Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan secara terus-
menerus dan berkesinambungan (Dekpes RI, 2001 dalam Maryam dkk, 2011). Proses ini
merupakan tahap akhir dari siklus hidup manusia yang akan dialami oleh setiap individu
(Surilena & Agus, 2006). Pertambahan usia akan menimbulkan perubahan-perubahan pada
struktur dan fisiologis dari berbagai sel/jaringan/organ dan sistem yang ada pada tubuh
manusia sehingga menyebabkan sebagian besar lansia mengalami kemunduran atau
perubahan pada fisik, psikologis, dan sosial (Mubarak dkk, 2010; Putri dkk, 2008)
Salah satu perubahan fisik yang terjadi pada lansia yaitu perubahan morfologis pada
otot yang menyebabkan perubahan fungsional otot, yaitu terjadi penurunan kekuatan dan
kontraksi otot, elastisitas dan fleksibilitas otot, serta kecepatan dan waktu reaksi. Penurunan
fungsi dan kekuatan otot akan mengakibatkan penurunan kemampuan mempertahankan
keseimbangan postural atau keseimbangan tubuh lansia. Gangguan keseimbangan tubuh
merupakan masalah yang sering terjadi pada lansia. Apabila gangguan keseimbangan ini
tidak dikontrol maka akan meningkatkan risiko jatuh pada lansia (Kustanto dkk, 2007).
Gunarto (2005) menyatakan bahwa 31%-48% lansia jatuh karena gangguan
keseimbangan. Berdasarkan survei di masyarakat AS, sekitar 30% lansia yang berumur lebih
dari 65 tahun jatuh setiap tahunnya, separuh dari angka tersebut mengalami jatuh berulang.
Insiden di rumah-rumah perawatan (nursing home) 3 kali lebih banyak. Lima persen dari
penderita jatuh ini mengalami patah tulang atau memerlukan perawatan di rumah sakit.
Sedangkan di rumah-rumah perawatan berkisar 50% penghuninya mengalami jatuh dan
memerlukan perawatan di rumah sakit sekitar 10-25%. Diestimasikan 1% lansia yang jatuh
akan mengalami fraktur kolum femoris, 5 % akan mengalami fraktur tulang lain seperti iga,
humerus, pelvis, dan lain-lain, 5% akanmengalami perlukaan jaringan lunak. Perlukaan
jaringan lunak yang serius seperti subdural hematom, hemarthroses, memar dan keseleo otot
juga sering merupakan komplikasi akibat jatuh (Darmojo,2000).
Kejadian jatuh merupakan masalah yang sering terjadi di panti. Frekuensi kejadian
jatuh pada lansia di panti jompo rata – rata dua kali per tempat tidur dalam satu tahun. Hal
ini disebabkan para lansia memiliki masalah kesehatan yang serius, kualitas hidup menurun.
Kejadian jatuh disebabkan oleh kerusakan kognitif oleh karena proses penuaan. Para lansia di
panti jompo memiliki resiko jatuh yang cukup tinggi. Kemampuan untuk bergerak berangsur
– angsur menurun sehingga kemampuan mereka untuk mengenali dan menghindari benda
berbahaya menurun. Oleh karena itu, hal yang paling penting adalah memberikan tindakan
yang adekuat untuk mencegah resiko jatuh pada grup lansia.
Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan didapatkan data bahwa di PSTW Wana
Sraya terdapat 47 orang lansia. Dari 47 orang lansia terdapat 19 orang lansia yang mengalami
hipertensi, 1 orang lansia yang mengalami DM, 16 orang lansia yang menderita osteoartritis,
5 orang yang mengalami vertigo, 8 orang yang mengalami dispepsia, 6 orang yang
mengalami ISPA, 4 orang yang mengalami IMP of H (Impaired of Hearing), dan 13 orang
yang mengalami IMP of V (Impaired of Vision). Hal tersebut menunjukkan bahwa lansia di
PSTW Wana Seraya Denpasar berisiko mengalami jatuh. Berdasarkan pengkajian yang
dilakukan di PSTW Wana Seraya Denpasar, dari 47 penghuni PSTW diperoleh 18 orang
mengalami gangguan muskuloskeletas dan 11 orang memiliki riwayat jatuh.
Dalam jurnal yang berjudul A multifactorial intervention for the prevention of falls in
psychogeriatric nursing home patients, a randomised controlled trial (RCT) menjelaskan
mengenai program intervensi untuk meminimalkan resiko jatuh pada lansia. Oleh karena itu,
kami tertarik untuk mengananalisis jurnal tersebut untuk mengetahui perbandingan lansia
yang mendapat program intervensi resiko jatuh terhadap kejadian jatuh pada lansia.

A. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah analisa PICOT terhadap jurnal tersebut?
2. Bagaimanakah implikasi keperawatan dalam penerapan program fall prevention terhadap
kejadian jatuh pada lansia?

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui analisa PICOT terhadap jurnal tersebut
2. Untuk mengetahui implikasi keperawatan dalam penerapan program fall prevention
menggunakan pengkajian yang berfokus pada resiko jatuh dan ditambahan dengan
instrumen evaluasi yang spesifik pada pengkajian riwayat jatuh, penggunaan obat –
obatan, kemampuan dalam mobilitas dan alat – alat yang digunakan untuk membantu
dan melindungi saat beraktivitas.

C. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Memperkaya teori di bidang ilmu keperawatan geriatri khususnya intervensi yang dapat
dilakukan pada wanita lanjut usia yang berisiko mengalami insiden jatuh.
2. Manfaat Praktis
Intervensi ini dapat diterapkan sebagai intervensi keperawatan pada pasien lanjut usia
yang berisiko mengalami resiko jatuh.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. LANSIA
1. Pengertian
Lansia adalah tahap akhir siklus hidup manusia, merupakan bagian dari
proses kehidupan yang tak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap
individu. Pada tahap ini individu mengalami banyakperubahan baik secara fisik
maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan
yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagian dari proses
penuan normal, seperti rambut yang mulai memutih, kerut-kerut ketuaan di
wajah, berkurangnya ketajaman panca indera, serta kemunduran daya tahan
tubuh, merupakan acaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka
harus berhadapan dengan kehilangan-kehilangan peran diri, kedudukan sosial,
serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.Semua hal tersebut menuntut
kemampuan beradaptasi yang cukup besar untuk dapat menyikapi secara bijak
(Soejono, 2000).
Ada beberapa pembagian lansia, antara lain menurut Depkes RI, WHO, dan
menurut pasal 1 Undang – undang No. 4 tahun 1965.
a. Departemen Kesehatan RI membagi lansia sebagai berikut : kelompok
menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai masa vibrilitas, kelompok usia
lanjut (55-64 tahun) sebagai presenium, kelompok usia lanjut (kurang dari 65
tahun) sebagai senium.
b. Organisasi kesehatan dunia (WHO), usia lanjut dibagi menjadi empat kriteria
berikut : usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45 sampai 59
tahun, usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun, usia tua (old) antara 75-90
tahun, usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun.
c. Menurut pasal 1 Undang-Undang No. 4 tahun 1965: “Seseorang dinyatakan
sebagai orang jompo atau usia lanjut setelah yang bersangkutan mencapai
usia 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri
untuk keperluan hidupnya sehari-hari, dan menerima nafkah dari orang lain”
(Mubarak, 2009).
Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa lansia
adalah seseorang yang berusia 60 tahun ke atas baik pria maupun wanita, yang
masih aktif beraktivitas dan bekerja ataupun mereka yang tidak berdaya untuk
mencari nafkah sendiri sehingga bergantung kepada orang lain untuk menghidupi
dirinya (Ineko, 2012).

2. Proses Menua
Penuaan adalah suatu proses normal yang ditandai dengan perubahan fisik
dan tingkah laku yang dapat diramalkan dan terjadi pada semua orang pada saat
mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Hal ini
merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multidimensional yang dapat
diobservasi setiap sel dan berkembang sampai pada keseluruhan sistem (Stanley,
2006).
Dalam Maryam, dkk (2008) ada beberapa teori yang berkaitan dengan
proses penuaan:
a. Teori Biologi
Teori biologi mencakup teori genetik dan mutasi, immunology slow theory, teori
stress, teori radikal bebas, dan teori rantai silang. Menurut teori genetik dan
mutasi, menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram
oleh molekul-molekul DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi.
Menurut Immunologyslow theory, sistem imun menjadi efektif dengan
bertambahnya usia dan masuknya virus ke dalam tubuh yang dapat menyebabkan
kerusakan organ tubuh. Teori stres mengungkapkan menua terjadi akibat
hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh.Regenerasi jaringan tidak dapat
mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stres yang
dapat menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.
Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas
(kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organik seperti
karbohidrat dan protein.Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat melakukan
regenerasi.Pada teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel yang
tua menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen.Ikatan ini
menyebabkan kurangnya elastisitas, kakacauan, dan hilangnya fungsi sel.
b. Teori Psikologi
Pada usia lanjut, proses penuaan terjadi secara alamiah seiring dengan
penambahan usia. Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan dengan
keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif.Kepribadian individu
yang terdiri atas motivasi dan intelegensi dapat menjadi karakteristik konsep diri
dari seorang lansia.Konsep diri yang positif dapat menjadikan seorang lansia
mampu berinteraksi dengan mudah terhadap nilai-nilai yang ada ditunjang
dengan status sosialnya. Adanya penurunan dari intelektualitas yang meliputi
persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan belajar pada saat usia lanjut
menyebabkan mereka sulit untuk dipahami dan berinteraksi.
c. Teori Sosial
Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu: teori
interaksi sosial menjelaskan mengapa lansia bertindak pada suatu situasi tertentu,
yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Pada lansia, kekuasaan dan
prestasinya berkurang sehingga menyebabkan interaksi sosial mereka juga
berkurang, yang tersisa hanyalah harga diri dan kemampuan mereka untuk
mengikuti perintah.Teori penarikan diri menyatakan bahwa kemiskinan yang
diderita lansia dan menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan seorang lansia
secara perlahan-lahan menarik diri dari pergaulan di sekitarnya.Teori aktivitas
menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung bagaimana seorang lansia
merasakan kepuasan dalam melakukan aktivitas serta mempertahankan aktivitas
tersebut lebih penting dibandingkan kuantitas dan aktivitas yang dilakukan.
Teori kesinambungan mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus
kehidupan lansia. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan
gambarannya kelak pada saat ia menjadi lansia. Hal ini dapat terlihat bahwa gaya
hidup, perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak berubah meskipun ia telah
menjadi lansia. Teori perkembangan menjelaskan bagaimana proses menjadi tua
merupakan suatu tantangan dan bagaimana jawaban lansia terhadap berbagai
tantangan tersebut yang dapat bernilai positif ataupun negatif. Akan tetapi, teori
ini tidak menggariskan bagaimana cara menjadi tua yang diinginkan atau yang
seharusnya diterapkan oleh lansia tersebut.
Teori stratifikasi usia adalah teori dengan pendekatan yang dilakukan bersifat
deterministik dan dapat dipergunakan untuk mempelajari sifat lansia secara
kelompok dan bersifat makro. Setiap kelompok dapat ditinjau dari sudut pandang
demografi dan keterkaitannya dengan kelompok usia lainnya. Kelemahannya
adalah teori ini tidak dapat dipergunakan untuk menilai lansia secara perorangan,
mengingat bahwa stratifikasi sangat kompleks dan dinamis serta terkait dengan
klasifikasi kelas dan kelompok etnik.
d. Teori Spirtual
Komponen spiritual dan tumbuh kembang merajuk pada pengertian hubungan
individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang arti kehidupan.

