Anda di halaman 1dari 10

CIRI PENELITIAN

KUANTITATIF

Apa sebenarnya penelitian kuantitatif? Mengapa kita menyebutnya


“penelitian kuantitatif”? Ternyata, dalam konteks ilmu sosial, ini sangat sulit
menjawabnya. Dalam konteks ilmu alam (eksakta) kata kuantitatif jelas sekali
berhubungan dengan angka (kuantita), baik hasil pengukurannya, analisis datanya,
maupun penafsiran dan penarikan kesimpulannya, semuanya dalam bentuk angka.

Tetapi dalam ilmu sosial, banyak sekali hasil pengukuran terhadap


variabel penelitian sangat bersifat kualitatif dan arbitrer (meskipun bentuk luarnya
adalah angka). Misalnya, kita mengukur “disiplin pegawai”, atau “motivasi pegawai”,
atau “tingkat loyalitas pegawai” dengan menggunakan skala likert (skala 1 sampai 5,
misalnya). Maka hasilnya adalah beberapa angka yang menunjukkan kualitas variabel
yang diukur itu. Dengan pengukuran yang sangat lemah seperti ini, kita (terpaksa)
rnenyebut pengukuran ini (bagian) dari penelitian kuantitatif. Tentu saja kita bisa
mendapat:kan data yang lebih “kuantitatif” tentang disiplin atau motivasi. Misalnya, kita
menghitung berapa hari seseorang masuk kantor tepat pukul 8:00 pagi, dan berapa hari
orang itu terlambat masuk kantor. Lalu kita mengambil kesimpulan kuantitatif bahwa
62% pegawai, misalnya, memiliki disiplin bagus dan sisanya 28% tidak memiliki
disiplin. Biasanya, proses kuantifikasi dalam masalah seperti ini harus berhenti begitu
saja.
Begitu pun, masih jauh lebih banyak variabel ilmu sosial yang tidak mungkin diukur
secara kuantitatif seperti ini. Walhasil, kita sering “memaksakan diri” untuk

mengkuantitatifikasi pengukuran suatu variabel dengan cara yang


sangat lemah. Bahkan jika Anda teliti, angka 62% atau 28% itu tidak sepenuhnya
menggambarkan variabelnya, tetapi hanya indikatornya saja. Kalau begitu, penelitian
kuantitatif (dalam ilmu sosial) harus ditafsirkan lain. Ternyata, apa yang dimaksud
dengan “kuantitatif” di sini sebenarnya lebih mengacu kepada “keakuratan” deskripsi
setiap variabel dan keakuratan hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya.
Inilah yang disebut oleh Krathwohl (1982) sebagai internal validity atau Linking Power.
Maka jika seorang peneliti, misalnya, mampu menunjukkan hubungan antara disiplin
pegawai dan kinerja pegawai dengan amat meyakinkan dan tanpa menggunakan satu
angka pun, maka ia telah menerapkan penelitian kuantitatif.
Tetapi itu baru separuh jalan. Selanjutnya, bila peneliti tersebut mampu menunjukkan
bahwa hubungan disiplin-kinerja itu juga berlaku di tempat lain, maka ia telah mencapai
apa yang disebut External Validity atau Generalizing Power. Dua karakter inilah yang
akan menjadi karakter terpenting yang membedakan antara penelitian kualitatif dan
penelitian kuantitatif. Jadi, ini bukan sekedar soal angka atau non angka.

Kesimpulannya, penelitian kuantitatif sebenarnya tidak hanya


berurusan dengan “kuantita”. Paling tidak dalam ilmu sosial, kata “kuantitatif”
ditafsirkan secara bebas sebagai “keakuratan” deskripsi suatu variabel dan keakuratan
hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya, serta memiliki daerah aplikasi
(generalisasi) yang luas.
Tetapi, bagaimana dengan penelitian deskriptif (yang juga kuantitatif), yang hanya
melibatkan satu variabel (univariat), atau banyak variabel tetapi tidak saling
berhubungan satu-sama lain (misalnya hubungan korelasional, atau kausal)?
Jawabannya, ini juga sah disebut sebagai penelitian kuantitatif. Tetapi penelitian
deskriptif seperti ini tetap terbatas pada kemampuannya untuk menjelaskan realitas
seperti apa adanya saja. Paling jauh penelitian deskriptif hanya menjelaskan

