Anda di halaman 1dari 25

PRESENTASI KASUS

ASMA AKUT RINGAN PADA DALAM INTERMITTEN

Diajukan kepada:
dr. Indah Rahmawati, Sp.P

Disusun oleh:
Dhuhita Ghassanizada
G4A018034

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2019
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
ASMA ALERGI INTERMITTEN

Disusun oleh:
Dhuhita Ghassanizada
G4A018034

Telah dipresentasikan pada tanggal


November 2019

Pembimbing,

dr. Indah Rahmawati, Sp.P


I. LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn Sadim Sudiarto
Usia : 63 tahun
Jenis kelamin : Laki laki
Agama : Islam
Alamat : Pekajen RT/RW 01/01
No. CM : 00317112

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Sesak nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Paru RSMS dengan keluhan sesak nafas.
Sesak nafas dirasakan sejak 20 tahun yang lalu. Sesak nafas yang sangat
hebat muncul apabila pasien kelelahan. Sesak nafas dirasakan nafasnya
berbunyi ngik-ngik. Apabaila sesaknya kambuh, sesak dirasakan terus
menerus. Sesak biasanya muncul satu bulan hanya 2-3 kali, namun dengan
keparahan yang lebih rendah daripada saat serangan. Keluhan lebih sering
muncul saat malam hari. Pasien mengaku selama sakit asma, serangan
muncul sudah 11 kali. Pasien mengakui adanya suara ngik ngik ketika
sesak nafas. Keluhan membaik jika pasien menggunakan obat hisap dan
berbaring agak tinggi, keluhan memberat apabila pasien sambil tiduran
dan beraktifitas.
Pasien juga mengeluhkan batuk yang tidak berdahak dan dada berat
jika sesaknya muncul. Pasien menyangkal adanya batuk darah maupun
nyeri dada. Keluhan demam, penurunan berat badan, dan keringat dingin
disangkal oleh pasien. Pasien tidak memiliki riwayat alergi.
Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riw. Trauma (-)
b. Riw. Alergi (-)
c. Riw. Hipertensi (-)
d. Riw. Jantung (-)
e. Riw. DM (-)
f. Riw. kolesterol (-)
g. Riw. Paru (+) asma
h. Riw. Hipotiroid (-)
i. Riwayat operasi (-)

3. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat keluhan yang sama : ada
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat sakit jantung : disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat penyakit hati : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
h. Riwayat asma : ada

4. Riwayat Sosial Ekonomi


a. Community
Pasien tinggal bersama istri, anak dan 1 cucunya. Hubungan
keluarga baik.
b. Home
Pasien tinggal di daerah pedesaan. Cuaca di daerah rumah pasien
cenderung dingin.
c. Personal Habit
Pasien mengaku makan sehari 3 kali dengan lauk yang cukup
bervariasi dengan sayur yang cukup. Pasien tidak pernah minum
alkohol ataupun obat-obatan terlarang. Pasien sebelumnya pernah
berobat karena asma dan diberikan obat reliever inhaler. Reliever
inhaler tersebut hanya digunakan oleh pasien apabila serangan, namun
serangan terakhir muncul 2 tahun yang lalu

C. PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan Umum : Baik


2. Kesadaran : Compos mentis, GCS E4M6V5 (15)
3. BB : 60 kg
4. TB : 160 cm
5. Vital sign
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 78x/menit, kuat angkat, regular
RR : 24 x/menit, simetris
Suhu : 36,7oC

Status Generalis
Pemeriksaan Kepala
Bentuk Kepala : Mesochepal
Rambut : Warna hitam, mudah rontok (-), facies colerica
Wajah : (-)
Pemeriksaan Mata
Palpebra : Edema (-/-), ptosis (-/-), lagoftalmus (-)
Konjunctiva : Anemis (-/-), SI (-/-), produksi air mata (+)
Sklera : Ikterik (-/-)
Pupil : Reflek cahaya (+/+), isokor Ø 3 mm
Pemeriksaan Telinga : Otore (-/-), deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-),
pembesaran KGB (-)
Pemeriksaan Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-/-),
rinore (-/-)
Pemeriksaan Mulut : Bibir kering (-), tepi hiperemis (-), bibir
sianosis (-), lidah kotor (-), tremor (-), ikterik (-
), sariawan (-), dingin posterior faring
hiperemis
Pemeriksaan Leher
Trakea : Deviasi trakea (-)
Kel. Limfonodi : Tidak membesar, nyeri tekan (-)