3. Perubahan Pada Lansia


a. Perubahan Fisik
1) Sel terjadi perubahan menjadi lebih sedikit jumlahnya dan lebih besar
ukurannya, serta berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya
intraseluler.
2) Sistem persyarafan terjadi perubahan berat otak 10-20%, lambat dalam
respon dan waktu untuk bereaksi serta mengecilnya syaraf panca indera
yang menyebabkan berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran,
menurunnya sensasi perasa dan penciuman sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya masalah kesehatan misalnya glaukoma dan sebagainya.
3) Sistem pendengaran terjadi perubahan hilangnya daya pendengaran pada
telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi,
suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia di
atas umur 65 tahun danpendengaran bertambah menurun pada lanjut usia
yang mengalami ketegangan jiwa atau stress. Hilangnya kemampuan
pendengaran meningkat sesuai dengan proses penuaan dan hal yang
seringkali merupakan keadaan potensial yang dapat disembuhkan dan
berkaitan dengan efek-efek kolateral seperti komunikasi yang buruk
dengan pemberi perawatan, isolasi, paranoia dan penyimpangan
fungsional.
4) Sistem penglihatan terjadi perubahan hilangnya respon terhadap sinar,
kornea lebih terbentuk spesies, lensa lebih suram sehingga menjadi
katarak yang menyebabkan gangguan penglihatan, hilangnya daya
akomodasi, meningkatnya ambang pengamatan sinar, daya adaptasi
terhadap kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam cahaya gelap,
menurunnya lapang pandang sehingga luas pandangnya berkurang luas.
5) Sistem kardiovaskuler terjadi penurunan elastisitas dinding aorta, katup
jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah
menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan
menurunnya kontraksi dan volume. Kehilangan elastisitas pembuluh darah
karena kurangnya efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi,
perubahan posisi dari tidur ke duduk, duduk ke berdiri bisa
mengakibatkan tekanan darah menurun yang mengakibatkan pusing
mendadak, tekanan darah meninggi diakibatkan oleh meningkatnya
resistensi dari pembuluh darah perifer.
6) Sistem muskuloskeletal terjadi perubahan seperti tulang kehilangan cairan
dan rapuh, kifosis, penipisan dan pemendekan tulang, persendian
membesar dan kaku, tendon mengkerut dan mengalami sclerosis, atropi
serabut otot sehingga gerakan menjadi lamban, otot mudah kram dan nyeri
pada sendi serta terjadi tremor. Fleksibilitas otot lansia sudah mulai
menurun, dikarenakan sel-sel yang ada telah berkurang.
7) Sistem endokrin / metabolik pada lansi terjadi perubahan seperti produksi
hampir semua hormon menurun, fungsi paratiroid dan sekesinya tak
berubah. Pituitary, Pertumbuhan hormon ada tetapi lebih rendah dan
hanya ada di pembuluh darah dan berkurangnya produksi dari ACTH,
TSH, FSH dan LH, menurunnya produksi aldosteron, menurunnya sekresi
hormon bonads : progesteron, estrogen, testosterone dan defisiensi
hormonal dapat menyebabkan hipotirodism, depresi dari sumsum tulang
serta kurang mampu dalam mengatasi tekanan jiwa (stess).
8) Sistem Perkemihan terjadi perubahan antara lain ginjal yang merupakan
alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh melalui urine, darah
masuk ke ginjal disaring oleh satuan (unit) terkecil dari ginjal yang
disebut nefron (tempatnya di glomerulus). Kemudian mengecil dan nefron
menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50% sehingga
fungsi tubulus berkurang. Akibatnya, kemampuan mengkonsentrasi urine
menurun, berat jenis urine menurun. Otot-otot vesika urinaria menjadi
lemah, sehingga kapasitasnya menurun sampai 200 ml atau menyebabkan
buang air seni meningkat. Vesika urinaria sulit dikosongkan sehingga
terkadang menyebabkan retensi urine pada pria. Pola berkemih menjadi
tidak normal, seperti banyak berkemih di malam hari.. Hal ini
menunjukkan inkontinensia urin meningkat.

b. Perubahan Mental
Meliputi perubahan dalam memori secara umum. Gejala-gejala memori
cocok dengan keadaan yang disebut pikun tua, akhir-akhir ini lebih cenderung
disebut kerusakan memori berkenaan dengan usia atau penurunan kognitif
berkenaan dengan proses menua. Pelupa merupakan keluhan yang sering
dikemukakan oleh manula, keluhan ini di anggap lumrah dan biasa oleh lansia,
keluhan ini didasari oleh fakta dari peneliti cross sectional dan logitudional
didapat bahwa kebanyakan, namun tidak semua lansia mengalami gangguan
memori, terutama setelah usia 70 tahun, serta perubahan IQ (intelegentia
quotient) tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal,
berkurangnya penampilan, persepsi dan ketrampilan psikomotor terjadi
perubahan daya membayangkan karena tekanan-tekanan dari faktor waktu.

c. Perubahan Psikososial
Nilai seseoarang sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas di
kaitkan dengan peranan dalam pekerjaan.Bila seorang pensiun (purna tugas)
iaakan mengalami kehilangan finansial, status, teman dan pekerjaan.
Merasakan sadar akan kematian, semakin lanjut usia biasanya mereka menjadi
semakin kurang tertarik terhadap kehidupan akhirat dan lebih mementingkan
kematian itu sendiri serta kematian dirinya, kondisi seperti ini benar
khususnya bagi orang yang kondisi fisik dan mentalnya semakin memburuk,
pada waktu kesehatannya memburuk mereka cenderung untuk berkonsentrasi
pada masalah kematian dan mulai dipengaruhi oleh perasaan seperti itu, hal ini
secara langsung bertentangan dengan pendapat orang lebih muda, dimana
kematian mereka tampaknya masih jauh dan karena itu mereka kurang
memikirkan kematian