hubungan korelasional, bukan hubungan kausal. Jika begitu,


maka yang dimaksud “internal validity” di dalam penelitian deskriptif-kuantitatif (non-
kausal) tidak mengacu pada hubungan satu variabel dan lain variabel. ”internal validity”
dalam hal ini hanya menunjuk pada validitas “instrumen” untuk mengumpulkan data.
Jika instrumen telah valid (dan reliabel), maka data diharapkan juga valid dan reliabel.
Jika proses analisis dan penyimpulan juga valid maka penelitian deskriptif ini telah
dianggap valid.
Ciri-ciri Utama Penelitian Kuantitatif
Beberapa ciri penelitian kuantitatif berikut ini mudah-mudahan memperjelas
pemahaman kita tentang penelitian kuantitatif. Ciri-ciri tersebut adalah:
1. Permasalahan penelitian terbatas dan sempit
Sejak awal peneliti kuantitatif telah berusaha membatasi lingkup penelitiannya, dengan
mengidentifikasikan satu atau beberapa variabel saja. Peneliti berusaha keras untuk
memilih variabel yang menurutnya paling penting untuk diteliti. Obsesinya adalah
menemukan sesedikit mungkin variabel, tetapi yang mungkin menjelaskan realitas
kebenaran sebanyak mungkin.
Di kalangan ilmuwan eksakta, dipercayai bahwa alam semesta ini diatur oleh
hukum-hukum yang sederhana. Jika mereka menemukan suatu penjelasan yang
melibatkan banyak variabel, mereka menjadi gelisah, dan merasa ada yang salah.
Misalnya, mereka percaya ada satu hukum “sederhana” yang menyatukan empat
kekuatan besar di alam semesta (interaksi lemah, elektromagnetik, gravitasi, dan
interaksi kuat) dalam satu hukum (mereka menyebutnya “The Grand Unified
Theory”). Jika menggunakan rumus regresi, dikenal satu pemeo “less is more”.
Maksudnya, semakin sedikit prediktor (variabel X) semakin baik dan semakin besar
kekuatan memprediksi variabel Y. Pendeknya, menemukan gambaran luas dan umum
tentang sesuatu bukanlah cita-cita peneliti kuantitatif. Tetapi ia memilih satu aspek
realitas yang sangat spesifik dan “kecil” untuk diteliti.
2. Mengikuti pola berpikir deduktif
Secara umum, pola berpikir deduktif berjalan seperti ini: Pengamatan  Hipotesis 
Pengumpulan Data Pengujian Hipotesis  Kesimpulan
Albert Einstein percaya betul pada superioritas metode deduktif ini dan mengatakan
(dalam Suriasumantri, 1981) Tak ada metode induktif yang mampu menuju pada konsep
fundamental dari ilmu alam. Kegagalan dalam menyadari hal ini merupakan kesalahan
dasar filosofis dari banyak sekali peneliti dalam abad 19. Sekarang kita sadari dengan
sepenuhnya betapa salahnya para ahli teori yang berpendapat bahwa teori datang
secara induktif dari pengalaman. Sekedar untuk diingat, jumlah bab di dalam
skripsi/tesis/disertasi pada umumnya adalah lima. Jumlah bab ini bukan sekedar
urusan administrasi, tetapi merupakan cerminan struktur logis pengembangan sains.
3. Mempercayai angka (statistika atau matematika) sebagai instrumen untuk
menjelaskan kebenaran.
Ketika suatu saat seseorang mengomentari Albert Einstein tentang teorinya yang rumit
(dalam bentuk hitungan-hitungan matematika) bahwa “itu hanya teori, tidak ada
gunanya bila tidak cocok dengan realitas di lapangan”. Einstein menjawab “Anda benar,
hanya observasi yang mampu membimbing kita menuju ke kebenaran. Saya tidak
percaya pada matematika”.

Tentu saja kita tak pernah tahu apakah dialog ini benar-benar
terjadi. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa semua peneliti kuantitatif (termasuk Einstein)
selalu menggunakan bahasa angka untuk mengungkapkan pikiran-pikiran mereka.
David Hume pernah mengatakan, pemikiran abstrak tanpa kuantitas dan angka adalah
khayalan dan debat kusir belaka (dalam Lawrence, 1989).
Karena tradisi kuantitatif yang sangat kuat inilah, maka peneliti ilmu sosial pun merasa
“kurang ilmiah” jika tidak menjelaskan penemuan-penemuannya dalam bentuk
angka. Tetapi kadang-kadang hal ini terjadi secara berlebihan. Banyak peneliti ilmu
sosial, misalnya, memaksakan diri menggunakan rumus regresi (y = a+bx) pada hal
data yang dia miliki hanya berskala ordinal atau bahkan nominal. Angka yang dihitung
pasti muncul. Tetapi angka-angka dalam rumus itu sebenarnya “statistically nonsense”.
4. Membangun validitas internal dan validitas eksternal sebaik mungkin.
Menghitung korelasi antara dua variabel adalah mudah. Tetapi meyakinkan bahwa satu
variabel benar-benar membuat variabel yang lain berubah-ubah, ini yang sangat sulit.
Validitas internal tercapai jika peneliti berhasil meyakinkan bahwa variabel Y benar-
benar dipengaruhi oleh variabel X (bukan oleh variabel W,K, atau Q).
Selanjutnya, peneliti berpikir, Apakah temuan saya ini juga berlaku di konteks lain
(selain penelitian yang saya lakukan?) Bila ternyata ya, berlaku, maka peneliti telah
mencapai validitas eksternal. Dalam hal ini, peneliti yang teliti tidak hanya senang
karena dia telah mencapai validitas eksternal dalam penelitiannya. Tetapi dia juga
khawatir terhadap kasus-kasus yang bisa mendiskonfirmasi temuannya. Maka, sebelum
orang lain yang mendiskonfirmasi temuannya, peneliti itu sendiri mencari kasus-kasus
yang berpotensi mendiskonfirmasi temuannya itu.
Dalam hal ini ada beberapa variabel penting yang berpotensi merusak validitas internal.
Variabel-variabel ini (disebut Extraneous Varable) seperti misalnya History, Maturation,
Regression Effect, dan lain-lain) harus dikontrol dengan sebaik-baiknya oleh peneliti.
Metode-Metode Penelitian Kuantitatif
Beberapa metode penelitian kuantitatif yang cukup sering digunakan adalah survei dan
eksperimen.

Metode survei adalah metode penelitian yang menggunakan kuesioner


sebagai instrumen utama untuk mengumpulkan data. Metode ini adalah yang paling
sering dipakai di kalangan mahasiswa. Desainnya sederhana, prosesnya cepat. Tetapi
bila dilakukan dengan sembrono, temuan survei ini cenderung superficial (dangkal)
meskipun dalam analisisnya peneliti menggunakan statistik yang rumit.
Penelitian survei dengan kuesioner ini memerlukan responden dalam jumlah yang cukup
agar validitas temuan bisa dicapai dengan baik. Hal ini wajar, sebab apa yang digali dari
kuesioner itu cenderung informasi umum tentang fakta atau opini yang diberikan oleh
responden. Karena informasi bersifat umum dan (cenderung) dangkal maka diperlukan
responden dalam jumlah cukup agar “pola” yang menggambarkan objek yang diteliti
dapat dijelaskan dengan baik.
Sebagai ilustrasi, lima orang saja kemungkinan tidak mampu memberikan gambaran
yang utuh tentang sesuatu (misalnya tentang profil kesejahteraan pegawai). Tetapi 250
orang mungkin akan lebih mampu memberi gambaran yang lebih baik tentang profil
kesejahteraan pegawai itu. Perlu dicatat, jumlah responden saja belum cukup
memenuhi syarat “keterwakilan”. Teknik memilih responden (“teknik sampling”) juga
harus ditentukan dengan hati-hati.
Karena validitas data sangat tergantung pada “kejujuran” responden maka peneliti
sebaiknya juga menggunakan cara lain (selain kuesioner) untuk meningkatkan
keabsahan data itu. Misalnya, peneliti mungkin bertanya kepada responden tentang
pendapatan per bulannya (dalam rupiah). Dalam hal ini, peneliti juga mempunyai
sumber data lain untuk meyakinkan kebenaran data yang diberikan responden
(misalnya dengan melihat daftar gaji si responden di kantornya). Jika hal ini sulit
ditemukan maka peneliti terpaksa harus berasumsi bahwa semua data yang diberikan
responden adalah benar. Kita tahu, asumsi semacam ini sering kali menyesatkan.
Kesalahan yang sering dibuat oleh peneliti dalam penelitian survei ini adalah terletak

