Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH BAHASA INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kegiatan berbahasa manusia selain secara lisan juga melalui tulisan. Bunyi bahasa yang
semula terwujud dalam bentuk bunyi atau suara dalam bahasa tulis, bunyi-bunyi tersebut akan
terwujud dalam bentuk lambang bunyi yang disebut dengan huruf. Dalam hal itu harus disadari
bahwa huruf sebagai wakil dari bunyi atau sebagai lambang bunyi tidak akan mampu mewakili
secara lengkap dan sempurna.
Sebenarnya kita merasakan perbedaan dalam bunyi bahasa, namun kita pun tahu bahwa
perbedaan itu tidak penting secara tidak sadar sebenarnya bunyi yang banyak dan berbeda-beda
itu telah kita kelompokkan dalam suatu satu kesatuan dalam bunyi yang penting untuk
menandai perbedaan-perbedaan arti itu. Selanjutnya, kesatuan bunyi itu kita sebut fonem, atau
dengan kata lain fonem adalah kesatuan bunyi terkecil yang membedakan arti.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas masalah yang muncul adalah :
a. Apa sajakah fonem-fonem Bahasa Indonesia?
b. Apa sajakah yang termasuk distribusi fonem?
1.3 Tujuan
Dari masalah diatas tujuan dari tulisan ini adalah untuk memperdalam pengetahuan mengenai
jenis-jenis fonem yang ada di Indonesia.
1.4 Ruang Lingkup
Berdasarkan latar belakang, masalah dan tujuan diatas, ruang lingkup dalam tulisan ini hanya
membahas tentang jenis-jenis fonem.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Fonem-fonem Bahasa Indonesia


Sebelum ditemukan sejumlah fonem dalam bahasa Indonesia terlebih akan
dirumuskan mengenai pengertian tentang fonem. Fonem adalah unsur bahasa yang terkecil
dan dapat membedakan arti atau makna (Gleason,1961: 9). Berdasarkan definisi diatas
maka setiap bunyi bahasa, baik segmental maupun suprasegmental apabila terbukti dapat
membedakan arti dapat disebut fonem.
Setiap bunyi bahasa memiliki peluang yang sama untuk menjadi fonem. Namun, tidak
semua bunyi bahasa pasti akan menjadi fonem. Bunyi itu harus diuji dengan beberapa
pengujian penemuan fonem. Nama fonem, ciri-ciri fonem, dan watak fonem berasal dari
bunyi bahasa. Adakalanya jumlah fonem sama dengan jumlah bunyi bahasa, tetapi sangat
jarang terjadi. Pada umumnya fonem suatu bahasa lebih sedikit daripada jumlah bunyi
suatu bahasa.
Berdasarkan kenyataan, ternyata di dalam bahasa Indonesia hanya ditemukan fonem
segmental saja, dan bunyi suprasegmental tidak terbukti dapat membedakan arti. Oleh
karena itu, dalam bahasa Indonesia tidak ditemukannya fonem suprasegmental. Itulah
sebabnya dalam kajian berikut ini hanya dibicarakan fonem segmental bahasa Indonesia
yang meliputi fonem vocal, fonem konsonan, dan fonem semi konsonan.
2.1.1 Fonem Vokal
Ada lima dalil atau lima prinsip yang dapat diterapkan dalam penentuan fonem-fonem
suatu bahasa. Kelima prinsip itu berbunyi sebagai berikut :
a. Bunyi-bunyi bahasa yang secara fonetis mirip apabila berada dalam pasangan minimal
merupakan fonem-fonem.
b. Bunyi-bunyi bahasa yang secara fonetis mirip apabila berdistribusi komplementer
merupakan sebuah fonem.
c. Bunyi-bunyi bahasa yang secara fonetis mirip apabila bervariasi bebas, merupakan
sebuah fonem.
d. Bunyi-bunyi bahasa yang secara fonetis mirip, yang berada dalam pasangan mirip
merupakan sebuah fonem sendiri-sendiri.
e. Setiap bunyi bahasa yang berdistribusi lengkap merupakan sebuah fonem.
Di antara kelima dalil diatas, hanya tiga buah dalil yang merupakan dalil yang kuat,
yaitu dalil (a), (b), dan (c). dalil (d) dan (e) merupakan dalil yang lemah.
Ada sejumlah pengertian yang harus dipahami didalam dalil-dalil atau didalam
prinsip-prinsip diatas. Pengertian-pengertian yang penulis maksudkan , yaitu:
1) Bunyi-bunyi yang secara fonetis mirip
Dasar yang dipakai untuk menentukan apakah bunyi-bunyi itu mirip secara fonetis
ataukah tidak ialah lafal dan daerah artikulasi bunyi itu.
Bunyi-bunyi yang dapat dikatakan mirip secara fonetis adalah sebagai berikut :
a) bunyi-bunyi yng lafalnya mirip dan seartikulasi. Misalnya, bunyi [p] dan [b].
b) bunyi-bunyi yang lafalnya mirip dan daerah artikulasinya berdekatan. Misalnya, bunyi [b]
dan [d].
c) bunyi-bunyi yang lafalnya jauh berbeda dan seartikulasi. Misalnya, bunyi [b] dan [m].
d) bunyi-bunyi yang lafalnya mirip dan daerah artikulasinya berjauhan. Misalnya, bunyi [m]
dan [n].
2) Pasanan Minimal
Pasangan minimal merupakan pasangan dua kata dasar yang artinya berbeda, jumlah dan
urutan bunyinya sama, dan didalamnya hanya berbeda satu bunyi. Dari sebuah pasangan
minimal hanya dapat diperoleh dua fonem. Misalnya, gali [gali] – kali [kali] adalah pasangan
minimal dan dari pasangan minimal ini diperoleh dua fonem, yaitu /g/ dan /k/.
3) Distribusi Komplementer
Bilamana dua bunyi dikatakan berada dalam distribusi yang komplementer atau yang
mempunyai distribusi yang komplementer? Untuk dapat mengetahui hal ini, perlu dilihat
tempat kedua bunyi tersebut berada. Tempatnya dapat ditentukan dengan melihat jenis bunyi
yang mengapitnya atau dapat juga ditentukan dengan melihat jenis suku tempatnya berada.
Selanjutnya, yang perlu diperhatikan ialah bahwa kedua bunyi tidak pernah saling tukar
tempat. Artinya, kalau bunyi yang satu selalu diapait oleh bunyi desis, maka bunyi yang
satunya lagi selalu diapait oleh bunyi yang bukan desis. Apabila dua bunyi telah dapat
dibuktikan tempatnya seperti ini, mak berarti kedua bunyi itu berada dalam distri busi
komplementer atau keduanya berdistribusi komplementer. Demikian pula, kalau ada dua bunyi
yang satu selalu ditemulan pada suku terbuka yang satunya lagi selalu ditemukan pada suku
tertutup, maka berarti kedua bunyi itu berada dalam distribusi yang komplementer.

