Anda di halaman 1dari 36

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA DAN ALUR PIKIR

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Lembaga Peradilan Pidana Di Indonesia

Pengadilan merupakan tempat para bagi para pencari keadilan untuk

menyelesaikan perkara, baik perkara pidana maupun perkara perdata. Pengadilan

merupakan lembaga hukum yang paling independen dalam melakukan penegakan

hukum, dan di tangan para hakim sebagai pimpinan dari lembaga peradilan

diharapkan dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya, bermanfaat, dan

paling tidak dapat memberikan kepastian hukum.

Lembaga/badan peradilan di Indonesia berdasarkan amanat Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) terdiri atas 2 (dua),

dan lembaga ini merupakan lembaga tinggi negara yang menjalankan fungsi

yudikatif dalam sistem pemerintahan presidential Republik Indonesia. Kedua

lembaga tinggi negara tersebut adalah Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah

Konstitusi. Selain menjalankan fungsi yudikatif, kedua lembaga ini bertugas

untuk menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman. Hal tersebut diatur dengan jelas

dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 yaitu :

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan


badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.”

11
12

Kedua lembaga yang bertugas untuk menjalankan kekuasaan kehakiman tersebut,

Mahkamah Agung merupakan lembaga yang membawahi badan-badan peradilan

di bawahnya.

Mahkamah Agung yang sebelumnya adalah Pengadilan Hooggerechtshof

merupakan Pengadilan Tertinggi dan berkedudukan di Jakarta dengan daerah

hukum meliputi seluruh Indonesia. Hooggerechtshof terdiri dari seorang Ketua

dan 2 orang anggota, seorang Pokrol jendral dan 2 (dua) orang Advokat Jendral,

seorang Panitera di mana perlu dibantu seorang Panitera Muda atau lebih. Jika

diperlukan Gubernur Jendral dapat menambah susunan Hooggerechtshof tersebut

dengan seorang Wakil Ketua dan seorang/lebih anggota lagi.4

Tugas/kewenangan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung) yaitu5:

a. Mengawasi jalannya peradilan di seluruh Indonesia sehingga dapat berjalan

secara patut dan wajar.

b. Mengawasi perbuatan/kelakuan Hakim serta Pengadilan-pengadilan.

c. Memberi teguran-teguran apabila diperlukan.

d. Berhak minta laporan, keterangan-keterangan dari semua pengadilan baik sipil

maupun militer, Pokrol Jendral dan lain pejabat Penuntut Umum.

e. Sebagai tingkat pertama dan terakhir mengadili perselisihan-perselisihan

tentang kekuasaan mengadili :

(1) di antara pengadilan-pengadilan yang melakukan peradilan atas nama

Raja, diantara pengadilan-pengadilan ini dengan pengadilan-pengadilan

adat di dalam daerah yang langsung diperintah oleh Gubernemen, dimana

4
Mahkamah Agung, Sejarah Mahkamah Agung, diakses melalui
[https://www.mahkamahagung.go.id/pr2news.asp?bid=5], tanggal 29 Juli 2015
5
Ibid.
13

rakyat dibiarkan mempunyai peradilan sendiri, diantara pengadilan-

pengadilan tersebut di atas, dengan pengadilan-pengadilan Swapraja,

sepanjang ini dimungkinkan menurut perjanjian-perjanjian politik dengan

daerah-daerah pengadilan yang berselisih tidak ada di dalam daerah

hukum appelraad yang sama;

(2) appelraad-appelradd;

(3) pengadilan sipil dan pengadilan militer, kecuali perselisihan itu timbul di

antara Hooggerechtshof sendiri dengan Hoogmilitairgerechtshof, di dalam

hal mana diputuskan oleh Gubernur Jendral.

Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan tertinggi, membawahi

beberapa lembaga peradilan yang berada di lingkungannya. Lembaga peradilan

tersebut, di atur berdasarkan Pasal 25 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) yaitu “Badan peradilan yang

berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan

peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha

negara”.

Badan-badan peradilan tersebut berwenang mengadili perkara pada

masing-masing wilayah wewenang (yurisdiksi), sebagai berikut :

1. Peradilan umum berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara

pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(Pasal 25 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman)


14

2. Peradilan agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan

menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai

dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (Pasal 25 ayat (3))

3. Peradilan militer berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara

tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(Pasal 25 ayat (4))

4. Peradilan tata usaha negara berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan

menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. (Pasal 25 ayat (5))

Tugas utama dari Pengadilan adalah memberikan hukuman pada pelaku

pelanggaran hukum dalam perkara perdata dan perkara dan pidana. Perkara

Perdata adalah suatu perkara mengenai perselisihan antara kepentingan

perseorangan atau kepentingan suatu badan pemerintah dengan kepentingan

perseorangan. Perkara Pidana adalah suatu perkara tentang pelanggaran atau

kajahatan terhadap suatu kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan

hukuman yang bersifat suatu penderitaan.

Pengadilan memiliki kekuasaan yang bebas dari pengaruh kekuasaan yang

berasal dari Badan Negara lainnya. Semua putusan dari masalah atau perkara

Pengadilan harus berisi dasar-dasar hukum di Indonesia. Kecuali yang di tetapkan

oleh undang-undang. Sidang Pengadilan terbuka untuk umum dan keputusan

hakim senantiasa di nyatakan dengan pintu terbuka. Sebagai lembaga atau

institusi hukum, pengadilan mempunyai peran penting dalam masyarakat

.Bertugas melindungi masyarakat melalui upaya-upaya penanganan tindak


15

kejahatan. Melakukan pencegahan kejahatan yag ada di masyarakat dengan cara

memberikan hukuman, salah satunya adalah merahabilitasi pelaku tindak

kejahatan. Selain itu, pengadilan juga harus melakukan upaya inkapasiti terhadap

orang yang melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang menjadi

sebuah ancaman di masyarakat. Pengadilan juga harus menegakkan the rule of

law. Penghormatan pada hukum dengan menjamin adanya due process of

law,memperlakukan pelaku tindak pidana dengan wajar sesuai aturan hukum yang

berlaku. Menghukum pelaku kejahatan sesuai falsafah pemidanaan yang di anut.

Pengadilan juga harus membantu dan memberikan nasihat kepada korban

kejahatan.

