Anda di halaman 1dari 17

Prilaku Konsumen dalam Perspektif Ekonomi

Islam
Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah Studi Al-Qura’an dan
Hadisyang Dibimbing oleh :

Dr. H. Kasman, M.Fil.I.

Oleh :
Dawimatus Sholihah
( 839219029 )

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


PASCA SARJANA IAIN JEMBER
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Yang Maha segala-galanya karena
Atas bimbingannya kita bisa menyelesaikan tugas makalah ini sesuai dengan apa
yang diharapkan yaitu tentang “ Studi Al-qur’an dan Hadis Tentang Prilaku
Konsumen”. Sholawat serta salam tak lupa pula kita panjatkan kepada junjungan
kita Rasulullah Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah
menuju jalan yang penuh rahmat yakni Agama Islam.

Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak


kesalahan dan kekurangan, baik dalam penyusunan kata, bahasa, dan sistematika
pebahasannya. Kritikan, masukan serta saran yang konstruktif kami butuhkan
demi kesempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang. Dan juga kami
sampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang turut berpartisipasi
dalam proses penyusunan tugas makalah ini, karena kami sadar sebagai mahluk
sosial, kami tidak dapat berbuat banyak tanpa adanya interaksi dengan orang lain
dan tanpa adanya bimbingan, serta rahmat dan karunia dari Nya. Amin.......

Jember, Selasa 19 November 2019

Penulis
BAB 1

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Perbedaan Manusia dengan Mahluk Ciptaan ALLAH S.W.T lainnya


adalah Manusia diberi kelebihan berupa akal dan nafsu. Fungsi akal dan
nafsu tersebut harus dilandasi dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah
SWT Supaya seorang muslim dalam menjalankan hidupnya selalu berada
pada jalan yang lurus dan sesuai dengan maqasidus syariah..

Setiap manusia umumnya selalu mempunyai keinginan dan kebutuhan.


Keinginan dan kebutuhan inilah yang menjadi salah satu faktor timbulnya
pemintaan dan konsumsi.Perbedaan antara ekonomi konvensional dan
ekonomi islam dalam hal konsumsi terletak pada tujuan dari konsumsi itu
sendiri. Dalam Ekonomi konvensional tujuan konsumsi adalah untuk
memperoleh kepuasan (utility). Sementara tujuan konsumsi dalam ekonomi
islam adalah untuk mendapatkan maslahah yang maksimum guna mencapai
falah (kebahagiaan dunia dan akhirat). Dimana kandungan dalam maslahah
itu sendiri ada manfaat dan berkah.

Selain Itu perbedaan Antara Ekonomi Konvensional dan Ekonomi


Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatannya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Konsumen konvensional tidak mengenal halal dan
haram dalam kegiatan konsumsinya, meka hanya melakukan kegiatan
konsumsi berlandaskan Rasionalisme dan Utility, kedua nilai dasar ini yang
membentuk prilaku konsumsi yg hedonisme. Sementara Prilaku konsumsi
dalam Ekonomi Islam harus memperhatikan hubungan dirinya dengan Allah
(Hablum Minallah) misalnya mengumsi suatu barang dan jasa yang halal,
serta juga memperhatikan Hubungan dengan manusia (Hablum Minannas)
misalnya dalam setiap prilaku konsumsinya konsumen muslim harus juga
peduli dan mengingat bahwa ada hak orang lain dari harta yang miliki dan
harus dikeluarkan dalam bentuk zakat, infak dan shodaqoh.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar belakang yang telah di uraikan dapat daimbil kesimpulan


rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa Definisi konsumsi dan Prilaku konsumen?


2. Bagaimana landasan hukum konsumsi dalam Al – Qur’an dan Hadis?
3. Bagaimana Tujuan, Prinsip dan Prilaku konsumen berdasarkan kaidah –
kaidah Ekonomi Islam?
BAB II
PEMBAHASAN

Dalam Teori Ekonomi Mikro disebutkan bahwa permintaan (demand),


harga (Price), dan penawaran (supply) bergantung pada individu dalam suatu
perekonomian.1 Permintaan berasal dari pihak konsumen dan penawaran
berasal dari pihak produsen. Pandangan Ekonomi Islam terhadap permintaan,
penawaran, dan mekanisme pasar relatif sama dengan teori konvensional.
Sementara perbedaannya terletak pada batasan-batasan dari individu untuk
melakukan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan syariah islam, moral islami,
dan norma.