Makalah Bahasa Indonesia "Kalimat dalam BI"


BAB I

PENDAHULUAN

Sekurang-kurangnya kalimat dalam ragam resmi, baik lisan maupun tertulis, harus

memiliki subjek (S) dan predikat (P). kalau tidak memiliki unsur subjek dan unsur predikat,

pernyataan itu bukanlah kalimat. Dengan kata yang seperti itu hanya dapat disebut sebagai

frasa. Inilah yang membedakan kalimat dengan frasa. Kalimat adalah satuan bahasa terkecil,

dalam wujud lisan atau tulisan yang mengungkapkan pikiran yang utuh. Dalam wujud lisan

kalimat diucapkan dengan suara naik turun, dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri dengan

intonasi akhir. Dalam wujud tulisan berhuruf latin kalimat dimulai dengan huruf kapital dan

diakhiri dengan tanda titik. (.), tanda tanya (?) dan tanda seru (!).
BAB II

PEMBAHASAN

I. POLA KALIMAT DASAR

Berdasarkan penelitian para ahli, pola kalimat dasar dalam bahasa Indonesia adalah sebagai
berikut.

1. KB + KK : Mahasiswa berdiskusi.

2. KB + KS : Dosen itu ramah.

3. KB + KBil : Harga buku itu sepuluh ribu rupiah.

4. KB + (KD + KB) : Tinggalnya di Palembang.

5. KB1 + KK + KB2 : Mereka menonton film.

6. KB1 + KK + KB2 + KB3 : Paman mencarikan saya pekerjaan.

7. KB1 + KB2 : Rustam peneliti.

Ketujuh pola kalimat dasar ini dapat diperluas dengan berbagai keterangan dan dapat pula

pola-pola dasar itu digabung-gabungkan sehingga kalimat menjadi luas dan kompleks.

II. JENIS KALIMAT MENURUT STRUKTUR GRAMATIKALNYA

Menurut strukturnya, kalimat bahasa Indonesia dapat berupa kalimat tunggal dan dapat
pula berupa kalimat mejemuk. Kalimat majemuk dapat bersifat setara (koordinatif), tidak
setara(subordinatif), ataupun campuran (koordiatif-subordinatif). Gagasan yang tunggal
dinyatakan dalam kalimat tunggal; gagasan yang bersegi-segi diungkapkan dengan kalimat
majemuk.

A. Kalimat Tunggal

Kalimat tunggal terdiri atas satu subjek dan satu predikat. Pada hakikatnya, kalau dilihat

dari unsur-unsurnya, kalimat-kalimat yang panjang-panjang dalam bahasa Indonesia dapat

dikembalikan kepada kalimat-kalimat dasar yang sederhana. Kalimat-kalimat tunggal yang

sederhana itu terdiri atas satu subjek dan satu predikat. Sehubungan dengan it, kalimat-kalimat

yang panjang itu dapat pula ditelusuri pola-pola pembentukannya.


Pola-pola itulah yang dimaksud dengan pola kalimat dasar. Mari kita lihat sekali lagi pola-pola

kalimat dasar tersebut.

1. Mahasiswa berdiskusi

S: KB + P: KK

2. Dosen ramah

S: KB + P: KS

3. Harga buku itu sepuluh ribu rupiah.

S: KB + P: KBil

Pola-pola kalimat dasar ini masing-masing hendaklah dibaca sebagai berikut. Pola 1 adalah

pola yang mengandung subjek (S) kata benda (mahasiswa) dan predikat (P) kata kerja

(berdiskusi). Kalimat itu menjadi Mahasiswa berdiskusi

S P

Contoh lain:

1. Pertemuan APEC sudah berlangsung.


S P
2. Teori itu dikembangkan.
S P

Pola 2 adalah pola kalimat yang bersubjek kata benda (dosen itu) dan berpredikat kata
sifat(ramah). Kalimat itu menjadi Dosen itu ramah.
S P
Contoh lain:
1. Komputernya rusak.
S P
2. Suku bunga bank swasta tinggi.
S P

Pola 3 adalah pola kalimat yang bersubjek kata benda (harga buku itu) dan berpredikat kata
bilangan (sepuluh ribu rupiah). Kalimat selengkapnya ialah

Harga buku itu sepuluh ribu rupiah.


S P
Contoh lain:

1. Panjang jalan tol Cawang-Tanjung Priok tujuh belas kilometer.


S P
2. Masalahnya seribu satu.
S P
Ketiga pola kalimat di atas masing-masing terdiri atas satu kalimat tunggal. Setiap

kalimat tunggal di atas dapat diperluas dengan menambahkan kata-kata pada unsur-unsurnya.

Dengan menambahkan kata-kata pada unsur-unsurnya itu, kalimat akan menjadi panjang (lebih

panjang daripada kalimat asalnya), tetapi masih dapat dikenali unsur utamanya. Kalimat

Mahasiswa berdiskusi dapat diperluas menjadi kalimat Mahasiswa semester III sedang

berdiskusi di aula. S P K Perluasan kalimat itu adalah hasil perluasan subjek mahasiswa

dengan semester III. Perluasan predikat berdiskusi dengan sedang, dengan menambahkan

keterangan tempat di akhir kalimat.

Kalimat 2, yaitu Dosen itu ramah dapat diperluas menjadi :

Dosen itu selalu ramah setiap hari.


S P K
Kalimat 3, yaitu Harga buku itu sepulu ribu rupiah dapat diperluas pula dengan kalimat :
Harga buku besar itu sepuluh ribu rupiah per buah.
S P
Memperluas kalimat tunggal tidak hanya terbatas seperti pada contoh-contoh di atas.

