hukum, dan di tangan para hakim sebagai pimpinan dari lembaga peradilan
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) terdiri atas 2 (dua),
dan lembaga ini merupakan lembaga tinggi negara yang menjalankan fungsi
lembaga tinggi negara tersebut adalah Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah
untuk menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman. Hal tersebut diatur dengan jelas
11
12
di bawahnya.
dan 2 orang anggota, seorang Pokrol jendral dan 2 (dua) orang Advokat Jendral,
seorang Panitera di mana perlu dibantu seorang Panitera Muda atau lebih. Jika
4
Mahkamah Agung, Sejarah Mahkamah Agung, diakses melalui
[https://www.mahkamahagung.go.id/pr2news.asp?bid=5], tanggal 29 Juli 2015
5
Ibid.
13
(2) appelraad-appelradd;
(3) pengadilan sipil dan pengadilan militer, kecuali perselisihan itu timbul di
tersebut, di atur berdasarkan Pasal 25 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha
negara”.
pelanggaran hukum dalam perkara perdata dan perkara dan pidana. Perkara
berasal dari Badan Negara lainnya. Semua putusan dari masalah atau perkara
kejahatan. Selain itu, pengadilan juga harus melakukan upaya inkapasiti terhadap
orang yang melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang menjadi
law,memperlakukan pelaku tindak pidana dengan wajar sesuai aturan hukum yang
kejahatan.
kedudukan lembaga peradilan umum yang menangani perkara pidana, serta tugas
pengaruh dari hukum agama yaitu Hindu dan Islam serta hukum adat. Pengaruh
agama Hindu tersebut dapat dilihat pada sistem peradilannya di mana dibedakan
6
Tresna, Peradilan Di Indonesia Dari Abad Ke Abad, cet. Ke-3, Pradnya Paramita, Jakarta, 1978,
hal. 16.
16
Perkara Pradata adalah perkara yang menjadi urusan peradilan raja yang
diadili oleh raja sendiri yaitu perkara yang membahayakan mahkota, keamanan
dan ketertiban negara, hukum Pradata ini bersumber dari hukum Hindu di mana
Raja adalah pusat kekuasaan. Sedangkan perkara Padu adalah perkara mengenai
kepentingan rakyat perseorangan, perkara ini diadili oleh pejabat negara yang
berhadapan dengan orang yang diadili. Dengan kata lain, orang (terdakwa) yang
fakta-fakta yang ada (judex factie) beserta bukti dan juga para saksi. Sebagai suatu
orang, kecuali orang yang berstatus militer dalam perkara pidana diadili oleh
peradilan militer, namun dalam perkara perdata diadili oleh pengadilan negeri.
Selain itu, Pengadilan Negeri berwenang mengadili semua orang yang tersangkut
jabatan, serta status sosial, baik seorang warga negara biasa yang tidak memiliki
karena undang-undang dasar 1945 tidak menganut asas yang biasa disebut forum
7
Ibid.
8
Ahmad Fauzan, Perundang-Undangan Lengkap Tentang Peradilan Umum, Peradilan Khusus
dan Mahkamah Konstitusi, Kencana, Jakarta, 2005, hal. 53
17
Kekuasaan secara mutlak atau absolut yaitu bahwa untuk mengadili dan
perkara apa yang berwenang untuk diadili. Adapun kompetensi tersebut adalah
sebagai berikut10:
di tingkat pertama”.
untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
penghentian penuntutan;
9
Mahfud M.D. berpandangan bahwa Indonesia menganut model campuran antara impeachment
dan forum previlegiatum. Hal ini karena pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus
dimulai dari penilaian dan keputusan politik di DPR (impeachment). Setelah itu dilanjutkan ke
pemeriksaan dan putusan hukum oleh Mahkamah Konstitusi (forum previlegiatum), lalu
dikembalikan lagi ke prosedur impeachment di DPR untuk selanjutnya diteruskan ke MPR. Pada
MPR pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden akan diputuskan secara politik. Oleh
karena itulah menurut Mahfud M.D. tepat bila dikatakan UUDNRI 1945 menganut sistem
campuran antara mekanisme impeachment dan forum previlegiatum, yakni dari impeachment ke
forum previlegiatum dan kembali ke impeachment lagi. (Sumber : Moh. Mahfud M.D.,
Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hal.