Islam mewajibkan semua pemeluknya untuk melakukan kegiatan


konsumsi terhadap suatu barang yang halal dan juga baik (halalan toyyiban).
Islam juga melarang seorang muslim mengkonsumsi suatu barang yang
diharamkan, kecuali dalam keadaan darurat. Selain itu batasan lain yang
harus dipahami oleh seorang muslim adalah terkait batasan anggaran (
budget constraint), batasan anggaran artinya bahwa seorang muslim tidak
melalukan kegiatan konsumsi yang berlebihan (Israf) dan harus
mengutamakan kebaikan (Maslahah).

A. Definisi Konsumsi dan Prilaku Konsumen

Definisi konsumsi adalah setiap kegiatan memanfatkan, menghabiskan


kegunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dalam upaya menjaga
kelangsungan hidup.2 Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan
bahwa konsumsi yaitu pemakaian barang hasil produksi (bahan makanan,
pakaian dan sebagainya), barang-barang yang langsung memenuhi kebutuhan
hidup kita.3

1
Veithzal Rivai Zainal, Nurul Huda, Ratna Ekawati, Sri Vandayuli Riorini, Ekonomi Mikro Islam,
(Jakarta : Bumi Akasara, 2018), h. 180.
2
Suharyono, Prilaku konsumen dalam perspektif Ekonomi Islam, Jurnal Al – Intaj Vol.4 No 2,
2018, h.308.
3
Rahmat Ilyas, Etika konsumsi dan kesejahteraan dalam Perspektif Ekonomi Islam, Jurnal At –
tawassuth Vol. 1 No 1, 2016, h. 153.
Sementara pengertian Prilaku Konsumsi adalah tanggapan atau reaksi
individu yang terwujud dalam gerakan (sikap), tidak saja badan atau ucapan.
Perilaku didasari oleh berbagai faktor baik dalam diri pribadi secara internal
maupun dari faktor luar.4

Menurut Kotker dalam The American Marketing Assosiation,


sebagaimana dikutip Nugroho J. Setiadi, prilaku konsumen merupakan
interaksi dinamis antara afeksi dan kognisi, perilaku dan lingkungannya, di
mana manusia melakukan kegiatan pertukaran dalam hidup mereka. Dari hal
tersebut terdapat tiga ide penting yang dapat disimpulkan yaitu 5:

1) perilaku konsumen adalah dinamis


2) hal tersebut melibatkan interaksi antara afeksi dan kognisi, perilaku
dan kejadian di sekitar
3) juga melibatkan pertukaran.

B. Landasan Hukum Prilaku Konsumsi dalam Al –Qur’an dan Hadis

Dalam Perspektif Ekonomi islam, Islam tidak menganjurkan


permintaan (konsumsi) suatu barang dengan tujuan kemahalan, kemegahan,
dan kemubadziran. Bahkan dalam Islam diperintahkan anjuran mengeluarkan
zakat, infak dan shodaqoh bagi seorang muslim yang hartanya sudah
mencapai nisab. Sebagaimana disebutkan dalam fiirman ALLAH S.W.T
terkait Anjuran islam dalam prilaku konsumsi, ALLAH telah berfirman
dalam surat Al- Maidah ayat 87-88 berikut ini :

ُّ‫ت َماا َ َح َّل ََّّلاُ لَ ُك ْم َوالَ تَ ْعتَد ُ ْوا ا َِّن ََّّلاَ الَي ُِحب‬
ِ ‫ط ِيّب‬َ ْ‫يَئآّيُّ َهاالَّ ِذ يْنَ َءا َمنُ ْواْالَت ُ َح ِ ّر ُم ْوا‬
) ( َ‫ومنُ ْو ن‬ ْ ‫َّلا الَّذ‬
ِ ‫ِي ا َ ْنت ُ ْم ِب ِه ُم‬ َ ً‫ْال ُم ْعت َ ِديْنَ ( ) َو ُكلُ ْواْ ِم َّما َرزَ قَ ُك ُم ََّّلاُ َحلَال‬
َ َّ ْ ‫ط ِيّبًا َواتَّقُ ْو‬

4
Ibid.,
5
Sri wigati, Prilaku Konsumen dalam Perspektif ekonomi Islam, Jurnal Maliyah Vol.1 No 1,
2011, h.25.
Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa – apa yang
baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui
batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang – orang yang melampaui
batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang telah
Allah rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu
beriman kepadanya.