Tidak tertutup kemungkinan kalimat tunggal seperti itu diperluas menjadi dua puluh kata atau

lebih. Perluasan kalimat itu, antara lain, terdiri atas:

1. keterangan tempat, seperti di sini, dalam ruangan tertutup, lewat Yogyakarta, dalam
republik itu, dan sekeliling kota;

2. keterangan waktu, seperti setiap hari, pada pukul 19.00, tahun depan, kemarin sore,
dan minggu kedua bulan ini;

3. keterangan alat seperti dengan linggis, dengan undang-undang itu, dengan sendok dan
garpu, dengan wesel pos, dan dengan cek;

4. keterangan modalitas, seperti harus,barangkali, seyogyanya, sesungguhnya dan


sepatutnya;

5. keterangan cara, seperti dengan hatihati, seenaknya saja, selakas mungkin, dan dengan
tergesa-gesa;

6. keterangan aspek, seperti akan, sedang, sudah, dan telah.

7. keterangan tujuan, seperti agar bahagia, supaya tertib, untuk anaknya, dan bagi kita;

8. keterangan sebab, seperti karena tekun, sebab berkuasa, dan lantaran panik;

9. frasa yang, seperti mahasiswa yang Ipnya 3 ke atas, para atlet yang sudah
menyelesaikan latihan, dan pemimpin yang memperhatikan takyatnya; 3
10. keterangan aposisi, yaitu keterangan yang sifatnya saling menggantikan, seperti
penerima Kalpataru, Abdul Rozak, atau Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso.

Perhatikan perbedaan keterangan alat dan keterangan cara berikut ini.

Dengan + kata benda = keterangan alat

Dengan + kata kerja/kata sifat = keterangan cara.

Contoh kemungkinan perluasan kalimat tercantum di bawah ini.

1. Gubernur/memberikan/kelonggaran/kepada pedagang/.

2. Gubernur DKI Jakarta/memberikan/kelonggaran/kepada pedagang/.

B. Majemuk Majemuk Setara

Kalimat majemuk setara terjad dari dua kalimat tunggal atau lebi. Kalimat majemuk setara

dikelompokkan menjadi empat jenis, sebagai berikut.

1. Dua kalimat tunggal atau lebih dapat dihubungkan oleh kata dan atau serta jika kedua
kalimat tunggal atau lebih itu sejalan, dan hasilnya disebut kalimat majemuk setara
penjumlahan.

Contoh:

Kami membaca

Mereka menulis

Kami membaca dan mereka menulis.

Tanda koma dapat digunakan jika kalimat yang digabungkan itu lebih dari dua kalimat tunggal.

Contoh:

Direktur tenang.

Karyawan duduk teratur.

Para nasabah antre.

Direktur tenang, karyawan duduk teratur, dan para nasabah antre.

2. Kedua kaltunggal yang berbentuk kalimat setara itu dapat dihubungkan oleh kata tetapi jika

kalimat itu menunjukkan pertentangan, dan hasilnya disebut kalimat majemu setara

pertentangan.
Contoh:

Amerika dan Jepang tergolong negara maju.

Indonesia dan Brunei Darussalam tergolong negara berkembang.

Amerika dan Jepang tergolong negara maju, tetapi Indonesia dan Brunei Darussalam
tergolong negara berkembang.

Kata-kata penghubung lain yang dapat digunakan dalam menghubungkan dua kalimat tunggal
dalam kalimat majemuk setara pertentangan ialah kata sedangkan dan melainkan seperti
kalimat berikut.

Puspiptek terletak di Serpong, sedangkan Industro Pesawat Terbang Nusantara terletak di


Bandung. Ia bukan peneliti, melainkan pedagang.

3. Dua kalimat tunggal ata lebih dapat dihubungkan oleh kata lalu dan kemudian jika kejadian
yang dikemukakannya berurutan.

Contoh:

Mula-mula disebutkan nama-nama juara MTQ tingkat remaja, kemudian disebutkan


namanama juara MTQ tingkat dewasa. Upacara serah terima pengurus koperasi sudah
selesai, lalu Pak Ustaz membacakan doa selamat.

4. Dapat pula dua kalimat tunggal atau lebih dihubungkan oleh kata atau jika kalimat itu

menunjukkan pemilihan, dan hasilnya disebut kalimat majemuk setara pemilihan.

Contoh:

Para pemilik televisi membayar iuran televisinya di kantor pos yang terdekat, atau para
petugas menagihnya ke rumah pemilik televisi langsung.

C. Kalimat Majemuk tidak Setara

Kalimat majemuk tidak setara terdiri atas satu suku kalimat yang bebas dan satu suku
kalimat atau lebih yang tidak bebas. Jalinan kalimat ini menggambarkan taraf kepentingan
yang berbeda-beda di antara unsur gagasan yang majemuk. Inti gagasan dituangkan ke dalam
induk kalimat, sedangkan pertaliannya dari sudut pandangan waktu, sebab, akibat, tujuan,
syarat, dan sebagainya dengan aspek gagasan yang lain diungkapkan dalam anak kalimat.

Contoh:

1. a. Komputer itu dilengkapi dengan alat-alat modern. (tunggal)

b. Mereka masih dapat mengacaukan data-data komputer. (tunggal)

c. Walaupun komputer itu dilengkapi dengan alat-alat modern, mereka masih dapat
mengacaukan data-data komputer itu.
2. a. Para pemain sudah lelah

b. Para pemain boleh beristirahat.

c. Karena para pemain sudah lelah, para pemain boleh beristirahat.

d. Karena sudah lelah, para pemain boleh beristirahat.

Sudah dikatakan di atas bahwa kalimat majemuk tak setara terbagi dalam bentuk anak kalimat

dan induk kalimat. Induk kalimat ialah inti gagasan, sedangkan anak kalimat ialah pertalian

gagasan dengan hal-hal lain. Mari kita perhatikan kalimat di bawah ini. Apabila engkau ingin

melihat bak mandi panas, saya akan membawamu ke hotel-hotel besar

Anak kalimat:

Apabila engkau ingin melihat bak mandi panas.

Induk kalimat:

Saya akan membawamu ke hotel-hotel besar.

Penanda anak kalimat ialah kata walaupun, meskipun, sungguhpun, karena, apabila, jika,

kalau, sebab, agar, supaya, ketika, sehingga, setelah, sesudah, sebelum, kendatipun, bahwa,

dan sebagainya.

D. Kalimat Majemuk Campuran

Kalimat jenis ini terdiri atas kalimat majemuk taksetara (bertingkat) dan kalimat
majemuk setara, atau terdiri atas kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk taksetara
(bertingkat).