B. JATUH
1. Pengertian Jatuh
Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata,
yang melihat kejadian mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di
lantai/tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka
(Darmojo & Martono, 2004).
Jatuh merupakan suatu kejadian yang menyebabkan subyek yang sadar
menjadi berada di permukaan tanah tanpa disengaja. Dan tidak termasuk jatuh
akibat pukulan keras, kehilangan kesadaran, atau kejang. Kejadian jatuh tersebut
adalah dari penyebab yang spesifik yang jenis dan konsekuensinya berbeda dari
mereka yang dalam keadaan sadar mengalami jatuh (Stanley, 2006)
2. Faktor Risiko/Penyebab Jatuh pada
Lansia
a. Faktor Intrinsik
Faktor instrinsik adalah variabel-variabel yang menentukan mengapa
seseorang dapat jatuh pada waktu tertentu dan orang lain dalam kondisi yang
sama mungkin tidak jatuh (Stanley, 2006). Faktor intrinsik tersebut antara lain
adalah gangguan muskuloskeletal misalnya menyebabkan gangguan gaya
berjalan, kelemahan ekstremitas bawah, kekakuan sendi. Sinkope yaitu
kehilangan kesadaran secara tiba-tiba yang disebabkan oleh berkurangnya aliran
darah ke otak dengan gejala lemah, penglihatan gelap, keringat dingin, pucat dan
pusing (Shobha, 2005).
b. Faktor Ekstrinsik
Faktor ekstrinsik merupakan faktor dari luar (lingkungan sekitarnya)
diantaranya cahaya ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, tersandung
benda-benda (Shobha, 2005). Faktor-faktor ekstrinsik tersebut antara lain
lingkungan yang tidak mendukung meliputi cahaya ruangan yang kurang terang,
lantai yang licin, tempat berpegangan yang tidak kuat, tidak stabil, atau tergeletak
di bawah, tempat tidur atau WC yang rendah atau jongkok, obat-obatan yang
diminum dan alat-alat bantu berjalan (Darmojo & Martono, 2004)

3. Pencegahan Jatuh pada Lansia


Menurut Shobha (2005), pencegahan jatuh yang dapat dilakukan oleh lansia
antara lain sebagai berikut;
a. Latihan Fisik
Tujuan melakukan aktivitas fisik adalah meningkatkan kekuatan tungkai dan
tangan, memperbaiki keseimbangan, koordinasi, dan meningkatkan reaksi
terhadap bahaya lingkungan. Latihan fisik yang dianjurkan adalah latihan fisik
yang melatih kekuatan tungkai, tidak terlalu berat dan semampunya. Contonya
adalah berjalan kaki, senam lansia, dan latihan keseimbangan.
b. Magement obat-obatan
Mengurangi penggunaan obat yang sifatnya untuk waktu lama misalnya obat
tidur. Gunakan alat bantu berjalan jika memang diperlukan selama pengobatan
c. Modifikasi Lingkungan
1) Atur suhu ruangan supaya tidak terlalu panad atau terlalu dingin untuk
menghindari pusing
2) Taruh barang-barang yang memang sering diperlukan berada dalam jangkauan
tanpa harus berjalan dulu.
3) Gunakan karpet antislip di kamar mandi/jaga kebersihan lantai agar tidak licin
4) Penerangan/cahaya memadai
5) Singkirkan barang-barang yang berserakan di lantai yang biasa untuk melintas.
6) Jaga lantai agar tidak licin
7) Pasang pegangan tangan pada tempat yang diperlukan misalnya kamar mandi
d. Memperbaiki Kebiasaan Lansia
yang Buruk
1) Melakukan perubahan posisi dari posisi duduk atau jongkok ke posisi berdiri
jangan terlalu cepat
2) Jangan mengankat barang yang berat sekaligus
3) Ambil barang dengan cara yang benar dari lanti (dengan cara jongkok, bukan
membungkuk)
4) Hindari olahraga yang berat/berlebihan
e. Alas kaki
1) Hindari sepatu berhak tinggi, pakai sepatu berhak lebar
2) Jangan berjalan hanya dengan kaos kaki karena sulit untuk menjaga
keseimbangan
3) Pakai sepatu antislip (alasnya kasar)
f. Alat Bantu Jalan
Gunakan alat bantu berjalan yang sesuai
g. Memelihara fungsi penglihatan
dan pendenganran dengan baik
h. Memelihara kekuatan tulang
1) Berhenti merokok
2) Hindari konsumsi alcohol
3) Makan-makanan yang bergizi seperti buah, sayur, dan susu untuk memelihara
kekuatan tulang

4. Penanganan Jatuh Pada Lansia


Menurut Australian Government, Department of Health and Ageing (2011)
ada beberapa penanganan jatuh pada lansia antara lain:
a. Menolong diri sendiri jika jatuh
1) Tetap tenang
2) Periksa tubuh anda, apakah ada luka atau patah tulang
3) Jika anda terluka/mengalami cedera atau patah tulang maka jangan bergerak
dan tetaplah diam di tempat lalu teriak minta tolong. Tetap tenang dan jangan
panik
4) Jika tidak ada cedera/patah tulang, cari kursi/meja/tempat yang kokoh di
sekitar anda
5) Bergulinglah ke salah satu sisi

6) Merangkaklah atau geser tubuh ke kursi/meja/furniture yang kokoh/kuat


7) Dengan posisi berlutut, letakkan lengan pada kursi dan pegang erat

8) Letakkan salah satu lutut di depan dan lutut yang lain pada lantai

9) Dorong ke atas dengan tangan dan kaki untuk mendekatkan diri ke kursi. Putar
bokong dan dekatkan ke kursi

10) Duduk dan istirahatlah sebelum mencoba bergerak/berpindah kembali


11) Beritahu perawat anda jika ada telah terjatuh

b. Menolong Lansia Lain yang Jatuh


1) Jangan terburu-buru membangunkan orang yang terjatuh
2) Tenangkan lansia yang jatuh dan tenangkan diri sendiri (penolong)
3) Periksa apakah ada cedera. Jika ada cedera segera panggil bantuan
4) Jika lansia yang jatuh masih bisa bangun, ambil dua kursi letakkan salah satu
di dekat kepala dan satu lagi di dekat kaki lansia yang jatuh.
Berikut ini adalah langkah-langkah menolong lansia yang jatuh.
1) Pastikan lansia yang jatuh mampu bergerak dan melakukan perintah

2) Penolong harus memandu dengan jelas, membantu lansia yang jatuh untuk
berguling ke salah satu sisi
3) Bantu lansia berlutut. Letakkan satu buah kursi di depan lansia.

