih rendah dibandingkan
STEMI namun setelah 6 bulan, mortalitas keduanya berimbang dan secara jangka
panjang, mortalitas NSTEMI lebih tinggi. Strategi awal dalam penatalaksanaan pasien
dengan NSTEMI dan UAP adalah perawatan dalam Coronary Care Units, mengurangi
iskemia yang sedang terjadi beserta gejala yang dialami, serta mengawasi EKG, troponin
dan/atau CKMB.6,7
2.2.1.1 Presentasi klinis

Presentasi klinik NSTEMI dan UAP pada umumnya berupa:3,6,7

1. Angina tipikal yang persisten selama lebih dari 20 menit. Dialami oleh
sebagian besar pasien (80%)
2. Angina awitan baru (de novo) kelas III klasifikasi The Canadian
Cardiovascular Society (CCS). Terdapat pada 20% pasien.
3. Angina stabil yang mengalami destabilisasi (angina progresif atau kresendo):
menjadi makin sering, lebih lama, atau menjadi makin berat; minimal kelas
III klasifikasi CCS.
4. Angina pascainfark-miokard: angina yang terjadi dalam 2 minggu setelah
infark miokard.

Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal
(angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa
tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa
menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta
seperti diaforesis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.3,6,7

Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah
penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak
dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini
lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun),
wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan
angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina
ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat
penyakit jantung koroner (PJK).3,6,7

2.2.1.2 Pemeriksaan Elektrokardiogram

Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak kontak medis pertama.
Bila bisa didapatkan, perbandingan dengan hasil EKG sebelumnya dapat sangat
membantu diagnosis. Setelah perekaman EKG awal dan penatalaksanaan, perlu
dilakukan perekaman EKG serial atau pemantauan terus-menerus. EKG yang mungkin
dijumpai pada pasien NSTEMI antara lain:3,6,7

1. Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai dengan


elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20 menit)
2. Gelombang Q yang menetap
3. Nondiagnostik
4. Normal

Hasil EKG 12 sadapan yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan diagnosis


SKA tanpa elevasi segmen ST, misalnya akibat iskemia tersembunyi di daerah
sirkumfleks atau keterlibatan ventrikel kanan, oleh karena itu pada hasil EKG normal
perlu dipertimbangkan pemasangan sadapan tambahan.3,6,7

Depresi segmen ST ≥0,5 mm di dua atau lebih sadapan berdekatan sugestif untuk
diagnosis UAP atau NSTEMI, tetapi mengingat kesulitan mengukur depresi segmen ST
yang kecil, diagnosis lebih relevan dihubungkan dengan depresi segmen ST ≥1 mm.
Depresi segmen ST ≥1 mm dan/atau inversi gelombang T≥2 mm di beberapa sadapan
prekordial sangat sugestif untuk mendiagnosis UAP atau NSTEMI (tingkat peluang
tinggi). Gelombang Q ≥0,04 detik tanpa disertai depresi segmen ST dan/atau inversi
gelombang T menunjukkan tingkat persangkaan terhadap SKA tidak tinggi sehingga
diagnosis yang seharusnya dibuat adalah Kemungkinan SKA atau Definitif SKA. Jika
pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainan nondiagnostik, sementara angina masih
berlangsung, pemeriksaan diulang 10 – 20 menit kemudian (rekam juga V7-V9). Pada
keadaan di mana EKG ulang tetap menunjukkan kelainan yang nondiagnostik dan marka
jantung negatif sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau
selama 12-24 jam untuk dilakukan EKG ulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina
berulang.3,6,7

Bila dalam masa pemantauan terjadi perubahan EKG, misalnya depresi segmen
ST dan/atau inversi gelombang T yang signifikan, maka diagnosis UAP atau NSTEMI
dapat dipastikan. Walaupun demikian, depresi segmen ST yang kecil (0,5 mm) yang
terdeteksi saat nyeri dada dan mengalami normalisasi saat nyeri dada hilang sangat
sugestif diagnosis UAP atau NSTEMI. Stress test dapat dilakukan untuk provokasi
iskemia jika dalam masa pemantauan nyeri dada tidak berulang, EKG tetap
nondiagnostik, marka jantung negatif, dan tidak terdapat tanda gagal jantung. Hasil stress
test yang positif meyakinkan diagnosis atau menunjukkan persangkaan tinggi UAP atau
NSTEMI. Hasil stress test negatif menunjukkan diagnosis SKA diragukan dan
dilanjutkan dengan rawat jalan.3,6,7

2.2.1.3 Marka jantung

Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam diagnosis NSTEMI,
di mana peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4
jam. Penggunaan troponin I/T untuk diagnosis NSTEMI harus digabungkan dengan
kriteria lain yaitu keluhan angina dan perubahan EKG. Diagnosis NSTEMI ditegakkan
jika marka jantung meningkat sedikit melampaui nilai normal atas (upper limit of normal,
ULN). Dalam menentukan kapan marka jantung hendak diulang seyogyanya
mempertimbangkan ketidakpastian dalam menentukan awitan angina. Tes yang negatif
pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis
infark miokard akut.3,6,7

Kadar troponin pada pasien infark miokard akut meningkat di dalam darah perifer
3 – 4 jam setelah awitan infark dan menetap sampai 2 minggu. Peningkatan ringan kadar
troponin biasanya menghilang dalam 2 hingga 3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas,
peningkatan ini dapat menetap hingga 2 minggu.3,6,7

