Anda di halaman 1dari 5

A.

Kerangka Pemikiran

Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Perdagangan Orang, pada Pasal 1 angka 1 memberikan

pengertian dari Perdagangan orang ialah tindakan perekrutan,

pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan

seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,penculikan,

penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau

posisi rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat,

sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas

orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam Negara maupun antar

Negara untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.1

Bentuk-bentuk Tindak Pidana Perdagangan Orang (human

trafficking) antara lain:

1. Pekerja Migran adalah orang yang bermigrasi dari wilayah

kelahirannya ke tempat lain dan kemudian bekerja ditempat

yang baru tersebut dalam jangka waktu relatif menetap.

2. Pekerja Anak (baik berupa tindakan dan percobaan tindakan).

3. kejahatan prostitusi yang secara hukum didefinisikan sebagai

penjualan jasa seksual yang meliputi tindakan seksual tidak

sebesar kopulasi dan hubungan seksual.

4. Perdagangan Anak Melalui Adopsi (Pengangkatan Anak).

1
Wahyu Riadi, ”Implementasi Pencegahan Perdagangan Orang ditinjau dari Prespektif Pertahanan
Negara”, Vol. 3 Nomor 2, Juni 2017, hlm. 13.
5. Perbudakan Berkedok Pernikahan dan Pengantin Pesanan,

6. Implamantasi Organ.

Menurut Wahyu Riadi dalam jurnalnya Implemetasi Pencegahan

Perdagangan Orang ditinjau dari Prespektif Pertahanan Negara. Banyak

sekali isu yang terkait dengan perdagangan manusia yang menyeret

berbagai Negara. Menurut US Departement of state (2010) Lembaga

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memperkirakan 2,5 juta orang

diseluruh dunia telah diperjualbelikan dan menjadi korban perdagangan

manusia.

Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya perdagangan

manusia. Sebagian besar kasus disebabkan karena kemiskinan. Kemiskinan

adalah penyebab terpenting dari kerentanan dan ketidak berdayaan.selain

soal kemiskinan, situasi keluarga yang bermasalah juga menjadi faktor

penyebab terjadinya perdagangan manusia. Penyebab lainnya adalah

kurangnya kesempatan memperoleh pendidikan dan akses terhadap

informasi. Fakta menunjukan bahwa adanya suatu korelasi yang kuat antara

perdagangan orang dengan tingkat pendidikan yang rendah, pelatihan yang

tidak cukup dan kurangnya kesempatan memperoleh pedidikan.

Faktor penyebab lainnya adalah krisis ekonomi, bencana alam,

perang dan konflik politik. Perubahan politik yang mendadak, keruntuhan

ekonomi, keresahan masyarakat sipil konflik bersenjata di dalam Negeri

dan bencana alam sangat meningkatkan kemungkinan suatu Negara

meenjadi sumber korban perdagangan orang. Bencana-bencana semacam


ini menimbulkan ketidakstabilan dan mobilisasi warga, serta

mengakibatkan ketidakamanan ekonomi dan sosial. Hal tersebut bisa

mendorong perempuan dan anak perempuan untuk melarikan diri demi

mencri pilihan-pilihan lain yang mungkin, dan dalam prosesnya dapat

menempatkan diri mereka ditangan para pelaku perdagangan orang.

Indikator perdagangan perempuan di Indikator menurut laporan

Global Aliance against Traffic on Women (GAATW), terdapat tiga (3)

aspek dalam human trafficking yaitu:

1. Maraknya perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, baik terjadi

didalam negeri maupun di luar negeri yang bukan atas keinginan atau

pilihan bebas perempuan yang bersangkutan, melainkan karena

terpaksa atau tekanan situasi berupa kemiskinan dan pengangguran,

sehingga timbul keinginan yang kuat untuk memprtbaiki nasib;

2. Meningkatnya jumlah perusahaan penyalur tenaga kerja, terutama yang

ilegal, karena keuntungan yang diperoleh perekrut, penjual, sindikat

perusahaan disinyalir sangat besar;

3. Tingginya kasus penipuan, diantaranya berupa janji palsu, ikatan utang,

perbudakan, pemaksaan, tekanan dan pemerasan.

Di Indonesia undang-undang yang khusus mengatur human

trafficking sudah terbentuk yaitu Undang-undang No. 21 Tahun 2007

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, sehingga

perlindungan hukum terhadap korban traficking secara khusus dapat

terlindungi. Dengan demikian ancaman hukuman bagi pelaku trafficking


tidak lagi menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

yang oleh beberapa kalangan dianggap belum perlindungan karena ancaman

masih terlalu ringan.2

Secara subtansial/material pengaturan TPPO dalam Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2007 sudah sesuai dengan harapan masyarakat

dalam penegakan hukum pidana perdagangan orang. Namun dalam

mendukung pelaksanaan pencegahan dan penegakan hukum TPPO secara

umum, tidak cukup dengan hanya mengandalkan pada Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Orang saja, melainkan perlu didukung oleh peraturan perundang-undangan

lainnya, mengingat sifat dan ruang lingkup tindak pidana perdagangan

orang yang sangat komplek dan berlakunya dapat melintasi batas negara,

maka pencegahan dan penegakan hukum pun tidak hanya dapat dilakukan

dengan hanya menggunakan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, melainkan

memerlukan bantuan dari substansi cabang hukum lainnya (legal

substance).3

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Perdagangan Orang yang merupakan upaya pemerintah

dalam memberikan perlindungan hukum, baik secara langsung maupun

2
Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kebijakan Hukum Pidana dan
Pencegahannya), (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 290.
3
Ibid., hlm. 291.
tidak langsung terhadap calon korban dan/atau korban, juga berhubung

dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

terhadap Saksi dan Korban. Oleh karena itu, untuk melakukan pencegahan

dan penegakan hukum yang tujuannya untuk melindungi HAM dapat

dilakukan dengan diawali dari mengidentifikasi penyebab terjadinya TPPO.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 merupakan suatu langkah positif

dalam upaya perlindungan saksi dan korban, yang selama ini masih di atur

secara sektoral. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 ini merupakan

suatu kemajuan terhadap perlindungan korban, sesuai dengan amanat

pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia.4

4
Ibid., hlm. 292.

Anda mungkin juga menyukai