Di dalam menyelesaikan perkara, khususnya perkara pidana, badan

peradilan umum berdasarkan pasal di atas tersebut yang berwenang

menyelesaikannya. Oleh karenanya, dapat diuraikan tentang susunan dan

kedudukan lembaga peradilan umum yang menangani perkara pidana, serta tugas

dan kewenangannya sebagai berikut.

2.1.1.1 Pengadilan Negeri

Pada masa sebelum Belanda menguasai atau menjalankan pemerintahan di

Indonesia (pemerintahan Hindia-Belanda), tata hukum di Indonesia mendapatkan

pengaruh dari hukum agama yaitu Hindu dan Islam serta hukum adat. Pengaruh

agama Hindu tersebut dapat dilihat pada sistem peradilannya di mana dibedakan

antara perkara Pradata dan perkara Padu.6

6
Tresna, Peradilan Di Indonesia Dari Abad Ke Abad, cet. Ke-3, Pradnya Paramita, Jakarta, 1978,
hal. 16.
16

Perkara Pradata adalah perkara yang menjadi urusan peradilan raja yang

diadili oleh raja sendiri yaitu perkara yang membahayakan mahkota, keamanan

dan ketertiban negara, hukum Pradata ini bersumber dari hukum Hindu di mana

Raja adalah pusat kekuasaan. Sedangkan perkara Padu adalah perkara mengenai

kepentingan rakyat perseorangan, perkara ini diadili oleh pejabat negara yang

disebut jaksa (adyaksa).7

Pengadilan negeri merupakan pengadilan tingkat pertama untuk

memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata.8 Di

Peradilan Negeri, hakim memeriksa secara langsung di persidangan dan

berhadapan dengan orang yang diadili. Dengan kata lain, orang (terdakwa) yang

diperiksa atas kasus yang didakwakan kepadanya, adalah dengan memeriksa

fakta-fakta yang ada (judex factie) beserta bukti dan juga para saksi. Sebagai suatu

lembaga peradilan tingkat pertama, Pengadilan Negeri dapat mengadili semua

orang, kecuali orang yang berstatus militer dalam perkara pidana diadili oleh

peradilan militer, namun dalam perkara perdata diadili oleh pengadilan negeri.

Selain itu, Pengadilan Negeri berwenang mengadili semua orang yang tersangkut

dengan permasalahan hukum dengan tidak memandang kedudukan dan pangkat,

jabatan, serta status sosial, baik seorang warga negara biasa yang tidak memiliki

jabatan apapun,sampai dengan pemimpin tertinggi dalam suatu negara (Presiden),

karena undang-undang dasar 1945 tidak menganut asas yang biasa disebut forum

7
Ibid.
8
Ahmad Fauzan, Perundang-Undangan Lengkap Tentang Peradilan Umum, Peradilan Khusus
dan Mahkamah Konstitusi, Kencana, Jakarta, 2005, hal. 53
17

preivilegiatum9 yakni memberi keistimewaan terhadap pejabat tertentu yang

diadili oleh badan tertentu pula.

Kekuasaan secara mutlak atau absolut yaitu bahwa untuk mengadili dan

memeriksa perkara hanya satu Pengadilan Negeri saja yang berwenang

mengadilinya tanpa adanya wewenang pengadilan lain, atau kekuasaan mengenai

perkara apa yang berwenang untuk diadili. Adapun kompetensi tersebut adalah

sebagai berikut10:

1. Menurut Pasal 50 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan

Umum, bahwa kompetensi Pengadilan Negeri “bertugas dan berwenang

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata

di tingkat pertama”.

2. Menurut Pasal 77 KUHAP, bahwa kompetensi Pengadilan Negeri “berwenang

untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam

undang-undang ini tentang :

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau

penghentian penuntutan;

9
Mahfud M.D. berpandangan bahwa Indonesia menganut model campuran antara impeachment
dan forum previlegiatum. Hal ini karena pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus
dimulai dari penilaian dan keputusan politik di DPR (impeachment). Setelah itu dilanjutkan ke
pemeriksaan dan putusan hukum oleh Mahkamah Konstitusi (forum previlegiatum), lalu
dikembalikan lagi ke prosedur impeachment di DPR untuk selanjutnya diteruskan ke MPR. Pada
MPR pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden akan diputuskan secara politik. Oleh
karena itulah menurut Mahfud M.D. tepat bila dikatakan UUDNRI 1945 menganut sistem
campuran antara mekanisme impeachment dan forum previlegiatum, yakni dari impeachment ke
forum previlegiatum dan kembali ke impeachment lagi. (Sumber : Moh. Mahfud M.D.,
Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hal.
142-143)
10
Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, Hukum Acara Pidana : Suatu Pengantar, Kencana, Jakarta,
2014, hal. 30-31
18

b. Ganti rugi dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya

dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan

3. Menurut penjelasan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa pengadilan negeri juga

sebagai khusus, “Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah

satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25”

4. Kompetensi absolut lain dari Pengadilan Negeri selain di atas yaitu :

1. Acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas jalan (Pasal 211 KUHAP);

2. Acara pemeriksaan cepat (Pasal 205 KUHAP);

3. Acara pemeriksaan singkat (Pasal 203 KUHAP);

4. Pemeriksaan biasa (Pasal 183 KUHAP).

Semua pengadilan negeri di wilayah Republik Indonesia adalah sama

kedudukannya, yakni pengadilan tingkat pertama. Perbedaannya hanyalah terletak

pada besar kecilnya daerah hukumya. Arti penting suatu “Daerah Hukum”

(Wilayah Hukum) bagi pengadilan negeri adalah dalam hubungan “kompetensi

relatif” antara lain dalam hukum acara pidana tentang tempat terjadinya tindak

pidana (locus delicti) dan dalam hukum acara perdata tantang pengajuan

gugatan.11

Wewenang pengadilan negeri, diatur dalam Pasal 84, 85 dan 86 KUHAP.