4) Minta lansia untuk bertopang pada kursi tersebut dan arahkan salah satu kaki
ke depan, injakkan telapak kaki pada lantai.

5) Letakkan satu buah kursi lain di belakang lansia. Minta lansia untuk sedikit
mendorong diri ke belakang menggunakan lengan dan kaki, kemudian duduk
di kursi di belakang. Pandu lansia untuk duduk, jangan mengangkat tubuh
lansia.
BAB III
RINGKASAN JURNAL

Jatuh merupakan masalah terbesar yang dialami oleh lansia. Kejadian jatuh sendiri
sering terjadi di panti werdha dengan angka kejadian dua kali per bed per tahun. Hal ini
disebabkan oleh banyak faktor, yaitu status kesehatan, keadaan kognitif, dan kualitas hidup
para lansia tersebut. Kejadian jatuh akibat gangguan kognitif pada lansia menjadi perhatian
khusus. Pasien di panti werdha, terutama pasien psikogeriatri memiliki risiko yang paling
tinggi.
Beberapa enelitian menunjukkan bahwa intervensi multifaktorial untuk mencegah
insiden jatuh dapat memiliki efek positif. Meskipun pasien dengan gangguan kognitif dan
psikogeriatri memiliki risiko yang paling tinggi, namun belum ada intervensi khusus yang
dilakukan untuk populasi ini. Beberapa intervensi penelitian di panti werdha tidak
memasukkan pasien dengan dementia kedalam kategori penelitiannya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan intervensi pencegahan jatuh secara
multidisipliner dan multifaktorial bagi pasien psikogeriatrik di panti werdha. Selain itu,
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menilai efek dari intervensi ini pada jumlah
jatuh pada populasi ini.
Desain dari penelitian ini adalah cluster randomised controlled trial (RCT), yang
dilakukan pada masing-masing satu ruang perawatan psikogeriatrik di 12 panti werdha di
Netherland (Belanda). 6 panti werdha dijadikan grup kontrol, dan 6 panti werdha lainnya
dijadikan kelompok perlakuan. Penelitian ini dilakukan setelah mendapat persetujuan dari
komite etik, dan dilakukan pada bulan November 2003.
Pada kelompok intervensi, staff umum dan para profesional menerima informasi serta
instruksi pengumpulan data secara verbal dan tulisan, mereka juga menerima informasi
mengenai intervensi yang akan dilakukan. Pada kelompok kontrol, staff umum, manajer
kontrol di ruangan menerima juga informasi dan instruksi pengumpulan data secara verbal
dan tulisan, namun mereka tidak memiliki informasi tentang program pencegahan jatuh,
seluruh pasien menerima perawatan yang biasa.
Peserta penelitian adalah pasien psikogeriatri yang dirawat di ruangan khusus
psikogeriatri, terlepas dari berapa lama mereka dirawat. Pasien yang telah setuju dan
menandatangani informed concern-lah yang akan dijadikan sample penelitian. Jumlah
sample penelitian ini adalah 180 pasien per grup, jadi totalnya adalah 360 orang.
Di setiap pantiwerdha, peneliti memilih satu lingkungan yang akan dimasukkan dalam
penelitian ini, berdasarkan kriteria berikut: minimal 25 tempat tidur, tidak menggunakan
protokol pencegahan jatuh, dan dengan jumlah terbesar pasien mobilisasi. Secara total, enam
bangsal intervensi memiliki 177 tempat tidur dan enam bangsal kontrol memiliki 171 tempat
tidur. Parameter hasil dalam penelitian ini adalah jumlah jatuh di bangsal yang berpartisipasi
selama periode penelitian.
Program intervensi terdiri dari, pengkajian umum khususnya untuk risiko jatuh dan
tambahan instrumen evaluasi kejadian jatuh sebelumnya, pengobatan yang didapat, mobilitas
dan penggunaan alat-alat bantu dan pelindung. Setiap ruang rawat yang diberi intervensi,
diberikan tim pencegahan jatuh multidisipliner, meliputi dua dokter panti werdha, dua
perawat, seorang fisioterapis, dan seorang terapis tambahan. Tim ini melakukan intervensi
pencegahan risiko jatuh selama dua minggu pelaksanaan pencegahan jatuh. Mereka
mendiskusikan setiap pasien di ruang penerimaan.
Pengkajian umum juga dilakukan oleh staff dokter ketika pasien merasa atau memang
terjadi gangguan kesehatan. Tim ini membawa instrumen evaluasi risiko jatuh untuk setiap
pasien, mereka mendiskusikan hasil dari temuan pengkajian tersebut dan mereka
memutuskan pasien mana yang harus diberikan intervensi risiko jatuh tersebut. Kemudian
mereka melakukan kegiatan pencegahan jatuh tersebut, yang mencakuphal-hal berikut:
mengantisipasi situasi yang menyebabkan jatuh, dan memantau asupan obat-obatan,
meliputi : jenis, dosis, dan waktu intake. Disamping pencegahan jatuh spesifik tersebut, tim
juga harus mengimplementasikan seluruh tindakan pencegahan secara umum, termasuk staff
training.
Data yang diperoleh secara prospektif didapat dengan cara bertanya kepada seluruh
orang yang berpartisipasi di ruang rawat tersebut untuk tetap mencatat semua kejadian jatuh
sesuai dengan form laporan. Di akhir, perawat panti werdha mencatat karakteristik subyek
penelitian meliputi umur, jenis kelamin, Barthel indeks score, MMSE score, total obat yang
didapat masing-masing pasien termasuk jenis obat, data penggunaan alarm dan restrain
selama dilakukan penelitian. Data tambahan yang didapatkan adalah jam kerja perawat
ruangan, dan jumlah kejadian jatuh selama 12 bulan penelitian. Hasil yang didapat selama 12
bulan follow up adalah 518 pasien yang mengikuti penelitian : 269 pada grup kontrol, dan
249 pada grup intervensi. Pada grup intervensi, hanya 229 orang yang bersedia mengikuti
penelitian.
Penelitian ini menunjukkan angka kejadian jatuh dari pasien psikogeriatri pada panti
werdha nenurun secara signifikan sesuai dengan target intervensi pencegahan jatuh
multifaktorial.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Analisis Picot
Populasi:
Populasi penelitian ini diperoleh dengan menyebarkan kuisioner pada 317 panti
jompo yang ada di Belanda, setelah itu didapatkan 12 panti jompo yang bersedia
berpartisipasi dalam penelitian ini. Kemudian dari 12 panti jompo tersebut dibagi
menjadi dua kelompok, 6 panti jompo sebagai kelompok kontrol dan 6 panti jompo
sebagai kelompok intervensi. Dari masing-masing panti jompo dipilih satu bangsal
secara acak sebagi tempat penelitian dengan kriteria terdapat 25 tempat tidur, tidak
terdapat protocol penangan pasien jatuh, dan sebagian besar penghuninya dapat
berpindah atau beraktivitas mandiri. Berdasarkan hal tersebut didapatkan kelompok
kontrol dengan jumlah bed 171 (269 orang), sedangkan kelompok intervensi dengan
jumlah bed 177 (249 orang).