pada analisis data. Peneliti sering kali lupa bahwa apa yang
dikumpulkan melalui kuesioner ini adalah sekedar “persepsi tentang sesuatu”, bukan
“substansi dari sesuatu”. Karena itu, kalaupun peneliti menggunakan analisis statistik
yang cukup kompleks (misalnya korelasi atau regresi) maka peneliti harus ingat apa
yang dianalisisnya itu tetaplah sekumpulan persepsi, bukan substansi.
Beberapa tema penelitian dengan menggunakan metode survei adalah sebagai berikut:
a. Survei tentang alokasi anggaran untuk pengembangan pegawai di semua Perguruan
Tinggi Negeri.
b. Survei tentang kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan di Bank XY.
c. Analisis terhadap potensi penerimaan calon konsumen terhadap produk baru yang
akan diluncurkan.
d. Jajak pendapat masyarakat terhadap metode baru dalam hal penetapan Pajak
Pembangunan I.
Dari contoh-contoh di atas, kita sadar bahwa tidak mudah menggolongkan suatu
penelitian ke jenis penelitian tertentu dengan hanya melihat judul atau tema penelitian
itu. Jika hanya judul yang kita baca maka kita sebenarnya bisa memasukkan suatu
penelitian ke jenis penelitian mana pun. Karena itu, kita harus bisa membaca seluruh
desain penelitian untuk mengetahui jenis penelitian atau metode yang digunakan
seorang peneliti.
Masalah Populasi – Sampel dalam Penelitian Kuantitatif
Masalah populasi-sampel menempati posisi yang sangat penting di dalam penelitian
kuantitatif. Hal ini terutama pada penelitian yang bertujuan membuat generalisasi
temuannya. Sebagai catatan, generalisasi adalah “pengembalian” temuan di dalam
sampel ke populasi. Inilah “validitas eksternal” yang dimaksud Krathwohl (1982) dan
yang lain-lain. Maka, populasi dalam kaitan ini (validitas eksternal) didefinisikan
sebagai keseluruhan objek atau subjek yang menjadi sasaran akhir generalisasi. Peneliti
mengambil sampel dan menelitinya. Tetapi harus selalu diingat, bukan sampel yang
sebenarnya ingin dia teliti, tetapi populasi. Peneliti mengambil sampel karena satu dan
lain alasan sehingga ia tidak mampu meneliti seluruh populasi.
Tetapi ada juga sampel yang sejak semula tidak diniatkan untuk digeneralisasikan. Maka
dalam hal ini, urusan samplingnya menjadi lebih sederhana. Untuk sampel yang
digunakan untuk generalisasi, maka sampling atau sampelnya disebut sampling
probabilitas. Sampel yang tidak digunakan dan tidak bisa digunakan untuk melakukan
generalisasi disebut sampel non probabilitas.
Sampel probabilitas harus dihitung dengan rumus-rumus statistika dengan
memperhitungkan tingkat kesalahan sampling (sampling error), derajat kepercayaan,
proporsi, dan sebagainya tergantung sifat populasi dan rumus yang digunakan.
Tetapi satu hal harus dicatat. Sampel probabilitas bisa digunakan untuk generalisasi jika
dan hanya jika sampel itu diambil secara random (acak). Sampel random adalah sampel