Dalam Sebuah Hadis juga disebutkan

‫عل ْي ِه َو‬ ّ ‫ص َّل‬


َ ِ‫َّلا‬ ِ َّ ‫س ْو ُل‬
َ ‫َّلا‬ ُ ‫ع ْن َج ِدّ ِه قَا َل قَا َل َر‬
َ ‫ب َع ْن اَبِ ْي ِه‬ ٍ ‫ش َع ْي‬ َ ‫ع ْن‬
ُ ‫ع ْم ِراب ِْن‬ َ
)‫سا ِءي‬ َ ‫غي ِْر اِ ْس َرا فٍ َوالَ َم ِخ ْي َل ٍة‬
َ َّ‫(ر َواهُ الن‬ َ ‫س ْوا ِفي‬ ُ ‫صدَّقُ ْوا َو ْال َب‬
َ َ ‫سلَّ ْم ُكلُ ْوا َو ت‬
َ

Artinya : Dari Amr bin syuaib dari ayahnya dari kakeknya berkata,
rasulullah SAW bersabda : “ Makan dan minumlah, Bersedekahlah serta
berpakaianlah dengan tidak berlebihan dan tidak sombong.

C. Tujuan Konsumsi

Dalam teori ekonomi disebutkan jika manusia adalah makhluk


ekonomi yang selalu berusaha memaksimalkan kepuasannya dan selalu
bertindak rasional. Para konsumen akan berusaha memaksimalkan
kepuasannya selama kemampuan finansialnya memungkinkan. Mereka
memiliki pengetahuan tentang alternatif produk yang dapat memuaskan
kebutuhan mereka.6

Dalam teori ekonomi konvensional Konsumen di asumsikan dalam


prilaku konsumsi bertujuannya untuk mendapatkan kepuasan (utility). Utility
secara bahasa berarti (Usefullnesss), membantu (helpfulness) dan
menguntungkan (Advantage). Sementara dalam konteks Ekonomi kepuasan
(Utility) diartikan sebagai keguanaan barang yang dirasakan oleh seorang

6
Sri wigati, Prilaku Konsumen dalam Perspektif ekonomi Islam, Jurnal Maliyah Vol.1 No 1,
2011, h. 23.
Konsumen ketika mengonsumsi sebuah barang. Artinya Utilitas sering kali
dimaknai sebagai kepuasan yang dirasakan oleh konsumen dalam
mengonsumsi sebuah barang.7

Sementara Tujuan konsumen dalam melakukan kegiatan Konsumsi


menurut Teori Ekonomi Islam adalah untuk mendapatkan mashlahah guna
mencapai Falah (Kebahagian dunia dan Akhirat).8 Kandungan dalam
mashlahah itu sendiri adalah manfaat dan berkah. Seorang konsumen
muslim dalam setiap kegiatan konsumsinya akan selalu mempertimbangkan
manfaat dan berkah yang dihasilkan. Konsumen akan merasakan suatu
manfaat dari kegiatan konsumsinya saat dia mendapatkan pemenuhan
kebutuhan psikis, fisik dan material. Sementara berkah akan diperoleh saat
konsumen mengkonsumsi barang ataupun jasa yang dihalalkan dalam
syaria’at Islam.

Misalkan Seseorang yang menonton acara Televisi maka dia bisa


memilih channel mengenai berita Ekonomi, Politik, Hukum, Berita kriminal,
Hiburan musik, Infotaiment, dan lain sebagainya. Setiap acara di channel
Televisi tersebut dirancang untuk memberikan manfaat bagi penontonnya,
baik berupa layanan informasi maupun kepuasan psikis. Kepuasan psikis dan
layanan informasi inilah yang disebut Mashlahah duniawi atau manfaat.
Sementara menonton dimungkinkan mendapatkan Berkah tergantung tujuan
dan jenis tontonannya. Misalkan ketika seseorang menonoton Acara berita
kriminal yang mengungkap cacat (aib) seseorang tanpa tujuan yang benar,
maka ia cenderung mendorong dilakukannya Ghibah yang dilarang dalam
Islam, Sehingga ia tidak mendapatkan berkah dari Acara yang ditonton
tersebut. Tetapi akan berbeda jika konsumen menonton acara Televisi yang
menayangkan informasi atau berita yang baik, maka ia akan mendapatkan
kedua – duanya yaitu kepuasaan psikis (manfaat) dan berkah.