Status Lokalis
Paru-Paru
Inspeksi : Tidak terdapat ketinggalan gerak, retraksi -
Palpasi : Vocal fremitus apex sinistra sama dengan apex dextra
Perkusi : Sonor pada hemithorax dekstra dan sinistra
Auskultasi : SD vesikuler +/+, Ronkhi basah kasar -/-, Ronkhi basah
halus -/-, Wheezing +/+
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC VI 2 jari medial LMCS, kuat
angkat (+)
Perkusi : Batas Jantung
Kanan atas : SIC II LPSD
Kiri atas : SIC II LPSS
Kanan bawah : SIC VI LPSD
Kiri bawah : SIC VI, 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
Hepar : Tidak teraba pembesaran
Lien : Tidak teraba pembesaran
Ekskremitas
Edema : -/- // -/-
Sianosis : -/- // -/-
Ikterik : -/- // -/-
Akral : Hangat

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Foto Thoraks tanggal 28 Oktober 2018
Pemeriksaan X-Foto Thorax PA
Trachea di tengah
Cor : CTR < 50%
Bentuk dan letak jantung normal
Pulmo : Tak tampak bercak pada kedua lapangan paru
Diafragma kanan kiri intak
Sinus kostofrenikus kanan kiri lancip
Sistema tulang yang tervisualisasi intak
Kesan :
Cor tak membesar
Pulmo dalam batas normal

E. DIAGNOSIS
1. Asma akut ringan pada asma intermitten

F. TATALAKSANA
1. Farmakologis
Kodein tab 10 mg 3x1
Tabas syr 3x1C
Seretide diskus 250 mcg 2x sehari 1 hisap pagi dan sore

2. Non Farmakologis
a. Edukasi pasien mengenai penyakit, pengobatan dan cara
pencagahannya
3. Monitoring
a. Keadaan umum dan kesadaran
b. Tanda vital
c. Evaluasi klinis
- Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat
yang timbul (cek fungsi hepar, ginjal, dan pemeriksaan gula darah)
- Evaluasi klinis meliputi keluhan, pemeriksaan fisik, dan perbaikan
KU.
d. Evaluasi komplikasi penyakit dan efek samping obat
- Periksa fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin)
- Periksa fungsi ginjal (ureum, kreatinin, asam urat)
- Pemeriksaan visus
- Pemeriksaan keseimbangan dan pendengaran

G. PROGNOSIS
Ad vitam : Bonam
Ad fungtional : Dubia
Ad sanationam : Dubia
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Asma
1. Definisi
Asma adalah penyakit heterogen, yg biasanya ditandai dengan
inflamasi kronik saluran pernapasan. Dapat ditentukan dengan riwayat
tanda-tanda seperti mengi, napas yang pendek dan dapat disertai batuk
yang dapat bervariasi waktu, intensitas dan derajat hambatan jalan
napasnya (GINA, 2018)

2. Etiologi dan Patogenesis


Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel
inflamasi berperan, terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag,
netrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan
sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada pasien asma.
Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten
maupun asma persisten. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif (hipereaktifitas) jalan napas yang menimbulkan gejala
episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-
batuk terutama pada malam dan/atau dini hari. Episodik tersebut berkaitan
dengan sumbatan saluran napas yang luas, bervariasi dan seringkali
bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

Patofisiologi Asma
Faktor risiko asma :
Faktor risiko terjadinya asma merupakan interaksi antara faktor
host dan faktor lingkungan.
Faktor host :
a. Predisposisi genetic asma
b. Riwayat alergi
c. Hipereaktifitas bronkus
d. Jenis kelamin
e. Ras/etnik

Faktor lingkungan :
a. Yang mempengaruhi individu dengan kecenderungan/predisposisi
asma untuk berkembang menjadi asma :
1) Allergen di dalam maupun luar ruangan seperti allergen binatang,
kecoa, jamur, serbung sari.
2) Sensitisasi lingkungan kerja
3) Asap rokok
4) Polusi udara diluar maupun di dalam ruangan
5) Infeksi pernapasan (virus)
6) Diet
7) Obesitas
b. Faktor lingkungan yang menyebabkan eksaserbasi dan/atau
menyebabkan gejala asma menetap :
1) Allergen di dalam maupun di luar ruangan
2) Polusi udara di luar maupun di dalam ruangan
3) Infeksi pernapasan
4) Olahraga dan hiperventilasi
5) Perubahan cuaca
6) Makanan, additive (pengawet, penyedap, pewarna makanan)
7) Obat-obatan, seperti asetil salisilat
8) Ekspresi emosi yang berlebihan
9) Asap rokok
10) Iritan lain seperti parfum dan bau-bauan yang merangsang
3. Diagnosis
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodic, gejala
batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variability yang
berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan
diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan fisik dan pengukuran faal paru
terutama reversibility kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai
diagnostik.
a. Riwayat penyakit/gejala :
1) Bersifat episodik, seringkali reversible dengan atau tanpa
pengobatan
2) Gejala berupa batuk, sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
3) Gejala timbul/memburuk terutama di malam hari
4) Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
5) Respons terhadap pemberian bronkodilator
6) Perlu dipertimbangkat riwayat penyakit : riwayat atopi, riwayat
keluarga atopi, penyakti lain yang memberatkan dan
perkembangan penyakitnya

b. Pemeriksaan fisik :

Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan


fisik bisa saja didapatkan normal. Kelainan pemeriksaan fisik yang
paling sering ditemui adalah mengi pada auskultasi. Pada sebagian
penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada
pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan
napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas,
edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai
kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar
untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan
kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas,
mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar
pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak
terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi
biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara,
takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas
c. Faal paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan
persepsi mengenai asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat
dalam menilai dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan
objektif yaitu faal paru antara lain untuk menyamakan persepsi dokter
dan penderita, dan parameter objektif menilai berat asma. Pengukuran
faal paru digunakan untuk menilai:
1) obstruksi jalan napas
2) reversibiliti kelainan faal paru
3) variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-
ponsif jalan napas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi
yang telah diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan
adalah pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).
Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan
kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa
melalui prosedur yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung
kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator
yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang
akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan
acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP
< 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
1) Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75%
atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
2) Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 ≥ 15% secara spontan, atau
setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah
pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian
kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat
membantu diagnosis asma.
3) Menilai derajat berat asma
Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau
pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory
flow meter (PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa,
terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan
kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat
PEF meter relatif mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter
maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah seharihari
untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan
ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang
jelas.
Manfaat APE dalam diagnosis asma:
1) Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE ≥ 15% setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14
hari, atau respons terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu
2) Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan
variabiliti APE harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat
digunakan menilai derajat berat penyakit (lihat klasifikasi)
Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter
pengukuran faal paru lain, di samping itu APE juga tidak selalu
berkorelasi dengan derajat berat obstruksi. Oleh karenanya pengukuran
nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan nilai terbaik sebelumnya,
bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik
penderita yang bersangkutan..
Cara pemeriksaan variabiliti APE harian
Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam
hari untuk mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat
diperoleh melalui 2 cara :
1) Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/
perbedaan nilai APE pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai
APE malam hari sebelumnya sesudah bronkodilator. Perbedaan
nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam sebelumnya sesudah
bronkodilator menunjukkan persentase rata-rata nilai APE harian.
Nilai > 20% dipertimbangkan sebagai asma.

2) Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai


terendah APE pagi sebelum bronkodilator selama pengamatan 2
minggu, dinyatakan dengan persentase dari nilai terbaik (nilai
tertinggi APE malam hari).
Contoh : Selama 1 minggu setiap hari diukur APE pagi dan malam
, misalkan didapatkan APE pagi terendah 300, dan APE malam
tertinggi 400; maka persentase dari nilai terbaik (% of the recent
best) adalah 300/ 400 = 75%. Metode tersebut paling mudah dan
mungkin dilakukan untuk menilai variabiliti.
Nilai normal APE

4. Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit
dan pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat
penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan
jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan.
Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis
sebelum pengobatan dimulai (tabel 1).
Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan; dan
pengobatan yang telah berlangsung seringkali tidak adekuat. Dipahami
pengobatan akan mengubah gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena
itu penilaian berat asma pada penderita dalam pengobatan juga harus
mempertimbangkan pengobatan itu sendiri. Tabel 2 menunjukkan
bagaimana melakukan penilaian berat asma pada penderita yang sudah
dalam pengobatan. Bila pengobatan yang sedang dijalani sesuai dengan
gambaran klinis yang ada, maka derajat berat asma naik satu tingkat.
Contoh seorang penderita dalam pengobatan asma persisten sedang
dan gambaran klinis sesuai asma persisten sedang, maka sebenarnya berat
asma penderita tersebut adalah asma persisten berat. Demikian pula
dengan asma persisten ringan. Akan tetapi berbeda dengan asma persisten
berat dan asma intemiten (lihat tabel 2). Penderita yang gambaran klinis
menunjukkan asma persisten berat maka jenis pengobatan apapun yang
sedang dijalani tidak mempengaruhi penilaian berat asma, dengan kata lain
penderita tersebut tetap asma persisten berat. Demikian pula penderita
dengan gambaran klinis asma intermiten yang mendapat pengobatan
sesuai dengan asma intermiten, maka derajat asma adalah intermiten.

Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (sebelum


pengobatan)

Klasifikasi derajat asma pada penderita dalam pengobatan


Klasifikasi berat serangan asma akut

Derajat kontrol asma


5. Tatalaksana
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal
tanpa hambatan dalam melakukan aktiviti seharihari.Tujuan
penatalaksanaan asma:
a. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
b. Mencegah eksaserbasi akut
c. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
d. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
e. Menghindari efek samping obat
f. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation)
ireversibel
g. Mencegah kematian karena asma
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma
dikatakan terkontrol bila :
a. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
b. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise
c. Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya
tidak diperlukan)
d. Variasi harian APE kurang dari 20%
e. Nilai APE normal atau mendekati normal
f. Efek samping obat minimal (tidak ada)
g. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat
Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa
asma adalah gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan
napas yang menimbulkan hiperesponsif dan obstruksi jalan napas yang
bersifat episodik. Sehingga penatalaksanaan asma dilakukan melalui
berbagai pendekatan yang dapat dilaksanakan (applicable), mempunyai
manfaat, aman dan dari segi harga terjangkau. Integrasi dari pendekatan
tersebut dikenal dengan :
Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :
a. Edukasi
b. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
c. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
d. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
e. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
f. Kontrol secara teratur
g. Pola hidup sehat
Ketujuh hal tersebut di atas, juga disampaikan kepada penderita
dengan bahasa yang mudah dan dikenal (dalam edukasi) dengan “7
langkah mengatasi asma”, yaitu :
a. Mengenal seluk beluk asma
b. Menentukan klasifikasi
c. Mengenali dan menghindari pencetus
d. Merencanakan pengobatan jangka panjang
e. Mengatasi serangan asma dengan tepat
f. Memeriksakan diri dengan teratur
g. Menjaga kebugaran dan olahraga

Farmakologis
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala
obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
a. Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk
mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :
1) Kortikosteroid inhalasi
2) Kortikosteroid sistemik
3) Sodium kromoglikat
4) Nedokromil sodium
5) Metilsantin
6) Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
7) Agonis beta-2 kerja lama, oral
8) Leukotrien modifiers
9) Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)
10) Lain-lain

Kortikosteroid inhaler dosis rendah, sedang dan tinggi

Sediaan dan dosis controller asma


b. Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan
dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak
memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif
jalan napas.
Termasuk pelega adalah :
1) Agonis beta-2 kerja singkat
a. Salbutamol
Salbutamol merupakan obat yang menstimulasi reseptor beta
terutama selektif pada reseptor β2 yang biasa digunakan
sebagai terapi asma akut dan asma sebagai akibat dari excercise
karena merupakan bronkodilator poten yang mempunyai onset
cepat (SABA). Sebanyak 66% pasien asma membutuhkan dosis
2,5 mg nebulasi salbutamol sebanyak 3 kali untuk kembali
pulih dari serangan asma (Kelly, 2014).
Penggunaan salbutamol mungkin bisa berinteraksi dengan obat
lainnya, yakni
 Kortikosteroid  menyebabkan hipokalemi dan
hiperglikemia
 Teofilin  meningkatkan takikardia, penurunan diastolik,
peningkatan sistolik dan hipokalemia.

2) Kortikosteroid sistemik
Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan
bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain.
Metilprednisolone dosis 4 mg memiliki fungsi sebagai
antiinflamasi yang juga digunakan untuk terapi asma akibat
inflamasi jalan nafas (Sweetman, 2009).
3) Antikolinergik
4) Xantin
Metilxantin (teofilin, garamnya yang mudah larut dan turunannya)
akan merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh
darah pulmonal, merangsang SSP, menginduksi diuresis,
meningkatkan sekresi asam lambung, menurunkan tekanan sfinkter
esofageal bawah dan menghambat kontraksi uterus. Teofilin juga
merupakan stimulan pusat pernafasan. Aminofilin mempunyai efek
kuat pada kontraktilitas diafragma pada orang sehat dan dengan
demikian mampu menurunkan kelelahan serta memperbaiki
kontraktilitas pada pasien dengan penyakit obstruksi saluran
pernapasan kronik.
Efek samping penggunaan aminofiin antara gelisah, sakit kepala,
gangguan tidur dan berdebar-debar. Interaksi aminofillin dengan
obat-obat seperti ciprofoxacin, eritromisin, cimetidine, propanolol
dapat memperlambat pembuangan aminofillin dan meningkatkan
efek samping.
5) Adrenalin

Sediaan dan dosis reliever asma


Strategi penatalaksanaan Asma (GINA, 2017)
DAFTAR PUSTAKA
GINA. 2018. Global Strategi For Asthma Management and Prevention
Kelly, H.W., et al. 2014. Asthma. In : Dipiro, J.T., Talbert R.L., Yee, G.C.
Pharmacotherapy A Pahtophysiologic Approach. Ed 9. New York : The
Mc Grawhill Companies Inc
Kesper et al, 2012. Harrison, principle of internal Medicine 18 edition, The
McGraw-Hill Companies
PDPI. 2003. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai