Anda di halaman 1dari 3

Revisi UU KPK, Siasat Jokowi Lemahkan

Pemberantasan Korupsi

Presiden Joko Widodo. (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan)

rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU
KPK). Ia menolak dan menyetujui beberapa poin dalam draf revisi UU KPK yang disusun Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).

Jokowi menolak penyadapan harus izin pihak luar, cukup izin ke dewan pengawas; penyelidik
dan penyidik hanya dari polisi dan jaksa; penuntutan perkara koordinasi dengan Kejaksaan
Agung; serta pengelolaan Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di luar
KPK.

Sementara beberapa poin yang ia dukung adalah pembentukan dewan pengawas, penerbitan
SP3, izin penyadapan ke dewan pengawas, dan status pegawai KPK menjadi ASN.

Jokowi mengatakan perlu revisi terbatas UU KPK agar pemberantasan korupsi semakin efektif.
Ia ingin lembaga antirasuah tetap lebih 'kuat' dari lembaga lain dalam mengusut korupsi.

Mantan wali kota Solo itu menekankan bahwa KPK harus memegang peran sentral dalam
pemberantasan korupsi.

"Saya tidak ada kompromi dalam pemberantasan korupsi, karena korupsi musuh kita bersama,"
kata Jokowi, Jumat pekan lalu.
Lihat juga:
Jokowi soal Pimpinan KPK: Tak Ada Pengembalian Mandat
Kendati demikian, Jokowi tetap dianggap ikut berperan melemahkan KPK. Presiden terpilih itu
dinilai hanya melontarkan omong kosong memperkuat lembaga yang saat ini dipimpin Agus
Rahardjo Cs lewat revisi terbatas.
"Itu siasat saja. Itu bagian dari pelemahan. Niat dan motifnya sudah negatif, karena itu buru-
buru. Urat malunya sudah hilang," kata dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Abdul Ficar
Hadjar.

Ficar menyebut beberapa poin yang didukung Jokowi dalam draf revisi UU KPK mengandung
pelemahan KPK.

Melihat rancangan UU KPK yang disusun DPR, poin-poin yang Jokowi dukung sudah tertulis
dalam beberapa pasal. Pertama soal dewan pengawas. Dalam draf revisi UU KPK, dewan
pengawas diatur dalam BAB VA.

Ketentuan tentang anggota dewan pengawas, terkait tugas, siapa yang bisa menjabat, hingga
tata cara pemilihan tertuang dalam Pasal 37A sampai 37G. Dewan pengawas ini juga
menggantikan keberadaan penasihat KPK.

Salah satu tugas dewan pengawas yang mendapat sorotan adalah soal izin melakukan
penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Itu tertuang di Pasal 37 B ayat (1) huruf b.
Lihat juga:
Fahri Hamzah: Revisi UU KPK Sudah Dibahas Sejak Zaman SBY
Jokowi tak merinci tugas-tugas dari dewan pengawas. Ia hanya mengatakan dewan ini diisi
tokoh masyarakat, akademisi, aktivis antikorupsi, bukan politikus, birokrat, atau penegak hukum
aktif.

Selain itu, Jokowi menyebut pengangkatan anggota dewan pengawas dilakukan cukup oleh
presiden dengan membentuk panitia seleksi. Poin ini berbeda dengan draf, di mana pemilihan
anggota dewan pengawas hampir sama persis seperti pimpinan KPK.

Untuk diketahui, tugas lain dewan pengawas yang tertuang dalam draf perubahan, antara lain
mengawasi kerja KPK, menetapkan kode etik, evaluasi tugas pimpinan dan anggota KPK
setahun sekali, hingga menyerahkan laporan evaluasi kepada presiden dan DPR.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, yang menyatakan mundur sebagai pimpinan, menilai dewan
pengawas tak dibutuhkan. Saut menyebut pengawasan terhadap KPK sudah dilakukan oleh
DPR, pengawas internal, dan sidang praperadilan.

"Apa kurang cukup Komisi III yang mengawasi, rakyat Indonesia, pengawas Internal, ada
praperadilan. Jangan buat buat lembaga baru yang tidak perlu," kata Saut beberapa waktu lalu
kepada CNNIndonesia.com.