yang diambil sedemikian rupa sehingga setiap anggota dalam populasi


mendapat kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sampel. Sampel bisa langsung
diambil secara random atau tidak langsung, tergantung pada sifat populasinya yaitu,
homogen atau heterogen. Sampel random bisa langsung diambil dari populasi jika
populasi bersifat homogen. Sampel diambil dari populasi heterogen setelah
heterogenitas populasi dijelaskan.
Populasi heterogen bisa berpola hierarki (terstrata), cluster (berkelompok atau
gabungan strata dan cluster). Pola hierarki, misalnya, adalah populasi pegawai negeri
sipil, yang distrata menurut pangkatnya (golongan I, II, III, IV). Populasi

berkelompok (cluster), misalnya adalah mahasiswa di suatu perguruan


tinggi yang dikelompokkan menurut fakultas (Eksakta – Ilmu Sosial). Populasi strata-
cluster, misalnya, adalah PNS menurut jabatan (fungsional – struktural) dan sekaligus
golongan I, II, III, IV. Sampel bisa juga diambil secara sistematis (disebut juga quasi-
random sampling).
Sampling non probabilitas tidak perlu dihitung tetapi dipilih, di kira-kira, diambil
sekenanya. Contohnya adalah sampel purposif (sampel sengaja dipilih karena memiliki
ciri-ciri khusus). Atau sampel accidental/convenient yang diambil begitu saja dari
populasi yang kebetulan terlihat (misalnya mengambil sampel pengunjung
super¬market, siapa saja yang mau diambil menjadi sampel). Atau bisa juga sampel
yang sengaja dipilih oleh orang yang dianggap pakar dalam suatu hal (expert sampling).
Instrumen Penelitian Kuantitatif
Jika dalam penelitian kualitatif, instrumen penelitian adalah penelitinya sendiri, maka
dalam penelitian kuantitatif, instrumen harus dibuat dan menjadi perangkat yang
“independent” dari peneliti. Peneliti harus mampu membuat instrumen sebagus
mungkin, apapun instrumen itu.
Semua instrumen (baik yang tes maupun non tes) harus memiliki dua syarat yaitu
reliabel dan valid. Reliabel berarti hasil pengukuran konsisten dari waktu ke waktu.
Valid berarti instrumen secara akurat mengukur objek yang harus diukur.
Reliabilitas mempunyai tiga dimensi yaitu Stabilitas, Ekivalensi, dan Konsistensi Internal
(O’Sullivan & Rassel, 1995). Stabilitas mengacu pada kemampuan instrumen untuk
menghasilkan data yang sama dari waktu ke waktu (dengan asumsi objek yang diukur
tidak berubah).
Ekivalensi mengacu pada kemampuan dua atau lebih macam instrumen yang dibuat dua
atau lebih peneliti untuk mengukur satu hal yang sama. Misalnya, dua peneliti mengukur
penggunaan listrik di suatu aula. Dua peneliti ini menggunakan dua instrumen yang
berbeda. Tetapi jika temuan kedua peneliti ini sama, maka instrumen mereka memilki
sifat “ekivalen”.
Konsistensi internal tercapai jika semua item dalam instrumen mengukur satu hal yang
sama. Jika terdapat 10 pertanyaan tentang motivasi, maka ke 10 pertanyaan itu
mengukur hal yang sama (motivasi).

Instrumen yang baik juga harus valid. Ada beberapa macam validitas yaitu
face validity, content validity, dan criterion validity. Face validity (validitas muka)
tercapai jika suatu instrumen nampaknya sudah valid (dari penglihatan sepintas lalu).
Tentu saja validitas semacam ini sangat superficial. Tetapi kadang-kadang peneliti
cukup memerlukan validitas jenis ini. Caranya, peneliti meminta beberapa orang
membaca atau mengisi instrumen tersebut, dan meminta pendapat mereka untuk
keperluan revisi.
Content validity (validitas isi) tercapai jika suatu instrumen telah mencakup seluruh hal
yang perlu diukur. Jika satu tes ujian akhir telah mencakup seluruh isi mata kuliah satu
semester, maka instrumen ini dianggap memiliki validitas isi. Sebagai catatan, ini
jangan dikacaukan dengan “konsistensi internal” dalam bahasan tentang reliabilitas.
Soal tes ujian yang hanya mencakup 50% bahan kuliah satu semester mungkin memiliki
sifat konsistensi internal, tetapi instrumen ini tidak memiliki validitas isi.

