Anda di halaman 1dari 32

(bani umayyah)

Great Mosque of Damascus

The Great Mosque Damascus juga dikenal dengan sebutan The


Umayyah Mosque Damascus, berada di kota tua Damaskus-Syria,
peninggalan kepemimpinan Bani Umayyah (705-715) yang
merupakan salah satu masjid terluas dan tertua di dunia.
Desain pada bangunan ini dipengaruhi arsitektur peradaban
klasik Yunani, dimana adanya bentuk variasi dengan pengolahan
yang kreatif yaitu Variasi Arch / hypostyle dalam ukuran,
gabungan dan detail kolom.

Tapak pada masjid ini berbentuk persegi panjang (157x100m),


terbagi menjadi 2 bagian ruang utama, bagian dalam dan court
yard (halaman). Bagian court yardluasnya hampir setengah dari
luas masjid ini yaitu 122,5mx50m, dikelilingi teras yang terbentuk
dari barisan kolom, dan kolom-kolomnya berbentuk lengkungan
tapal kuda. Pada court yard ini terdapat tiga bangunan kecil
poligonal yang berdiri dengan kolom dan beratap
kubah; treasury, ablution fountain, dan dome of
clock. Treasury adalah bangunan yang paling tua dan paling
penting, didirikan oleh khalifah al-Mahdi (778) berfungsi untuk
mengumpukan uang kas negara (Baitul Mal) berada di sebelah
barat court yard, dome of clock berada di sebelah timur
dan ablution fountain di tengah sebagai tempat untuk wudhu.

court yard
ablution fontain
dome of the clock
treasury

Bagian dalam (ruang utama) sebagai ruang shalat, berbentuk


persegi panjang berukuran besar. Terdapat tiga lorong terhampar
dari timur ke barat menghadap selatan, ditengah lorong-lorong
tersebut terdapat lorong utama (altar) selebar 20 meter yang
menghubungkan pintu masuk (dari arah court yard) ke dinding
kiblat di selatan. Lorong utama (altar) ini terdiri dari tiga bagian
ruang berbentuk kotak yang terbentuk dari empat kolom
besar. Bagian pertama berisi mihrab utama, kedua kubah dan
terakhir yang menghubungkan dengan pintu (figure 1).

Lorong yang memanjang


Setiap lorong yang memanjang timur-barat terdapat 20 kolom
dengan jarak yang bervariasi; 11, 13 dan 12 meter masing-
masing. Dinding Kiblat dilubangi dengan empat mihrab yang
menyebar di sepanjang dinding selatan (kiblat). Diantaranya
penambahan pada mihrab utama yang berada di tengah dan
dipertegas dengan adanya kubah kecil diatasnya, terdapat juga
mihrab sahabat nabi disebelah timur mihrab pertama
dan Hanafite sebagai Mihrab keempat terletak di sebelah barat.

mimbar utama

mimbar sebelah timur dan barat


mimbar tambahan dekat mimbar utama

Masjid ini dilengkapi dengan tiga menara yang tidak biasa


mendominasi langit Damaskus. Keunikan dari menara ini muncul
pertama dalam jumlah ganjil yang tidak biasa, kebanyakan
menara masjid berjumlah satu, dua, empat, atau tujuh seperti di
Ka’bah, Al-Haram As-Sharif. Selain dari jumlahnya hal yang
menarik juga yaitu desain yang bervariasi dari menara ini.
Menara Al-Arus (Midhanat Al-Arus) merupakan menara tertua,
dibangun antara abad 8-12 berbentuk persegi yang merupakan
jenis menara tertua dalam arsitektur Islam. Menara Issa, yang
dibangun pada abad ke-13, memiliki basis persegi dan dibesarkan
dengan bentuk silinder menyerupai menara Ottoman.
Menara Quait Bey (The Minaret of Quait
Bey), dibangun pada abad ke-15 memiliki bentuk poligonal
meniru Masjid Al-Azhar.
menara Quite bey; menara Al-Rus; menara Issa
Bangunan ini telah mengalami beberapa kali pemugaran dan
penambahan, untuk mempertahan nilai sejarah yang
dikandungnya. Sebenarnya masih banyak kandungan seni dan
arsitektur yang belum dibahas pada bangunan ini. Nanti akan
saya bahas pada tulisan selanjutnya.
Semoga tulisan ini bisa bermanfaat

sumber

http://www.muslimheritage.com/article/great-ummayad-mosque
http://jemamum.blogspot.co.id/2010/06/damascus-ummayad-
mosque.html

Dekripsi :
Damaskus (661-750 M)
Pada pemerintahan Bani Ummaiyah pada tahun 661-750 M sistem pemerintahan yang demokratis
telah banyak ditinggalkan dan berubah menjadi suatu kerajaan Islam meskipun para pemimpirmya
masih menggunakan gelar khalifah. Pusat pemerintahan tidak lagi di Kuffah atau Madinah, tetapi
dipindahkan ke Damsyik/Damaskus di Syria.

Saat pemerintahan dipimpin oleh Khalifah Khalid al-Walid telah dibangun Masjid Jamik Damsyik
yang mempunyai Shaan dan Riwaqs/Liwan. Pengamh Khalifah ini sangat luas, ke barat sampai di
Spanyol dan Perancis Selatan; ke timur sampai ke India dan Samarkand.

Melihat kemegahan gedung-gedung Kristen dan Romawi maka tergugahlah semangatnya untuk
membangun masjid yang megah maka dibangunnya Masjid Bani Ummaiyah. Sayangnya pada tahun
1483 masjid ini terbakar sebagian, dan kemudian oleh Sultan Malmuk dari Mesir dibangun kembali
dan diberi nama Masjid Keit Bey. Pola clan organisasi ruang dari masjid ini amat berpengaruh pada
pembangunan masjid bertiang banyak pada zaman kemudian, seperti Masjid Qiruan dekat Tunisia
yang terkenal dengan menaranya yang tua.

Saat Khalifah Abdul Malik (685-688 M) berkuasa, dibangun Qubbah al-Sahra (Dome of the Rock) di
Yerusalem, tempat Nabi Muhammad dahulu memulai naik ke langit pada saat menjalankan Isra
Mi'raj. Bangunan ini merupakan suatu monumen yang bentuknya mirip dengan bentuk Bassilika di
Constantinopel, Yerusalem/Palestina.

Secara umum bentuk bangunan masjid masa Khalifah Bani Ummaiyah masih memakai pola Masjid
Kufah yang berciri: shaan, riwaqs, liwan yang bertembok keliling dan mempunyai satu kubah di
dekat Mihrab. Sistem struktumya juga tetap memakai bentuk relung yang terbuat dari susunan batu
cadas (arch/vault construction) yang diplester yang semakin diperkaya dengan ornamen dekoratif
bermotif geometris dan atau motif tetumbuhan. Selain itu pada masa ini juga terdapat maksurah
yaitu bilik yang berbentuk kotak, berdindingkan pagar atau terali sehingga tembus pandang. Bilik
ini diperuntukan Ichusus untuk para pembesar pada waktu shalat. Di dalam satu masjid bisa
terdapat satu atau lebih maksurah. Fungsinya untuk menjaga keamanan khalifah dan gubemur-
gubemur dari serangan tiba-tiba pihak musuh.

Pola tembok keliling dengan shaan (court) di tengahnya memang amat sesuai dengan arsitektur dan
alam lingkungan setempat yang berildim subtropis. Kaidah keindahan (estetika) seperti: irama
(rythm), keseimbangan (balance), tekanan (emphazise), proporsi (proportion), skala (scale), dan
sebagainya sudah mendapatkan pengolahan yang cukup baik, meskipun sistem struktur pada saat
itu didominasi oleh banyaknya kolom/pilar. Kesemuanya itu terlihat jelas pada bangunan Masjid
Jamik Damsyik (Damaskus) dan Masjid al-Aqsa di Yerusalem (Wiryoprawiro, 1986).
http://budaya-indonesia-sekarang.blogspot.co.id/2010/04/arsitektur-masjid-pada-masa-awal.html

BANI ABASIYYAH

Sebagai sebuah dinasti, kekhalifahan BaniAbbasiyahyang berkuasa lebih dari lima abad, telah banyak
memberikan sumbangan positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Dari
sekitar 37 orang khalifah yang pernah berkuasa, terdapat beberapa orang khalifah yang benar-benar
memiliki kepedulian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, serta berbagai
bidang lainnya, seperti bidang-bidang sosial dan budaya.

Kemajuan dalam bidang sosial budaya diantaranya adalah terjadinya proses akulturasi dan asimilasi
masyarakat. Keadaan sosial masyarakat yang majemuk itu membawa dampak positif dalam
perkembangan dan kemajuan peradaban Islam pada masa ini. Karna dengan ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang mereka miliki, dapat dipergunakan untuk memajukan bidang-bidang sosial budaya
lainnya yang kemudian menjadi lambang bagi kemajuan bidang sosial budaya dan ilmu pengetahuan
lainnya.

Dalam kemajuan ilmu pengetahuan sosial budaya yang ada pada masa Kekhalifahan Dinasti
Abbasiyah adalah seni bangunan dan arsitektur, baik untuk bangunan istana, masjid, bangunan kota
dan lain sebagainya. Seni asitektur yang dipakai dalam pembangunan istana dan kota-kota, seperti
pada istana Qashrul Dzahabi, dan Qashrul Khuldi, sementara bangunan kota seperti pembangunan
kota Baghdad, Samarra dan lain-lainnya.

Kemajuan juga terjadi pada bidang sastra bahasa dan seni musik. Pada masainilah lahir seorang
sastrawan dan budayawan terkenal, seperti Abu Nawas, Abu Athahiyah, Al Mutanabby, Abdullah bin
Muqaffa dan lain-lainnya. Karya buah pikiran mereka masih dapat dibaca hingga kini, seperti
kitab Kalilah wa Dimna dan lain sebagainya. Sementara tokoh terkenal dalam bidang musik yang kini
karyanya juga masih dipakai adalah Yunus bin Sulaiman, Khalil bin Ahmad, pencipta teori musik
Islam, Al farabi dan lain-lainnya.

Selain bidang-bidang tersebut diatas, terjadi juga kemajuan dalam bidang pendidikan. Pada masa-
masa awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah, telah banyak diusahakan oleh para khalifah untuk
mengembangakan dan memajukan pendidikan. Karna itu mereka kemudian mendirikan lembaga-
lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi.

MASJID AGUNG CORDOBA


Di dalam sejarah Islam, masjid memegang peranan penting untuk kemajuan peradaban. Kita
sering melihat di atas kubah masjid ada lambang bulan sabit dan bintang sebagai lambang
kejayaan. Masjid yang pertama kali di bangun Rasulullah Saw. adalah masjid Quba, kemudian
masjid Nabawi. Masjid ini selain sebagai tempat beribadah, juga tempat menuntut ilmu,
bermusyawarah dan mengatur strategi perang.

Seiring dengan berjalannya waktu, fungsi masjid semakin sangat sentral. Di dalam kompleks
masjid di bangun sekolah, perpustakaan, laboratorium, dan observatorium. Masjid menjadi
tempat yang paling banyak dikunjungi orang daripada tempat lainnya. Orang pergi ke masjid
tidak hanya berniat beribadah di dalamnya, tetapi juga menuntut ilmu dan berdiskusi.

"Di era kejayaan Islam, masjid tak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah saja, namun juga
sebagai pusat kegiatan intelektualitas," ungkap J. Pedersen dalam bukunya berjudul Arabic
Book.
Sejarawan asal Palestina, AL Tibawi, menyatakan bahwa sepanjang sejarahnya, masjid dan
pendidikan Islam adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Di dunia Islam, sekolah dan masjid
menjadi satu kesatuan. "Sejak pertama kali berdiri, masjid telah menjadi pusat kegiatan
keislaman, tempat menunaikan shalat, berdakwah, mendiskusikan politik, dan sekolah," cetus
Jacques Wardenburg.
Salah satu masjid yang paling terkenal dalam sejarah Islam adalah Masjid Cordoba di Spanyol.
Masjid ini dibangun oleh Khalifah Bani Umayyah yang bernama Abdurrahman III. Masjid ini
memiliki seni arsitektur yang tinggi dan indah.

Tinggi menaranya 40 hasta di atas batang-batang kayu berukir dan ditopang oleh 1293 tiang
yang terbuat dari berbagai macam marmer bermotif papan catur. Di sisi selatan tampak 19 pintu
berlapiskan perunggu dengan kreasi yang sangat menakjubkan. Sementara pintu tengahnya
berlapiskan lempeng-lempeng emas. Panjang Masjid Cordoba dari utara ke selatan mencapai
175 meter dan lebarnya dari timur ke barat 134 meter. Sedangkan tingginya mencapai 20 meter.
Setiap gerbang di masjid itu terdapat batu-bata merah dan batu putih. Gabungan unsur batu-
batu tersebut mampu mewujudkan konsep jaluran yang menakjubkan. Konsep jaluran merah-
putih itu banyak mempengaruhi seni arsitektur bangunan di Spanyol. Hiasan dindingnya
disemarakkan unsur flora dan inskripsi dari al-Quran dalam bentuk ukiran kapur, kaca, marmar
dan mozaik emas.

Bangunan masjid ini sangat kokoh dan tahan gempa, bahkan pada gempa keras yang pernah
terjadi tahun 1793 (gempa bumi Lisabon) tidak ada sedikitpun keretakan yang terjadi.
Sedangkan bangunan Kathedral dalam bagian masjid ini didirikan pada awal abad ke-13 masehi
telah mengalami keretakan yang saat ini masih dapat terlihat.
Selain itu, kemegahan dekorasi pada ruang shalat juga sangat menonjolkan ruang mihrab.
Lubang-lubang hiasan diletakkan pada ruangan kecil berbentuk segi delapan. Konfigurasi yang
menakjubkan pada mihrab tersebut menjadi pusat perhatian. Kemegahan Masjid Cordoba yang
bertahan hingga sekarang menjadi saksi masa keemasan Islam di benua Eropa..

Keagungan masjid ini mencerminkan kemakmuran dan kesejahteraan Negara tersebut. Cordoba
pada saat itu menjadi pusat perdagangan, ilmu pengetahuan, dan ibu kota kekhalifahan Bani
Umayyah.
Saat itu, terdapat 170 wanita yang berprofesi sebagai penulis kitab suci al-Quran dengan huruf
Kufi yang indah. Anak-anak fakir miskin pun bisa belajar secara gratis di sekolah yang
disediakan Khalifah. Aktivitas di masjid begitu semarak. Tak heran, jika pada malam hari, masjid
itu diterangi 4.700 buah lampu yang menghabiskan 11 ton minyak pertahun.

Setiap tahun perpustakaan Masjid Cordoba dikunjungi oleh lebih dari 400.000 orang. Jumlah ini
sangat jauh berbeda dengan kunjungan orang-orang di perpustakaan-perpustakaan Eropa yang
hanya mencapai 1000 orang per tahunnya.
Perpustakaan Masjid Cordoba tidak hanya dikunjungi oleh muslim, tetapi juga non-muslim. Salah
satu alumninya adalah pemimpin tertinggi agama Katolik, Paus Sylvester II. Selepas belajar
matematika di Spanyol, dia kemudian mendirikan sekolah katedral dan mengajarkan aritmatika
dan geometri kepada para muridnya.
Masjid Cordoba telah menghasilkan ulama dan ilmuwan-ilmuwan besar yang dikenang
sepanjang masa. Beberapa di antaranya:
 Ibnu Rusyd: ahli fikih penulis kitab Bidayatul Mujtahid dan juga filosof dan dokter
ternama.

 Ibnu Hazm: ahli fikih penulis kitab al-Muhalla, sastrawan, dan juga pakar studi
perbandingan agama.

 Al-Qurthubi: ahli tafsir penulis kitab Tafsir al-Qurthubi.

 Ibnu Bajjah: ahli matematika ternama.

 Al-Ghafiqi: ahli botani ternama.

 Ibnu Thufayl: ahli kedokteran dan filosof ternama.

 Al-Idrisi: seorang kartografer dan geographer ternama.

 Ibnu Farnas: peletak dasar penciptaan pesawat terbang.

 Al-Zahrawi: ahli bedah yang telah menciptakan alat-alat bedah.

 Ibnu Zuhr: dokter ahli jantung ternama.

Namun sayang, sejak ditaklukkan oleh Raja Leon Alfonso VII yang Kristen, masjid ini
diubah fungsinya menjadi sebuah gereja. Pada awal abad ke-13, kekhalifahan Bani
Umayyah tidak dapat mengatasi serbuan bangsa Eropa yang datang dari Utara maka
Cordoba ditaklukkan, termasuk masjid ini ikut diduduki.
Kemudian beberapa tiang dihancurkan dan di dalam bangunan masjid didirikan kathedral yang
diberi nama Cathedral Mezquita (Katedral Masjid). Pada beberapa dinding masjid saat ini terlihat
lambang-lambang non muslim. Sampai saat ini masih berdentang lonceng gereja tiap beberapa
menit sekali.

Mengabaikan janji mereka untuk toleran terhadap keyakinan kaum Muslim, bangsa Spanyol
yang Kristen ikut serta dalam gelombang pemaksaan, pengusiran dan pembunuhan. Masjid-
masjid dihancurkan, sebaliknya gereja-gereja dibangun.

Kenangan pada "masa berdarah" dan perang yang selama ratusan tahun melanda seluruh
Spanyol masih hidup dalam ingatan kebanyakan orang-orang Kristen. Bahkan hari ini di bukit-
bukit sekitar Granada, mereka masih menggunakan doa pembaptisan lama, "Inilah anakmu: kau
berikan seorang Moor (muslim) padaku, Aku kembalikan dia menjadi seorang Kristen."

Keruntuhan Cordoba itu tidak saja diratapi oleh Umat Islam, tetapi juga seorang penulis Kristen
Stanley Lane Poole dalam bukunya "The Mohammadan Dynasties" mengaku betapa mundurnya
peradaban Spanyol setelah runtuhnya kerajaan Islam Cordoba. (Fimadani: Abu Farras Mujahid)

MASJID AL AZHAR (ayyubiyah)


B. Al Azhar : Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Ilmu-ilmu Ke-Islaman
Kompleks Al-Azhar, pada mulanya masjid yang didirikan tahun 970 pada awal
Dinasti Fatimiah oleh Jauhar as-Siqilli

Kemajuan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradaban yang dicapai pada masa
Dinasti Al Ayyubiyah tidak terlepas dari sebuah lembaga yang bernama Al Azhar. Dari
lembaga inilah lahir ulama-ulama dan ilmuwan-ilmuwan dengan berbagai hasil karyanya
yang berguna bagi kehidupan umat manusia
Al Azhar sekarang ini adalah nama sebuah lembaga pendidikan dan keagamaan di
Cairo, Mesir yang sangat termasyhur di dunia Islam, mencakup sebuah masjid sebagai
pusat kegiatan Islam dan sebuah lembaga pendidikan pengemban misi dakwah. Saat ini
mahasaiswa yang studi di Al Azhar tidak hanya dari Mesir saja, tetapi juga mahasiswa asing
yang berasal dari Pakistan, India, Sudan, Indonesia dan negara lainnya. Saat ini
diperkirakan jumlah mahasiswanya mencapai 50.000 orang.
Pada mulanya, Al Azhar adalah sebuah masjid di kota Cairo ( Mesir ) yang dibangun
oleh Jauhar Ash Shiqili ( panglima perang Islam Dinasti Fathimiyah ) pada tahun 972 M .
Jauhar yang menaklukkan Mesir pada tahun 971 M itu diperintah membangun masjid
tersebut oleh Khalifah AL Muiz Li Dinillah dari Dinasti Fathimiyah. Semula masjid itu
dinamakan Jami’ Al Qahira sesuai nama kota tempat masjid ini dibangun, Al qahiro atau
Cairo. Kemudian masjid ini dinamai Al Azhar karena dikaitkan dengan Az Zahra yang
berasal dari nama / julukan Fatimah Binti Muhammad SAW.
Selain sebagai pusat dakwah ajaran Syiah, di Al Azhar juga diajarkan berbagai
macam ilmu, seperti yang terkait dengan bahasa yaitu ilmu Nahwu ( tata bahasa
Arab ), Balaghoh, Mantik (logika) dan Sastra. Selain itu juga diajarkan ilmu-ilmu agama,
seperti ilmu Tauhid, Fiqh, Hadist, Tasawuf.
Akan tetapi pada tahun 378 H / 988 M ketika Khalifah Al Aziz berkuasa, masjid Al
Azhar dikembangkan fungsinya menjadi Universitas. Dengan pengembangan tersebut,
maka ilmu-ilmu yang dikembang di dalamnya semakin banyak. Ilmu ilmu itu sebagaian
menjadi nama Fakultas seperti : Syariah, Ushuluddin dan Bahasa. Demikian juga diajarkan
ilmu-ilmu lain, seperti : Kedokteran, Matematika, Filsafat, Sejarah dan bahkan Pertanian.
Pada masa Dinasti Ayyubiyah berkuasa atas Mesir, Masjid Al Azhar sempat tidak
dipakai untuk sholat Jum’at hampir satu abad lamanya ( 1171 – 1267 ). Alasannya adalah
tidak diperkenankannya dua sholat jum’at dalam satu kota menurut mazhab Syafi’iyah.
Selama itu sholat jum’at dilaksanakan di Masjid Al Hakim. Ketika Salahuddin berkuasa di
Mesir, dakwah ajaran Syiah dilarang dilakukan di Masjid Al Azhar, sebaliknya yang
diperbolehkan adalah dakwah ajaran Suni, karena Salahuddin bermazhab Suni. Kemudian
Masjid Al Azhar dipakai kembali untuk sholat jum’at pada masa pemerintahan Sultan Baybar
dari Dinasti Mamluk berkuasa.
Pada masa Dinasti Ayyubiyah, Al Azhar tidak banyak berperan. Alasannya cukup kuat,
yaitu Dinasti Fathimiyah mempropagandakan Mazhab Syiah, dimana Al Azhar sebagai
media utamanya, sedangkan Salahuddin Al Ayyubi dan seluruh penguasa Dinasti Ayyubiyah
bermazhab Suni. Tetapi pengembangan studi di Al Azhar masih tetap berjalan, walaupun
lebih banyak bergantung pada usaha pribadi
Sebagai lembaga keagamaan Al Azhar memiliki fungsi dan peran sebagai berikut :
1. Sebagai pusat kegiatan Al Muhtasib, yaitu jabatan agama yang penting pada waktu Dinasti
Fathimiyah.
2. Sebagai tempat penyelengaraan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tiap tangal 12
Robiul awal dan peringatan Hari Asuro tiap tangal 10 Muharam.
3. Sebagai tempat sidang khalifah, sidang peradilan dan pertemuan para Qodli (hakim) pada
hari-hari tertentu untuk membahas suatu masalah.
4. Sebagai tempat mencetak ilmuwan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan yang
sanggup aktif dalam dakwah Islam.
5. Sebagai tempat mencetak para ulama yang beriman dan mempunyai keteguhan mental dan
mempunyai ilmu yang mendalam tentang aqidah, syari’at dan bahasa Al qur’an untuk disuplai ke
seluruh dunia Islam.
Perkembangan al-Azhar ditandai dengan berbagai kemajuan dari masing-masing periode.
Perkembangan setelah Dinasti al-Ayyubiyah dilanjutkan oleh Dinasti Mameluk. Pada masa
ini memerintahkan kepada ulama supaya membukukan berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Buku-buku tersebut ditulis dalam bentuk ensiklopedi dengan maksud diperuntukkan
mahasiswa yang ingin memperdalam pengetahuan.
Sebelum tahun 1872, ijazah yang diberikan pada peserta didik tidak melalui ujian, tetapi
berdasarkan keputusan pribadi masing-masing guru. Perkembangan selanjutnya pada masa
kepemimpinan Syekh Muhammad Abbasi al-Mahdi al-Hanafi, rektor al-Azhar ke-21 mulai
ada pembaharuan yaitu ada ujian untuk mendapatkan ijazah dengan diuji dalam bidang
usul, fiqih, tauhid, hadits, tafsir, nahwu, sharaf, ma’ani, bayan, badi’ dan mantic. Pada bulan
Maret 1885 keluar peraturan tentang tenaga pengajar di al-Azhar yaitu syarat sebagai
tenaga pengajar telah menyelesaikan buku-buku induk tersebut diatas.
Pada abad 20 ini al-Azhar mulai memperhatikan hasil-hasil yang telah dicapai dalam
bidang keislaman dan kearaban. Usaha-usaha untuk mengikuti perkembangan zaman
adalah dengan mengirimkan alumni yang dipandang mampu untuk belajar di Eropa dan
Amerika.

Masjid Abu al-Abbas al-Mursi,


(mamluk)

Hampir di setiap sudut terlihat pengulangan bentuk geometri yang memberikan


kesan megah sekaligus indah.

Tak ada yang menampik keindahan Kota Alexandria di Mesir. Tapi, sesungguhnya
keindahan itu tak sebatas rupa alamnya semata. Lebih dari itu, keindahan itu
rupanya telah melebur dengan bangunan-bangunan bersejarah yang
menyelipkan keagungan mahakaryanya.

Satu di antaranya yang patut disambangi adalah Masjid Abu al-Abbas al-Mursi.
Bangunan yang berdiri pada 1775 M ini menjadi tanda terhadap hadirnya
keagungan seni arsitektur Islam.

Masjid ini begitu kental dengan gaya arsitektur Mamluk. Gaya ini menjadi
representasi dari Dinasti Islam Mamluk yang pernah berkuasa di Mesir dan Siria
sepanjang abad ke-13. Selama masa berkuasa itulah, begitu banyak terlahir
bangunan yang sarat dengan seni yang tampak rumit, tapi indah dipandang.
Kubah berukir
Dari sisi luar, masjid ini terlihat begitu anggun dengan warna kremnya. Seperti
gaya Mamluk pada umumnya, masjid ini memiliki kubah berbentuk silinder
seperti drum. Di bagian atas kubahnya meruncing. Lantas, untuk mempercantik
tampilan kubah, dihadirkanlah hiasan ukiran yang tampak begitu detail dan
mengisi seluruh bagian kubah.

Lalu, di sisi selatan terlihat juga sebuah menara setinggi 73 meter. Bentuk
menaranya juga tampak khas. Bagian dasarnya menempel dengan bangunan
masjid berbentuk persegi. Lalu, naik ke bagian atasnya tampak bangunan
berbentuk oktagonal atau bersegi delapan. Sedangkan, pada bagian teratasnya
memiliki bentuk bulat.

Pada bagian menara ini terdapat pula balkon layaknya bentuk menara di
sejumlah masjid yang ada di Turki. Tapi, yang membedakannya adalah pada
masjid bergaya Mamluk ini ditambahkan dengan hadirnya barisan tiang pada
bagian balkon serta pada bagian bawahnya hadir hiasan muqarnas atau bentuk
semacam stalaktit.

Seperti tertulis di laman sacred-destinations, masjid ini memiliki pintu masuk


yang terletak di sebelah utara dan timur. Keduanya menghadap alun-alun.

Bagian utama masjid ini berbentuk oktagon dengan dinding internal yang hadir
dengan batu yang ditampilkan berselang-seling. Cara mengemas bangunan
inilah yang memperlihatkan kokohnya bangunan masjid yang berada tak jauh
dari sisi pantai.
MASJID SHAH (iran)
Masjid Shah dikenal pula sebagai masjid Imam (setelah revolusi Islami tahun 1979 di Iran) dan
Masjid Jameh Abbasi yang merupakan sebuah masjid di Isfahan, Iran, berlokasi di sisi selatan
Taman Naghsh-i Jahan. Masjid ini dibangun pada periode Safavi, dibawah perintah Shah Abbas
dari Persia.
Pemandangan Masjid dari Taman Naqsh-e Jahan

Masjid ini merupakan contoh sempurna dari arsitektur Islami Iran, dan dipandang sebagai
mahakarya Arsitektur Persia. Masjid Shah merupakan mahakarya abadi dari arsitektur di Iran.
Masjid ini terdaftar, bersama dengan Taman Naghsh-i Jahan, sebagai Situs Warisan
Dunia UNESCO. Pembangunannya dimulai pada tahun 1611, keindahan masjid ini terutama
dikarenakan oleh ubin mozaik dengan tujuh warna dan tulisan-tulisan kaligrafinya.

Masjid ini merupakan salah satu warisan yang ditampilkan dalam Around the World in 80
Treasures ditampilkan oleh sejarawan arsitektur Dan Cruickshank.

Masjid ini juga digambarkan pada bagian belakang uang kertas Iran sebesar 20,000 rial.[1]

Pada tahun 1598, ketika Shah Abbas memutuskan untuk memindahkan ibukota kerajaan Persia
dalam masa pemerintahannya dari barat laut kota Qazvin ke pusat kota di Isfahan, ia memulai
sesuatu yang akan menjadi upaya terbesar dalam sejarah Persia; pembuatan ulang atas kota
kuno. Dengan memilih pusat kota di Isfahan, yang menjadi subur karena Sungai
Zāyandeh ("sungai pemberi-kehidupan"), terbentang layaknya mata air di dataran tandus yang
luas, ia memastikan ibukota terlindungi bila terjadi serangan baik dari Ottoman dan Uzbek, dan
pada waktu yang bersamaan mendapatkan tambahan kuasa atas Teluk Persia, yang belakangan
menjadi wilayah perdagangan penting untuk Belanda dan Britania Perusahaan-perusahaan India
Timur.[2]

Kepala arsitek untuk tugas kolosal akan perencanaan tempat pemukiman adalah Shaykh
Bahai (Baha' ad-Din al-`Amili), yang memusatkan program pada dua tugas utama dari rencana
utama Shah Abbas: jalan Chahar Bagh, diapit dikedua sisi oleh institusi-institusi terkemuka,
seperti pemukiman semua pejabat-pejabat asing, dan Taman Naqsh-e Jahan ("Panutan Dunia").
[3] Sebelum Shah menjadi penguasa, struktur kekuatan Persia mengalami desentralisasi, yang

mana institusi berbeda berupaya mendapatkan kekuasaan, termasuk didalamnya militer


(Qizilbash) dan gubernur-gubernur dari berbagai provinsi ; guna membentuk kerajaan. Shah
Abbas ingin merombak struktur politik yang demikian, dan pembuatan ulang Isfahan, sebagai
ibukota Agung Persia, merupakan langkah penting dalam pemusatan kekuatan. [4]Dengan
demikian, Shah Abbas akan mengumpulkan tiga komponen kekuatan utama di Persia dalam
wilayah kekuasaannya; kekuatan agamawi, disimbolkan oleh Masjid Shah, kekuatan
perdagangan, disimbolkan dengan Pasar Kerajaan, dan tentunya, kekuasaan akan Shah sendiri,
bertempat tinggal di Istana Ali Qapu.

Inti paling berharga dari proyek ini adalah Masjid Shah, yang akan menggantikan Masjid
Jameh yang lebih tua dalam memimpin sholat Jumat. Guna mencapai hal tersebut, Masjid Shah
dibangun bukan hanya atas dasar keagungan, memiliki kubah paling besar di kota, tetapi
Shaykh Bahai juga berencana mendirikan dua sekolah agama dan masjid musim dingin yang
berada pada masing-masing sisinya.[5] Oleh karena harapan Shah untuk menyelesaikan
pembangunan gedung dalam masa hidupnya, jalan pintas diraih dalam pembangunannya;
sebagai contoh, Shah tidak mengindahkan peringatan dari salah satu arsitek Abu'l Qāsim
mengenai bahaya kelemahan dari pondasi masjid, dan ia tetap pada proses pembangunannya.
[6] Alasan arsitek tersebut pun terbukti, karena pada tahun 1662, bangunan tersebut mengalami

banyak perbaikan.[7] Dan juga, rakyat Persia menciptakan gaya baru akan ubin mozaik (Tujuh-
warna) yang lebih murah dan lebih cepat, hal ini tentunya mempercepat proses pembangunan.
Pekerjaan ini diselesaikan dengan sangat baik oleh sekelompok pengrajin terbaik di negara itu,
dan seluruh pekerjaan dipantau oleh kaligrafer Ulung, Reza Abbasi. Pada akhirnya, sentuhan
terakhir dilakukan menjelang akhir tahun 1629, beberapa bulan setelah kematian Shah.

Juga, banyak sejarawan bertanya-tanya mengenai orientasi janggal Taman Kerajaan (Maidān).
Tidak seperti kebanyakan gedung-gedung penting, taman ini tidak berada dalam posisi
menghadap Mekah, makan ketika memasuki gerbang-masuk masjid, seseorang harus, hampir
tanpa disadari, berputar kearah kanan, hal ini memungkinkan supaya ruangan utama
menghadap Mekah. Donald Wilber memberikan penjelasan yang paling masuk akal akan hal ini;
tujuan dari Shaykh Bahai supaya masjid dapat terlihat dari sisi manapun oleh mereka yang
berada di maydān. Bila titik poros maydān bertepatan dengan titik poros Mekah, maka
pandangan akan kubah masjid akan terhalangi oleh tugu gerbang-masuk yang berada di
depannya. Dengan membuat sudut sedemikian, kedua bagian dari gedung, gerbang-masuk dan
kubah, berada dalam posisi pandang sempurna yang dapat dinikmati semua orang yang berada
di taman.[8]

Desain – gaya empat-iwan[sunting | sunting sumber]


Bangsa Safawi berpendapat bahwa Masjid Shah sebagai sebuah aliran dimana mereka dapat
mengutarakan pendapat mereka akan beragam teknik arsitetur mereka. Bentuk empat-iwan,
yang dirangkum oleh dinasi Seljuk, diwariskan oleh bangsa Safawiyah, dengan tegas
menetapkan beranda halaman masjid tersebut, dengan lajur masuk bertugu pada setiap sisi,
sama pentingnya dengan bangunan itu sendiri.[9] Pada masa pemerintahan Seljuk,
sebagaimana mistis Islami mulai bangkit dan masyarakat Persia sedang mencari desain
arsitektural yang menekankan identitas Iran, sususan empat-iwan mendapat tempat tersendiri.
Masyarakat Persia telah memiliki legenda arsitektur yang kaya, dan bentuk istimewa iwan
sesungguhnya diambil pada masa terdahulu, desain istana Sassanid,[9] yakni Istana Ardashir.
Dengan demikian, arsitektur Islami menjadi saksi tampilnya sebuah jenis baru yang berbeda dari
desain gaya-hipo terdahulu, masjid-masjid Arab, seperti Masjid Umayyad. Bentuk empat-iwan
secara khusu mengambil bentuk persegi, halaman yang berada di tengah dengan ruang masuk
dari masing-masing sisi, memberikan kesan akan pintu gerbang dunia spiritual.

Lukisan oleh arsitek Perancis, Pascal Coste, mengunjungi Persia tahun 1841. Lukisan tersebut
menggambarkan halaman utama, dengan dua iwan. Iwan pada sisi kanan memiliki goldast ada bagian
atasnnya, yang pada kebanyakan masjid-masjid Persia menggantikan fungsi menara.
Masjid Imam Isfahan tahun 2013

Berada di pelataran publik, atau Maidan, gerbang-iwan (pintu masuk) menuju masjid mengambil
bentuk setengah-lingkaran, membentuk setengah-bulan dan berukuran tinggi 27 meter, bingkai
melengkung dipenuhi hiasan berwarna pirus dan dihiasi karya stalaktit dari ubin yang mewah,
penggambaran jelas dari arsitektur Islami Persia. Pada masing-masing sisi berdiri dua menara,
dengan tinggi 42 meter, yang pada puncaknya terdapat balkoni kayu terukir dengan stalaktit
hingga ke arah bawah. Kaligrafer Ahli dari Kerajaan, Reza Abbasi, mengukir tanggal mulai
pembangunan, dan disampingnya berisikan ayat-ayat yang memuja Muhammad dan Ali. [10] Pada
bagian tengah, didepan pintu masuk, terdapat kolam kecil dan tempat peristirahatan kuda, dan
dibagian dalam para umat mendapatkan wadah besar dari marmer yang tertumpu, berisikan air
tawar atau limun. Waddah ini masih ada sebagaimana pada waktu empat ratus tahun lalu, tetapi
sudah tidak lagi berfungsi sebagai penyegar kepada para umat yang datang sholat Jumat.

Ketika melalui gerbang masuk, kita menjumpai halaman utama, pada bagian tengahnya terdapat
kolam besar. Dua gerbang masuk (iwan) pada setiap sisinya memberikan pemandangan menuju
gerbang utama yang berada di ujung, satu-satunya dengan menara, dan dibelakangnya terdapat
kubah agun, dengan hiasan yang warna-warni.

Fitur utama dari masjid adalah menara, dan Masjid Shah memiliki empat menara. Akan tetapi,
masjid-masjid di Persia, menara-menara tinggi dipandang kurang tepat untuk digunakan
mengumandangkan adzan, dan mereka akan menambahkan edikula, dikenal dalam bahasa
Persia sebagai goldast (buket) untuk kepentingan khusus, dan untuk Masjid Shah berada di
puncak iwan bagian barat.[11]

Bangunan Religi[sunting | sunting sumber]


Pemandangan interior dari masjid musim dingin, dibangun sebagai masjid hipostil.

Pada bagian dalam, kelengkapan akustik dan pantulan pada bagian tengah dibawah kubah
merupakan pusat perhatian banyak pengunjung, karena kecerdasan arsitek, ketika menciptakan
kubah, memungkinkan Imam untuk berbicara dengan suara lembut tetapi tetap dapat terdengar
jelas oleh semua orang yang berada dalam masjid.

Mihrab, sebuah lembaran marmer dengan tinggi sepuluh kaki dan lebar tiga kaki pada dinding
barat-daya, menunjukkan arah Mekah. Pada bagian atasnya, pengikut Shah menempatkan
lemari bertatahkan emas. Lemari tersebut menampung dua relik: sebuah Quran, yang menurut
sejarah merupakan salinan oleh Imam Reza, dan jubah dengan noda darah milik Imam Hussain.
Walau tidak pernah dipamerkan, jubah tersebut dikatakan memiliki kekuatan magis; mengangkat
ujung tombak pada medan peperangan, kepercayaannya bahwa jubah tersebut dapat mengusir
musuh.[12]

Dari halaman utama, iwan yang menunjuk ke arah timur memiliki sebuah sekolah agama, atau
disebut madrasa. Iwan ini juga menyimpan naskah yang dituliskan oleh kaligrafer Muhammad
Riza Imami yang menyembah Empat Belas Orang Suci (antara lain, Muhammad, Fatimah,
dan Dua Belas Imam). Iwan pada sisi barat menuju ke madrasa yang lain dan sebuah masjid
musim dingin. Pada areanya sendiri, sebuah halaman terpisah, kita dapat menemukan Jam
matahari yang dibuat oleh Shaykh Bahai.

Kubah[sunting | sunting sumber]

Sebagaimana dengan iwan-iwan, pengenalan kubah kedalam desain arsitektural Islami dimulai
oleh bangsa Persia. Struktur gedung tertua yang dimaksud adalah Masjid Agung Zavareh,
sekitar tahun 1135.[13] Bangsa Persia telah membangun kubah yang demikian beberapa abad
sebelumnya, dan contoh-contoh awal dari kubah dengan ukuran terbesar di dunia terdapat di
Iran, contohnya adalah Kastil Perawan. Maka, para Muslim Safawiyah mencontoh pengetahuan
pra-Islamic dalam pembangunan kubah, contoh penggunaan squinch untuk membentuk transisi
dari bangunan bersisi delapan, menjadi kubah melingkar. Untuk menutupi wilayah transisi
tersebut, bangsa Persia membentuk jaringan stalaktit yang menarik. Oleh karenanya merupakan
awal perkenalan dengan fitur tersebut kepada masjid-masjid Persia.

Kebangkitan Persia dalam pembangunan kubah diawali oleh Dinasti Safawiyah. Fitur nyata dari
kubah Persia, yang memisahkan semuanya dari kubah-kubah yang dibentuk pada peradaban
Kristen atau Ottoman dan Kerajaan Mughal, ubin-ubin warna-warni yang menutupi
bagian luar kubah mereka sebagaimana mereka melakukannya pada bagian dalam. Kubah-
kubah demikian kemudian bertambah banyak di Isfahan, dan wilayah sekitarnya, bentuk
berwarna-biru nantinya akan mendominasi garis langit di kota. Memantulkan cahaya matahari,
kubah-kubah ini tampak seperti permata pirus dan tampak bahkan dari kejauhan oleh pengelana
yang menyelusuri Jalur Sutra melalui Persia. Dengan mencapai ketinggian 53 meter, kubah
Masjid Shah kemudian menjadi yang tertinggi ketika selesai pada tahun 1629. Bangunan
tersebut dibangun dengan kubah berlapis ganda dengan ketebalan 14 meter antara kedua
lapisnya, dan berada pada ruangan kubah bersegi-delapan. [14]

Kesenian[sunting | sunting sumber]

Detil mozaik, sebagaimana ditemukan di Masjid Shah, menampilkan kaligrafi Quranik tertulis dalam naskah
Thuluth (foto diambil di Masjid Lotfallah).

Tampak dalam dari kubah yang megah dengan ubin-ubin polikrom, yang bertujuan untuk memberikan
nuansa surgawi bagi pemerhatinya.
Panorama 3D dari bagian dalam ruang sembahyang.

Masjid Shah merupakan sebuah struktur agung, yang menggunakan 18 juta batu-bata dan
475,000 ubin, Shah mengeluarkan biaya sebesar 60,000 toman untuk membangunnya.
[15] Bangunan ini juga menggunakan ubin mozaik dengan gaya haft rangi (tujuh-warna). Pada

masjid-masjid Iran terdahulu, ubin-ubin yang digunakan adalah mozaik fayans, dengan proses
lambat dan mahal dimana ubin-ubin satu-warna dipotong kecil-kecil dan digabungkan untuk
menciptakan desain yang rumit. Pada metode haft rangi, seniman menggabungkan semua
warna, kemudian membakar ubin tersebut. Lebih murah dan lebih cepat, prosedur baru yang
memungkinkan penggunaan kombinasi warna yang lebih luas, menciptakan pola yang lebih
kaya, menarik dipandang mata.[7][16] Menurut Jean Chardin, kelembaban udara Persia yang
rendah membuat warna-warna menjadi lebih hidup dan lebih kontras dengan beragam pola, jauh
lebih menarik dibanding dengan apa yang dapat dicapai di Eropa, dimana ubin-ubin berwarna
menjadi tampak kusam dan tidak begitu menarik.[17] Akan tetapi, sebagian besar penulis
kontemporer dan modern melihat hasil karya ubin-ubin di Masjid Shah sebagai keunggulan baik
dari segi kualitas dan keindahan dibandingkan karya yang digunakan untuk melapisi Masjid
Lotfallah, yang kemudian seringkali menjadi rujukan oleh sejarawan Persia, seperti Iskandar
Munshi, sebagai masjid dengan kesucian dan keindahan yang agung.[18]

Para arsitek juga banyak menggunakan marmer, yang mereka kumpulkan dari tambang kaca
didekat Ardestan.[7] Seluruh gedung, mulai dari batas masuk hingga ke bangunan utama, dua
meter bagian bawah dinding ditutupi dengan marmerberwarna krem, yang secara indah dipahat
pada setiap sisinya disetiap sisi pintu masuk dan juga diukur dengan naskah-naskah. Diatas
bagian ini dimulai dengan ubin-ubin mozaik yang menutupi sisa bangunan.

Gerbang masuk masjid menampilkan dekorasi ubin yang terbaik dari bangunan itu sendiri.
Seluruhnya dibentuk dari ubin mozaik dengan tujuh warna (biru tua Persia, biru muda Turki,
putih, hitam, kuning, hijau dan biskit). Sebuah prasasti besar bertuliskan naskah-naskah religi
dari naskah thuluth berwarna putih pada bagian bawah iwan yang berwarna biru tua. Ubin-ubin
yang digunakan di Masjid Shah kebanyakan berwarna biru, kecuali yang melapisi ruangan aula,
yang kemudian dikembalikan kewarna yang lebih sejuk, kuning-kehijauan. [16]

Menghadap ke utara, gerbang masjid menuju Maidan biasa berada dibawah bayang-bayang
tetapi sejak dilapisi dengan ubin mozaik yang bersinar; wilayah ini berkilau dengan didominasi
oleh warna biru muda dengan kepekatan yang luar biasa. Facing northwards, the mosque’s
portal to the Maidan is usually under shadow but since it has been coated with radiant tile
mosaics it glitters with a predominantly blue light of extraordinary intensity. Ornamen bangunan
ini sama sekali tradisional, seraya mencerminkan motif klasik Irani yang melambangkan
keberkahan dan efektivitas. Dengan area yang simetris dan iwan-iwan yang seimbang, kita
terpukau oleh kerumitan Arabes dalam balutan kuning keemasan dan biru tua, yang memberkahi
pengunjung dengan perasaan tentram.

Arsitek[sunting | sunting sumber]


Arsitek pembangunan masjid ini (seperti yang dilaporkan) bernama ″Ostad Ali Akbar Esfahani″.

Anda mungkin juga menyukai