Adapun inti dari isi pasal tersebut adalah, Pengadilan Negeri berwenang

mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah

11
K. Wantjik Saleh, Kehaikam dan Peradilan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1977, hal. 56
19

hukumnya. Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa

bertempat tinggal, Pengadilan Negeri tersebut hanya berwenang mengadili

perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman terdakwa yang dipanggil

lebih dekat pada tempat pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana

itu dilakukan. Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam

daerah hukum berbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan perkara pidana

itu, terhadap beberapa perkara yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan

dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum berbagai pengadilan negeri , diadili

oleh masing-masing pengadilan negeri dengan ketentuan kemungkinan

penggabungan perkara tersebut. 12

Wewenang pengadilan negeri secara umum mencakup perkara pidana,

namun pengadilan negeri juga mencakup perkara perdata dan juga pada Surat

Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1979 Tanggal 7

April mengatur tentang pengangkatan anak. Di dalamnya dinyatakan bahwa

pengangkatan anak hanya sah sifatnya, apabila diberikan oleh peradilan,

penetapan atau tentang keputusan pengadilan itu merupakan surat esensial bagi

sahnya pengangkatan anak.13 Sedangkan dalam pemeriksaan acara perdata, di

muka Pengadilan Negeri berlaku dengan lisan yang berarti pemeriksaan perkara

pada pokoknya berjalan dengan tanya jawab dengan lisan di muka hakim. Hakim

pada prinsipnya di peradilan acara perdata bersifat pasif, hakim pada dasarnya

hanya mengawasi supaya peraturan-peraturan acara yang ditetapkan undang-

12
Sudarsono, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, dan Peradilan Tata
Usaha Negara, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal. 11
13
Ibid., hal. 36
20

undang dituruti oleh kedua belah pihak, hakim akan ikut campur jikalau tata tertib

sidang pengadilan dilanggar atau dari salah satu pihak bertindak tidak pantas.14

Selain memeriksa perkara pidana dan perdata, Pengadilan Negeri juga

melakukan pemeriksaan dalam ruang lingkup peradilan khusus. Dalam kaitannya

dengan pemeriksaan peradilan khusus, Pengadilan Negeri mempunyai kompetensi

yaitu sebagai berikut :

1. Peradilan Anak

Berdasarkan Pasal 5 ayat 2 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

sistem peradilan anak menegaskan, bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam

Undang-Undang ini;

b. persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan

umum; dan

c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama

proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau

tindakan.

2. Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM)

Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri

manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,

dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas

14
Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994, hal. 19
21

oleh siapa pun. Dalam rangka melaksanakan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang

Hak Asasi Manusia, perlu membentuk Undang-undang tentang Hak Asasi

Manusia. Dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud dengan Pelanggaran hak asasi

manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk

aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang

secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau

mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin

oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak

memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan

mekanisme hukum yang berlaku. Dan kemudian dalam ayat 7 dijelaskan

Komisi Nasional Hak Asasi yang selanjutnya disebut Komisi Nasional HAM

adalah lembaga mandiri yang berkedudukan setingkat dalam negara lainnya

yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyaluran, pemantauan,

dan mediasi hak asasi manusia.

3. Pengadilan Niaga

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) Nomor 1 Tahun

1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Kepailitan yang kemudian

disahkan menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.

Menurut Pasal 280 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, ketentuan

pada pasal tersebut, maka ada dua hal penting yang perlu dicermati dalam

rangka pembentukan Pengadilan Niaga yaitu : (1) Pengadilan Niaga


22

ditetapkan berada di lingkungan peradilan umum; (2) Kompetensi Pengadilan

Niaga meliputi permohonan pernyataan pailit, penundaan kewajiban

pembayaran utang, dan perkara lain di bidang perniagaan, misalnya tentang

sengketa di bidang Hak Kekayaan Intelektual termasuk sengketa Merek.

4. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

Penyelenggaraan Pengadilan Tipikor didasarkan pada Pasal 53 Undang-

undang Nomor 30 tahun 2002 menjelaskan bahwa dengan undang-undang ini

dibentuk pengadilan tindak pidana korupsi yang bertugas dan berwenang

memeriksa dan mengadili tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan

oleh komisi pemberantasan korupsi.15

5. Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)

Pengadilan Hubungan Industrial didasarkan pada Pasal 1ayat (1) Undang-

undang Nomor 2 Tahun 2004 menyatakan, bahwa Perselisihan Hubungan

Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara

pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat

pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak perselisihan

kepentingan, perselisihan, pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar

serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.16

6. Pengadilan Perikanan

Pengadilan Perikanan diselenggarakan berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-

undang Nomor 31 Tahun 2004 yang menjelaskan bahwa Perikanan adalah

semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan

15
Ibid., hal. 193-194
16
Ibid., hal 208
23

sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,

pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem

bisnis perikanan.17

2.1.1.2 Pengadilan Tinggi

Pengadilan Tinggi merupakan suatu lembaga peradilan yang melakukan

pemeriksaan terhadap perkara pada tingkat banding. Dalam halnya kekuasaan

mengadili pada Pengadilan Tinggi, sebagaimana diatur dalam undang-undang,

yaitu18:

1. Menurut Pasal 87 KUHAP, bahwa pengadilan tinggi berwenang “mengadili

perkara yang diputus oleh pengadilan negeri dalam daerah hukumnya yang

dimintakan banding”.

2. Menurut Pasal 51 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan

Umum, bahwa :

a. Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan

perkara perdata pada tingkat banding.

b. Pengadilan tinggi juga bertugas dan berwenang mengadili di tingkat

pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar-Pengadilan

Negeri di wilayah hukumnya.

3. Prorogais mengenai perkara perdata (Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-undang

(Drt) Nomor 1 Tahun 1951 Pasal 128 ayat (2) RO, Pasal 85 Rbg.