Misalnya:

1. Karena hari sudah malam, kami berhenti dan langsung pulang.


2. Kami pulang, tetapi mereka masih bekerja karena tugasnya belum selesai.

Penjelasan

Kalimat pertama terdiri atas induk kalimat yang berupa kalimat majemuk setara, kami

pulang, tetapi mereka masih bekerja, dan anak kalimat karena tugasnya belum selesai. Jadi,

susunan kalimat kedua adalah setara + bertingkat.


III. JENIS KALIMAT MENURUT BENTUK GAYANYA (RETORIKANYA)

Tulisan akan lebih efektif jika di samping kalimat-kalimat yang disusunnya benar, juga

gaya penyajiannya (retorikanya) menarik perhatian pembacanya. Walaupun kalimat-kalimat

yang disusunnya sudah gramatikal, sesuai dengan kaidah, belum tentu tulisan itu memuaskan

pembacanya jika segi retorikanya tidak memikat. Kalimat akan membosankan pembacanya

jika selalu disusun dengan konstruksi yang monoton atau tidak bervariasi. Misalnya, konstruksi

kalimat itu selalu subjek-predikat-objek-ketengan, atau selalu konstruksi induk kalimat-anak

kalimat.

Menurut gaya penyampaian atau retorikanya, kalimat majemuk dapat digolongkan

menjadi tiga macam, yaitu (1) kalimat yang melepas (induk-anak), (2) kalimat yang klimaks

(anak-induk), dan (3) kalimat yang berimbang (setara atau campuran).

A. Kalimat yang Melepas

Jika kalimat itu disusun dengan diawali unsur utama, yaitu induk kalimat dan diikuti

oleh unsur tembahan, yaitu anak kalimat, gaya penyajian kalimat itu disebut melepas. Unsur

anak kalimat ini seakan-akan dilepaskan saja oleh penulisnya dan kalaupun unsur ini tidak

diucapkan, kalimat itu sudah bermakna lengkap.

Misalnya:

a. Saya akan dibelikan vespa oleh Ayah jika saya lulus ujian sarjana.

b. Semua warga negara harus menaati segala perundang-undangan yang berlaku agar
kehidupan di negeri ini berjalan dengan tertib dan aman.

B. Kalimat yang Klimaks

Jika kalimat itu disusun dengan diawali oleh anak kalimat dan diikuti oleh induk

kalimat, gaya penyajian kalimat itu disebut berklimaks. Pembaca belum dapat memahami

kalimat tersebut jika baru membaca anak kalimatnya. Pembaca akan memahami makna kalimat

itu setelah membaca induk kalimatnya. Sebelum kalimat itu selesai, terasa bahwa ada sesuatu

yang masih ditunggu, yaitu induk kalimat. Oleh karena itu, penyajian kalimat yang

konstruksinya anak-induk terasa berklimaks dan terasa membentuk ketegangan.


Misalnya:

a. Karena sulit kendaraan, ia datang terlambat ke kantornya.

b. Setelah 1.138 hari disekap dalam sebuah ruangan akhirnya tiga sandera

warga negara Prancis itu dibebaskan juga.

C. Kalimat yang Berimbang

Jika kalimat itu disusun dalam bentuk majemuk setara atau majemuk campuran, gaya
penyajian kalimat itu disebut berimbang karena strukturnya memperlihatkan kesejajaran yang
sejalan dan dituangkan ke dalam bangun kalimat yang bersimetri.
Misalnya :

1. Bursa saham tampaknya semakin bergairah, investor asing dan domestik berlomba
melakukan transaksi, dan IHSG naik tajam.

2. Jika stabilitas nasional mantap, masyarakat dapat bekerja dengan tenang dan dapat
beribadat dengan leluasa.

Ketiga gaya penyampaian tadi terdapat pada kalimat majemuk. Adapun kalimat pada

umumnya dapat divariasikan menjadi kalimat yang panjang-pendek, aktif-pasif, inversi, dan

pengedepanan keterangan.

IV. JENIS KALIMAT MENURUT FUNGSINYA

Menurut fungsinya, jenis kalimat dapat dirinci menjadi kalimat pernyataan, kalimat

pertanyaan, kalimat perintah, dan kalimat seruan. Semua jeis kalimat itu dapat disajikan dalam

bentuk positif dan negatif. Dalam bahasa lisan, intonasi yang khas menjelaskan kapan kita

berhadapan dengan salah satu jenis itu. Dalam bahasa tulisan, perbedaannya dijelaskan oleh

bermacam-macam tanda baca.

A. Kalimat Pernyataan (Deklaratif)

Kalimat pernyataan dipakai jika penutur ingin menyatakan sesuatu dengan lengkap pada

waktu ia ingin menyampaikan informasi kepada lawan berbahasanya. (Biasanya, intonasi

menurun; tanda baca titik).

Misalnya:

Positif

1. Presiden Gus Dur mengadakan kunjungan ke luar negeri.

2. Indonesia menggunakan sistem anggaran yang berimbang.


Negatif

1. Tidak semua bank memperoleh kredit lunak.

2. Dalam pameran tersebut para pengunjung tidak mendapat informasi yang memuaskan
tentang bisnis komdominium di kotakota besar.

B. Kalimat Pertanyaan (Interogatif)

Kalimat pertanyaan dipakai jika penutur ingin memperoleh informasi atau reaksi
(jawaban) yang diharapkan. (Biasanya, intonasi menurun; tanda baca tanda tanya). Pertanyaan
sering menggunakan kata tanya seperti bagaimana, di mana, mengapa, berapa, dan kapan.

Misalnya:

Positif

1. Kapan Saudara berangkat ke Singapura?

2. Mengapa dia gagal dalam ujian?

Negatif

1. Mengapa gedung ini dibangun tidak sesuai dengan bestek yang disepakati?

2. Mengapa tidak semua fakir miskin di negara kita dapat dijamin penghidupannya oleh
nefara?

C. Kalimat Perintah dan Permintaan (Imperatif)


Kalimat perintah dipakai jika penutur ingin “menyuruh” atau “melarang” orang berbuat
sesuatu. (Biasanya, intonasi menurun; tanda baca titik atau tanda seru).

Misalnya:

Positif

1. Maukah kamu disuruh mengantarkan buku ini ke Pak Sahluddin!

2. Tolong buatlah dahulu rencana pembiayaannya.

Negatif

1. Sebaiknya kita tidak berpikiran sempit tentang hak asasi manusia.


2. Janganlah kita enggan mengeluarkan zakat kita jika sudah tergolong orang mampu.

D. Kalimat Seruan

Kalimat seruan dipakai jika penutur ingin mengungkapkan perasaan “yang kuat” atau
yang mendadak. (Biasanya, ditandai oleh menaiknya suara pada kalimat lisan dan dipakainya
tanda seru atau tanda titik pada kalimat tulis).
Misalnya:

Positif
1. Bukan main, cantiknya.
2. Nah, ini dia yang kita tunggu.

Negatif

1. Aduh, pekerjaan rumah saya tidak terbawa.

2. Wah, target KONI di Asian Games XIII tahun 1998 di Bangkok tidak tercapai.

V. KALIMAT EFEKTIF

Kalimat efektif ialah kalimat yang memiliki kemampuan untuk menimbulkan kembali

gagasan-gagasan pada pikiran pendengar atau pembaca seperti apa yang ada dalam pikiran

pembicara atau penulis. Kalimat sangat mengutamakan keefektifan informasi itu sehingga

kejelasan kalimat itu dapat terjamin. Sebuah kalimat efektif mempunyai ciri-ciri khas, yaitu

kesepadanan struktur, keparalelan bentuk, ketegasan makna, kehematan kata, kecermatan

penalaran, kepaduan gagasan, dan kelogisan bahasa.

A. Kesepadanan

Yang dimaksud dengan kesepadanan ialah keseimbangan antara pikiran (gagasan) dan

struktur bahasa yang dipakai. Kesepadanan kalimat ini diperlihatkan oleh kesatuan gagasan

yang kompak dan kepaduan pikiran yang baik. Kesepadanan kalimat itu memiliki beberapa

ciri, seperti tercantum di bawah ini.

1. Kalimat itu mempunyai subjek dan predikat dengan jelas. Ketidakjelasan subjek atau
predikat suatu kalimat tentu saja membuat kalimat itu tidak efektif. Kejelasan subjek dan
predikat suatu kalimat dapat dilakukan dengan menghindarkan pemakaian kata depan di,
dalam bagi untuk, pada, sebagai tentang, mengenai, menurut, dan sebagainya di depan
subjek.

Contoh:

a. Bagi semua mahasiswa perguruan tinggi ini harus membayar uang kuliah.

(Salah)

b. Semua mahasiswa perguruan tinggi ini harus membayar uang kuliah. (Benar)
2. Tidak terdapat subjek yang ganda

Contoh:

a. Penyusunan laporan itu saya dibantu oleh para dosen.

b. Saat itu saya kurang jelas.

Kalimat-kalimat itu dapat diperbaiki dengan cara berikut.

a. Dalam menyusun laporan itu, saya dibantu oleh para dosen.

b. Saat itu bagi saya kurang jelas.

3. Kalimat penghubung intrakalimat tidak dipakai pada kalimat tunggal

Contoh:

a. Kami datang agak terlambat. Sehingga kami tidak dapat mengikuti acara pertama.

b. Kakaknya membeli sepeda motor Honda. Sedangkan dia membeli sepeda motor Suzuki.

Perbaikan kalimat-kalimat ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, ubahlah kalimat
itu menjadi kalimat majemuk dan kedua gantilah ungkapan penghubung intrakalimat menjadi
ungkapan penghubung antarkalimat, sebagai berikut.

a. Kami datang agak terlambat sehingga kami tidak dapat mengikuti acara pertama. Atau
Kami datang terlambat. Oleh karena itu, kami tidak dapat mengikuti acara pertama.

b. Kakaknya membeli sepeda motor Honda, sedangkan dia membeli sepeda motor Suzuki. Atau
Kakaknya membeli sepeda motor Honda. Akan tetapi, dia membeli sepeda motor Suzuki.

4. Predikat kalimat tidak didahului oleh kata yang.

Contoh:

a. Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu.

b. Sekolah kami yang terletak di depan bioskop Gunting.

Perbaikannya adalah sebagai berikut.

a. Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu.

b. Sekolah kami terletak di depan bioskop Gunting.

B. Keparalelan

Yang dimaksud dengan keparalelan adalah kesamaan bentuk kata yang digunakan dalam
kalimat itu. Artinya, kalau bentuk pertama menggunakan nomina. Kalau bentuk pertama
menggunakan verba, bentuk kedua juga menggunakan verba.

Contoh:

a. Harga minyak dibekukan atau kenaikan secara luwes.

b. Tahap terakhir penyelesaian gedung itu adalah kegiatan pengecatan tembok,

memasang penerangan, pengujian sistem pembagian air, dan pengaturan tata ruang.
Kalimat a tidak mempunyai kesejajaran karena dua bentuk kata yang mewakili predikat
terdiri dari bentuk yang berbeda, yaitu dibekukan dan kenaikan. Kalimat itu dapat diperbaiki
dengan cara menyejajarkan kedua bentuk itu.

Harga minyak dibekukan atau dinaikkan secara luwes.

Kalimat b tidak memiliki kesejajaran karena kata yang menduduki predikat tidak sama
bentuknya, yaitu kata pengecatan, memasang,pengujian, dan pengaturan. Kalimat itu akan
baik kalau diubah menjadi predikat yang nomial, sebagai berikut.

Tahap terakhir penyelesaian gedung itu adalah kegiatan pengecatan tembok, pemasangan
penerangan, pengujian sistem pembagian air, dan pengaturan tata ruang.

C. Ketegasan

Yang dimaksud dengan ketegasan atau penekanan ialah suatu perlakuan penonjolan
pada ide pokok kalimat. Dalam sebuah kalimat ada ide yang perlu ditonjolkan. Kalimat itu
memberi penekanan atau penegasan pada penonjolan itu. Ada berbagai cara untuk membentuk
penekanan dalam kalimat.

1. Meletakkan kata yang ditonjolkan itu di depan kalimat (di awal kalimat).
Contoh:
Presiden mengharapkan agar rakyat membangun bangsa dan negara ini dengan
kemampuan yang ada pada dirinya.
Penekanannya ialah presiden mengharapkan.
Contoh:
Harapan presiden ialah agar rakyat membangun bangsa dan negaranya.
Penekanannya Harapan presiden.
Jadi, penekanan kalimat dapat dilakukan dengan mengubah posisi kalimat.
2. Membuat urutan kata yang bertahap
Contoh:
Bukan seribu, sejuta, atau seratus, tetapi berjuta-juta rupiah, telah disumbangkan kepada
anak-anak terlantar.

Seharusnya:

Bukan seratus, seribu, atau sejuta, tetapi berjuta-juta rupiah, telah disumbangkan kepada
anak-anak terlantar.