7
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta atas kerja sama dengan Bank Indonesia, Ekonomi Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2014), h. 127.
8
Ibid., h.129
Hukum Penurunan Utilitas Marginal

Hukum utilitas marginal (Law of diminishing marginal utility) dikenal


Dalam Teori Ekonomi Konvensional. Hukum ini mengatakan jika seseorang
mengkonsumsi suatu barang dengan frekuensi yang di ulang –ulang, maka
nilai tambahan kepuasan kepuasan dari konsumsi berikutnya akan semakin
menurun.9

Utilitas marginal (MU) adalah tambahan kepuasan yang diperoleh


konsumen karena adanya peningkatan barang atau jasa yang akan
dikonsumsi. Untuk memberikan penggambaran yang lebih jelas, Ilustrasi
dibawah ini menyajikan Utilitas marginal (MU)

Frekuensi Total Kepuasan Utilitas


Konsumsi (2) Marginal
(1) (3)
1 10 -
2 18 8
3 24 6
4 28 4
5 30 2
6 32 2
7 32 0
8 30 -2

Dari tabel diatas terlihat bahwa nilai utilitas marginal semakin


menurun, Hal ini disebabkan Jika seseorang mengkonsumsi barang atau jasa
secara terus –menerus maka akan muncul adanya rasa kebosanan.

Hukum Mengenai Maslahah Marginal


Hukum mengenai penurunan utilitas marginal tidak selamanya berlaku
pada maslahah. Tujuan Konsumsi dalam Ekonomi Islam adalah Maslahah,
sementara formulasi dari Maslahah itu sendiri adalah Manfaat dan Berkah 10 :

9
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta atas kerja sama dengan Bank Indonesia, Ekonomi Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2014), h. 145.
10
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta atas kerja sama dengan Bank Indonesia, Ekonomi Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2014), h. 135.
M=F+B

Keterangan :
M = Maslahah
F = Manfaat
B = Berkah

Maslahah dalam konsumsi tidak seluruhnya langsung dapat kita


rasakan, terutama maslahah akhirat (Berkah), Sementara Maslahah dunia
(Manfaat) bisa kita rasakan setelah konsumsi. Dalam hal berkah dengan
meningkatnya frekuensi kegiatan, maka tidak ada penurunan berkah karena
pahala yang diberikan atas ibadah Mahdhah (amal Sholeh) yaitu Ibadah yang
tidak secara langsung teekait dengan kemanfaatan dunia bagi pelakunya.

Dalam Teori Maslahah ada yang disebut dengan maslahah Marginal


(MM), maslahah Marginal (MM) adalah perubahan Maslahah, baik berupa
manfaat ataupun berkah, sebagai akibat berubahnya jumlah barang yang
dikonsumsi.11

Ilustrasi dibawah ini menyajikan tentang Maslahah Marginal (MM).

Frekuensi Pahala Maslahah Marginal


kegiatan (2) (1 x 2) Maslahah
(1)
1 700 700 700
2 700 1.400 700
3 700 2.100 700
4 700 2.800 700
5 700 3.500 700
6 700 4.200 700
7 700 4.900 700
8 700 5.600 700

Jadi dapat kita simpulkan bahwa konsumsi menurut Ekonomi


Konvensional yang memiliki tujuan Utility (Kepuasan), Jika dikonsumsi
secara terus – menerus maka akan menurunkan tingkat kepuasan itu sendiri

11
Ibid., h. 147.
sehingga timbul rasa kebosanan, Penurunan kepuasaan ini dikenal dengan
Hukum utilitas marginal (Law of diminishing marginal utility). Berbanding
terbalik dengan Ekonomi Islam yang mempunyai tujuan konsumsi yaitu
Maslahah (manfaat dan Berkah), Pada tabel Marginal maslahah
menunjukkan bahwa marginal maslahah adalah konstan, Jadi Seorang
konsumen mukmin Tidak akan mengalami kebosanan dalam melakukan
ibadah madhah. Ini terlihat dari nilai maslahah marginal dari kegiatan ini
yang konstan tidak mengalami penurunan seperti halnya pada kasus utilitas.