142-143)
10
Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, Hukum Acara Pidana : Suatu Pengantar, Kencana, Jakarta,
2014, hal. 30-31
18
pada besar kecilnya daerah hukumya. Arti penting suatu “Daerah Hukum”
relatif” antara lain dalam hukum acara pidana tentang tempat terjadinya tindak
pidana (locus delicti) dan dalam hukum acara perdata tantang pengajuan
gugatan.11
Adapun inti dari isi pasal tersebut adalah, Pengadilan Negeri berwenang
mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah
11
K. Wantjik Saleh, Kehaikam dan Peradilan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1977, hal. 56
19
lebih dekat pada tempat pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana
itu dilakukan. Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam
daerah hukum berbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan perkara pidana
itu, terhadap beberapa perkara yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan
dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum berbagai pengadilan negeri , diadili
namun pengadilan negeri juga mencakup perkara perdata dan juga pada Surat
penetapan atau tentang keputusan pengadilan itu merupakan surat esensial bagi
muka Pengadilan Negeri berlaku dengan lisan yang berarti pemeriksaan perkara
pada pokoknya berjalan dengan tanya jawab dengan lisan di muka hakim. Hakim
pada prinsipnya di peradilan acara perdata bersifat pasif, hakim pada dasarnya
12
Sudarsono, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, dan Peradilan Tata
Usaha Negara, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal. 11
13
Ibid., hal. 36
20
undang dituruti oleh kedua belah pihak, hakim akan ikut campur jikalau tata tertib
sidang pengadilan dilanggar atau dari salah satu pihak bertindak tidak pantas.14
1. Peradilan Anak
Undang-Undang ini;
umum; dan
proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau
tindakan.
Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri
manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,
14
Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994, hal. 19
21
tentang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud dengan Pelanggaran hak asasi
aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang
mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin
Komisi Nasional Hak Asasi yang selanjutnya disebut Komisi Nasional HAM
3. Pengadilan Niaga
Menurut Pasal 280 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, ketentuan
pada pasal tersebut, maka ada dua hal penting yang perlu dicermati dalam
6. Pengadilan Perikanan
15
Ibid., hal. 193-194
16
Ibid., hal 208
23
bisnis perikanan.17
yaitu18:
perkara yang diputus oleh pengadilan negeri dalam daerah hukumnya yang
dimintakan banding”.
Umum, bahwa :
3. Prorogais mengenai perkara perdata (Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-undang
(Drt) Nomor 1 Tahun 1951 Pasal 128 ayat (2) RO, Pasal 85 Rbg.
17
Ibid.
18
Andi Sofyan dan Abd. Asis, Op.cit., hal 33-34
24
bebas dari campur tangan badan-badan legislatif dan eksekutif. Hal ini
mendapat tempat dalam UUD 1945. Oleh karenanya peradilan yang bebas dan
tangan, instruksi tetapi bahkan juga rekomendasi dari eksekutif dan legislatif
pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efektif dan
efisien, sedang biaya ringan maksudnya biaya yang dapat dijangkau oleh
19
Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hal. 289
25
depan umum oleh pengadilan, yang ditentukan terdahulu sebagai suatu syarat
pengadilan.21
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses
20
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1980, hal. 111
21
Ibid., hal. 130
26
memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien serta
yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka
prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala
bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang,
putusan yang paling tidak dapat memberikan keadilan bagi semua pihak. Putusan
yang dikeluarkan oleh pengadilan disebut juga dengan istilah vonis (eind
vonnis)24, putusan yang penulis maksudkan adalah suatu putusan akhir dalam
yang diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka, yang dapat berupa
pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta
22
Jimmy Ash-Shiddieqy, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, melalui :
[http://www.economic-law.net/jurnal/Cita NegaraHukumIndonesia.Doc], tanggal akses 01
Agustus 2015
23
Ibid.
24
Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanase, Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana, Angkasa,
Bandung, 1990, hal. 198.
27
persidangan serta terbuka yang dimaksudkan agar diketahui oleh umum. Putusan
(vrijspraak), dan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van recht vervolging).
yang dapat dijatuhkan paling lama 10 (sepuluh) tahun. Sedangkan jika hakim
adalah26:
kerja.
terdakwa yang tidak ditahan agar segera dimasukkan dalam tahanan, akan tetapi
dalam hal ini di syaratkan oleh Pasal 193 ayat (2) sub a KUHAP, bahwa perintah
25
Suryono Sutarno, Hukum Acara Pidana.Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,
2004, hal.76-78
26
Ibid.