17
Ibid.
18
Andi Sofyan dan Abd. Asis, Op.cit., hal 33-34
24

2.1.2 Prinsip-prinsip Peradilan di Indonesia

Peradilan dilaksanakan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan,

kepastian dan kemanfaatan. Untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam

pelaksanaan penegakan hukum, lembaga-lembaga peradilan harus berpedoman

pada prinsip-prinsip peradilan yang antara lain adalah sebagai berikut :

1. Peradilan yang bebas, tidak memihak (Independen)

Tujuan sistem konstitusionalisme adalah adanya kekuasaan kehakiman yang

bebas dari campur tangan badan-badan legislatif dan eksekutif. Hal ini

mendapat tempat dalam UUD 1945. Oleh karenanya peradilan yang bebas dan

tidak memihak merupakan jaminan konstitusional. Hal itu merupakan

ketentuan undang-undang dasar yang tidak saja melarang setiap campur

tangan, instruksi tetapi bahkan juga rekomendasi dari eksekutif dan legislatif

terhadap yudikatif dalam melaksanakan tugas-tugas peradilannya. Para hakim

hendaknya memiliki kemampuan ketrampilan dan mental sedemikian rupa

agar dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan penuh kebebasan intelektual

serta integritas moral.19

2. Pelaksanaan peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan

Peradilan membutuhkan tenaga-tenaga personil, seperti pejabat-pejabat badan

peradilan yang mendukung tugasnya dalam melaksanakan peradilan, juga

dibutuhkan perlengkapan materiil dan finansial. Sederhana maksudnya

pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efektif dan

efisien, sedang biaya ringan maksudnya biaya yang dapat dijangkau oleh

19
Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hal. 289
25

rakyat. Dengan adanya hal tersebut, peradilan dapat mewujudkan pelaksanaan

peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. 20

3. Peradilan bersifat demokratis

Pemeriksaan persidangan dan pengumuman keputusan-keputusan perkara di

depan umum oleh pengadilan, yang ditentukan terdahulu sebagai suatu syarat

yang di dalam undang-undang pokok kekuasaan kehakiman nomor 14 tahun

1970, merupakan suatu komunikasi antara pengadilan dan masyarakat, karena

diletakkan prinsip-prinsip demokrasi di dalam jalannya peradilan. Prinsip ini

tidak hanya memberikan kesempatan kepada masyarakat, bahkan merupakan

suatu hak bagi masyarakat untuk mengikuti prosedur persidangan pengadilan

dan dengan cara ini masyarakat melakukan pengawasan terhadap administrasi

pengadilan.21

4. Transparansi dan kontrol sosial

Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses

pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang

terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara

komplementer oleh peran serta masyarakat secara langsung (partisipasi

langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Demikian pula

dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur kepolisian, kejaksaan,

pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan, semuanya

20
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1980, hal. 111
21
Ibid., hal. 130
26

memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien serta

menjamin keadilan dan kebenaran.22

5. Persamaan dalam Hukum

Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan,

yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka

prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala

bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang,

kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus. Hal tidak termasuk pengertian

diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau

kelompok masyarakat hukum tertentu yang kondisinya terbelakang.23

2.1.3 Putusan Dalam Perkara Pidana

Suatu proses persidangan di pengadilan bertujuan untuk menghasilkan

putusan yang paling tidak dapat memberikan keadilan bagi semua pihak. Putusan

yang dikeluarkan oleh pengadilan disebut juga dengan istilah vonis (eind

vonnis)24, putusan yang penulis maksudkan adalah suatu putusan akhir dalam

proses persidangan pada tiap tingkat pemeriksaan pengadilan. Pasal 1 angka 11

KUHAP, yang menyatakan bahwa, “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim

yang diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka, yang dapat berupa

pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta

menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini”.

22
Jimmy Ash-Shiddieqy, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, melalui :
[http://www.economic-law.net/jurnal/Cita NegaraHukumIndonesia.Doc], tanggal akses 01
Agustus 2015
23
Ibid.
24
Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanase, Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana, Angkasa,
Bandung, 1990, hal. 198.
27

Berdasarkan uraian di atas, setiap putusan wajib diucapkan di muka

persidangan serta terbuka yang dimaksudkan agar diketahui oleh umum. Putusan

yang dihasilkan yaitu putusan pemidanaan (veroordeling), putusan bebas

(vrijspraak), dan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van recht vervolging).

Jenis-jenis putusan tersebut dapat penulis uraikan sebagai berikut.

2.1.4.1 Putusan Pemidanaan (Veroordeling)

Putusan ini dijatuhkan oleh hakim, jika hakim berpendapat bahwa

terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang di dakwakan kepadanya maka

hakim menjatuhkan pidana (Pasal 193 ayat 1 KUHAP).25

Apabila hakim menjatuhkan pidana kepada anak, maka pidana penjara

yang dapat dijatuhkan paling lama 10 (sepuluh) tahun. Sedangkan jika hakim

menjatuhkan tindakan kepada anak, maka tindakan yang dapat dijatuhkan

adalah26:

(a) Mengembalikan kepada orang tua, wali, orang tua asuh;

(b) Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan

latihan kerja; atau

(c) Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial

Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan

kerja.

Di dalam hal putusan pemidanaan hakim dapat memerintahkan supaya

terdakwa yang tidak ditahan agar segera dimasukkan dalam tahanan, akan tetapi

dalam hal ini di syaratkan oleh Pasal 193 ayat (2) sub a KUHAP, bahwa perintah

25
Suryono Sutarno, Hukum Acara Pidana.Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,
2004, hal.76-78
26
Ibid.
28

untuk penahanannya itu hanya dapat dikeluarkan jika terdakwa dipersalahkan

melakukan tindak pidana seperti tersebut dalam Pasal 21 KUHAP, yaitu yang

diancam dengan pidana penjara minimum 5 tahun atau lebih atau termasuk tindak

pidana yang disebut satu demi satu oleh Pasal 21 KUHAP (ingat syarat obyektif

penahanan). Di samping itu, perintah penahanan terdakwa dimaksud adalah

bilamana dilakukannya penahanan tersebut karena dikhawatirkan bahwa selama

putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, terdakwa akan melarikan diri,

merusak atau menghilangkan barang bukti ataupun mengulangi tindak pidana lagi

(ingat syarat subyektif penahanan).27

Menurut pasal 192 ayat (1) jo. Pasal 197 ayat (3) KUHAP, baik perintah

untuk penahanan atau pembebasan dari tahanan harus segera dilaksanakan oleh

jaksa segera setelah putusan diucapkan. Jadi, apabila terdakwa atau penuntut

umum mengajukan banding, sedangkan dalam putusan hakim tersebut ada

perintah agar terdakwa di keluaran dari tahanan, sambil menunggu putusan dari

pengadilan tinggi terdakwa berada di luar tahanan. Sebaliknya apabila ada

perintah “segera masuk, maka terdakwa sambil menunggu putusan dari

pengadilan tinggi terdakwa berada (dimasukkan) dalam tahanan. Dalam hal ini

pengadilan tinggilah yang berwenang menentukan apakah penahanannya

diteruskan atau perintah penahanan itu dicabut (Pasal 238 ayat 2 KUHAP). Perlu

dikemukakan disini bahwa dalam hal putusan bebas, atau lepas dari segala

tuntutan hukum, atau pemidanaan, hakim akan memerintahkan supaya barang-

barang bukti (stuken van overtuiging) diserahkan kepada orang yang paling

27
Ibid.
29

berhak menerima kembali barang tersebut yang namanya tercantum dalam

putusan, kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus

dirampas untuk kepentingan Negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga

tidak dapat dipergunakan lagi (Pasal 194 ayat 1 KUHAP). apabila hakim

menganggap perlu, misalnya barang tersebut sangat diperlukan untuk mencari

nafkah, seperti kendaraan bermotor atau alat-alat pertanian dan lain-lain, hakim

dapat juga menetapkan supaya pengembalian barang bukti tersebut dilaksanakan

segera setelah persidangan selesai (Pasal 194 ayat 2 KUHAP). Ini berarti bahwa

penyerahan barang bukti tersebut dapat dilakukan meskipun putusan hakim belum

memperoleh kekuatan hukum tetap, akan tetapi harus disertai dengan syarat

tertentu, misalnya barang tersebut setiap waktu harus dapat dihadapkan ke

pengadilan dalam keadaan utuh (Pasal 194 ayat 3 KUHAP). 28

Menurut Pasal 195 KUHAP semua putusan pengadilan hanya sah dan

mempunyai kekuatan hukum jika putusan itu diucapkan di sidang terbuka untuk

umum. Menurut ketentuan Pasal 196 ayat (1) KUHAP pengadilan memutus

perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam undang-undang ini menentukan

lain. Sedangkan menurut ayat (2) dari Pasal 196 tersebut dinyatakan bahwa

apabila terdapat lebih dari satu orang terdakwa dalam satu perkara, maka putusan

diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada. Menurut Pasal 196 ayat (3)

KUHAP, segera setelah putusan pemidanaan diucapkan, maka hakim ketua sidang

28
Ibid.
30

wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang segala apa yang menjadi haknya,

yaitu29:

(a) Hak segera menerima atau segera menolak putusan;

(b) Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak

putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini (hak

pikir-pikir);

(c) Hak minta penangguhan pelaksanan putusandalam tenggang waktu yang

ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia

menerima putusan;

(d) Hak minta diperiksa perkaranya dalam tinkat banding dalam tenggang waktu

yang ditentukan undang-undang ini, dalam hal ia menolak putusan;

(e) Hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam

tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini.

2.1.4.2 Putusan Bebas (Vrijspraak)

Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang berbunyi

“Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan

terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara

sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas”. Selanjutnya dalam

Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan

“perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar

29
Ibid.
31

pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara

pidana.

Ketentuan tersebut di atas, berarti putusan bebas ditinjau dari segi yuridis

ialah putusan yang dinilai oleh majelis hakim tidak memenuhi asas pembuktian

menurut Undang-Undang secara negatif, artinya dari pembuktian yang diperoleh

di persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan hakim tidak

yakin atas kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu. Selain itu juga tidak

memenuhi memenuhi asas batas minimum pembuktian, artinya kesalahan yang

didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang

menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan

seorang terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti

yang sah.30

Putusan bebas dapat dibagi dalam beberapa macam yang antara lain

sebagai berikut :

1. Putusan bebas Murni (de zuivere vrijspraak)

Putusan bebas murni adalah putusan akhir di mana hakim mempunyai

keyakinan mengenai tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa adalah

tidak terbukti.31

2. Putusan Bebas Tidak Murni (de onzuivere vrijspraak)

Putusan bebas tidak murni adalah putusan dalam hal batalnya dakwaan secara

terselubung atau “pembebasan” yang menurut kenyataannya tidak didasarkan

30
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 348
31
Achmad S. Soemadipradja. Pokok-pokok Hukum Acara Pidana Indonesia, Alumni, Bandung,
1981, hal. 89
32

kepada ketidak-terbuktiannya apa yang dimuat dalam surat tuduhan.32

Menurut Oemar Seno Adjie, Pembebasan tidak murni pada hakikatnya

merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang terselubung, dapat

dikatakan apabila dalam suatu dakwaan unsur delik dirumuskan dengan istilah

yang sama dalam perundang-undangan, sedangkan hakim memandang

dakwaan tersebut tidak terbukti.33 Putusan bebas tidak murni mempunyai

kualifikasi, sebagai berikut34:

a. Pembebasan didasarkan atas suatu penafsiran yang keliru terhadap sebutan

tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan.

b. Dalam menjatuhkan putusan pengadilan telah melampaui batas

kewenangannya, baik absolut maupun relatif dan sebagainya

3. Pembebasan berdasarkan alasan pertimbangan kegunaannya (de vrijskpraak

op grond van doelmatigheid overwegingen)

Pembebasan berdasarkan alasan pertimbangan kegunaannya adalah

pembebasan yang didasarkan atas pertimbangan bahwa harus diakhiri suatu

penuntutan yang sudah pasti tidak akan ada hasilnya.35

4. Pembebasan yang terselubung (de bedekte vrijskrpraak)

Pembebasan yang terselubung pembebasan yang dilakukan di mana hakim

telah mengambil keputusan tentang “feiten” dan menjatuhkan putusan

32
Ibid.
33
Oemar Seno Adjie, KUHAP Sekarang, Erlangga, Jakarta, 1989, hal. 167
34
Ibid., hal. 164
35
Achmad S. Soemadipradja, Loc.cit.
33

“pelepasan dari tuntutan hukum”, padahal putusan tersebut berisikan suatu

“pembebasan secara murni”.36

Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan

pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar

terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dari ketentuan Pasal 183

KUHAP tersebut di atas, terkandung dua asas mengenai pembuktian, yaitu37:

(1) Asas minimum pembuktian, yaitu asas bahwa untuk membuktikan kesalahan

terdakwa harus dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;

(2) Asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif yang mengajarkan

suatu prinsip hukum pembuktian bahwa di samping kesalahan terdakwa cukup

terbukti, harus pula diikuti keyakinan hakim akan kebenaran kesalahan

terdakwa.