Criterion validity (validitas kriteria) mengacu pada kemampuan item-


item instrumen untuk mengukur hal yang sama atau memprediksi suatu hal di masa
depan. Dalam hal ini kita mengenal dua macam validitas, yaitu concurrent validity dan
predictive validity. Concurrent validity tercapai jika suatu instrumen buatan kita
misalnya, berkorelasi secara signifikan dengan instrumen lain yang mengukur hal yang
sama. Jika kita mempunyai alat tes bahasa Inggris lalu kita uji cobakan kepada
sejumlah siswa, dan hasilnya ternyata berkorelasi dengan nilai TOEFL mereka, maka tes
kits telah memiliki concurrent validity.
Sedangkan predictive validity tercapai jika suatu instrumen mampu meramalkan apa
yang terjadi di masa depan sesuai dengan hasil tes. Berikut adalah peta reliabilitas dan
validitas instrumen.
Prosedur Penelitian Kuantitatif
Proses yang secara umum terjadi dalam penelitian kuantitatif adalah sebagai berikut:
Pengamatan  Hipotesis  Pengumpulan Data  Pengujian Hipotesis  Kesimpulan
Hukum/Teori/Prinsip  Pengamatan  Hipotesis.
Dengan proses deduktif seperti ini, seorang peneliti kuantitatif akan bekerja di suatu
sitem yang tertutup (closed system) di mana proses penelitian berjalan secara linear,
algoritmik, dan output penelitian telah ditentukan sebelumnya.
Dengan logika berpikir seperti di atas, maka kita bisa mengerti bila jumlah bab dalam
skripsi/tesis/disertasi adalah lima. Lima bab tersebut biasanya seperti berikut (tanpa
menutup kemungkinan adanya variasi dari masing-masing perguruan tinggi).
Bab I : Permasalahan Penelitian
A : Latar Belakang
B : Pokok Permasalahan
C : Tujuan Penelitian
D : Manfaat Penelitian
Bab II : Kerangka Teoritik
A : Definisi Variabel-variabel
B : Definisi Operasional Variabel
C : Indikator
D : Model Penelitian
E : Pertanyaan Penelitian/Hipotesis
Bab III : Metodologi
A : Metode, Jenis dan Pendekatan
B : Populasi-Sampel
C : Instrumentasi
D : Analisis Data
Bab IV : Analisis Data Temuan
A : Deskripsi tentang Objek/Subjek Penelitian
B : Temuan dan Analisis
Bab V : Kesimpulan & Saran
A : Kesimpulan
B : Saran
Tetapi, sebagai catatan terakhir, perlu disinggung sedikit tentang desain penelitian
kuantitatif. Tidak seperti desain penelitian kualitatif yang bersifat “longgar” dan
‘fleksibel”, desain penelitian kuantitatif sangat bersifat “kaku” dalam arti tidak mudah
dirubah begitu selesai dibuat. Variabel-variabelnya jelas dan ditentukan dengan sangat
hati-hati. Metodologinya di rancang sampai ke detil-detil terkecil. Tetapi isi desainnya
sama saja dengan penelitian kualitatif (pokok permasalahan, kerangka teori, dan
metodologi). Ingat dalam penelitian kualitatif, digunakan istilah “fokus”.
Karena itu, peneliti kuantitatif dituntut berpikir tajam dan spesifik sejak awal.
Kesalahan kecil saja bisa mempengaruhi seluruh proses penelitian. Kadangkala peneliti
kuantitatif harus menghabiskan waktu berbulan-bulan sebelum desain penelitiannya
disetujui oleh dosen pembimbing untuk dilaksanakan di lapangan.
Masalah Populasi dan Sampel dalam Penelitian Kualitatif
Populasi di dalam penelitian kualitatif tidak dijadikan tujuan generalisasi dari temuan
penelitian. Populasi dalam konotasi kuantitas (keseluruhan objek yang diteliti) tidak
dikenal/diperlukan dalam penelitian kualitatif.
Istilah sampel (sampling) di dalam penelitian kualitatif masih dapat digunakan,
misalnya sampel purposif, sampel internal (internal sampling), dan sampel waktu (time
sampling). Sampel purposif adalah sampel yang “secara sengaja” dipilih oleh peneliti,