3. Melakukan pengulangan kata (repetisi).


Contoh:
Saya suka kecantikan mereka, saya suka akan kelembutan mereka.
4. Melakukan pertentangan terhadap ide yang ditonjolkan.
Contoh:
Anak itu tidak malas dan curang, tetapi rajin dan jujur.
5. Mempergunakan partikel penekanan (penegasan).
Contoh:

Saudaralah yang bertanggung jawab.

D. Kehematan

Yang dimaksud dengan kehematan dalam kalimat efektif adalah hemat mempergunakan
kata, frasa, atau bentuk lain yang dianggap tidak perlu. Kehematan tidak berarti harus
menghilangkan kata-kata yang dapat menambah kejelasan kalimat. Peghematan di sini
mempunyai arti penghematan terhadap kata yang memang tidak diperlukan, sejauh tidak
menyalahi kaidah tata bahasa.

Ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan.

1. Penghematan dapat dilakukan dengan cara menghilangkan pengulangan subjek.


Perhatikan contoh:

a. Karena ia tidak diundang, dia tidak datang ke tempat itu.


b. Hadirin serentak berdiri setelah mereka mengetahui bahwa presiden datang.
Perbaikan kalimat itu adalah sebagai berikut.

a. Karena tidak diundang, dia tidak datang ke tempat itu.


b. Hadirin serentak berdiri setelah mengetahui bahwa presiden datang.

2. Penghematan dapat dilakukan dengan cara menghindarkan pemakaian superordinat

pada hiponimi kata.


Kata merah sudah mencakupi kata warna.
Kata pipit sudah mencakupi kata burung.
Perhatikan:

a. Ia memakai baju warna merah.


b. Di mana engkau menangkap burung pipit itu?
Kalimat itu dapat diubah menjadi

a. Ia memakai baju merah.


b. Di mana engkau menangkap pipit itu?

3. Penghematan dapat dilakukan dengan cara menghindarkan kesinoniman


dalam satu kalimat.
Kata naik bersinonim dengan ke atas.
Kata turun bersinonim dengan ke bawah.
Perhatikan kalimat-kalimat di bawah ini.
a. Dia hanya membawa badannya saja.
b. Sejak dari pagi dia bermenung.
Kalimat ini dapat diperbaiki menjadi

a. Dia hanya membawa badannya.

b. Sejak pagi dia bermenung.

4. Penghematan dapat dilakukan dengan cara tidak menjamakkan kata-kata yang berbentuk
jamak. Misalnya:

Bentuk Tidak Baku Bentuk Baku

para tamu-tamu para tamu

beberapa orang-orang beberapa orang

E. Kecermatan

Yang dimaksud dengan cermat adalah bahwa kalimat itu tidak menimbulkan tafsiran
ganda. Dan tepat dalam pilihan kata. Perhatikan kalimat berikut.

1. Mahasiswa perguruan tinggi yang terkenal itu menerima hadiah.

2. Dia menerima uang sebanyak dua puluh lima ribuan.

Kalimat 1 memilikimakna ganda, yaitu siapa yang terkenal, mahasiswa atau perguran tinggi.

Kalimat 2 memiliki makna ganda, yaitu berapa jumlah uang, seratus ribu rupiah atau dua puluh
lima ribu rupiah.

Perhatikan kalimat berikut.

Yang diceritakan menceritakan tentang putra-putri raja, para hulubalang, dan para menteri.

Kalimat ini salah pilihan katanya karena dua kata yang bertentangan, yaitu diceritakan dan
menceritakan. Kalimat itu dapat diubah menjadi Yang diceritakan ialah putra-putri raja, para
hulubalang, dan para menteri.

F. Kepaduan

Yang dimaksud dengan kepaduan ialah kepaduan ialah kepaduan pernyataan dalam kalimat itu
sehingga informasi yang disampaikannya tidak terpecah-pecah.

1. Kalimat yang padu tidak bertele-tele dan tidak mencerminkan cara berpikir

yang tidak simetris. Oleh karena itu, kita hidari kalimat yang panjang dan bertele-tele.

2. Kalimat yang padu mempergunakan pola aspek + agen + verbal secara

tertib dalam kalimat-kalimat yang berpredikat pasif persona.

a. Surat itu saya sudah baca.

b. Saran yang dikemukakannya kami akan pertimbangkan.

Kalimat di atas tidak menunjukkan kepaduan sebab aspek terletak antara agen dan verbal.
Seharusnya kalimat itu berbentuk

a. Surat itu sudah saya baca.

b. Saran yang dikemukakannya akan kami pertimbangkan.


3. Kalimat yang padu tidak perlu menyisipkan sebuah kata seperti daripad atau tentang
antara predikat kata kerja dan objek penderita.

Perhatikan kalimat ini

a. Mereka membicarakan daripada kehendak rakyat.

b. Makalah ini akan membahas tentang desain interior pada rumah-rumah


adat.
Seharusnya:
a. Mereka membicarakan kehendak rakyat.
b. Makalah ini akan membahas desain interior pada rumah-rumah adat.

G. Kelogisan

Yang dimaksud dengan kelogisan ialah bahwa ide kalimat itu dapat diterima oleh akal
dan penulisannya sesuai dengan ejaan yang berlaku.

Perhatikan kalimat di bawah ini.

1. Waktu dan tempat kami persilakan.

2. Untuk mempersingkat waktu, kami teruskan acara ini.

3. Haryanto Arbi meraih juara pertama Jepang Terbuka.

4. Hermawan Susanto menduduki juara pertama Cina Terbuka.

5. Mayat wanita yang ditemukan itu sebelumnya sering mondar-mandir di daerah

tersebut.

Kalimat itu tidak logis (tidak masuk akal). Yang logis adalah sebagai berikut.

1. Bapak Menteri kami persilakan.

2. Untuk menghemat waktu, kami teruskan acara ini.

3. Haryanto Arbi meraih gelar juara pertama Jepang Terbuka.

4. Hermawan Susanto menjadi juara pertama Cina Terbuka.

5. Sebelum meninggal, wanita yang mayatnya ditemukan itu sering mondar-mandir di daerah
tersebut.
BAB III

KESIMPULAN

Pembahasan mengenai kalimat dasar dalam bahasa Indonesia meliputi pola kalimat

dasar , jenis kalimat, kalimat efektif , dan benar salah dalam kalimat. Pola kalimat erat

kaitannya dengan pembagian struktur kalimat yang dipecah menjadi subjek, predikat, objek

dan keterangan. Jenis kalimat dibagi 3 yaitu menurut struktur gramatikalnya, menurut bentuk

atau gayanya, dan menurut fungsinya. Jika menurut gramatikalnya ada kalimat tunggal dan

kalimat majemuk. Kalau menurut bentuk dan gayanya terdiri dari kalimat yang melepas

(induk-anak), (2) kalimat yang klimaks (anak-induk), dan (3) kalimat yang berimbang (setara

atau campuran). Jenis yang terakhir menurut fungsinya, jenis kalimat dapat dirinci menjadi

kalimat pernyataan, kalimat

pertanyaan, kalimat perintah, dan kalimat seruan. kalimat benar dan salah terkait pemilihan

katanya, agar terlihat efektif dan mudah dipahami


DAFTAR PUSTAKA

www.scribd.com/doc/55993128/makalah

http://harisahmad.blogspot.com/2011/01/kalimat-dalam-bahasa-indonesia.html

http://binakubinamu.blogspot.com/2011/03/kalimat-pola-dan-jenisnya-menurut.html

http://freezcha.wordpress.com/2010/05/07/kalimat/

http://shanegerhanazigzag.multiply.com/journal?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal

Hal 3

Makalah Bahasa Indonesia: Ejaan yang Disempurnakan


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan
norma kemasyarakatan yang berlaku. Misalnya, dalam situasi santai dan akrab, seperti di
warung kopi, di pasar, di tempat arisan, dan di lapangan sepak bola hendaklah digunakan
bahasa Indonesia yang santai dan akrab yang tidak terlalu terkait dengan aturan.
Namun, dalam situasi resmi dan formal, seperti dalam perkuliahan, dalam seminar,
dalam persidangan, dan dalam pidato kenegaraan hendaklah digunakan bahasa yang resmi atau
formal, yang selalu memperhatikan norma bahasa.
Bahasa Indonesia yang benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan
aturan atau kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Kaidah bahasa Indonesia meliputi ejaan,
kaidah pembentukan kata, kaidah penyusunan kalimat, kaidah penyusunan paragraf, dan
kaidah penataan penalaran.
Bahasa yang baik dan benar adalah bahasa Indonesia yang sesuai dengan norma
kemasyarakatan dan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Kaidah yang
mengatur pemakaian bahasa itu meliputi kaidah pembentukan kata, pemilihan kata,
penyusunan kalimat, pemebntukan paragraf, penataan penalaran, serta penerapan ejaaan sesuai
dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan ejaan?


2. Bagaimana penulisan unsur serapan dalam Bahasa Indonesia?
3. Bagaimana penulisan tanda baca dalam Bahasa Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ejaan
Ejaan adalah keseluruhan peraturan bagaimana melambangkan bunyi ujaran dan
bagaimana antar-hubungan antara lambang-lambang itu (pemisahan dan penggabungannya
dalam suatu bahasa). Secara teknis, yang dimaksud dengan ejaan adalah penulisan huruf,
penulisan kata, dan pemakaian tanda baca.
1. Ejaan Fonetis, yakni ejaan yang berusaha setiap bunyi bahasa dengan lambang atau huruf
setelah mengukur serta mencatatnya dengan alat pengukur bunyi bahasa.
2. Ejaan Fonemis, yakni ejaan yang berusaha menyatakan setiap fonem dengan satu lambang
atau satu huruf sehingga lambang yang diperlukan tidak terlalu banyak. Ejaan bahasa Indonesia
sekarang masih terdapat beberapa fonem bahasa Indonesia yang dilambangkan dengan dua
tanda, misalnya: ng, ny, sy, dan kh.
B. Penulisan Unsur Serapan
Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap unsur dari berbagai bahasa, baik
dari bahasa daerah maupun dari bahasa asing, seperti Sanskerta, Arab, Portugis, Belanda, Cina,
dan Inggris. Berdasarkan taraf integrasinya, unsur serapan dalam bahasa Indonesia dapat dibagi
menjadi dua kelompok besar. Pertama, unsur asing yang belum sepenuhnya terserap ke dalam
bahasa Indonesia, seperti reshuffle, shuttle cock, dan de l'homme par l'homme. Unsur-unsur itu
dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi cara pengucapan dan penulisannya masih
mengikuti cara asing. Kedua, unsur asing yang penulisan dan pengucapannya disesuaikan
dengan kaidah bahasa Indonesia. Dalam hal itu, diusahakan ejaannya disesuaikan dengan
Pedoman Umum Pembentukan Istilah Edisi Ketiga agar bentuk Indonesianya masih dapat
dibandingkan dengan bentuk asalnya. Kata seperti standarisasi, implementasi, dan objektif
diserap secara utuh disamping kata standar, implemen, dan objek.
Berikut ini didaftarkan sebagian kata-kata asing yang diserap ke dalam bahasa
Indonesia, yang sering digunakan oleh pemakai bahasa, misalnya antara lain:
Kata Asing Penyerapan yang salah Penyerapan yang
benar
Risk Risiko Resiko
System Sistim Sistem
Effective Efektip Efektif
Method Metoda Metode
Charisma Harisma Karisma
Frequency Frekwensi Frekuensi
Februari Pebruari Februari
November Nopember November
Apotheek Apotik Apotek
Taxi Taxi Taksi
Catatan:
1. Unsur serapan yang sudah lazim dieja sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia tidak
perlu lagi diubah.
Misalnya:
bengkel, kabar, nalar, paham, perlu, sirsak
2. Sekalipun dalam ejaan yang disempurnakan huruf q dan x diterima sebagai bagian
abjad bahasa Indonesia, unsur yang mengandung kedua huruf itu diindonesiakan
menurut kaidah yang dipaparkan di atas. Kedua huruf itu dipergunakan dalam
penggunaan tertentu saja, seperti dalam pembedaan nama dan istilah khusus.

C. Pemakaian Tanda Baca


Pemakaian tanda baca dalam ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan mencakup
pengaturan (1) tanda titik, (2) tanda koma, (3) tanda titik koma, (4) tanda titik dua, (5) tanda
hubung, (6) tanda pisah, (7) tanda elipsis, (8) tanda tanya, (9) tanda seru, (10) tanda kurung,
(11) tanda kurung siku, (12) tanda petik, (13) tanda petik tunggal, (14) tanda ulang, (15) tanda
garis miring, dan (16) penyingkat (apostrof).

1. Tanda Titik (.)

a. Tanda titik dipakai pada akhir singkatan nama orang.


b. Tanda titik dipakai pada dingkatan gelar, jabatan, pangkat, dan sapaan.
c. Tanda titik dipakai pada singkatan kata atau ungkapan yang sudah umum, yang ditulis
dengan huruf kecil. Singkatan yang terdiri atas dua huruf diberi dua buah tanda titik,
sedangkan singkatan yang terdiri atas tiga buah huruf atau lebih hanya diberi satu buah tanda
titik.
d. Tanda titik digunakan pada angka yang menyatakan jumlah untuk memisahkan ribuan,
jutaan, dan seterusnya.
e. Tanda titik digunakan pada singkatan yang terdiri atas huruf-huruf awal kata atau suku kata
pada singkatan yang dieja seperti kata akronim.
f. Tanda titik tidak dugunakan di belakang singkatan lambang kimia, satuan ukuran, takaran,
timbangan, dan mata uang.
g. Tanda titik tidak digunakan di belakang alamat pengirim dan tanggal surat serta di belakang
nama dan alamat penerima surat.

2. Tanda Koma (,)

Ada kaidah yang mengatur kapan tanda koma digunakan dan kapan tanda koma tidak
digunakan.
b. Tanda koma harus digunakan di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau
pembilangan.
c. Tanda koma harus digunakan untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat
setara berikutnya yang didahului oleh kata tetapi, melainkan, dan sedangkan.
d. Tanda koma harus digunakan untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat apabila
anak kalimat tersebut mendahului induk kalimatnya. Biasanya, anak kalimat didahului oleh
kata penghubung bahwa, karena, agar, sehingga, walaupun, apabila, jika, meskipun, dan
sebagainya.
e. Tanda koma harus digunakan di belakang kata, atau ungkapan penghubung antar kalimat
yang terdapat pada awal kalimat. Termasuk di dalamnya oleh karena itu, jadi, lagi pula,
meskipun begitu, akan tetapi, namun, meski demikian, dalam hubungan itu, sementara itu,
sehubungan dengan itu, dalam hubungan itu, oleh sebab itu, sebaliknya, selanjutnya,
pertama, kedua, misalnya, sebenarnya, bahkan, selain itu, kalau begitu, kemudian, malah,
padahal, dan sebagainya.
f. Tanda koma harus digunakan di belakang kata-kata seperti o, ya, wah, aduh, kasihan, yang
terdapat pada awal kalimat.
g. Tanda koma digunakan untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam
kalimat.
h. Tanda koma digunakan di antara (1) nama dan alamat, (2) bagian-bagian alamat, (3) tempat
dan tanggal, dan (4) nama tempat dan wilayah atau negeri yang ditulis berurutan.
i. Tanda koma digunakan untuk menceraikan bagian nama yang dibalik susunannya dalam
daftar pustaka.
j. Tanda koma digunakan di antara nama orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk
membedakannya dari singkatan nama keluarga atau marga.
k. Tanda koma digunakan untuk mengapit keterangan tambahan dan keterangan aposisi.
l. Tanda koma tidak boleh digunakan untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat
apabila anak kalimat tersebut mengiringi induk kalimat.

3. Tanda Titik Koma (;)

Tanda titik koma dapat dipakai untuk memisahkan kalimat yang setara di dalam suatu kalimat
majemuk berbagai pengganti kata penghubung.

4. Tanda Titik Dua (:)

a. Tanda titik dua dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap bila diikuti rangkaian atau
pemerian.
b. Tanda titik dua tidak dipakai kalau rangkaian atau penerimaan itu merupakan pelengkap
yang mengakhiri pernyataan.
5. Tanda Hubung (-)

a. Tanda hubung dapat dipakai untuk memperjelas hubungan bagian-bagian ungkapan.


b. Tanda hubung dipakai untuk merangkaikan (a) dengan kata berikutnya yang dimulai
dengan huruf kapital, (b) ke dengan angka, (c) angka dengan –an, dan (d) singkatan huruf
kapital dengan imbuhan atau kan.

6. Tanda Pisah ( __ )

Tanda pisah mengatasi penyisipan kata atau kalimat yang memberi penjelasan khsusus
di luar bangun kalimat menjadi lebih jelas, dan dipakai di antara dua bilangan atau tanggal
yang berarti ‘sampai dengan’ atau di antara dua nama kota yang berarti ‘ke’ atau ‘sampai’,
panjangnya dua ketukan.

7. Tanda Petik

Tanda petik dipakai untuk mengapit petikan langsung, judul syair, karangan, istilah yang
mempunyai arti khusus atau kurang dikenal.

8. Tanda Petik Tunggal

Tanda petik tunggal mengapit terjemahan atau penjelasan kata atau ungkapan asing.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada dasarnya masyarakat kita telah memahami penggunaan kaidah tata bahasa
Indonesia yang baik dan benar, akan tetapi dalam pelaksanaannya seringkali masyarakat
dihadapkan pada situasi dan kondisi berbahasa yang tidak mendukung, maksudnya ialah
masyarakat masih enggan untuk mengikuti kaidah tata bahasa Indnesia yang baik dan benar
dalam komunikasinya sehari-hari, masyarakat sering terdikte oleh aturan-aturan tata bahasa
yang salah, sehingga bermula dari kesalahan- kesalahan tersebut dapat menjadi kesalahan yang
sangat fatal dalam mengikuti aturan-aturan ketata bahasaan yang akhirnya kesalahan tersebut
menjadi sebuah kebiasaan dan parahnya lagi hal tersebut menjadi membudaya dan di benarkan
penggunaan dalam keseharian, untuk itu sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk selalu
mengingatkan kepada masyarakan untuk dapat menggunakan kaidah tata bahasa Indonesia
yang baik dan benar, karena bagaimanapun bahasa memiliki peran penting dalam proses
pembangunan karakter masyarakat dalam bangsa ini.
DAFTAR PUSTAKA

Amungkas. 1972. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD).
Surabaya: Gigi Surya.
Anwar, Ahyar. 2011. Mata Kuliah Pengembangan dan Kepribadian Bahasa Indonesia.
Makassar: Universitas Negeri Makassar.
http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Pedoman_Umum_Ejaan_Bahasa_Indonesia_yang_
Disempurnakan&oldid=26951”
Rahman, Rahim. 2009. Bina Bahasa. Makassar: Universitas Muhammadiyah Makassar.

Anda mungkin juga menyukai