Mengingat troponin I/T tidak terdeteksi dalam darah orang sehat, nilai ambang
peningkatan marka jantung ini ditetapkan sedikit di atas nilai normal yang ditetapkan oleh
laboratorium setempat.3,6,7

Perlu diingat bahwa selain akibat STEMI dan NSTEMI, peningkatan kadar
troponin juga dapat terjadi akibat:3,6,7

1. Takiaritmia atau bradiaritmia berat


2. Miokarditis
3. Dissecting aneurysm
4. Emboli paru
5. Gangguan ginjal akut atau kronik
6. Stroke atau perdarahan subarachnoid
7. Penyakit kritis, terutama pada sepsis
Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan CKMB dapat
digunakan. CKMB akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai puncaknya
saat 12 jam, dan menetap sampai 2 hari.3,6,7

Gambar 2. Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung6

2.2.1.4 Pemeriksaan non-invasif

Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat memberikan


gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk menentukan diagnosis
banding. Hipokinesia atau akinesia segmental dari dinding ventrikel kiri dapat terlihat
saat iskemia dan menjadi normal saat iskemia menghilang. Selain itu, diagnosis banding
seperti stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi aorta dapat dideteksi melalui
pemeriksaan ekokardiografi. Jika memungkinkan, pemeriksaan ekokardiografi
transtorakal saat istirahat harus tersedia di ruang gawat darurat dan dilakukan secara rutin
dan sesegera mungkin bagi pasien tersangka SKA.3,6,7

Stress test seperti exercise EKG dapat membantu menyingkirkan diagnosis


banding PJK obstruktif pada pasien-pasien tanpa rasa nyeri, EKG istirahat normal dan
marka jantung yang negatif.3,6,7

Multislice Cardiac CT (MSCT) dapat digunakan untuk menyingkirkan PJK


sebagai penyebab nyeri pada pasien dengan kemungkinan PJK rendah hingga menengah
dan jika pemeriksaan troponin dan EKG tidak meyakinkan.3,6,7
2.2.1.5 Pemeriksaan invasif (angiografi koroner)

Angiografi koroner memberikan informasi mengenai keberadaan dan tingkat


keparahan PJK, sehingga dianjurkan segera dilakukan untuk tujuan diagnostik pada
pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis banding yang tidak jelas. Penemuan oklusi
trombotik akut, misalnya pada arteri sirkumfleksa, sangat penting pada pasien yang
sedang mengalami gejala atau peningkatan troponin namun tidak ditemukan perubahan
EKG diagnostik. Pada pasien dengan penyakit pembuluh multipel dan mereka dengan
stenosis arteri utama kiri yang memiliki risiko tinggi untuk kejadian kardiovaskular yang
serius, angiografi koroner disertai perekaman EKG dan abnormalitas gerakan dinding
regional seringkali memungkinkan identifikasi lesi yang menjadi penyebab. Penemuan
angiografi yang khas antara lain eksentrisitas, batas yang ireguler, ulserasi, penampakkan
yang kabur, dan filling defect yang mengesankan adanya trombus intrakoroner.3,6,7

2.3 Stratifikasi Risiko pada NSTEMI

Pedoman AHA / ACC menyarankan penggunaan model stratifikasi risiko untuk


menyesuaikan tatalaksana ACS.8

Sejumlah alat stratifikasi risiko yang telah divalidasi telah dikembangkan dan
umumnya digunakan dalam praktik klinis. Skor Global Registry of Acute Coronary
Events (GRACE) digunakan untuk menilai risiko kematian atau MI pada pasien yang
didiagnosis dengan NSTEMI dan menggunakan delapan variabel klinis untuk stratifikasi
risiko pasien. Untuk menghitung skor GRACE, pasien diberikan serangkaian poin untuk
masing-masing variabel klinis, yang paling sering dikonversi untuk menentukan
penerimaan hingga mortalitas enam bulan. Pasien yang mendapat skor ≤88 poin dianggap
berisiko rendah (<3%) terhadap kematian setelah enam bulan, skor 89-118 dianggap
berisiko menengah (3-6%) dan skor >118 dianggap berisiko tinggi (>6%). Ketika
mengungkapkan risiko dalam hal skor GRACE, pedoman ACC / AHA menggunakan alat
risiko berdasarkan hasil luaran penerimaan di rumah sakit; Praktik di Inggris
menggunakan pedoman dari National Institute for Health and Care Excellence (NICE)
untuk mengutip penerimaan risiko enam bulan.9,10,11
Tabel 1. Variabel klinis skor GRACE8

Variabel Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE)


1. Usia (tahun)
<40 0
40-49 18
50-59 36
60-69 55
70-79 73
≥80 91
2. Denyut jantung (kali per menit)
<70 0
70-89 7
90-109 13
110-149 23
150-199 36
>200 46
3. Tekanan darah sistolik (mmHg)
<80 63
80-99 58
100-119 47
120-139 37
140-159 26
160-199 11
>200 0
4. Kreatinin serum (mg/dL)
0-0,39 2
0,4-0,79 5
0,8-1,19 8
1,2-1,59 11
1,6-1,99 14
2-3,99 23
>4 31
5. Gagal jantung kongestif: kelas Killip
Kelas I 0
Kelas II 21
Kelas III 43
Kelas IV 64
6. Henti jantung saat masuk rumah sakit 43
7. Peningkatan penanda / enzim jantung 15
8. Deviasi segmen ST 30
Tabel 2. Prediksi mortalitas 6 bulan dan risiko kejadian merugikan di masa mendatang8

Prediksi mortalitas 6 bulan Risiko kejadian merugikan


kardiovaskuler di masa mendatang
1,5% atau kurang Paling rendah
>1,5% to 3,0% Rendah
>3,0% to 6,0% Sedang
>6,0% to 9,0% Tinggi
> 9,0% Paling tinggi

Tabel 3. Mortalitas 30 hari berdasarkan kelas Killip6

Kelas Killip Temuan Klinis Mortalitas


I Tidak terdapat gagal jantung (tidak 6%
terdapat ronkhi maupun S3)
II Terdapat gagal jantung ditandai dengan 17%
S3 dan ronkhi basah pada setengah
lapangan paru
III Terdapat edema paru ditandai oleh ronkhi 38%
basah di seluruh lapangan paru
IV Terdapat syok kardiogenik ditandai oleh 81%
tekanan darah sistolik <90 mmHg dan
tanda hipoperfusi jaringan

Alat stratifikasi risiko lain juga tersedia dan termasuk skor the Thrombolysis in
Myocardial Infarction (TIMI) dan the Platelet glycoprotein IIb/IIIa in Unstable angina:
Receptor Suppression Using Integrilin Tool (PURSUIT), yang keduanya juga
memprediksi risiko pada pasien yang didiagnosis dengan NSTEMI.9,10,11

Pedoman AHA / ACC tidak merekomendasikan satu model prediktor lebih dari
yang lain, sementara NICE merekomendasikan sistem penilaian GRACE untuk
stratifikasi risiko pasien yang dirawat di rumah sakit di Inggris dan Wales. Panduan ini
didasarkan pada korelasi yang kuat antara perkiraan kematian enam bulan dari registrasi
GRACE internasional dan data mortalitas nasional enam bulan yang berasal dari Proyek
Audit Nasional (MINAP) Iskemia Miokardium.9,10,11
Pasien yang datang dengan dugaan NSTEMI pada risiko tinggi terhadap hasil
luaran yang merugikan memerlukan angiografi dalam 72 jam. Tujuan angiografi cepat
adalah untuk menentukan anatomi koroner, luasnya penyumbatan dan, jika diindikasikan,
revaskularisasi dengan pemasangan stenting.9,10,11

Pasien risiko rendah yang datang dengan NSTEMI dapat dirawat secara
konservatif, dengan perawatan yang dipandu berdasarkan kondisinya. Rapid coronary
angiography hanya digunakan pada pasien berisiko rendah jika mereka mengalami gejala
iskemik refrakter atau berulang meskipun terdapat optimisasi medis, atau ketidakstabilan
hemodinamik. Pendekatan ini menghindari penggunaan rutin awal dari prosedur invasif
yang mahal (mis. Angiografi) yang tidak akan memberi manfaat klinis dan dapat
mengakibatkan bahaya. Pedoman AHA / ACC merekomendasikan bahwa pendekatan
konservatif ini harus diadopsi untuk pasien yang dianggap berisiko rendah menggunakan
skor risiko, serta pada wanita berisiko rendah dengan kadar troponin negatif.3,6,7

Tabel 4. Skor TIMI pada NSTEMI8,9

Skor TIMI (0-7)


1. Usia ≥ 65 tahun 1
2. ≥3 faktor risiko untuk penyakit arteri 1
koroner
3. Penggunaan aspirin (7 hari terakhir) 1
4. Riwayat penyakit arteri koroner yang 1
diketahui (stenosis sebelumnya ≥50%)
5. >1 serangan angina saat istirahat <24 jam 1
6. Deviasi segmen ST 1
7. Peningkatan penanda jantung 1

Tabel 5. Stratifikasi risiko berdasarkan skor TIMI8,9

Skor TIMI Risiko Risiko kejadian kedua


0-2 Rendah <8,3%
3-4 Menengah <19,9%
5-7 Tinggi ≤41%
Tabel 6. Skor PURSUIT8,10,11

Skor PURSUIT (0-18)


1. Usia, poin berbeda untuk tiap dekade
diagnosis (tahun)
50 8 (11)
60 9 (12)
70 11 (13)
80 12 (14)
2. Jenis kelamin
Pria 1
Wanita 0
3. Kelas CCS terburuk dalam 6 minggu
sebelumnya
Tidak ada angina atau CCS I/II 0
CCS III/IV 2
4. Tanda-tanda gagal jantung 2
5. Depresi ST pada EKG 1

Tabel 7. Kriteria stratifikasi risiko sangat tinggi untuk strategi invasif6

Kelompok risiko Kriteria


Sangat tinggi Angina refrakter
Gagal jantung akut
Aritmia ventrikel yang mengancam
nyawa
Keadaan hemodinamik tidak stabil

Tabel 8. Kriteria stratifikasi risiko tinggi untuk strategi invasif6

Kelompok risiko tinggi Kriteria


Primer Kenaikan atau penurunan troponin yang relevan
Perubahan gelombang T atau segmen ST yang dinamis
(simptomatik maupun tanpa gejala)
Sekunder Diabetes mellitus
Insufisiensi ginjal (eGFR <60 mL/menit/1,73m2)
Penurunan fungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi <40%)
Pasca infark baru
Riwayat IKP dalam 1 bulan
Riwayat CABG
Skor GRACE menengah hingga tinggi
2.4 Right Bundle Branch Block (RBBB)
2.4.1 Pendahuluan

