Anda di halaman 1dari 6

I.

PENDAHULUAN
Adenomiosis, dikenal pula dengan nama endometriosis interna, merupakan kelainan
jinak uterus yang ditandai oleh adanya komponen epitel dan stroma jaringan endometrium
fungsional di miometrium. Istilah adenomiosis diperkenalkan pertama kali oleh Frankl
(1925) dua tahun sebelum istilah endometriosis diperkenalkan oleh Sampson (1927)
(Ferenczy, 1998).
Gambaran cystosarcoma adenoids uterinum (istilah awal adenomiosis) pertama kali
dilaporkan oleh patolog Carl von Rokitansky (1860). Pada tahun 1896, von Recklinghausen
melaporkan fenomena yang sama dengan istilah adenomyomata dan cystadenomata. Pada
masa itu, patomekanisme adenomiosis dan endometriosis masih dianggap berbeda. Thomas
Stephen Cullen (1908) menemukan tumor intramiometrial dengan epitel dan stroma
endometrial terdistribusi di dalamnya. Tahun 1921 barulah disadari bahwa ‘adenomiosis’
dan ‘endometriosis’keduanya berasal dari jaringan endometriotik serupa (Benagiano,
2006).
Tahun 1972, Bird et al. mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi jinak
jaringan endometrium ke dalam lapisan miometrium yang menyebabkan pembesaran uterus
difus dengan gambaran mikroskopis kelenjar dan stroma endometrium ektopik non
neoplastik dikelilingi oleh jaringan miometrium hipertrofik dan hiperplastik. Belakangan
diketahui ada adenomiosis yang bermanifestasi sebagai lesi fokal terisolasi dalam
miometrium (Pernol, 2001).
Pada awal tahun 1988, Honoré et al. mempublikasikan kasus adenomiosis pada tiga
wanita muda infertil yang menjalani pembedahan dengan diagnosis awal leiomioma uteri.
Memang, telah lama dicurigai adenomiosis berperan sebagai salah satu penyebab
subfertilitas bahkan infertilitas pada populasi wanita. Hanya saja diagnosis adenomiosis
saat itu masih berdasarkan spesimen histerektomi sehingga sangat sulit mengevaluasi
pengaruhnya terhadap fertilitas (Campo, 2012).
Kini, pada wanita muda tanpa gejala sekalipun magnetic resonance imaging (MRI)
memungkinkan identifikasi penebalan junctional zone (JZ), tautan antara endometrium
dengan sisi dalam miometrium. JZ mengalami penebalan signifikan pada adenomiosis.
Transvaginal sonography(TVS) memungkinkan identifikasi adenomiosis itu sendiri. Kedua
teknik noninvasif tersebut cukup akurat dalam mendiagnosis adenomiosis preoperatif
(Shreshta, 2012).
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Bird et al. (1972) mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi jinak
jaringan endometrium ke dalam lapisan miometrium yang menyebabkan pembesaran
uterus difus dengan gambaran mikroskopis kelenjar dan stroma endometrium ektopik
non neoplastik dikelilingi oleh jaringan miometrium hipertrofik dan hiperplastik
(Benagiano, 2006).

Definisi tersebut masih berlaku hingga sekarang dengan modifikasi.


Adenomiosis adalah keberadaan kelenjar dan stroma endometrium pada sembarang
lokasi di kedalaman miometrium. Isu kedalaman menjadi penting sebab batas JZ
seringkali ireguler, dan adenomiosis harus dibedakan dengan invaginasi miometrium
basalis minimal. Ada dua cara membedakannya, pertama apakah ada hipertrofi
miometrial di sekitar fokus adenomiotik bila JZ tidak tampak. Kedua, jarak JZ dengan
fokus adenomiotik tidak lebih dari 25% total ketebalan miometrium (Pernol, 2001).

Sathyanarayana (1991) membagi adenomiosis kedalam 3 kategori berdasarkan


kedalaman lokasi lesi yaitu lesi terbatas pada lapisan basal, lapisan dalam dan lapisan
permukaan. Gordts et al. (2008) mengusulkan sistem klasifikasi adenomiosis
sederhana berdasarkan analisis MRI pada JZ uterus. Pertama, hiperplasia JZ
sederhana, ketebalan JZ ≥8 mm tetapi ˂12 mm pada wanita berusia ≤35 tahun. Kedua,
adenomiosis parsial atau difus, ketebalan JZ ≥12 mm, fokus miometrial berintensitas
sinyal tinggi, dan melibatkan komponen di luar miometrium <⅓, <⅔ atau >⅔. Dan
ketiga, adenomioma, massa miometrial berbatas tidak jelas dengan intensitas sinyal
rendah pada semua sekuens MRI (Benagiano, 2006).

Secara tradisional, diagnosis histologis adenomiosis ditegakkan ketika


ditemukannya kelenjar & stroma endometrium > 4 mm di bawah endomyometrial
junction. Sedangkan menurut Zaloudek & Norris, disebut adenomiosis jika jarak antara
batas bawah endometrium dengan daerah miometrium yang terkena + 2,5 mm.
Adenomiosis sub-basalis diartikan sebagai invasi minimal kelenjar endometrium < 2
mm di bawah stratum basalis endometrium.
Menurut Hendrickson & Kempson, disebut adenomiosis jika lebih dari
sepertiga total ketebalan dinding uterus yang terkena. Sedangkan Ferenczy tetap
mempertahankan pendapatnya bahwa diagnosis adenomiosis jika jarak antara
endomyometrial junction dengan fokal adenomiosis terdekat > 25% total ketebalan
miometrium. Siegler & Camilien mengelompokkan adenomiosis berdasarkan
kedalaman penetrasi ke dalam miometrium, yaitu (Shresta, 2012):

a. Derajat 1, mengenai 1/3 miometrium (Adenomiosis superfisial)


b. Derajat 2, mengenai 2/3 miometrium
c. Derajat 3, mengenai seluruh miometrium (Deep adenomyosis)

Selanjutnya adenomiosis juga dibagi berdasarkan jumlah pulau-pulau


endometrium pada pemeriksaan histologi menjadi ringan (1-3), sedang (4-9) &
berat (>10).