D. Konsep Kebutuhan dan keinginan Dalam Teori Konsumsi

Teori konsumsi lahir karena adanya teori permintaan terhadap barang


ataupun jasa. Sedangkan permintaan akan barang dan jasa timbul karena saat
adanya faktor kebutuhan (need) dan keinginan (want).

Kebutuhan (need) adalah segala sesuatu yang diperlukan agar manusia


berfungsi secara sempurna. Kebutuhan terkait dengan segala sesuatu yang
harus dipenuhi agar suatau barang berfungsi secara sempurrna. 12 Misalkan
genting, tembok, pintu dan jendela merupakan kebutuhan disaat kita
membangun Rumah. Contoh lain Baju sebagai penutup aurat, Sepatu sebagai
pelindung kaki, dan Kendaraan dibutuhkan sebagai alat Transportasi

Sementara Keinginan (want) terkait dengan hasrat atau harapan seseorang


yang jika dipenuhi belum tentu akan meningkatkan kesempurnaan fungsi dari
suatu barang.13 Misalkan disaat seseorang membangun rumah ia
menginginkan adanya warna yang sesuai dengan keinginannya, interior yang
rapi dn indah, ruangan yang longgar dan lain sebagainya, Semuaa itu belum
tentu menambah fungsi suatu rumah tinggal, tetapi akan memberikan
kepuasan kepada pemiliknya. Keinginan (wants) bersifat subjektif tidak bisa

12
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta atas kerja sama dengan Bank Indonesia, Ekonomi Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2014), h. 130.
13
Ibid., h. 130.
dibandingkan antar satu orang dengan orang lain, Perbedaan desain rumah,
Pilihan warna, aroma adalah cerminan dari keinginan.

Secara umum perbedaan kebutuhan (need) dan keinginan (want)


sebagaimana dalam tabel berikut :

Karakteristik Keinginan (Need) Kebutuhan (Want)

Sumber Hasrat (Nafsu) manusia Fitrah Manusia

Hasil Kepuasan (Utility) Manfaat dan Berkah

Ukuran Prefensi atau selera Fungsi

Sifat Subjektif Objektif

Tuntunan Dibatasi atau


Dipenuhi
Islam dikendalikan

E. Norma atau Etika konsumsi Menurut Ekonomi Islam

Orang Muslim harus mengendalikan pola konsumsi dan pola hidupnya


Sebab Dalam Ajaran Islam dianjurkan adanya pengeluaran untuk
kepentingan orang lain dalam bentuk Zakat, Infak dan Shodaqoh, yang
diperuntukkan untuk fakir miskin beserta 8 golongan mustahik yang sudah
disebutkan dalam Al-quran sebagaimana disebutkan dalam.

Menurut Ajaran Islam adapun Norma (aturan) mengenai bagaimana


kegiatan konsumsi yang sesuai dengan Syaria’at islam adalah sebagai berikut
:14

a. Tidak boleh berlebih – lebihan (melampui batas)


Dalam surat Al – Maidah ayat 87 di atas telah disebutkan bahwa Allah
Tidak menyukai orang yang berlebih – lebihan (melampaui batas).

14
Veithzal Rivai Zainal, Nurul Huda, Ratna Ekawati, Sri Vandayuli Riorini, Ekonomi Mikro
Islam, (Jakarta : Bumi Akasara, 2018), h. 195-196.
َ‫ت َماا َ َح َّل ََّّلاُ َل ُك ْم َوالَ ت َ ْعتَد ُ ْوا ا َِّن ََّّلا‬ َ ْ‫َيئآّيُّ َهاالَّ ِذ يْنَ َءا َمنُ ْواْالَت ُ َح ِ ّر ُم ْوا‬
ِ ‫ط ِيّب‬
َ‫الَي ُِحبُّ ْال ُم ْعت َ ِديْن‬
Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa –
apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah
kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang –
orang yang melampaui batas

Arti kata berlebih – lebihan disini mengandung arti kemubadziran, dan


mengonsumsi barang- barang yang dianggap tidak perlu. Dalam
Ekonomi Islam yang tidak berlebih – lebihan di dorong oleh faktor
Keinginan (Wants). Dan bukan faktor kebutuhan (needs)

b. Menkonsumsi yang Halal dan Baik (Halalan Toyyiban)