Berdasarkan kedua asas yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP tersebut,

apabila dihubungkan dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, maka putusan bebas

pada umumnya didasarkan penilaian dan pendapat hakim bahwa38:

(1) kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan. Semua alat bukti yang diajukan di persidangan baik berupa

keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan petunjuk, serta pengakuan

terdakwa sendiri tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan

kepada terdakwa. Artinya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak

36
Ibid.
37
M.Yahya Harahap, Op.cit., hal. 348
38
Ibid.
34

terbukti secara sah dan meyakinkan, karena menurut penilaian hakim semua

alat bukti yang diajukan tidak cukup atau tidak memadai, atau

(2) Pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi batas minimum

pembuktian. Misalnya, alat bukti yang diajukan hanya satu orang saksi. Dalam

hal ini, selain tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian itu juga

bertentangan dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan unnus

testis nullus testis atau seorang saksi bukan saksi.

(3) Putusan bebas di sini bisa juga didasarkan atas penilaian, kesalahan yang

terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim jadi sekalipun secara formal

kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup terbukti, namun nilai pembuktian yang

cukup ini akan lumpuh apabila tidak didukung oleh keyakinan hakim. Dalam

keadaan penilaian seperti ini, putusan yang akan dijatuhkan pengadilan adalah

membebaskan terdakwa dari tuntutan hukum.

2.1.4.3 Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (ontslag van recht

vervolging)

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum berbeda dengan putusan bebas.

Terhadap putusan ini, pengadilan dalam hal ini hakim berpendapat bahwa

perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak

merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan

hukum. Putusan pelepasan ini disebut juga dengan ontslag van recht vervolging.

Dalam putusan ini semua yang didakwakan oleh Penuntut Umum terbukti secara

sah, akan tetapi hal yang didakwakan bukan merupakan tindak pidana atau dengan
35

kata lain perbuatan tersebut tidak memenuhi unsur tindak pidana. Sehingga hakim

menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum.39

Dasar yuridis putusan lepas dari segala tuntutan hukum, yakni Pasal 191

ayat (2) KUHAP, yang menyatakan, “Jika pengadilan berpendapat bahwa

perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak

merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan

hukum.” Jika memperhatikan ketentuan tersebut, bahwa pada putusan lepas dari

segala tuntutan hukum, dapat diketahui apa yang didakwakan kepada terdakwa

terbukti secara sah dan meyakinkan akan tetapi perbuatannya bukan merupakan

ruang lingkup hukum pidana sehingga terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan

hukum.

Hukum Pidana Indonesia menganut asas sifat melawan hukum dalam

fungsinya yang negatif yakni mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada di

luar Undang-undang menghapus sifat melawan hukumnya (dapat melepaskan

segala tuntutan hukum, oleh penulis) perbuatan yang memenuhi rumusan undang-

undang, artinya di luar undang-undang pun terdapat alasan penghapus pidana

misalnya40:

(a) Hak dari orang tua, guru untuk menertibkan anak-anak atau anak didiknya.

(b) Hak yang timbul dari pekerjaan seorang dokter, apoteker, bidan.

(c) Ijin atau persetujuan dari orang yang dirugikan kepada orang lain mengenai

suatu perbuatan yang dapat dipidana apabila dilakukan tanpa izin atau

persetujuan.

39
Mohammad Taufik Makarao, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 172-177
40
Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990, hal. 66
36

(d) Mewakili urusan orang lain.

(e) Tidak adanya unsur sifat melawan hukum yang materiil.

(f) Tidak ada kesalahan sama sekali.

Menurut Djoko Prakoso, alasan-alasan dijatuhkannya putusan lepas dari

segala tuntutan hukum41:

1. Karena peristiwa-peristiwa yang dalam surat dakwaan yang didakwakan

kepada terdakwa adalah terbukti, akan tetapi yang terang terbukti itu tidak

merupakan suatu kejahatan atau pelanggaran maka terdakwa dalam putusan

hakim harus dilepas dari segala tuntutan hukum.

2. Apabila ada keadaan istimewa yang mengakibatkan bahwa terdakwa tidak

dapat dijatuhi suatu hukuman pidana menurut beberapa Pasal dari Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau adanya alasan-alasan pemaaf,

yaitu seperti yang disebutkan dalam:

(a) Pasal 44 KUHP, kalau perbuatan terdakwa tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya oleh karena penyakit jiwa.

(b) Pasal 45 KUHP, yaitu perbuatan pidana yang dilakukan anak di bawah

umur.

(c) Pasal 48 KUHP, kalau terdakwa melakukan perbuatan terdorong oleh

keadaan memaksa (overmacht).

(d) Pasal 49 KUHP, kalau terdakwa melakukan perbuatan berada dalam

keadaan diserang oleh orang lain dan harus membela diri (noordeer).

41
Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Di Dalam Proses Pidana, Liberty,
Yogyakarta, 1998, hal. 272-273
37

(e) Pasal 50 KUHP, kalau terdakwa melakukan perbuatan untuk menjalankan

suatu peraturan dalam undang-undang atau.

(f) Pasal 51 KUHP, kalau terdakwa melakukan perbuatan untuk memenuhi

suatu perintah yang diberikan secara sah oleh seorang pejabat yang

berkuasa dalam hal itu.

2.1.4 Upaya Hukum Biasa Dalam Perkara Pidana

Upaya hukum terdiri atas dua jenis yang antara lain yaitu upaya hukum

biasa, dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa yang dapat ditempuh oleh

terdakwa yaitu Banding dan kasasi. Sedangkan untuk mengajukan upaya hukum

luar biasa dapat ditempuh oleh terdakwa yaitu peninjauan kembali.

Setelah dijatuhkannya putusan pada pengadilan tingkat pertama, seorang

terdakwa yang berdasarkan putusan tersebut telah berubah status menjadi

terpidana diberikan kesempatan untuk menempuh upaya hukum. hak untuk

melakukan upaya hukum tersebut diatur dalam Pasal 67 KUHAP yang

menyatakan, bahwa Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding

terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas,

lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya

penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Oleh karena itu,

penulis akan menguraikan tentang beberapa hal tentang upaya hukum banding.