28
melakukan tindak pidana seperti tersebut dalam Pasal 21 KUHAP, yaitu yang
diancam dengan pidana penjara minimum 5 tahun atau lebih atau termasuk tindak
pidana yang disebut satu demi satu oleh Pasal 21 KUHAP (ingat syarat obyektif
putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, terdakwa akan melarikan diri,
merusak atau menghilangkan barang bukti ataupun mengulangi tindak pidana lagi
Menurut pasal 192 ayat (1) jo. Pasal 197 ayat (3) KUHAP, baik perintah
untuk penahanan atau pembebasan dari tahanan harus segera dilaksanakan oleh
jaksa segera setelah putusan diucapkan. Jadi, apabila terdakwa atau penuntut
perintah agar terdakwa di keluaran dari tahanan, sambil menunggu putusan dari
pengadilan tinggi terdakwa berada (dimasukkan) dalam tahanan. Dalam hal ini
diteruskan atau perintah penahanan itu dicabut (Pasal 238 ayat 2 KUHAP). Perlu
dikemukakan disini bahwa dalam hal putusan bebas, atau lepas dari segala
barang bukti (stuken van overtuiging) diserahkan kepada orang yang paling
27
Ibid.
29
putusan, kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus
tidak dapat dipergunakan lagi (Pasal 194 ayat 1 KUHAP). apabila hakim
nafkah, seperti kendaraan bermotor atau alat-alat pertanian dan lain-lain, hakim
segera setelah persidangan selesai (Pasal 194 ayat 2 KUHAP). Ini berarti bahwa
penyerahan barang bukti tersebut dapat dilakukan meskipun putusan hakim belum
memperoleh kekuatan hukum tetap, akan tetapi harus disertai dengan syarat
Menurut Pasal 195 KUHAP semua putusan pengadilan hanya sah dan
mempunyai kekuatan hukum jika putusan itu diucapkan di sidang terbuka untuk
umum. Menurut ketentuan Pasal 196 ayat (1) KUHAP pengadilan memutus
lain. Sedangkan menurut ayat (2) dari Pasal 196 tersebut dinyatakan bahwa
apabila terdapat lebih dari satu orang terdakwa dalam satu perkara, maka putusan
diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada. Menurut Pasal 196 ayat (3)
KUHAP, segera setelah putusan pemidanaan diucapkan, maka hakim ketua sidang
28
Ibid.
30
wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang segala apa yang menjadi haknya,
yaitu29:
putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini (hak
pikir-pikir);
menerima putusan;
(d) Hak minta diperiksa perkaranya dalam tinkat banding dalam tenggang waktu
Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang berbunyi
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara
Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar
29
Ibid.
31
pidana.
Ketentuan tersebut di atas, berarti putusan bebas ditinjau dari segi yuridis
ialah putusan yang dinilai oleh majelis hakim tidak memenuhi asas pembuktian
yakin atas kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu. Selain itu juga tidak
didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang
yang sah.30
Putusan bebas dapat dibagi dalam beberapa macam yang antara lain
sebagai berikut :
tidak terbukti.31
Putusan bebas tidak murni adalah putusan dalam hal batalnya dakwaan secara
30
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 348
31
Achmad S. Soemadipradja. Pokok-pokok Hukum Acara Pidana Indonesia, Alumni, Bandung,
1981, hal. 89
32
merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang terselubung, dapat
dikatakan apabila dalam suatu dakwaan unsur delik dirumuskan dengan istilah
32
Ibid.
33
Oemar Seno Adjie, KUHAP Sekarang, Erlangga, Jakarta, 1989, hal. 167
34
Ibid., hal. 164
35
Achmad S. Soemadipradja, Loc.cit.
33
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dari ketentuan Pasal 183
(1) Asas minimum pembuktian, yaitu asas bahwa untuk membuktikan kesalahan
terdakwa.
Berdasarkan kedua asas yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP tersebut,
apabila dihubungkan dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, maka putusan bebas
(1) kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan
36
Ibid.
37
M.Yahya Harahap, Op.cit., hal. 348
38
Ibid.
34
terbukti secara sah dan meyakinkan, karena menurut penilaian hakim semua
alat bukti yang diajukan tidak cukup atau tidak memadai, atau
pembuktian. Misalnya, alat bukti yang diajukan hanya satu orang saksi. Dalam
hal ini, selain tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian itu juga
bertentangan dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan unnus
(3) Putusan bebas di sini bisa juga didasarkan atas penilaian, kesalahan yang
terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim jadi sekalipun secara formal
kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup terbukti, namun nilai pembuktian yang
cukup ini akan lumpuh apabila tidak didukung oleh keyakinan hakim. Dalam
keadaan penilaian seperti ini, putusan yang akan dijatuhkan pengadilan adalah
2.1.4.3 Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (ontslag van recht
vervolging)
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum berbeda dengan putusan bebas.
Terhadap putusan ini, pengadilan dalam hal ini hakim berpendapat bahwa
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak
merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan
hukum. Putusan pelepasan ini disebut juga dengan ontslag van recht vervolging.
Dalam putusan ini semua yang didakwakan oleh Penuntut Umum terbukti secara
sah, akan tetapi hal yang didakwakan bukan merupakan tindak pidana atau dengan
35
kata lain perbuatan tersebut tidak memenuhi unsur tindak pidana. Sehingga hakim
Dasar yuridis putusan lepas dari segala tuntutan hukum, yakni Pasal 191
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak
merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan
hukum.” Jika memperhatikan ketentuan tersebut, bahwa pada putusan lepas dari
segala tuntutan hukum, dapat diketahui apa yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti secara sah dan meyakinkan akan tetapi perbuatannya bukan merupakan
ruang lingkup hukum pidana sehingga terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan
hukum.
fungsinya yang negatif yakni mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada di
segala tuntutan hukum, oleh penulis) perbuatan yang memenuhi rumusan undang-
misalnya40:
(a) Hak dari orang tua, guru untuk menertibkan anak-anak atau anak didiknya.
(b) Hak yang timbul dari pekerjaan seorang dokter, apoteker, bidan.
(c) Ijin atau persetujuan dari orang yang dirugikan kepada orang lain mengenai
suatu perbuatan yang dapat dipidana apabila dilakukan tanpa izin atau
persetujuan.
39
Mohammad Taufik Makarao, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 172-177
40
Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990, hal. 66
36
kepada terdakwa adalah terbukti, akan tetapi yang terang terbukti itu tidak
dapat dijatuhi suatu hukuman pidana menurut beberapa Pasal dari Kitab
(b) Pasal 45 KUHP, yaitu perbuatan pidana yang dilakukan anak di bawah
umur.
keadaan diserang oleh orang lain dan harus membela diri (noordeer).
41
Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Di Dalam Proses Pidana, Liberty,
Yogyakarta, 1998, hal. 272-273
37
suatu perintah yang diberikan secara sah oleh seorang pejabat yang
Upaya hukum terdiri atas dua jenis yang antara lain yaitu upaya hukum
biasa, dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa yang dapat ditempuh oleh
terdakwa yaitu Banding dan kasasi. Sedangkan untuk mengajukan upaya hukum
menyatakan, bahwa Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding
lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya
penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Oleh karena itu,
penulis akan menguraikan tentang beberapa hal tentang upaya hukum banding.
2.1.4.1 Banding
Upaya hukum banding adalah salah satu jalan yang dapat dimintakan oleh
setiap pihak yang berkepentingan dalam perkara, agar kiranya suatu Putusan yang
telah dijatuhkan oleh Pengadilan Tingkat Pertama dapat diperiksa lagi dalam
38
ditentukan menurut hukum, bahwa atasnya tidak dapat diajukan upaya banding.
Pasal 67 jo Pasal 233 ayat (1) KUHAP merupakan dasar hukum bagi para pihak
Jelas bahwa dalam upaya banding yang merupakan upaya hukum formal,
sifatnya merupakan upaya hukum biasa, dan ia juga merupakan hak yang
KUHAP.42
yang bersifat judex factie. Artinya, pemeriksaan banding meliputi seluruh aspek
oleh Terdakwa atau Penuntut Umum untuk mengajukan Upaya Hukum Banding.
jelas dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Hal ini tentu menimbulkan sedikit
kesulitan, mengingat penganutan asas legalitas dalam hukum acara pidana bersifat
42
M. Yahya Harahap,Op.cit., hal.
43
Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2008, hal. 103-
107
39
sangat limitatif, yakni bahwa “acara pidana dijalankan hanya menurut cara yang
Pasal 240 ayat (1) KUHAP dapat diketahui bahwa Putusan Pengadilan
sedemikian rupa, yakni terdapat kelalaian dalam penerapan hukum acara, atau
kekeliruan atau ada keputusan kurang lengkap, agar kemudian alasan tersebut
dapat dijadikan alasan oleh Pengadilan Tinggi untuk memperbaiki suatu putusan
Kekeliruan dalam penerapan hukum acara terjadi apabila sesuatu ketentuan itu
berupa perintah yang harus dilaksanakan, tapi perintah itu tidak dituruti oleh
tertentu, namun pengadilan melanggar larangan itu. Dalam hal ini, maka
44
Indriyanto Seno Adji, KUHAP Dalam Prospektif, Diadit Media, Jakarta, 2011, hal. 34
45
M. Yahya Harahap, Op.cit., hal. 495-497
40
pemeriksaan ahli.
dan peristiwa semakin jelas dan nyata. Prosedur yang ditempuh yaitu setelah
Negeri untuk melaksanakan pemeriksaan tambahan, yang dapat pula meliputi hal-
hal yang diperinci oleh Pengadilan Tinggi untuk digali oleh Pengadilan Negeri
2.1.4.2 Kasasi
kasasi ialah Pengadilaan yang memeriksa apakah judec factie tidak salah dalam
melaksanakan peradilan. Upaya hkum kasasi adalah upaya agar putusan judec
peradilan.46
yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada
46
H.A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2008, hal. 292- 293
41
dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak guna menentukan:
(a) apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya;
(b) apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-
undang;
Suatu permohonan kasasi dapat diterima atau ditolak untuk diperiksa oleh
1. Putusan yang dimintakan kasasi ialah putusan bebas ( Pasal 244 KUHAP ).
putusan disampaikan kepada terdakwa (Pasal 245 KUHAP) senada dengan itu,
4. Pemohon tidak mengajukan memori kasasi (Pasal 248 ayat (1) KUHAP), atau
47
Andi, Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 209-300
42
memahami hukum (Pasal 248 ayat (2) KUHAP), atau pemohon terlambat
permohonan kasasi (Pasal 248 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP);
5. Tidak ada alasan kasasi atau tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 253 ayat (1)
seperti :
Kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan oleh Jaksa Agung.
Kasasi demi kepentingan hukum secara formal didasarkan pada Pasal 259
kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung,
2. Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang
berkepentingan.
Permohonan kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan satu kali saja
oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung. Hukuman yang dijatuhkan tidak
boleh lebih berat dari hukuman semula yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Asas kepastian hukum mempunyai dua aspek, yang satu lebih bersifat
hukum material, yang lain bersifat formal. Aspek hukum material terkait erat
Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah
adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi
aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku
maka kepastian hukum ini ditinjau dari sudut pandang yuridis, dengan kata lain
sekiranya dapat di kemukakan bahwa “summum ius, summa injuria, summa lex,
summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali
merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling
substantif adalah keadilan.49 Namun penulis berpendapat lain tentang hal tersebut,
karena “ayat-ayat” hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis dibuat
pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum
sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini,
hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum
tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum
48
Hans Kelsen dalam : Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008,
hal. 158
49
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang
Pressindo, Yogyakarta, 2010, hal.59
45
itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan
hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan
pertama adalah adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan yang kedua adalah
dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja
diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah
kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Pasal ini
diajukan oleh terdakwa atau penuntut umum, namun ada pengecualian bahwa
jaksa penuntut umum untuk mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini
50
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Penerbit Toko
Gunung Agung, Jakarta, 2002, hal.82-83
51
Utrech dalam Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya
Bakti,Bandung, 1999, hal. 23
46
mengikat.
bahwa penuntut umum tidak dapat mengajukan kasasi terhadap putusan bebas.
Oleh karena itu, penulis berpandangan perlu untuk dikaji kembali tentang kasasi