Dalam Surat Almaidah ayat 88 juga di jelaskan

ْ ‫َّلا الَّذ‬
ِ ‫ِي ا َ ْنت ُ ْم ِب ِه ُم‬
َ‫ومنُ ْو ن‬ َ ً‫َو ُكلُ ْواْ ِم َّما َرزَ َق ُك ُم ََّّلاُ َحلَال‬
َ َّ ْ ‫ط ِيّبًا َواتَّقُ ْو‬
Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang telah
Allah rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu
beriman kepadanya.
Yang Membedakan antara kegiatan konsumsi konvensional dan
kegiatan konsumsi yang Islami terletak pada prinsip bahwa seorang
muslim dibatasi dengan barang ataupun jasa yang halal dan baik
(Halalan Toyyiban). Dalam Islam tidak boleh mengonsumsi ataupun
memperjual belikan suatu barang atau jasa yang diharamkan.
Berkaitan dengan Aturan pertama tentang larangan berlebih – lebihan ,
suatau barang yang halalpun tidak boleh kita konsumsi secara
berlebihan sesuai yang kita inginkan, tetapi harus kita batasi
secukupnya sesuai yang kita butuhkan untuk menghindari kemewahan,
berlebih – lebihan dan kemubadziran.
Sementara Etika konsumsi dalam Islam menurut yusuf Qardawi
diantaranya 15 :

a. Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir


Allah menganjurkan kita agar menjauhi sifat kikir Sebagaimana
disebutkan dalam surat Ali Imran ayat 180 :

‫ُه َو َخي ًْرا لَّ ُهم‬ ْ َ‫سبَ َّن الَّ ِذ يْنَ َي ْب َخلُ ْونَ بِ َما َءاتَ ُه ُم ََّّلاُ ِم ْن ف‬
‫ض ِل ِه‬ َ ‫َوالَ َي ْح‬
ُ َ ‫َو ِ َّّلِلِ ِميْرا‬
‫ث‬ ‫ط َّوقُ ْونَ َما َب ِخلُ ْواْبِ ِه يَ ْو َم ا ْل ِقيَ َم ِة‬
َ ُ‫سي‬َ ‫بَ ْل ُه َوش ٌَّرلَّ ُه ْم‬
) (‫َّلاُ بِ َما ت َ ْع َملُ ْونَ َخبِيْر‬
َّ ‫ض َو‬ ِ ‫ت َواْال ْر‬ ِ ‫س َموا‬ َّ ‫ال‬
Sekali – kali janganlah orang – orang yang Bakhil (Pelit) dengan
harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya
menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya
kebakhilan buruk itu buruk bagi mereka. Harta yang mereka
bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya pada hari kiamat.
Dan Kepunyaan Allah Lah segala yang ada di langit dan yang ada
di bumi. Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan
b. Tidak melakukan kemubadziran.
Seperti yang disebutkan dalam surat Al maidah ayat 87 :

‫ت َماا َ َح َّل ََّّلاُ لَ ُك ْم َوالَ ت َ ْعتَد ُ ْوا ا َِّن‬ َ ْ‫َيئآّيُّ َهاالَّ ِذ يْنَ َءا َمنُ ْواْالَت ُ َح ِ ّر ُم ْوا‬
ِ ‫ط ِيّب‬
َ‫ََّّلاَ الَي ُِحبُّ ْال ُم ْعت َ ِديْن‬
Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa –
apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah
kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang
– orang yang melampaui batas.
c. Menjauhi hutang sehingga setiap muslim diperintahkan untuk
menyeimbangkan pendapatan dengan pengeluarannya
Dalam sebuah Hadis dijelaskan mengenai hutang

15
Ibid., h. 256.
ُّ َ‫سلَّ ْم َم ْن َفا َرق‬
‫الر ْو ُح‬ َ ‫عل ْي ِه َو‬ ّ ‫ص َّل‬
َ ِ‫َّلا‬ َّ ‫س ْو ُل‬
َ ِ‫َّلا‬ ُ ‫ع ْن ث َ ْوبًا قَا َل َر‬َ
َّ‫ث دَ َخ َل ال َجنَّةَ ِمنَ ال ِكب ِْر َو ْالغُلُ ْو ِل َو الد‬ٍ َ‫ىء ِم ْن ثَال‬ْ ‫سدَ َو ُه َو َب ِر‬َ ‫ال َج‬
‫ي ِْن‬
Dari Tsauban , Rasulullah SAW bersabda “ Barangsiapa yang
ruh nya terpisah dari jasadnya terbebas dari 3 hal : 1. Sombong ,
2. Khianat, 3. Hutang maka dia akan masuk surga.
d. Menjaga aset yang mapan dan pokok
e. Tidak hidup mewah dan boros.
Allah menganjurkan manusia untuk tidak hidup mewah dan boros,
sebagaimana di sebutkan dalam surat Al Isra’ ayat 26 – 28 .