2. Etiologi dan faktor Resiko


Hingga saat ini, etilogi pasti adenomyosis masih belum diketahui. Berbagai
keadaan telah diteliti sebagai faktor resiko adenomiosis antara lain usia antara 40-50
tahun, multipara, riwayat hiperplasia endometrium, riwayat abortus spontan, dan
polimenore. Sedangkan usia menarke, usia saat partus pertama kali, riwayat abortus
provokatus, riwayat seksio sesarea, endometriosis, obesitas, menopause, panjang
siklus dan lama haid, penggunaan kontrasepsi oral dan IUD dilaporkan tidak berkaitan
dengan adenomiosis (Chopra, 2006).

Paritas dan usia merupakan faktor risiko yang signifikan untuk adenomiosis.
Secara khusus, hampir 90 persen kasus pada perempuan parous dan hampir 80 persen
berkembang pada wanita di usia empat puluhan dan lima puluhan (Schorge, 2008).

3. Epidemiologi
Frekuensi adenomiosis bervariasi dari 5% hingga 70%, pada literatur lain
dilaporkan 8% hingga 61%, bergantung pada seleksi sampel dan kriteria diagnostik
yang dipakai. Diagnosis preoperatif sendiri masih kurang dari 10% . Studi di Nepal
oleh Shrestha et al. (2012) melaporkan insidens 23,4% pada 256 spesimen
histerektomi. Jauh sebelumnya, sebuah studi di Itali oleh Parazzini et al. (1997)
melaporkan insidens serupa sekitar 21,2% pada 707 wanita yang menjalani
histerektomi atas berbagai indikasi. Meskipun insidensnya lumayan tinggi, tetapi
studi epidemiologi seputar adenomiosis masih sangat jarang (Chopra, 2006).
Telah disinggung pada bagian pendahuluan bahwa perkembangan teknologi
memungkinkan diagnosis adenomiosis preoperatif sehingga eksplorasi hubungannya
dengan infertilitas dapat dilakukan. De Souza et al. melaporkan insidens 54%
hiperplasia JZ pada wanita subfertil dengan keluhan menoragi dan dismenore. Bukti
lain melaporkan kehamilan pada wanita infertil setelah diterapi adenomiosis dengan
agen GnRH agonis. Penelitian terbaru oleh Maubon et al. (2010) melibatkan 152 pasien
in vitro fertilisation (IVF) untuk menilai pengaruh ketebalan JZ uterus yang diukur
dengan MRI terhadap keberhasilan implantasi, dilaporkan bahwa peningkatan
ketebalan JZ uterus berkorelasi signifikan dengan kegagalan implantasi pada IVF.
Kegagalan implantasi terjadi pada 95,8% pasien dengan JZ 7-10 mm versus 37,5% pada
subjek lain (Benagiano, 2006).

4. Manifestasi Klinis
Presentasi klinis pada adenomyosis sayngat bervariasi. Paling banyak
dilaporkan adalah adanya perdarahan uterus abnormal dan nyeri pada saat menstruasi.
Keadaan ini adalah akibat dari peningkatan permukaan endometrium karena
membesarnya uterus. Penyebab lain yaitu adanya peningkatan kontraksi uterus
abnormal karena produksi berlebih dari prostaglandin dan estrogen. Nyeri menstruasi
akibat dai perdarahan dan pembengkakan area jaringan endometrium dalam
myometrium dan juga peningkatan prostaglandi. Gejala lain yang pernah dilaporkan
yaitu adanya nyeri saat berhubungan seksual, kan nyeri pelvis kronis (Struble, 2015).

Tanda yang dapat ditemukan yaitu adanya pembesaran uterus difus yang
dapat didesripsikan sebagai bentuk uterus globular akibat dari proliferasi jaringan
endometrium ektopik, sehingga akan menyebbkan otot polos ada myometrium
menjadi hipertrofi dan hiperplasi. Selain itu juga dapat berupa massa polipoid pada
cavum uterus (Struble, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Benagiano G and Brosens I. History of adenomyosis (Abstract). Best Pract Res ClinObstet
Gynaecol. 2006 Aug;20(4):449-63. Epub 2006 Mar 2.

Campo S, Campo V, Benagiano G. Review Article Adenomyosis and InfertilityObstetrics


and Gynecology International Volume 2012, Article ID 786132.

DeCherney AH and Nathan L. Current Obstetric & Gynaecologic Diagnosis &


Treatment 9th Ed. 2003. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.

Ferenczy A. Pathophysiology of adenomyosis. Human Reproduction Update 1998;4:312-


322.

Pernol ML. Benson and Pernol’s Handbook of Obstetrics and Gynecology 10th Ed.2001.
New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.

Schorge JO et al, Williams Gynecology, 1st ed. New York, Mc Graw Hill, 2008

Shrestha A,Shrestha R,Sedhai LB,Pandit U. Adenomyosis at Hysterectomy: Prevalence,


Patient Characteristics, Clinical Profile and Histopatholgical Findings.Kathmandu
Univ Med J 2012;37(1):53-6.

Struble, J., Reid, S., & Bedaiwy, M. A. (2016). Adenomyosis: A Clinical Review of a Challenging
Gynecologic Condition. Journal of Minimally Invasive Gynecology, 23(2), 164–185.
doi:10.1016/j.jmig.2015.09.018

Anda mungkin juga menyukai