2.1.4.1 Banding

Upaya hukum banding adalah salah satu jalan yang dapat dimintakan oleh

setiap pihak yang berkepentingan dalam perkara, agar kiranya suatu Putusan yang

telah dijatuhkan oleh Pengadilan Tingkat Pertama dapat diperiksa lagi dalam
38

Peradilan Tingkat Banding guna mencapai keadilan. Prosedur dan proses

pemeriksaan di tingkat banding adalah pemeriksaan yang secara umum dan

konvensional dapat diajukan terhadap setiap putusan pengadilan tingkat pertama

dengan pengecualian terhadap beberapa jenis putusan tertentu yang telah

ditentukan menurut hukum, bahwa atasnya tidak dapat diajukan upaya banding.

Pasal 67 jo Pasal 233 ayat (1) KUHAP merupakan dasar hukum bagi para pihak

yang berkepentingan untuk mengajukan upaya pemeriksaan banding.

Jelas bahwa dalam upaya banding yang merupakan upaya hukum formal,

sifatnya merupakan upaya hukum biasa, dan ia juga merupakan hak yang

diberikan oleh Undang-Undang kepada para pihak yang berkepentingan,

sepanjang proses pengajuannya memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh

KUHAP.42

Pemeriksaan terhadap suatu perkara yang diajukan Upaya Hukum Banding

atasnya menjadi kewenangan Pengadilan Tinggi. Pemeriksaan yang dilakukan

oleh Pengadilan Tinggi dalam Upaya Hukum Banding merupakan pemeriksaan

yang bersifat judex factie. Artinya, pemeriksaan banding meliputi seluruh aspek

perkara, baik fakta maupun hukum.43

KUHAP tidak secara eksplisit merincikan alasan yang dapat dipergunakan

oleh Terdakwa atau Penuntut Umum untuk mengajukan Upaya Hukum Banding.

Berbeda dengan permintaan Kasasi yang dirincikan alasan pengajuannya secara

jelas dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Hal ini tentu menimbulkan sedikit

kesulitan, mengingat penganutan asas legalitas dalam hukum acara pidana bersifat

42
M. Yahya Harahap,Op.cit., hal.
43
Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2008, hal. 103-
107
39

sangat limitatif, yakni bahwa “acara pidana dijalankan hanya menurut cara yang

diatur oleh Undang-Undang”.44

Pasal 240 ayat (1) KUHAP dapat diketahui bahwa Putusan Pengadilan

Tingkat Pertama, jika masih dianggap terdapat kesalahan-kesalahan yang

sedemikian rupa, yakni terdapat kelalaian dalam penerapan hukum acara, atau

kekeliruan atau ada keputusan kurang lengkap, agar kemudian alasan tersebut

dapat dijadikan alasan oleh Pengadilan Tinggi untuk memperbaiki suatu putusan

atau memerintahkan Pengadilan Negeri melakukan pemeriksaan tambahan. Secara

lebih jelasnya M. Yahya Harahap, menjelaskan sebagai berikut45:

1. Kelalaian dalam penerapan hukum acara

Kekeliruan dalam penerapan hukum acara terjadi apabila sesuatu ketentuan itu

berupa perintah yang harus dilaksanakan, tapi perintah itu tidak dituruti oleh

Pengadilan Tingkat Pertama yang memeriksa perkara, maka pengadilan dalam

hal ini dapat dianggap melakukan kelalaian.

2. Kekeliruan penerapan hukum acara

Kekeliruan atau kesalahan dalam penerapan hukum acara terjadi apabila

terdapat ketentuan yang “melarang” dilakukan atau ditempuhnya suatu cara

tertentu, namun pengadilan melanggar larangan itu. Dalam hal ini, maka

pengadilan dapat dianggap keliru atau salah menerapkan hukum acara.

3. Ada yang kurang lengkap

Pengadilan Tinggi menganggap ada hal-hal yang perlu dilengkapi, misalnya

pemeriksaan terhadap Terdakwa masih kurang lengkap, kekurang-lengkapan

44
Indriyanto Seno Adji, KUHAP Dalam Prospektif, Diadit Media, Jakarta, 2011, hal. 34
45
M. Yahya Harahap, Op.cit., hal. 495-497
40

keterangan saksi atau keterangan Terdakwa, atau kekurangan yang

berhubungan dengan pemeriksaan saksi yang belum pernah diperiksa, atau

pemeriksaan ahli.

Alasan-alasan di atas pada dasarnya merupakan alasan Pengadilan Tinggi

dalam memerintahkan kepada Pengadilan Negeri untuk melakukan pemeriksaan

tambahan. Pemeriksaan tambahan tersebut dimaksudkan untuk membuat fakta

dan peristiwa semakin jelas dan nyata. Prosedur yang ditempuh yaitu setelah

Pengadilan Tinggi memeriksa perkara dan menganggap perlu menambah

pemeriksaan sebelum mengambil atau menjatuhkan putusan, Pengadilan Tinggi

terlebih dahulu menangguhkan putusan akhir, dan memerintahkan Pengadilan

Negeri untuk melaksanakan pemeriksaan tambahan, yang dapat pula meliputi hal-

hal yang diperinci oleh Pengadilan Tinggi untuk digali oleh Pengadilan Negeri

dalam pemeriksaan tambahan tersebut.

2.1.4.2 Kasasi

Kasasi artinya pembatalan putusan oleh Mahkamah Agung. Pengadilan

kasasi ialah Pengadilaan yang memeriksa apakah judec factie tidak salah dalam

melaksanakan peradilan. Upaya hkum kasasi adalah upaya agar putusan judec

factie dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena salah dalam melaksanakan

peradilan.46

Menurut ketentuan Pasal 244 KUHAP, Terhadap putusan perkara pidana

yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada

46
H.A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2008, hal. 292- 293
41

Mahkamah Agung, Terdakwa atau Penuntut umum dapat mengajukan permintaan

pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.