Intervention:
Intervensi yang diberikan pada kelompok intervensi terdiri dari penilaian
umum yang berfokus pada risiko jatuh, alat evaluasi risiko jatuh, prevalansi kejadian
jatuh pada lansia, asupan obat-obatan, kemampuan mobilisasi, alat bantu gerak dan
pengamanan. Penilaian risiko jatuh disesuaikan secara individual terhadap intervensi
pencegahan jatuh yang diberikan pada setiap pasien. Pada setiap bangsal terdapat tim
pencegahan jatuh multidisipliner yang terdiri dari staf rutin, yaitu: seorang dokter
geriatri, dua orang perawat, fisiotherapis, dan ahli terapi okupasional. Tim pencegahan
jatuh multidisipliner ini melakukan penilaian medis umum ketika lansia dirawat atau
ketika terjadi perubahan dalam kondisi medis lansia, mengevaluasi risiko jatuh pada
setiap lansia dan memutuskan kegiatan pencegahan individual mana yang diperlukan.
Kemudian dilakukan kegiatan pencegahan jatuh antara lain : mengantisipasi situasi dan
penyebab jatuh, meninjau dan memantau asupan obat-obatan, merancang program
latihan secara individual, secara cermat menilai kembali kebutuhan lansia akan alat bantu
maupun pelindung, dan menjelaskan penggunaan alat bantu tersebut dengan benar.
Selain itu, juga dilakukan peninjauan kembali terhadap bahaya lingkungan yang dapat
menyebabkan risiko jatuh. Selain kegiatan pencegahan risiko jatuh secara spesifik, tim
juga melakukan kegiatan pencegahan risiko jatuh umum seperti pelatihan dan pendidikan
staf.
Comparison :
Penelitian ini membandingkan kelompok kontrol yaitu kelompok yang tidak
diberikan pengenalan intervensi multifaktorial terstruktur untuk mencegah jatuh, dan
kelompok intervensi yaitu kelompok yang diberikan pengenalan intervensi multifaktorial
terstruktur untuk mencegah jatuh. Pada kelompok intervensi, staff umum dan para
profesional menerima informasi serta instruksi pengumpulan data secara verbal dan
tulisan, mereka juga menerima informasi mengenai intervensi yang akan dilakukan.
Pada kelompok kontrol, staff umum, manajer kontrol di ruangan menerima juga
informasi dan instruksi pengumpulan data secara verbal dan tulisan, namun mereka tidak
memiliki informasi tentang program pencegahan jatuh, seluruh pasien menerima
perawatan yang biasa. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok
intervensi memberikan hasil yang lebih positif dibandingkan dengan kelompok kontrol,
dimana ketika pencegahan risiko jatuh lebih diperhatikan dengan program intervensi
tadi, tentunya akan memberikan efek yang lebih baik dibandingkan tidak sama sekali.
Hal ini juga didukung oleh sebuah artikel ilmiah yang berjudul “Hubungan Tes
“Timed Up And Go” Dengan Frekuensi Jatuh Pasien Lanjut Usia” dalam artikel ini
dikatakan bahwa penelitian ini Terhadap subjek penelitian dilakukan pengisian lembar
informed consent, anamnesis ( identitas, riwayat penyakit, riwayat pengobatan, dan
riwayat jatuh) baik autoanamnesis ataupun alloanamnesis, pemeriksaan fisik ( apakah
ada luka atau cacat ekstremitas ) lalu dilanjutkan dengan tes “Timed Up and Go”(tes
TUG) dimana subjek diperintahkan untuk duduk di kursi kemudian bangkit dari kursi
dilanjutkan berjalan 3 m, bebalik arah dan kembali ke kursi dan duduk lagi seperti posisi
semula, kemudian pemeriksa menghitung waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan
tes “Timed Up and Go”. Dari hasil itu didapatkan bahwa Semakin tinggi skor tes TUG
maka frekuensi kejadian jatuh meningkat. Analisis statistik didapatkan hubungan antara
tes TUG dengan frekuensi jatuh adalah bermakna.
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa penting untuk kita mengetahui
faktor-faktor dari risiko jatuh pada lansia, sehingga kita mmapu menentukan prioritas
intervensi yang akan diberikan.
Selain itu, berdasarkan penelitian “Studi Risiko Jatuh Melalui Pemeriksaan
Dynamic Gait Index (DGI) Pada Lansia Di Panti Werdha Hargodedali Surabaya”
ditemukan hasil bahwa dari Hasil pemeriksaan Dynamic Gait Index (DGI) menunjukkan
sebagian besar lansia di Panti Werdha Hargodedali Surabaya mempunyai risiko tinggi
terhadap kejadian jatuh. Sehingga pengelola panti sebaiknya memasukkan pemeriksaan
prediksi jatuh kedalam salah satu tangkaian intervensi rutin yang dilakukan setiap 3
bulan sekali. Bagi petugas kesehatan di panti sebaiknya melakukan latihan keseimbangan
postural dinamik secara bergantian dengan senam lansia sebagai suatu bentuk modifikasi
kegiatan serta salah satu pencegahan kejadian jatuh pada lansia. Penelitian ini
menunjukkan bahwa pentingnya peran tim petugas di panti lansia dalam mencegah risiko
jatuh pada lansia.
Outcome:
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok intervensi memiliki nilai rata-rata
signifikan tingkat kejadian jatuh lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol (tingkat
rasio = 0,64, 95% CI = 0,43-0,96, P = 0,029). Jadi disimpulkan pengenalan intervensi
multifaktorial terstruktur untuk mencegah jatuh mengurangi jumlah signifikan pasien
jatuh.
Time:
Penelitian ini dilakukan mulai tahun 2002 yaitu proses penentuan jumlah sampel.
Penilaian hasil penelitian ini dilakukan selama 12 bulan.

