Ciri Penelitian Kuantitatif
Ciri Penelitian Kuantitatif
KUANTITATIF
Tentu saja kita tak pernah tahu apakah dialog ini benar-benar
terjadi. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa semua peneliti kuantitatif (termasuk Einstein)
selalu menggunakan bahasa angka untuk mengungkapkan pikiran-pikiran mereka.
David Hume pernah mengatakan, pemikiran abstrak tanpa kuantitas dan angka adalah
khayalan dan debat kusir belaka (dalam Lawrence, 1989).
Karena tradisi kuantitatif yang sangat kuat inilah, maka peneliti ilmu sosial pun merasa
“kurang ilmiah” jika tidak menjelaskan penemuan-penemuannya dalam bentuk
angka. Tetapi kadang-kadang hal ini terjadi secara berlebihan. Banyak peneliti ilmu
sosial, misalnya, memaksakan diri menggunakan rumus regresi (y = a+bx) pada hal
data yang dia miliki hanya berskala ordinal atau bahkan nominal. Angka yang dihitung
pasti muncul. Tetapi angka-angka dalam rumus itu sebenarnya “statistically nonsense”.
4. Membangun validitas internal dan validitas eksternal sebaik mungkin.
Menghitung korelasi antara dua variabel adalah mudah. Tetapi meyakinkan bahwa satu
variabel benar-benar membuat variabel yang lain berubah-ubah, ini yang sangat sulit.
Validitas internal tercapai jika peneliti berhasil meyakinkan bahwa variabel Y benar-
benar dipengaruhi oleh variabel X (bukan oleh variabel W,K, atau Q).
Selanjutnya, peneliti berpikir, Apakah temuan saya ini juga berlaku di konteks lain
(selain penelitian yang saya lakukan?) Bila ternyata ya, berlaku, maka peneliti telah
mencapai validitas eksternal. Dalam hal ini, peneliti yang teliti tidak hanya senang
karena dia telah mencapai validitas eksternal dalam penelitiannya. Tetapi dia juga
khawatir terhadap kasus-kasus yang bisa mendiskonfirmasi temuannya. Maka, sebelum
orang lain yang mendiskonfirmasi temuannya, peneliti itu sendiri mencari kasus-kasus
yang berpotensi mendiskonfirmasi temuannya itu.
Dalam hal ini ada beberapa variabel penting yang berpotensi merusak validitas internal.
Variabel-variabel ini (disebut Extraneous Varable) seperti misalnya History, Maturation,
Regression Effect, dan lain-lain) harus dikontrol dengan sebaik-baiknya oleh peneliti.
Metode-Metode Penelitian Kuantitatif
Beberapa metode penelitian kuantitatif yang cukup sering digunakan adalah survei dan
eksperimen.
pada analisis data. Peneliti sering kali lupa bahwa apa yang
dikumpulkan melalui kuesioner ini adalah sekedar “persepsi tentang sesuatu”, bukan
“substansi dari sesuatu”. Karena itu, kalaupun peneliti menggunakan analisis statistik
yang cukup kompleks (misalnya korelasi atau regresi) maka peneliti harus ingat apa
yang dianalisisnya itu tetaplah sekumpulan persepsi, bukan substansi.
Beberapa tema penelitian dengan menggunakan metode survei adalah sebagai berikut:
a. Survei tentang alokasi anggaran untuk pengembangan pegawai di semua Perguruan
Tinggi Negeri.
b. Survei tentang kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan di Bank XY.
c. Analisis terhadap potensi penerimaan calon konsumen terhadap produk baru yang
akan diluncurkan.
d. Jajak pendapat masyarakat terhadap metode baru dalam hal penetapan Pajak
Pembangunan I.
Dari contoh-contoh di atas, kita sadar bahwa tidak mudah menggolongkan suatu
penelitian ke jenis penelitian tertentu dengan hanya melihat judul atau tema penelitian
itu. Jika hanya judul yang kita baca maka kita sebenarnya bisa memasukkan suatu
penelitian ke jenis penelitian mana pun. Karena itu, kita harus bisa membaca seluruh
desain penelitian untuk mengetahui jenis penelitian atau metode yang digunakan
seorang peneliti.
Masalah Populasi – Sampel dalam Penelitian Kuantitatif
Masalah populasi-sampel menempati posisi yang sangat penting di dalam penelitian
kuantitatif. Hal ini terutama pada penelitian yang bertujuan membuat generalisasi
temuannya. Sebagai catatan, generalisasi adalah “pengembalian” temuan di dalam
sampel ke populasi. Inilah “validitas eksternal” yang dimaksud Krathwohl (1982) dan
yang lain-lain. Maka, populasi dalam kaitan ini (validitas eksternal) didefinisikan
sebagai keseluruhan objek atau subjek yang menjadi sasaran akhir generalisasi. Peneliti
mengambil sampel dan menelitinya. Tetapi harus selalu diingat, bukan sampel yang
sebenarnya ingin dia teliti, tetapi populasi. Peneliti mengambil sampel karena satu dan
lain alasan sehingga ia tidak mampu meneliti seluruh populasi.
Tetapi ada juga sampel yang sejak semula tidak diniatkan untuk digeneralisasikan. Maka
dalam hal ini, urusan samplingnya menjadi lebih sederhana. Untuk sampel yang
digunakan untuk generalisasi, maka sampling atau sampelnya disebut sampling
probabilitas. Sampel yang tidak digunakan dan tidak bisa digunakan untuk melakukan
generalisasi disebut sampel non probabilitas.
Sampel probabilitas harus dihitung dengan rumus-rumus statistika dengan
memperhitungkan tingkat kesalahan sampling (sampling error), derajat kepercayaan,
proporsi, dan sebagainya tergantung sifat populasi dan rumus yang digunakan.
Tetapi satu hal harus dicatat. Sampel probabilitas bisa digunakan untuk generalisasi jika
dan hanya jika sampel itu diambil secara random (acak). Sampel random adalah sampel
Instrumen yang baik juga harus valid. Ada beberapa macam validitas yaitu
face validity, content validity, dan criterion validity. Face validity (validitas muka)
tercapai jika suatu instrumen nampaknya sudah valid (dari penglihatan sepintas lalu).
Tentu saja validitas semacam ini sangat superficial. Tetapi kadang-kadang peneliti
cukup memerlukan validitas jenis ini. Caranya, peneliti meminta beberapa orang
membaca atau mengisi instrumen tersebut, dan meminta pendapat mereka untuk
keperluan revisi.
Content validity (validitas isi) tercapai jika suatu instrumen telah mencakup seluruh hal
yang perlu diukur. Jika satu tes ujian akhir telah mencakup seluruh isi mata kuliah satu
semester, maka instrumen ini dianggap memiliki validitas isi. Sebagai catatan, ini
jangan dikacaukan dengan “konsistensi internal” dalam bahasan tentang reliabilitas.
Soal tes ujian yang hanya mencakup 50% bahan kuliah satu semester mungkin memiliki
sifat konsistensi internal, tetapi instrumen ini tidak memiliki validitas isi.