Bundle branch block (BBB) dapat terjadi karena perubahan konduksi ventrikel
yang dapat menyebabkan dissinkronisasi ventrikel dan gagal jantung. Kejadian konduksi
ventrikuler abnormal ini sering terjadi pada orang dengan gagal jantung atau heart failure
(HF), hal ini dikarenakan pada beberapa kondisi BBB dan HF memiliki etiologi yang
sama. Pada popolasi secara umum, BBB lebih sedikit ditemukan daripada populasi
dengan HF. Kejadian right bundle branch block (RBBB) pada populasi secara umum
sekitar 1,9 – 24,3 per seribu populasi hal ini lebih banyak dibandingkan kejadian left
bundle branch block (LBBB) yaitu sekitar 0,1 – 0,8%.12

Right bundle branch block (RBBB) adalah temuan elektrokardiogram yang terjadi
ketika sistem konduksi listrik fisiologis jantung, khususnya dalam sistem His-Purkinje,
diubah atau terganggu sehingga mengakibatkan QRS melebar dan perubahan vektor
elektrokardiografi.13

Meningkatnya jumlah literatur, sebagian besar bedasrkan epidemiologi telah


menunjukkan hubungan yang kuat antara bundle branch block (BBB) dan penyakit
kardiovaskuler. Right bundle branch block (RBBB) biasanya berhubungan dengan
keadaan pasien yang stabil dan tanpa gejala. Namun RBBB dapat menunjukkan adanya
kaitannya dengan penyakit cor pulmonale, iskemia, emboli paru, miokarditis ataupun
penyakit jantung bawaan.12 Blok cabang bundel kanan (RBBB) merupakan gambaran
EKG yang sering ditemui di departemen darurat (ED). Perubahan EKG RBBB menjadi
iskemik sering ditafsirkan secara salah. Hal ini salah satunya dikarenakan karena
kurangnya publikasi mengenai interpretasi EKG iskemik atau terkait perubahan infark
pada blok cabang bundel kanan (RBBB).14

Banyak penelitian menunjukkan hubungan antara RBBB dengan kejadian


penyakit kardiovaskuler seperti cor pulmonale, myocarditis, acute myocardial infraction
(AMI), pulmonary thromboembolism and congenital diseases. Adanya penyakit tersebut
akan meningkatkan angka morbiditas dan mortilitas. Tampilan baru RBBB pada EKG
segera setelah pasien mengalami AMI akan meningkatkan mortalitas dan pada pasien
rawat inap yang disertai adanya gagal jantung atau heart failure akan memperparah
prognosis mereka. RBBB juga berhubungan dengan adanya faktor risiko penyakit
kardiovaskuler seperti hipertensi dan diabetes mellitus.

Dampak RBBB pada pasien dengan tidak ada riwayat penyakit kardiovaskuler
masih kontroversial. Beberapa penelitan telah menunjukkan bahwa RBBB meningkatkan
kejadian penyakit kardiovaskuler dengan hasil yang signifikan maupun tidak. Namun
pada beberapa penelitan RBBB tidak berisiko terhadap kejadian penyakit
kardiovaskuler.15

2.4.2 Etiologi

BBB biasanya muncul karena proses degeneratif pada system konduksi jantung
dan berhubungan dengan penyakit kardiovaskuler yang mendegenerasikan ventrikel
seperti heart failure (HF), myocardial infarction (MI), cor pulmonale, Brugada’s
Syndrome atau apapun yang dapat merubah fungsi ventrikel. Meskipun hal ini juga dapat
terjadi pada pasien tanpa adanya penyakit jantung.12

Penyebab kejadian RBBB secara umum dikarenakan MI, hypertensive heart


disease, dan penyakit pulmonal seperti pulmonary embolism, dan chronic obstructive
lung disease. Pada pasien dengan emboli pulmonal, kejadian RBBB dapat ditemukan
sekitar 6-67% kasus. Temuan RBBB yang baru juga berhubngan dengan MI anterior yang
luas, dan hal ini terjadi 3-7% kasus. Sedangkan pada Brugada’s Syndrome, RBBB adalah
salah satu kriteria untuk patofisiologi penyakit ini dan berhubungan dengan defek pada
kanal sodium jantung. Sehingga hal ini penting untuk klinis karena dapat menyebabkan
kematian mendadak yang diakibatkan ventricular tachycardia.12

2.4.3 Patofisiologi RBBB

Right bundle branch (RBB) menerima vaskularisasi dari arteri koroner descenden
anterior. Selain itu RBB juga menerima vaskularisasi dari sirkulasi kolateral yang berasal
dari arteri coronary sirkumfleksa dekstra et sinistra.13

Jantung memiliki alat pacu yang alami yaitu sinus (SA) node, yang mengirimkan
impuls listrik ke atrioventricular (AV) node. Kemudian impuls ditransmisikan ke
ventrikel pada bundle His melalui cabang kanan dan kiri (melalui serat Purkinje).
Kompleks QRS pada EKG menunjukkan depolarisasi ventrikel. Dalam kondisi normal
terjadi kurang dari 120 ms.13 Telah diketahui bahwa septum intraventricular memiliki
bundle his yang secara umum dibagi menjadi 3 fasikulus: fasikulus sebelah kanan dengan
satu cabang, dan bundle sebelah kiri dengan 2 cabang yaitu fasikulus anterior sinistra dan
fasikulus posterior sinistra. Left bundle branch (LBB) dan RBB tidak saling tukar impuls
antara jalur kanan dan kiri karena adanya mekanisme barrier fisiologi. Adanya barrier ini
sangat penting untuk menjaga sinkronisasi antara ventrikel kiri dan kanan. Mekanisme
ini yang berperan pada BBB.14

Ketika BBB telah terjadi, aktivasi ventrikel pertama kali terjadi pada ventrikel
yang tidak terblok, kemudian akan memulai depolarisasi pada septum dan otot ventrikel.
Sebelum benar benar akan mengaktifkan bundle ventrikel yang tidak terblok, gelombang
depolarisasi akan melalui barrier fisiologs pada septum dan mencapai sistem Purkinje
pada septum selanjutnya akan mengaktifkan ventrikal yang belum terdepolarisasi dengan
adanya keterlambatan 0,02 – 0,04s dalam RBBB

Ketika terjadi BBB, salah satu cabang bundle His menunda impuls listrik dan
aktivitas ventrikel diaktifkan oleh meningkatnya kekuatan otot jantung dari aktivitas
listrik ventrikel lainnya. Dengan demikian, ventrikel yang terkena block didepolarisasi
secara tidak menentu dan depolarisasi terjadi secara perlahan melalui jalur alternatif.
Penundaan ini ditunjukkan dalam EKG dengan pelebaran kompleks QRS (durasi> 120
ms) dan adanya perubahan pola yang bervariasi tergantung pada cabang yang
terpengaruh. Salah satu perubahan EKG yang paling sering ditemukan yaitu right bundle
branch block (RBBB).14

2.4.4. Diagnosis

EKG merupakan gold standard yang non invasif untuk mendiagnosis adanya
gangguan konduksi dan aritmia. Sensitivitas dan spesifisitas EKG lebih tinggi untuk
mendiagnosis aritmia dan gangguan konduksi dibandingkan perubahan structural atau
metabolik.12 Pada sebagian kasus RBBB disebabkan proses patologi, namun tidak
memungkinkan RBBB terjadi pada orang yang sehat. Di sisi lain, LBBB hampir selalu
disebabkan oleh adanya penyakit jantung coroner, penyakit jantung hipertensi, dan
pembesaran otot jantung. Sehingga pada LBBB, klinisi akan melakukan pemeriksaan
tambahan seperti rontgen thorax, dan ekokardiografi.12

Kriteria Strauss dapat digunakan untuk mendiagnosis RBBB dan LBBB, seperti
tabel dibawah ini.12

Tabel 9. Kriteria Strauss

Morfologi RBBB pada EKG menurut European Society of Cardiology:16

Lead V1:

Aberrancy RBBB yang khas memiliki r awal yang kecil, karena di RBBB, septum yang
tinggi diaktifkan terutama dari bundel septum kiri. Oleh karena itu, pola berikut jelas:
rSR’, rSr’, atau rR’ dalam lead V1. Namun, dalam VT, aktivasi awal gelombang
berkembang dari ventrikel kiri (LV) ke sadapan prekordial kanan V1, dengan cara
gelombang R yang menonjol (monofasik R, Rsr’, biphasic qR complex, atau broad R>
40 ms) akan menjadi lebih umum terlihat pada lead V1. Selain itu, gelombang R double-
peaked (pola M) dalam lead V1 lebih ditemui pada VT jika puncak sebelah kiri lebih
tinggi dari puncak sebelah kanan (yang disebut tanda 'telinga kelinci'). Telinga kelinci
kanan yang lebih tinggi mencirikan aberrancy RBBB tetapi tidak mengecualikan VT.

Lead V6:

Sejumlah tegangan kecil ventrikel kanan yang normal diarahkan menjauhi lead V6.
Karena ini adalah vektor kecil dalam penyimpangan RBBB, rasio R: S adalah> 1. Pada
VT, semua tegangan ventrikel kanan, dan sebagian dari kiri, diarahkan menjauhi V6, yang
mengarah ke rasio R: S <1 (pola rS dan QS). Morfologi RBBB dengan rasio R: S pada
V6 <1 jarang terlihat pada SVT dengan aberrancy, terutama ketika pasien memiliki
deviasi sumbu kiri selama irama sinus. Membedakan VT fasikuler dari SVT dengan blok
bifascicular (RBBB dan hemiblock anterior kiri) sangat menantang. Fitur yang
menunjukkan SVT dalam konteks ini termasuk QRS> 140 ms, QRS negatif keseluruhan
dalam aVR, dan rasio R / S> 1 dalam V6.

Tabel 10. Kriteria RBBB dan LBBB menurut European Society of Cardiology16

Tidak ada konsensus yang bulat tentang kriteria diagnostik RBBB dalam literatur.
Beberapa penelitian menggunakan kriteria diagnostik Kode Minnesota Semua penelitian
menggunakan ECG standar 12-lead saat istirahat, tetapi tidak ada kesepakatan tentang
kelainan gelombang atau durasinya.15
Gambar 3. Perbedaan RBBB komplit dan inkomplit15

2.4.5 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari RBBB yaitu inkomplit LBBB, ventricular tachycardia (VT) dan
sindrom Brugada. Inkomplit RBBB memiliki tampilan EKG dengandurasi QRS 100-119
ms. VT dengan accelerated idioventricular rhythm dapat memiliki tampilan yang sama
dengan RBBB jika sumber pacu listrik jantung berasal dari ventrikel. Sindrom Brugada
mempunyai tampilan EKG yang sama dengan RBBB. Pada pasien yang memiliki alat
pacu jantung dan QRS kompleks dengan gambaran RBBB, evaluasi diperlukan untuk
perforasi lead ventricular dekstra atau penempatan lead ventrikel sinistra yang
accidental.13
2.4.6 Terapi

Secara umum, adanya gambaran RBBB sendiri, tidak menunjukkan gejala dan
tidak memerlukan evaluasi atau pengobatan lebih lanjut. Pada kasus gagal jantung dengan
fraksi ejeksi ventrikel rendah dalam kombinasi dengan blok cabang bundel kanan, terapi
sinkronisasi jantung diindikasikan.13

Cardiac resynchronization therapy (CRT) telah terbukti menjadi pengobatan


yang sangat efektif untuk pasien dengan fungsi ventrikel kiri (LV) yang rendah, gagal
jantung kongestif simptomatik (gagal jantung kongestif), dan kompleks QRS yang
abnormal. Ia mampu menginduksi remodeling balik LV dengan perbaikan fungsi LV dan
pengurangan gejala gagal jantung, tidak hanya meningkatkan kualitas hidup dan fungsi
jantung, tetapi juga mengubah prognosis, mengurangi rawat inap dan mortalitas terkait-
HF.13

Meskipun penggunaan CRT digunakan untuk pasien dengan LBBB,


penggunaannya pada individu dengan RBBB masih belum jelas. Tidak ada cukup bukti
untuk membuktikan apakah hasil dengan RBBB akan lebih buruk karena efek gabungan
dari prediktor yang merugikan dan tingkat keparahan penyakit atau penurunan efektifitas
(atau mungkin membahayakan) CRT.12

2.5 Percutaneous Coronary Intervention (PCI)


2.5.1 Definisi

Primary PCI adalah suatu tindakan untuk mengalirkan kembali arteri koroner
yang terhambat thrombus, yang menyebabkan infark miokard dengan ST-elevasi
(STEMI), dengan menggunakan balon-kateter koroner, baik diikuti dengan pemasangan
stent maupun tidak. Pasien yang sedang mengalami serangan jantung tipe STEMI segera
dilakukan angiografi koroner, lalu setelah diidentifikasi arteri koroner yang
tersumbat,dilanjutan dengan upaya membuka sumbatan tersebut dengan cara dimasukkan
kawat penuntun dari metal dengan ujung yang floppy untuk menembus sumbatan trombus
tersebut lalu dilebarkan dengan balon dan kalau perlu dipasang stent; bila gumpalan yang
menumbat terlalu banyak dapat diaspirasi dulu dengan kateter aspirasi sebelum dibalon
atau dipasang stent.17
Obat golongan antiplatelet kombinasi, biasanya aspirin ditambah clopidogrel
loading dose dan antikoagulan intravena diberikan sebelum tindakan dilakukan.
Keberhasilan primary PCI membuka arteri koroner yang tersumbat diatas 90% dan terus
meningkat dari tahun ke tahun, dibandingkan dengan fibrinolisis yang hanya sekitar 50–
60%.17

Gambar 4. Pemasangan stent pada arteri koroner yang sebelumnya tersumbat


thrombus, sehingga memungkinkan darah mengalir kembali.

2.4.2 Manfaat Klinis Reperfusi dengan Primary PCI

Terapi reperfusi diindikasikan pada pasien dengan nyeri dada yang konsisten
dengan STEMI dengan durasi kurang dari 12 jam. Kandidat untuk reperfusi seharusnya
dapat diidentifikasi oleh dokter jaga UGD, dimulai dengan mengaktifkan pelayanan
medis gawat darurat (emergency medical services) untuk mengurangi keterlambatan.
Guideline STEMI American College Cardiology (ACC)/American Heart Association
(AHA) guidelines 2006 dan ACC/AHA Focus Updates 2009 serta European Society of
Cardiology (ESC) guidelines 2012 menyatakan primary PCI menjadi pilihan utama pada
pasien STEMI dan/atau LBBB baru dengan onset kurang dari 12 jam (atau lebih dari 12
jam tetapi masih nyeri dada), terdapat tenaga ahli kardiologi intervensi, laboratorium
kateterisasi jantung dengan standby bedah jantung (Primary PCI capable center) dan
prosedur dapat dilakukan dalam waktu 90 menit sejak datang ke Rumah Sakit (RS).
Segala kemungkinan untuk terjadinya perlambatan di RS untuk mencapai waktu door-to-
balloon 90 menit harus dihindari sejak pasien masuk triase. Untuk RS yang tidak
memiliki sarana PCI, akses rujukan yang cepat juga bisa dilakukan dengan perkiraan
waktu kurang dari 120 menit sampai dilakukan PCI. Selain itu, Primary PCI lebih
dianjurkan pada pasien STEMI dengan kontraindikasi fibrinolitik, resiko tinggi
perdarahan, usia lebih dari 75 tahun, resiko tinggi, dan syok kardiogenik. Sedangkan
terapi fibrinolitik dianjurkan pada pasien STEMI dengan onset nyeri dada kurang dari 3
jam tetapi sarana PCI tidak ada dan riwayat alergi kontras. Pasien yang dipasang stent
pada arteri koroner yang terkena sumbatan ternyata dapat mengurangi risiko restenosis
(menyempit kembali), angina berulang dan perlunya tindakan revaskularisasi dimasa
depan dibanding yang dibalon saja.17

Studi PAMI yang membandingkan primary PCI dengan fibrinolisis, menunjukkan


penurunan angka mortalitas, rekurensi infark dan stroke secara signifikan pada primary
PCI dibandingkan dengan terapi fibrinolisis.17

Stent salut obat/Drug Eluting Stent (DES) menunjukkan penurunan angka


restenosis yang signifikan dibandingkan stent biasa dalam 12 bulan setelah Primary PCI.
Guideline penatalaksanaan STEMI dari ESC menganjurkan menggunakan stent
disbanding balon saja, bahkan jika tidak ada kontra indikasi penggunaan dua antiplatelet
dalam jangka panjang, maka lebih dianjurkan menggunakan DES, karena jika DES
digunakan, maka kombinasi dua anti platelet, aspirin dengan clopidogrel, prasugrel atau
ticagrelor diberikan sekurang-kurangnya 12 bulan.17

2.4.3 Efek Samping

Komplikasi dari tindakan Primary PCI antara lain: komplikasi vaskular meliputi
perdarahan, hematoma, pseudoaneurisma dan fistula arteriovenosa (2–3%), nefropati
karena kontras radiografi (2%) terjadi pada pasien insufisiensi renal, usia tua, dan shock
kardiogenik. Takikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel dilaporkan pada 4,3% pasien yang
mendapatkan terapi Primary PCI.17
2.4.4 PCI pada non-ST elevation ACS
Pedoman baru menurut ESC, strategi invasif telah menjadi standar perawatan
untuk pasien berisiko tinggi. Pendekatan ini memungkinkan diagnosis segera dari
penyakit jantung koroner yang mendasarinya, identifikasi lesi etiologinya, pedoman
untuk manajemen antitrombotik, dan penilaian kesesuaian anatomi koroner untuk PCI
atau CABG. Banyak faktor yang saling mempengaruhi dalam proses pengambilan
keputusan, termasuk presentasi klinis, komorbiditas, stratifikasi risiko, dan fitur berisiko
tinggi yang spesifik untuk modalitas revaskularisasi seperti kelemahan, status kognitif,
perkiraan harapan hidup, dan keparahan fungsional dan anatomis dari CAD.18
Hingga 40% pasien NSTE-ACS dengan penyakit jantung koroner obstruktif hadir
dengan beberapa plak kompleks dan 25% dengan sumbatan arteri koroner akut, sehingga
identifikasi sumber lesi tersebut akan menantang. Korelasi dengan perubahan EKG atau
gema dan penggunaan optical coherence tomography (OCT) pada 25% pasien NSTE-
ACS dengan arteri koroner epikardial normal secara angiografis mungkin bermanfaat
untuk mengidentifikasi lesi penyebab, atau menyingkirkan mekanisme lain seperti diseksi
atau hematoma [MI dengan arteri koroner non-obstruktif (MINOCA)]. Strategi invasif
rutin di NSTE-ACS telah terbukti meningkatkan hasil klinis, dan manfaatnya terutama
terbatas pada pasien dengan penanda biologis positif dan pasien dengan fitur risiko tinggi
lainnya.18
Rekomendasi terbaru mengenai waktu untuk melakukan angiografi dan intervensi
dijelaskan pada gambar dibwah ini, didasarkan pada bukti yang dibahas secara terperinci
oleh Pedoman sebelumnya tentang NSTE-ACS. Adanya intervensi awal akan
mengurangi iskemia berulang atau refrakter dan lama rawat inap. Hal ini sesuai dengan
studi meta analisis bahawa dengan intervensi awal akan menurunkan mortalitas
dibandingan intervensi yang terlambat.18
Gambar 5. Pemilihan strategi dan waktu terapi sindrom koroner akut non-ST elevasi
sesuai dengan stratifikasi risiko awal.18

Tabel 11. Rekomendasi untuk evaluasi invasif dan revaskularisasi pada sindrom koroner
akut non-ST-elevasi
2.4.5 PCI pada ST elevation ACS
Keterlambatan pelaksanaan terapi reperfusi adalah masalah utama dalam
manajemen STEMI. Oleh karena itu diperlukan manajemen yang tepat dalam kasus
STEMI. PCI primer, didefinisikan sebagai intervensi kateter perkutan dalam pengaturan
STEMI tanpa fibrinolisis sebelumnya, adalah strategi reperfusi yang disukai. PCI ini telah
menggantikan terapi fibrinolisis pada pasien dengan STEMI, dengan syarat dapat
dilakukan secara tepat waktu di pusat PCI dengan adanya operator berpengalaman dan
dengan aktivasi laboratorium kateterisasi 24 jam / 7 hari seminggu. Dalam setting PCI
primer tidak dapat dilakukan secara tepat waktu, fibrinolysis harus diberikan seger
mungkin. Jika kontak medis pertama (FMC) diluar rumah sakit, lisis harus dilakukan
sebelum di rumah sakit (contoh di ambulans). Hal ini harus diikuti dengan transfer ke
pusat PCI yang dapat melakukan angiografi coroner rutin pada semua pasien, dan harus
segera dilakukan tanpa penundaan untuk menyelamatkan PCI dalam kasus fibrinolisis
yang tidak berhasil atau dalam 2-24 jam setelah pemberian bolus. Coronary artery bypass
grafting (CABG) darurat dapat diindikasikan pada pasien STEMI tertentu yang tidak
cocok untuk dilakukan PCI.18

Gambar 6. Mode kontak medis pasien, komponen waktu iskemia, dan diagram alur
untuk pemilihan strategi reperfusi
Gambar 7. Perbedaan Keuntungan PCI dan CABG
Daftar Pustaka

1. Body R. Acute coronary syndromes diagnosis, version 2.0: Tomorrow's approach


to diagnosing acute coronary syndromes?. Turk J Emerg Med. 2018;18(3):94–99.
2. Ralapanawa, U., Kumarasiri, P.V.R., Jayawickreme, K.P. et al. Epidemiology and
risk factors of patients with types of acute coronary syndrome presenting to a
tertiary care hospital in Sri Lanka. BMC Cardiovasc Disord 19, 229 (2019).
3. Ibanez B,, James S,, Agewall S,, Antunes MJ,, Bucciarelli-Ducci C,, Bueno H,,
Caforio ALP,, Crea F,, Goudevenos JA,, Halvorsen S,, Hindricks G,, Kastrati A,,
Lenzen MJ,, Prescott E,, Roffi M,, Valgimigli M,, Varenhorst C,, Vranckx P,,
Widimsky P. 2017 ESC Guidelines for the management of acute myocardial
infarction in patients presenting with ST-segment elevation: the Task Force for
the management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-
segment elevation of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J
2017; doi: 10.1093/eurheartj/ehx393.
4. Kumar A, Cannon CP. Acute coronary syndromes: diagnosis and management,
part I. Mayo Clin Proc. 2009;84(10):917–938.
5. Hamm CW, Bassand JP, Agewall S, Bax J, Boersma E, Bueno H, Caso P, Dudek
D, Gielen S, Huber K, Ohman M, Petrie MC, Sonntag F, Uva MS, Storey RF,
Wijns W, Zahger D. ESC Guidelines for the management of acute coronary
syndromes in patients presenting without persistent ST-segment elevation: the
Task Force for the management of acute coronary syndromes (ACS) in patients
presenting without persistent ST-segment elevation of the European Society of
Cardiology (ESC). Eur Heart J 2011;32:2999–3054.
6. PERKI, 2015. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, Jakarta: Centra
Communications.
7. Roffi M, Patrono C, Collet JP, Mueller C, Valgimigli M, Andreotti F, Bax JJ,
Borger MA, Brotons C, Chew DP, Gencer B, Hasenfuss G, Kjeldsen K,
Lancellotti P, Landmesser U, Mehilli J, Mukherjee D, Storey RF, Windecker S,
Baumgartner H, Gaemperli O, Achenbach S, Agewall S, Badimon L, Baigent C,
Bueno H, Bugiardini R, Carerj S, Casselman F, Cuisset T, Erol C, Fitzsimons D,
Halle M, Hamm C, Hildick SD, Huber K, Iliodromitis E, James S, Lewis BS, Lip
GY, Piepoli MF, Richter D, Rosemann T, Sechtem U, Steg PG, Vrints C, Luis ZJ.
2015 ESC Guidelines for the management of acute coronary syndromes in
patients presenting without persistent ST-segment elevation: Task Force for the
Management of Acute Coronary Syndromes in Patients Presenting without
Persistent ST-Segment Elevation of the European Society of Cardiology (ESC).
Eur Heart J 2016;37:267–315.
8. Pedro de Araújo Gonçalves, Jorge Ferreira, Carlos Aguiar, Ricardo Seabra-
Gomes, TIMI, PURSUIT, and GRACE risk scores: sustained prognostic value
and interaction with revascularization in NSTE‐ACS, European Heart Journal,
Volume 26, Issue 9, May 2005, Pages 865–872.
9. Antman EM, Cohen M, Bernink PJ et al. The TIMI risk score for unstable
angina/non-ST elevation MI: A method for prognostication and therapeutic
decision making. JAMA 2000;284:835–842.
10. Boersma E, Pieper KS, Steyerberg EW et al. Predictors of outcome in patients
with acute coronary syndromes without persistent ST-segment elevation. Results
from an international trial of 9461 patients. Circulation 2000;101:2557–2567.
11. Gale CP, Manda SO, Weston CF et al. Evaluation of risk scores for risk
stratification of acute coronary syndromes in the Myocardial Infarction National
Audit Project (MINAP) Database. Heart 2008;95(3):221–227.
12. Duraes AR, Passos LCS, Falcon HCDS, et al., Bundle Branch Block: Right and
Left Prognosis Implications. Interv Cardiol J 2015, 2:1
13. Harkness WT, Hicks M. Right Bundle Branch Block (RBBB) [Updated 2019 Jun
3]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2019 Jan.
14. Cooper, B.L, Khosla,A.J, & Voronin, B.W. Myocardial Infraction in the Presence
of Right Bundle Branch Block. The Journal of Emergency Medicine. (2016).
50(5), 778-9.
15. Zaidin M A, et all. Diagnosis of right bundle branch block: a concordance study.
BMC Family Practice.2019. 20:58.
16. Brugada J, et al. 2019 ESC Guidelines for the management of patients with
supraventricular tachycardia. European Heart Journal.2019.00, 1-66.
17. Rifqi,S. Primary Percutaneous Coronary Intervention (Primary PCI) Senjata
”Baru” untuk Melawan Serangan Jantung Akut. Med Hosp November 2012; vol
1 (2): 139-142.
18. Neumann F J, et al. 2018 ESC/EACTS Gudelines on myocardial
revascularization.European Heart Journal (2019) 40,87-165.P 110-13.

Anda mungkin juga menyukai