B. Implikasi Keperawatan
Salah satu perubahan fisik yang terjadi pada lansia yaitu perubahan morfologis
pada otot yang menyebabkan perubahan fungsional otot, yaitu terjadi penurunan
kekuatan dan kontraksi otot, elastisitas dan fleksibilitas otot, serta kecepatan dan waktu
reaksi. Penurunan fungsi dan kekuatan otot akan mengakibatkan penurunan kemampuan
mempertahankan keseimbangan postural atau keseimbangan tubuh lansia. Gangguan
keseimbangan tubuh merupakan masalah yang sering terjadi pada lansia. Apabila
gangguan keseimbangan ini tidak dikontrol maka akan meningkatkan risiko jatuh pada
lansia (Kustanto dkk, 2007).
Gunarto (2005) menyatakan bahwa 31%-48% lansia jatuh karena gangguan
keseimbangan. Berdasarkan survei di masyarakat AS, sekitar 30% lansia yang berumur
lebih dari 65 tahun jatuh setiap tahunnya, separuh dari angka tersebut mengalami jatuh
berulang. Insiden di rumah-rumah perawatan (nursing home) 3 kali lebih banyak. Lima
persen dari penderita jatuh ini mengalami patah tulang atau memerlukan perawatan di
rumah sakit. Sedangkan di rumah-rumah perawatan berkisar 50% penghuninya
mengalami jatuh dan memerlukan perawatan di rumah sakit sekitar 10-25%.
Diestimasikan 1% lansia yang jatuh akan mengalami fraktur kolum femoris, 5 % akan
mengalami fraktur tulang lain seperti iga, humerus, pelvis, dan lain-lain, 5%
akanmengalami perlukaan jaringan lunak. Perlukaan jaringan lunak yang serius seperti
subdural hematom, hemarthroses, memar dan keseleo otot juga sering merupakan
komplikasi akibat jatuh (Darmojo,2000).
Faktor-faktor yang menyebabkan jatuh sangat kompleks dan tergantung kondisi
lansia. Di antaranya ada disability, penyakit yang sedang diderita (vertigo dan dizziness
sebesar 13 %, hipotensi ortostatik sebesar 3 %, syncope sebesar 0,3 %); perubahan-
perubahan akibat proses penuaan (penurunan pendengaran, penurunan visus sebesar 2 %,
penurunan status menta l (bingung) sebesar 5 %, penurunan fungsi indera yang lain,
lambatnya pergerakan, hidup sendiri (faktor gaya hidup), gangguan muskuloskeletal
seperti kelemahan otot ekstremitas bawah, gangguan keseimbangan dan gaya berjalan
sebesar 17 % serta serangan tiba-tiba sebesar 9 % (Shobha, 2005).
Dari penjelasan dan isi jurnal diatas maka peran perawat gerontik sangat besar dalam
penatalaksanaan pencegahan kejadian jatuh pada Lansia . Peran perawat antara lain:

1. Peran Perawat sebagai Educator


Peran perawat sebagai edukator adalah perawat dapat memberikan informasi kepada
lansia dan rekan sejawat mengenai cara-cara untuk mencegah lansia mengalami
jatuh, seperti memberikan perhatian ekstra pada lansia, membantu pasien dalam
mobilisasi, menjaga keamanan lingkungan disekitar lansia, mengoptimalkan
penerangan di malam hari, mengawasi lansia terpeleset terutama bila ke kamar
mandi dan hal-hal penting lainnya. Dengan demikian, apabila lansia dan perawat
gerontik lainnya telah memiliki pengetahuan yang cukup, diharapkan insiden jatuh
dapat dicegah.

2. Peran Perawat sebagai Care Giver


Peran perawat sebagai care giver adalah perawat dapat memberikan asuhan
keperawatan kepada lansia mulai dari pengkajian, perumusan diagnosa keperawatan,
perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Dalam hal ini yang lebih diutamakan
adalah pemberian intervensi mengenai risiko jatuh untuk mencegah hal tersebut
dapat terjadi, contohnya seperti pemasangan pengaman pada kedua sisi tempat tidur
lansia, menyingkirkan barang-barang berbahaya, lalu mengingatkan lansia untuk
menyalakan pencahayaan dan menjaga keamanan lingkungan sekitar lansia. Selain
penatalaksanaan umum untuk risiko jatuh, perawat perlu memperhatikan faktor-
faktor yang menyebabkan risiko tinggi jatuh, serta perawat dapat memberikan
penanganan apabila lansia mengalami luka akibat terjatuh yang dapat memperparah
kondisi fisik dan mempengaruhi psikis lansia.