karena sampel ini dianggap memiliki ciri-ciri tertentu yang dapat memperkaya data
penelitian. Sampel internal adalah keputusan yang diambil oleh peneliti tentang siapa
yang perlu diwawancarai, kapan melakukan observasi, atau dokumen apa atau
sebanyak apa dokumen yang perlu dikaji. Sementara itu, sampel waktu (time sampling)
adalah waktu-waktu tertentu yang sengaja dipilih peneliti untuk mengumpulkan data.
Waktu di sini boleh hari minggu ke-berapa, bulan apa, atau tahun berapa.
Instrumen dalam Penelitian Kualitatif
Satu-satunya instrumen terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri.
Peneliti mungkin menggunakan alat-alat bantu untuk mengumpulkan data seperti tape
recorder, video kaset, atau kamera. Tetapi kegunaan atau pemanfaatan alat-alat ini
sangat tergantung pada peneliti itu sendiri.
Peneliti sebagai instrumen (disebut “Paricipant-Observer”) di samping memiliki
kelebihan-kelebihan, juga mengandung beberapa kelemahan. Kelebihannya antara lain,
pertama, peneliti dapat langsung melihat, merasakan, dan mengalami apa yang terjadi
pada subjek yang ditelitinya. Dengan demikian, peneliti akan lambat laut “memahami”
makna-makna apa saja yang tersembunyi di balik realita yang kasat mata (verstehen).
Ini adalah salah satu tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian kualitatif.
Kedua, peneliti akan mampu menentukan kapan penyimpulan data telah mencukupi,
data telah jenuh, dan penelitian dihentikan. Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan
data tidak dibatasi oleh instrumen (misalnya kuesioner) yang sengaja membatasi
penelitian pada variabel-variabel tertentu saja.
Ketiga, peneliti dapat langsung melakukan pengumpulan data, menganalisanya,
melakukan refleksi secara terus menerus, dan secara gradual “membangun”
pemahaman yang tuntas tentang sesuatu hal. Ingat, dalam penelitian kualitatif, peneliti
memang “mengkonstruksi” realitas yang tersembunyi (tacit) di dalam masyarakat.
Sementara beberapa kelemahan peneliti sebagai instrumen adalah pertama, sungguh
tidak mudah menjaga obyektivitas dan netralitas peneliti sebagai peneliti. Keterlibatan
subjek memang bagus dalam penelitian kualitatif, tetapi jika tidak hati-hati, peneliti
akan secara tidak sadar mencampuradukkan antara data lapangan hasil observasi
dengan pikiran-pikirannya sendiri.
Kedua, pengumpulan data dengan cara menggunakan peneliti sebagai instrumen utama
ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan peneliti dalam menulis, menganalisis, dan
melaporkan hasil penelitian. Peneliti juga harus memiliki sensitifitas/kepekaan dan
“insight” (wawasan) untuk menangkap simbol-simbol dan makna-makna yang
tersembunyi. Lyotard (1989) mengatakan “lantaran pengalaman belajar ini sifatnya
sangat pribadi, peneliti seringkali mengalami kesulitan untuk mengungkapkannya dalam
bentuk tertulis”. Ketiga, peneliti harus memiliki cukup kesabaran untuk mengikuti dan
mencatat perubahan-perubahan yang terjadi pada subjek yang ditelitinya. Dalam
penelitian kuantitatif, penelitian dianggap selesai jika kesimpulan telah diambil dan
hipotesis telah diketahui statusnya, diterima atau ditolak. Tetapi peneliti kualitatif harus
siap dengan hasil penelitian yang bersifat plural (beragam), sering tidak terduga
sebelumnya, dan sulit ditentukan kapan selesainya. Ancar-ancar waktu tentu bisa
dibuat, tetapi ketepatan jadwal (waktu) dalam penelitian kualitatif tidak mungkin
dicapai seperti dalam penelitian kuantitatif. (@TM)

Anda mungkin juga menyukai