Pasal 253 (1) KUHAP menjelaskan Pemeriksaan dalam tingkat kasasi

dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak guna menentukan:

(a) apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak

sebagaimana mestinya;

(b) apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-

undang;

(c) apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

Suatu permohonan kasasi dapat diterima atau ditolak untuk diperiksa oleh

Mahakamah Agung. Menurut KUHAP, suatu permohonan ditolak jika47:

1. Putusan yang dimintakan kasasi ialah putusan bebas ( Pasal 244 KUHAP ).

Senada dengan ini putusan Mahkamah Agung tanggal 19 Swptember 1956

No. 70/Kr/1956. Mengenai putusan bebas tidak murni;

2. Melewati tenggang waktu penyampaian permohonan kasasi kepada panitera

pengadilan yang memeriksa perkaranya, yaitu 14 (empat belas) hari sesudah

putusan disampaikan kepada terdakwa (Pasal 245 KUHAP) senada dengan itu,

Putusan Mahkamah Agung tanggal 12 September 1974 No. 521/K/Kr/1975;

3. Sudah ada keputusan kasasi sebelumnya mengenai perkara tersebut. Kasasi

hanya dilakukan sekali (Pasal 247 ayat (4) KUHAP);

4. Pemohon tidak mengajukan memori kasasi (Pasal 248 ayat (1) KUHAP), atau

tidak memberitahukan alasan kasasi kepada panitera, jika pemohon tidak

47
Andi, Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 209-300
42

memahami hukum (Pasal 248 ayat (2) KUHAP), atau pemohon terlambat

mengajukan memori kasasi, yaitu empat belas hari sesudah mengajukan

permohonan kasasi (Pasal 248 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP);

5. Tidak ada alasan kasasi atau tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 253 ayat (1)

KUHAP tentang alasan kasasi.

Selain syarat-syarat yang ditentukan oleh KUHAP tersebut, juga perlu

ditinjau yurisprudensi Mahkamah Agung yang berkaitan dengan penolakan kasasi

seperti :

1. Permohonan diajukan oleh seorang kuasa tanpa kuasa khusus (putusan

Mahkamah Agung tanggal 11 September 1958 No. 117 K/Kr?1958);

2. Permohonan kasasi diajukan sebelum ada putusan akhir pengadilan tinggi

(putusan Mahkamah Agung tanggal 17 Mei 1958 No. 66K/Kr/1961);

3. Permohonan kasasi terhadap putusan sela (Putusan Mahkamah Agung tanggal

25 Februari 1958 No.320 K/Kr/1957)

4. Permohonan kasasi dicap jempol tanpa pengesahan oleh pejabat berwenang

(Putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Desember 1961 No.137 K/Kr/1961)

Kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan oleh Jaksa Agung.

Kasasi demi kepentingan hukum secara formal didasarkan pada Pasal 259

KUHAP, yang menentukan sebagai berikut:

1. Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung,

dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung.


43

2. Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang

berkepentingan.

Permohonan kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan satu kali saja

oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung. Hukuman yang dijatuhkan tidak

boleh lebih berat dari hukuman semula yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap.

2.2 Alur Pikir

Asas kepastian hukum mempunyai dua aspek, yang satu lebih bersifat

hukum material, yang lain bersifat formal. Aspek hukum material terkait erat

dengan asas kepercayaan. Dalam banyak keadaan asas kepastian hukum

menghalangi lembaga negara dan badan-badan pemerintahan untuk menarik

kembali suatu keputusan atau mengubahnya untuk kerugian yang berkepentingan.

Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah

pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan

menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma

adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi

aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku

dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun

dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi

masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu.

Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian


44

hukum.48 Pemberian batasan peraturan tersebut menjadi pedoman sehingga dapat

memberikan kepastian dari setiap persoalan hukum yang akan dihadapi.

Secara umum, jika keadilan ditinjau berdasarkan pada persamaan hak,

maka kepastian hukum ini ditinjau dari sudut pandang yuridis, dengan kata lain

hukum bertujuan untuk memberikan kepastian demi terciptanya keadilan yang

diidam-idamkan. Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum

dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian

hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, dan

sekiranya dapat di kemukakan bahwa “summum ius, summa injuria, summa lex,

summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali

keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan

merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling

substantif adalah keadilan.49 Namun penulis berpendapat lain tentang hal tersebut,

karena “ayat-ayat” hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis dibuat

dengan tujuan agar menciptakan kepastian, sehingga setiap permasalahan yang

dihadapi dapat diselesaikan dengan hukum yang “jelas” dan “terang”.

Kepastian hukum ini berasal dari ajaran yuridis-dogmatik yang didasarkan

pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum

sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini,

hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum

tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum

48
Hans Kelsen dalam : Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008,
hal. 158
49
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang
Pressindo, Yogyakarta, 2010, hal.59
45

itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan

hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan

bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan,

melainkan semata-mata untuk kepastian.50

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yang

pertama adalah adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui

perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan yang kedua adalah

berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena

dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja

yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.51

Pasal 244 KUHAP menyatakan “Terhadap putusan perkara pidana yang

diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah

Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan

kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Pasal ini

menerangkan bahwa upaya hukum kasasi terhadap putusan pengadilan dapat

diajukan oleh terdakwa atau penuntut umum, namun ada pengecualian bahwa

upaya kasasi tersebut tidak dapat dilakukan terhadap putusan bebas.

Praktek hukum acara pidana di Indonesia memberikan peluang kepada

jaksa penuntut umum untuk mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini

didasarkan pada Keputusan Menteri KehakimanNomorM.14-PW.07.03 Tahun

50
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Penerbit Toko
Gunung Agung, Jakarta, 2002, hal.82-83
51
Utrech dalam Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya
Bakti,Bandung, 1999, hal. 23
46

1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP),

memberikan peluang untuk jaksa melakukan penuntutan.

Perkembangan tentang Pasal 244 KUHAP tersebut mengalami perubahan,

dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 114/PUU-X/2012

yang mengabulkan permohonan Pemohon terhadap frase “kecuali terhadap

putusan bebas”. Dalam amar putusannya, Hakim Mahkamah Konstitusi

menyatakan bahwa frase tersebut tidak lagi mempunyai kekuatan hukum

mengikat.

Penulis tidak mempermasalahkan hal tersebut karena secara tidak langsung

dapat memberikan kepastian. Namun apakah merupakan suatu kewajaran jika

terhadap putusan bebas dapat langsung dimohonkan kasasi terhadap Mahkamah

Agung?, sedangkan sebelumnya dalam Pasal 244 sudah memberikan kejelasan

bahwa penuntut umum tidak dapat mengajukan kasasi terhadap putusan bebas.

Oleh karena itu, penulis berpandangan perlu untuk dikaji kembali tentang kasasi

sebagai upaya hukum terhadap putusan bebas.

Anda mungkin juga menyukai