Kemudian Jokowi turut mendukung KPK bisa menerbitkan SP3. Namun, syarat penerbitan SP3
yang diusulkan Jokowi berbeda dengan DPR. Ia membatasi maksimal dua tahun, KPK bisa
menghentikan penanganan kasus jika belum selesai.
Lihat juga:
4 Eks Pimpinan Datangi KPK, Revisi UU Dinilai Tergesa-gesa
Dalam draf revisi, Pasal 40 disebutkan KPK berwenang menghentikan penyidikan dan
penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu paling lama satu tahun.

Penghentian penyidikan dan penuntutan ini wajib dilaporkan kepada dewan pengawas.
Penghentian perkara tersebut bisa dicabut bila KPK menemukan bukti baru yang dapat
membatalkan alasan penghentian perkara itu.

Jokowi maupun DPR seakan tak berkaca dari pengusutan kasus korupsi pengadaan e-KTP, jika
memberikan batas waktu dalam mengusut perkara.

KPK baru bisa mengungkap pelaku lainnya dan membongkar aliran uang korupsi yang
merugikan negara hingga Rp2,3 triliun itu dalam waktu lebih dari empat tahun sejak dimulai
penyidikan pada 2014 lalu.
Jika diberikan batas waktu mengusut perkara, maka lembaga antikorupsi itu kemungkinan hanya
mengungkap pelaku lapangan, sementara otak dan penikmat uang haram itu tak tersentuh.
Sementara korupsi itu kejahatan yang kompleks dan sistematis.

Ficar menilai kewenangan SP3 ini membuat KPK tak independen dalam mengusut perkara
seperti penegak hukum lain. Ia juga khawatir kewenangan mengeluarkan 'surat sakti' itu
berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomis.
Lihat juga:
Busyro Duga Isu Polisi Taliban di KPK Dimainkan dari Istana
Menurutnya, dalam perspektif pembuktian sebenarnya telah diatur soal penghentian kasus di
tingkat penyelidikan, yang tertuang dalam Pasal 44 ayat (3) UU KPK yang berlaku hari ini.

Di sisi lain, Ficar menyatakan secara teoritis pemberian kewenangan menerbitkan SP3 bagi KPK
juga tak berdasar. Setidaknya ada tiga dasar lembaga penegak hukum menghentikan perkara.

Pertama SP3 bisa dikeluarkan jika peristiwa yang disidik bukan peristiwa pidana. Kedua SP3
dengan dasar kurangnya alat bukti. Ketiga SP3 bisa dilakukan demi hukum, yakni tersangka
meninggal dunia, kadaluarsa tindak pidananya, dan 'nebis in idem' sudah pernah diputus
pengadilan negeri.

"Jadi tidak ada landasan teoritisnya SP3 didasarkan pada waktu penyidikan, karena sudah ada
alat kontrol terhadap tindakan penegak hukum termasuk KPK yang membuat seseorang yang
jadi tersangka orang dalam waktu lama," ujarnya.

Selanjutnya, Jokowi mendukung perubahan status kepegawaian KPK. Pegawai, baik penyelidik
dan penyidik KPK bakal menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan
perjanjian kerja (PPPK).

Poin tersebut tertuang dalam Pasal 1 angka 7 draf revisi UU KPK. Padahal selama ini, merujuk
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen SDM, pegawai KPK
terdiri dari pegawai tetap, pegawai negeri sipil yang dipekerjakan, dan pegawai tidak tetap.

Lihat juga:
Agus Rahardjo Kembali Surati DPR terkait Revisi UU KPK
Jokowi menyebut butuh waktu transisi untuk mengalihkan status kepegawaian KPK dan
dijalankan penuh kehati-hatian. Menurutnya, pegawai, termasuk penyelidik dan penyidik KPK
yang ada saat ini masih terus menjabat dan mengikuti proses transisi menjadi ASN.

Namun, gagasan Jokowi soal perubahan status pegawai KPK menjadi ASN dikritik. Koordinator
Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman perubahan status kepegawaian
dalam draf revisi UU KPK ini merupakan bentuk pelemahan.

"Status ASN makin melemahkan KPK karena menjadi seperti zaman Orba," tutur Boyamin
kepada CNNIndonesia.com.

Boyamin menilai pegawai KPK yang berstatus ASN nanti akan patuh terhadap kekuasaan
seperti era Orde Baru. Menurutnya, status tersebut akan sulit mengusut kasus korupsi karena
sudah tak independen dan menjadi bagian pemerintah setelah menjadi ASN.

"Sebagaimana terjadi pada Polri dan Kejagung yang susah untuk memberantas korupsi
dikarenakan terlalu banyak intervensi," katanya.

Anda mungkin juga menyukai