َّ ‫ت ذَا ْالقُ ْربَى َحقَّهُ َو ْال ِم ْس ِكيْنَ َوابْنَ ْال‬


) (‫س ِب ْي ِل َوالَ تُبَذّ ِْر ت َ ْب ِذ ي ًْرا‬ ِ ‫َو َءا‬
َ ‫ش ْي‬
‫ط ُن ِل َر ِبّ ِه َكفُ ْو ًرا‬ َّ ‫شيَ ِطي ِْن َو َكانَ ال‬ َّ ‫ا َِّن ْال ُمبَ ِذّ ِر يْنَ َكا نُ ْو ا ِْخ َوا نَ ال‬

‫ض َّن َع ْن ُه ُم ا ْب ِتغَا َء َر ْح َم ٍة ِم ْن َّر ِبّ َك تَ ْر ُج ْوهَا فَقُ ْل لَّ ُه ْم‬


َ ‫( ) َواِ َّما ت ُ ْع ِر‬
) ( ‫س ْو ًرا‬ُ ‫قَ ْوالً َّم ْي‬
Dan berikanlah kepada keluarga – keluarga yang dekat haknya
kepada orang miskin, orang yang dalam perjalanan, dan janganlah
kamu menghambur – hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros – pemboros itu adalah saudara –
saudaranya syaitan dan syaitan itu sangat ingkar kepada
tuhannya. Jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh
rahmat dari tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah
kepada mereka ucapan yang pantas.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Islam mewajibkan semua pemeluknya untuk melakukan kegiatan
konsumsi terhadap suatu barang yang halal dan juga baik (halalan
toyyiban). Islam juga melarang seorang muslim mengkonsumsi suatu
barang yang diharamkan, kecuali dalam keadaan darurat.
2. Dalam teori ekonomi konvensional Konsumen di asumsikan dalam prilaku
konsumsi bertujuannya untuk mendapatkan kepuasan (utility. Sementara
Tujuan konsumen dalam melakukan kegiatan Konsumsi menurut Teori
Ekonomi Islam adalah untuk mendapatkan mashlahah guna mencapai
Falah (Kebahagian dunia dan Akhirat).
3. Kegiatan konsumsi menurut Ekonomi Konvensional yang memiliki tujuan
Utility (Kepuasan), Jika dikonsumsi secara terus – menerus maka akan
menurunkan tingkat kepuasan itu sendiri sehingga timbul rasa kebosanan,
Penurunan kepuasaan ini dikenal dengan Hukum utilitas marginal (Law of
diminishing marginal utility). Berbanding terbalik dengan Ekonomi Islam
yang mempunyai tujuan konsumsi yaitu Maslahah (manfaat dan Berkah),
Maslahah dunia (Manfaat) bisa kita rasakan langsung setelah kegiatan
konsumsi. Sementara berkah dengan meningkatnya frekuensi kegiatan,
maka tidak ada penurunan berkah.
DAFTAR PUSTAKA

Ilyas, Rahmat. 2016. Etika konsumsi dan kesejahteraan dalam Perspektif


Ekonomi Islam. Jurnal At – tawassuth Vol. 1 No 1.

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam


Indonesia Yogyakarta atas kerja sama dengan Bank Indonesia. 2014. Ekonomi
Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Suharyono. 2018. Prilaku konsumen dalam perspektif Ekonomi Islam, Jurnal Al –


Intaj Vol.4 No 2.

Wigati, Sri. 2011. Prilaku Konsumen dalam Perspektif ekonomi Islam. Jurnal
Maliyah Vol.1 No 1.

Zainal, Veithzal Rivail, Nurul Huda, Ratna Ekawati, Sri Vandayuli Riorini. 2018.
Ekonomi Mikro Islam. Jakarta : Bumi Akasara.

Anda mungkin juga menyukai