3. Peran Perawat sebagai Konselor


Peran perawat sebagai konselor adalah dapat memberikan konsultasi yang tepat bagi
lansia dan teman sejawat apabila lansia tersebut telah atau pernah mengalami jatuh
dan juga berisiko jatuh, sehingga dapat memberikan solusi untuk menganggulangi
cedera atau luka akibat terjatuh dan memberi saran untuk mencegah terjadinya jatuh.

4. Peran Perawat sebagai Peneliti


a. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perawat sebagai insan
pendidikan juga diharapkan dapat terus mengembangkan ilmu pengetahuan
dengan cara melakukan penelitian yang sesuai dengan kebutuhan lansia. Secara
aktif mengaplikasikan ilmu yang dimiliki, meningkatkan pengetahuan, dan
melakukan penelitian terkait kesehatan lansia, sehingga dapat diaplikasikan
dalam mengatasi permasalahan kesehatan khususnya pada lansia dan status
kesehatan lansia pada umumnya.
b. Menemukan alternatif baru untuk mencegah kejadian jatuh pada Lansia, seperti
memodifikasi lingkungannya, memberikan penyuluhan tentang penanganan jika
lansia terjatuh, dll.
c. Melanjutkan penelitian mengenai berbagai faktor yang digunakan untuk
mencegah terjadi jatuh pada lansia, misalnya mencari tahu apa saja faktor-faktor
penyebab lansia mengalami jatuh, meneliti bagaimana cara terbaik untuk
pencegahannya, apa saja yang harus lebih difokuskan dalam intervensi dan
implementasinya, kemudian dibandingkan dengan jurnal atau penelitian-
penelitian lain, sehingga apabila intervensi tersebut diterapkan berdasarkan
evidence based atau penelitian-penelitian terkini maka diharapkan dapat
menurunkan angka terjadinya jatuh pada lansia.
d. Melakukan lebih dalam penelitian mengenai intervensi-intervensi lain yang
dapat di modifikasi sehingga dapat mengurangi angka kejadian jatuh pada
lansia.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Pencegahan jatuh yang dilakukan pada lansia dilingkungan panti mungkin dan
efektif dalam menurunkan kejadian jatuh pada kelompok lansia dengan risiko jatuh
yang tinggi, tetapi tentu tidak mudah karena diperlukan banyak usaha dari berbagai
pihak.
2. Intervensi pada jurnal ini dapat diterapkan pada kondisi perawatan lansia dirumah
atau pada bangsal khusus geriatri di rumah sakit, tetapi diperlukan penyesuaian
sebelum diadaptasi.
3. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan yang holistik kepada lansia memiliki
peranan penting untuk mengurangi kejadian jatuh pada lansia dengan memberikan
informasi kepada lansia dan rekan sejawat mengenai cara-cara untuk mencegah
lansia mengalami jatuh dan pemberian intervensi mengenai risiko jatuh untuk
mencegah hal tersebut dapat terjadi.

B. Saran
1. Kepada lansia dianjurkan untuk memperhatikan faktor –
faktor yang dapat menyebabkan jatuh baik dari dalam dirinya sendiri ataupun dari
lingkungan sekitar yang dapat menyebabkan kejadian jatuh.
2. Kepada pihak PSTW Wana Seraya diharapkan dapat
lebih memperhatikan faktor – faktor yang dapat menyebabkan lansia jatuh
khususnya dari faktor lingkungan agar dapat melakukan pencegahan dan
menurunkan kejadian jatuh pada lansia.
3. Kepada perawat diharapkan dapat melakukan penelitian
lebih jauh mengenai intervensi-intervensi lain yang dapat di modifikasi sehingga
dapat mengurangi angka kejadian jatuh pada lansia.
DAFTAR PUSTAKA

Australian Government, Department of Health and Ageing. 2011. Falls Can be Preventen : A
Guide to Preventing Falss for Older People. (Online),
(http://www.health.gov.au/internet/main/publishing.nsf/Content/E23F5F7BF8F07264
CA257BF0002043F5/$File/Don%27t%20fall%20for%20it.pdf, diakses, 20 April
2014).

Darmojo & Martono. 2004. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: FKUI

Maryam dkk. 2011. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta : Salemba Medika

Shobha, S.R. 2005. Prevention of Falls in Older Patients. American Academy of Family
Physicians, 72, 81-8, 93-4

Nugroho, Wahyudi. (2008). Keperawatan Gerontik & Geriatrik.Edisi ke 2.Jakarta: EGC

Mubarak dkk. 2009. Ilmu Keperawatan Komunitas : Konsep & Aplikasi. Jakarta : Salemba
Medika
Putri dkk. 2008. Gambaran Kualitas Hidup Lansia yang Tinggal di Panti Sosial Tresna
Werdha Yogyakarta Unit Budhi Luhur. Jurnal Ilmu Keperawatan (JIK), (Online),
Volume 3, No. 2, (http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/32087477_1907-3690.pdf,
diakses 21 Oktober 2012)
Surilena & Agus, D. 2006. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Depresi Pada Lansia di
Jakarta. Majalah Kedokteran Damais, 5(2) : 115-129
Gunarto, Sigit. 2005. Pengaruh latihan four square step terhadap keseimbangan pada lansia.
Tesis. Tidak dipublikasikan. Program Pendidikan Ilmu Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi Medik FKUI. Jakarta.
Pujiastuti, Sri Surini dan Utomo, Budi, 2003. Fisioterapi Pada Lansia. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai