Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

A. PROFIL PUSKESMAS DUMBO RAYA

Puskesmas Dumbo Raya adalah Puskesmas rawat jalan yang di dirikan pada
tanggal 13 Februari 2013 dan dalam kurun waktu tiga tahun telah melaksanakan kegiatan
pelayanan Kesehatan kepada masyarakat di wilayah kecamatan Dumbo Raya sehingga
Puskesmas Dumbo Raya sebagai organisasi atau lembaga milik Pemerintah telah
berperan sebagai ujung tombak terdepan dalam melaksanakan pembangunan bidang
kesehatan. Dalam menjalankan fungsinya Puskesmas harus menerapkan fungsi
managemen dengan sebaik- baiknya, karena dalam organisasi Puskesmas terdapat
sumber- sumber daya, program, sarana dan prasarana yang sangat kompleks, yang mana
bila tidak menjalankan managemen dengan baik akan timbul banyak permasalahan-
permasalahan yang akan mengganggu proses dalam mencapai tujuan. Dalam proses
pencapaian tujuan yang diinginkan Puskesmas harus melaksanakan Perencanaan,
Pengorganisasian, Pelaksanaan dan penilaian (evaluasi) dengan sebaik-baiknya karena
hanya dengan cara tersebut suatu organisasi akan dapat menjalankan fungsinya dengan
baik.

Profil Puskesmas Dumbo Raya disusun dimaksudkan untuk memberikan


gambaran kepada Pembaca, Masyarakat atau relasi yang ingin mengetahui informasi
secara lengkap mengenai Puskesmas Dumbo Raya. Profil Puskesmas Dumbo Raya ini
berisi tentang informasi mengenai sistem Pelayanan, hasil, kegiatan, fasilitas yang
disediakan dan sebagainya.

a. DATA SITUASI UMUM

Nomor Kode Puskesmas : P7571010201


Nama Puskesmas : Dumbo Raya
Kecamatan : Dumbo Raya
Kota : Gorontalo
Propinsi : Gorontalo

1
b. DATA WILAYAH
1) Luas wilayah :
- Dataran rendah : 60 %
- Dataran tinggi : 40 %
2) Batas wilayah
- Sebelah Utara : berbatasan denganKec. Kota Timur
- Sebelah Timur : berbatasan dengan Kab. Bone Bolango
- Sebelah Selatan : berbatassn dengan Teluk Tomini
- Sebelah Barat : berbatasan dengan Kota Selatan

P E TA WILAYAH

3) Jumlah desa / kelurahan : 5 kelurahan


- Kelurahan Talumolo
- Kelurahan Bugis
- Kelurahan Botu
- Kelurahan Leato Utara
- Kelurahan Leato Selatan

B. LATAR BELAKANG PENGOBATAN TB PARU


Pada tahun 2017 WHO telah mengingatkan tuberkulosis telah melampaui
HIV/AIDS sebagai pembunuh nomor satu di dunia, dan penyebab kematian kesembilan
di seluruh dunia. Dari total kematian akibat penyakit sebanyak 10,4 juta pada tahun
2016, sebanyak 1,7 juta orang meninggal akibat tuberkulosis terbesar adalah India,

2
Indonesia, Cina, Filipina , dan Pakistan. Yang menarik pada kongres pendahuluan di
bulan Juli 2018 terjadi perdebatan antara Amerika Serikat dengan Afrika Selatan terkait
kekayaan intelektual obat TB bagi negara-negara miskin yang membutuhkan. Akhirnya
masalah ini dapat diatasi dengan berbagai kompromi (Financial Express, 2018).
Hasil survei memperkirakan setiap tahun terdapat 1 juta kasus TB Paru di
Indonesia. Ironisnya masyarakat masih banyak yang tidak sadar/tidak tahu tentang TB
dan bagaimana mengakses cara pengobatannnya. Sedangkan data survei mencatat
hanya 26% dari populasi umum dapat mengidentifikasi tanda dan gejala TB.
Selanjutnya hanya 19% yang mengetahui TB bisa diobati secara gratis.
Secara global tingkat penurunan TB berjalan sejak tahun 2000-2016 lambat
yakni 2% pertahun. Sekitar 4,1 juta penderita TB “menghilang” atau tidak tertangani
setiap tahun dan berkontribusi terhadap penularan penyakit ini. Global Fund, sebuah
lembaga donor anti TB terbesar di dunia, merekomendasikan penurunan 4-5% pertahun
hingga tahun 2020 agar tercapai tujuan strategi ‘End TB” (Global Fund, 2018).
Satu orang yang tidak terdeteksi dan tidak menjalani pengobatan bisa
menularkan TB pada 10 – 15 orang lainnya dalam 1 tahun kontak dekat. Kurangnya
pengetahuan tentang TB mengakibatkan penderita terlambat mencari pengobatan atau
bahkan tidak berobat sama sekali. Hal ini otomatis berkontribusi pada tingginya kasus
baru TB di Indonesia.
Hasil cakupan penemuan kasus penyakit TB Paru menurut Provinsi tahun
2016 didapatkan Gorontalo berada pada urutan ke-8 dari 34 Provinsi yaitu 82 BTA (+)
dari 100 kasus, sedangkan yang berada pada urutan pertama yaitu Provinsi Sulawesi
Utara dengan BTA (+) 165 dari 209 kasus, urutan kedua ditempati oleh Provinsi
Sulawesi Tenggara dengan BTA (+) sebanyak 112dari 140 kasus, urutan ketiga
ditempati oleh Provinsi Sulawesi Barat dengan BTA (+) sebanyak 95 dari 121 kasus,
urutan keempat ditempati oleh DKI Jakarta dengan BTA (+) sebanyak 93 dari 241
kasus, urutan kelima ditempati oleh Maluku dengan BTA (+) sebanyak 88 dari 173
kasus, urutan keenam ditempati oleh Sulawesi Tengah dengan BTA (+) sebanyak 87
dari 130 kasus, urutan ketujuh ditempati oleh Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan
dengan BTA (+) sebanyak 83 dari 126 dan 151 Kausus.
Untuk kasus TB Paru pada tahun 2017 (Bulan Berjalan) di Wilayah Kerja
Puskesmas Kota Selatan didapatkan sebanyak 54 kasus BTA (+) dari 636 kasus
ditambah dengan yang didapatkan pada hasil pemeriksaan Radiologi Rontgen Positif
sebnyak 12 Kasus.
3
C. KEBIJAKAN MANAJEMEN TB PARU
Jumlah kasus TB di Indonesia (WHO tahun 2017), di perkirakan ada
1.020.000 kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk) dengan 100.000
kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk). Di perkirakan 78.000 kasus TB dengan
HIV positif (10 er 100.000 penduduk), mortalitas 26.000). Jumlah seluruh kasus
324.539 kasus, di antaranya 314.965 adalah kasus baru. Secara nasional perkiraan
pravelensi HIV diantara pasien TB di perkirakan sebesar 6.2%. jumlah kasus TB-RO di
perkirakan sebanyak 10.000 kasus yang berasal dari 1.9% kasus TB-RO dari kasus baru
TB dan ada 12% kasus TB-RO dari TB dengan pengobatan ulang.
Untuk tercapainya target proram penanggulangan TB Nasional, pemerintah
Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota harus menetapkan target
penanggulangan TB tingkat daerah berdasarkan target nasional dan memperhatikan
Strategi Nasional. Strategi Nasional Penanggulangan TB sebagaimana di maksud terdiri
atas:
1. Penanggulangan kepemimpinan program TB
2. Peningkatan akses layanan TB yang bermutu
3. Pengendalian faktor risiko TB
4. Peningkatan kemitraan TB
5. Peningkatan kemandirian asyarakat dalam penanggulangan TB, dan
6. Penguatan manajemen program TB
Target Program Nasional Penaggulangan TB sesuai dengan target
eliminasi global adalah Eliminasi TB pada tahun 2035 dan Indonesia bebas TB tahun
2050. Eliminasi TB adalah tercapainya cakupan kasus TB 1 per 1 juta penduduk.
Tahapan pencapaian target dampak:
Target dampak pada 2020
 Penurunan angka kesakitan karena TB sebesar 30% dibandingkan angka
kesakitan pada tahun 2014 dan
 Penurunan angka kematian karena TB sebesar 40% dibandingkan angka
kematian pada tahun 2014.
Target dampak pada tahun 2025
 Penurunan angka kesakitan karena TB sebesar 50% dibandingkan angka
kesakitan pada tahun 2014 dan

4
 Penurunan angka kematian karena TB sebesar 70% dibandingkan angka
kematian pada tahun 2014
Target dampak pada 2030
 Penurunan angka kesakitan karena TB sebesar 80% dibandingkan angka
kesakitan pada tahun 2014 dan
 Penurunan angka kematian karena TB sebesar 90% dibandingkan angka
kematian pada tahun 2014.
Target dampak pada 2035
 Penurunan angka kesakitan karena TB sebesar 90% dibandingkan angka
kesakitan pada tahun 2014 dan
 Penurunan angka kematian karena TB sebesar 95% dibandingkan angka
kematian pada tahun 2014.

a). Pedoman Nasional Pengendalian TB


1. Visi dan Misi
Visi
“Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan
berkeadilan”
Misi
a. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan
masyarakat madani dalam pengendalian TB.
b. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata, nbermutu
dan berkeadilan.
c. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya pengendalian TB.
d. Menciptakan tata kelola program TB yang baik.
2. Tujuan dan Sasaran
Tujuan
Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka
pencapaian tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat.
Sasaran
Sasaran strategi nasional pengendalian TB ini mengacu pada rencana
strategis Kementrian Kesehatan dari 2009 sampai dengan tahun 2014 yaitu

5
menurunkan prevalens TB dari 235 per 100.000 penduduk menjadi 224 per
100.000 penduduk.
Sasaran luaran adalah :
1) Meningkatakan presentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang
ditemukan dari 73% menjadi 90%
2) Meningkatkan presentase keberhasilan pengobatan kasus baru TB paru
(BTA positif) mencapai 88%
3) Meningkatkan presentase provinsi dengan Crude Death Rate (CDR) di
atas 70% mencapai 50%
4) Meningkatkan presentase provinsi dengan keberhasilan pengobatan di
atas 85% dari 80%
3. Target Program TB
Target program penanggulangan TB Nasional adalah :
 Mulai tahun 2005 menemukan pasien baru TB BTA positif paling sedikit
70% dari perkiraan baru TB BTA positif
 Menyembuhkan paling sedikit 85% dari semua pasien baru TB BTA
positif yang diobati. Kenaikan angka penemuan semua kasus TB sebesar
5% dari capaian tahun sebelumnya (SPK 2013).
Sedangkan Millenium Development Goals (MDGs) menargetkan pada tahun
2015 angka insidens dan kematian akibat TB dapat diturunkan sebesar 50%
dibansing tahun 1990. Pada tahun 2010, target-target tersebut sudah data
tercapai.

b). Pengendalian Tb Nasional


1. Kebijakan Pengendalian TB di Indonesia
Untuk mencapai tujuan tersebut, ditetapkan kebijakan operasional sebagai
berikut :
a. Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan asas
desentralisasi dalam kerangka otonomi dengan kabupaten/kota sebagai
titik berat manajemen program, yang meliputi : perencanaan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dena,
tenaga, sarana dan prasarana).
b. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningktakan komitmen daerah
terhadap program pengendalian TB.

6
c. Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan
kemitraan di antara sector pemerintah, non-pemerintah, swasta dan
masyarakat dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian TB
(Gerdunas TB).
d. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan
kelompok rentan lainnya terhadap TB.
e. Pengendalian TB dilkasanakan dengan menggunakan strategi DOTS dan
kelompok rentan lainnya terhadap TB.
f. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap
peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan
pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya TB kebal obat ganda.
g. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan
oleh seluruh fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), meliputi
Puskesmas, Rumah SAkit Pmerintah, B/BKPM, Klinik Pengobatan,
Dokter Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas kesehatan lainnya.
h. Peningkatan kemampuan laboraturium di berbagai tingkat pelayanan
ditujukan untuk penngkatan mutu dan akses layanan.
i. Obat anti-TB (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara suma-suma
dan dikelola dengan manjemen logistic yng efektif demi menjamin
ketersediaannya.
j. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk
meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.
k. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan
kelompok rentan lainnya terhadap TB.
l. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.
m. Memperhatikan komitmen internasinal yang termuat dalam MDGs.

2. Strategi Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014


Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri atas 7 strategi :
a. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu.
b. Menghadapi tantangan TB/HIV, Tb resisten obat ganda, TB anak dan
kebutuhan masyarakat miskin serta rentan lainnya.

7
c. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyrakat (sukarela),
perusahaan dan swasta melalui pendekatan Public Private Mix (PPM)
menjamin kepatuhan terhadap International Standards for TB care.
d. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.
e. Memberikan kontribusi dalam penguatan system kesehatan dan
manajemen program pengendalian TB.
f. Memberikan kontribusi dalam penguatan system kesehatan dan
manajemen program pengendalian program TB.
g. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi
strategis.

3. Kegiatan
a. Tata laksana pasienTB :
 Penemuan tersangka (suspek) TB
 Diagnosi
 Pengobatan
b. Manajemen Program :
 Perencanaan
 Pelaksanaan
- Pencatatan dan pelaporan
- Pelatihan
- Bimbingan teknis
- Pemantapan mutu laboratorium
- Pengelolaan logistic
c. Kegiatan Penunjang :
 Promosi
 Kemitraan
 Penelitian
d. Kolaborasi TB/HIV di Indonesia, meliputi :
 Membentuk mekanisme kolaborasi
 Menurunkan beban TB pada ODHA dan
 Menurunkan beban HIV pada pasien TB.

8
4. Organisasi Pelaksanaan
Aspek manajemen program :
a. Tingkat Pusat
Upaya penanggulangan TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu
Nasional Penanggulangan TB (Gedurnas-TB) yang merupakan forum
lintas sector di bawah koordinasi menteri Koordinator Kesejahteraan
Rakyat. Menteri Ksehetan sebagi penanggung jawab teknis upaya
penanggulangan TB.
Pelaksanaan progeam TB secara nasional dilaksanakan oleh
Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Langsung, cqq. Sub Direktorat
TB.
b. Tingkat Provinsi
Di tingkat provinsi dibentuk Gedurnas-TB provinsi yang terdiri atas
Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan
dengan kebutuhan daerah. Pelaksanaan program TB di tingkat provinsi
dilaksanakan dinas kesehatan provinsi.
c. Tingkat Kabupaten/Kota
Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Gedurnas-TB kabupaten/kota
yang terdiri atas Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur
organisasi disesuaikan dengan kebutuhan kabupaten/kota. Pelaksanaan
program TB di tingkat kabupaten/kota dilaksanakan oleh dinas kesehatan
kabupaten/kota.

D. Data Kesehatan Pengagulanan TB Paru


1. Kasus Baru BTA Positif (BTA+)
Pada tahun 2014 ditemukan jumlah kasus baru BTA+ sebanyak 176.677 kasus.
Menurut jenis kelamin, kasus BTA+ pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan
yaitu 1,5 kali dibandingkan kasus BTA+ pada perempuan. Pada masing-masing
provinsi di seluruh Indonesia kasus BTA+ lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibandingkan perempuan. Menurut kelompok umur, kasus baru paling banyak
ditemukan pada kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar 20,76% diikuti kelompok
umur 45-54 tahun sebesar 19,57% dan pada kelompok umur 35-44 tahun sebesar
19,24%. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara
ekonomis (15-50 tahun).

9
2. Proporsi pasien baru BTA positif di antara semua kasus TB
Sedangkan proporsi pasien baru BTA+ di antara semua kasus TB
menggambarkan prioritas penemuan pasien TB yang menular di antara seluruh pasien
TB paru yang diobati. Angka ini diharapkan tidak lebih rendah dari 65%. Apabila
proporsi pasien baru BTA+ di bawah 65% maka hal itu menunjukkan mutu diagnosis
yang rendah dan kurang memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang
menular (pasien BTA+. Pada tahun 2014 proporsi BTA Positif di antara seluruh kasus
TB Paru mencapai 62% memperlihatkan bahwa sampai dengan tahun 2014 proporsi
pasien baru BTA+ di antara seluruh kasus belum mencapai target yang diharapkan.
Hal itu mengindikasikan mutu diagnosis yang rendah dan kurangnya prioritas
menemukan kasus BTA+ di Indonesia.
3. Angka notifikasi kasus atau case notification rate (CNR)
Angka notifikasi kasus adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru
yang ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu.
Angka ini apabila dikumpulkan serial akan menggambarkan kecenderungan
penemuan kasus dari tahun ke tahun di wilayah tersebut. Angka ini berguna untuk
menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat atau menurunnya penemuan pasien
pada wilayah tersebut. Angka notifikasi kasus BTA+ pada tahun 2014 di Indonesia
sebesar 70 per 100.000 penduduk dan angka notifikasi seluruh kasus TB di Indonesia
sebesar 113 per 100.000 penduduk. Angka notifikasi kasus ini mengalami penurunan
dibandingkan dengan tahun 2013.
4. Angka Keberhasilan Pengobatan
Salah satu upaya untuk mengendalikan TB yaitu dengan pengobatan. Indikator
yang digunakan sebagai evaluasi pengobatan yaitu angka keberhasilan pengobatan
(success rate). Angka keberhasilan pengobatan ini dibentuk dari angka kesembuhan
(cure rate) dan angka pengobatan lengkap. Pada tahun 2014 angka keberhasilan
pengobatan sebesar 81,3%. WHO menetapkan standar angka keberhasilan
pengobatan sebesar 85%. Dengan demikian pada tahun 2014, Indonesia tidak
mencapai standar tersebut.
Sementara Kementerian Kesehatan menetapkan target Renstra minimal 88%
untuk angka keberhasilan pengobatan pada tahun 2014. Berdasarkan hal tersebut,
capaian angka keberhasilan pengobatan tahun 2014 yang sebesar 81,3% juga tidak
memenuhi target Renstra tahun 2014. (Kemenkes, 2014)

10
E. Tujuan Umum Dan Khusus
1. Tujuan Umum
Menggambarkan secara umum mengenai sistem manajemen TB Paru terutama yang
diterapkan atau diaplikasikan di Puskesmas Dumbo Raya tahun 2018.
2. Tujuan Khusus
Setelah menyelesaikan kegiatan praktek manajemen TB Paru diharapkan mampu:
a. Menggambarkan pengertian TB Paru dan Manajemen TB Paru
b. Menggambarkan penyebab dan penularan TB Paru
c. Menggambarkan pemeriksaan TB Paru
d. Menggambarkan pengobatan TB Paru
e. Menggambarkan pencegahan TB Paru dan pencegahan kontak serumah
f. Menggambarkan pencatatan dan pelaporan TB Paru
g. Menggambarkan hasil cakupan program TB paru dengan menggunakan rumus
perhitungan indikator.

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian TB Paru DAN Manajement TB Paru


1. Pengertian TB Paru
Tuberculosis adalah penyakit infeksi yang menular di sebabkan oleh
bakteri micobacterium tuberculosis. Kuman tuberkulosis banyak menyerang organ
paru meskipun dapat menyerang organ yang lain sehingga penyakit ini di kenal
dengan nama Tuberkulosis Paru (TB Paru). Sedangkan yang menyarang organ lain
selain paru di namakan tuberculosis extra paru. Bakteri tuberkulosis mempunyai
keistimewaan, yaitu tahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol, oleh
karena itu disebut basil tahan asam (Widoyono, 2011).
Suspek TB adalah sesorang dengan gejala atau tanda sugestif TB (WHO
Pada Tahun 2013 merevisi istilah “Suspek TB). Gejala umum TB adalah batuk
produktif lebih dari 2 minggu yang disertai gejala pernapasan seperti sesak napas,
nyeri dada, batuk darah dan / atau gejala tambahan seperti menurunnya nafsu makan,
menurun BB, kerngat malam dan mudah lelah.
Definisi Kasus TB adalah sebagai berikut :
 Kasus TB definitif adalah kasus dengan salah satu dari spesimen biologis postif
dengan pemeriksaan mikroskopis akusan dahak, biakkan atau diagnostik cepat
yang telah disetujui oleh WHO (seperti Xpert MTB/RIF). (pada revisi dwi deline
WHO tahun 2013 definisi kasus TB definitif ini direvisi menjadi kasus TB dengan
konfirmasi bakteriologis).
 Kasus TB diagnosis klinis adalah kasus TB yang tidak dapat memenuhi kriteria
konfirmasi bakteriologis walau telah diupayakan maksimal tetapi ditegakkan
diagnosis TB aktif oleh klinisi yang memutuskan untuk memberikan pengobatan
TB berdasarkan foto thorax abnormal, histologi sugestif dan ekstra paru. Kasus
yang ditegakkan diagnosis secara klinis ini bila kemudian didapatkan hasil
bakteriologis positif (sebelum dan setelah pengobatan) harus diklasifikasikan
kembali sebagai kasus TB dengan konfirmasi bakteriologis.
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menyebar melalui droplet orang
yang telah terinfeksi basil tuberkulosis. Beban penyakit yang disebabkan oleh

12
tuberkulosis dapat diukur dengan Case Notification Rate (CNR), prevalensi
(didefinisikan sebagai jumlah kasus tuberkulosis pada suatu titik waktu tertentu), dan
mortalitas/kematian (didefinisikan sebagai jumlah kematian akibat tuberkulosis dalam
jangka waktu tertentu).
Tuberculosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan
Mycobacterium tuberculosis yang menyerang paru-paru dan hampir seluruh organ
tubuh lainnya. Bakteri ini dapat masuk melalui saluran pernapasan dan saluran
pencernaan (GI) dan luka terbuka pada kulit. Tetapi paling banyak melalui inhalasi
droplet yang berasal dari orang yang terinfeksi bakteri tersebut. (Sylvia A. price).
Klasifikasi menurut American Thoracic Society:
1. Kategori 0 : Tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negative,
tes tuberculin negative
2. Kategori 1 :Terpajan tuberkolusis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Di sini riwayat
kontak positif, tes tuberculin negative
3. Kategori 2 :Terlnfeksi tuberkolusis, tetapi tidak sakit. Tes tuberculin positif,
radiologis dan sputum negative
4. Kategori 3 : Terinfeksi tuberculosis dan sakit
Klasifikasi diindonesia dipakai berdasarkan kelainan klinis, radiologis, dan
makro biologis:
1. Tuberkolusis paru
2. Bekas tuberkolusis paru
3. Tuberkolusis paru tersangka, yang terbagi dalam:
 TB tersangka yang diobati : sputum BTA (-), tetapi tanda-tanda lain positif.
 TB tersangka yang tidak diobati : sputum BTA negative dan tanda-tanda lain
juga meragukan.
Klasifikasi menurut WHO 1991 TB dibagi dalam 4 kategori yaitu: (Sudoyo
Aru).
1) Kategori 1, dituiukan terhadap:
 Kasus batu dengan sputum positif
 Kasus baru dengan bentuk TB berat
2) Kategori 2, ditujukan terhadap:
 Kasus kambuh
 Kasus gagal dengan sputum BTA positif

13
3) Kategori 3. ditunjukan terhadap:
 Kasus BTA negative dengan kelainan paru yang luas
 Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori
4) Kategori 4, ditujukan terhadap: TB kronik

2. Pengertian Manajemen TB Paru


Manajemen adalah suatu proses yang terdiri dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan yang telah dilakukan untuk
menentukan serta mencapai sasaran yang telah ditentukan melalui pemanfaatan
sumber daya yang lainnya. Manajemen TB Paru merupakan suatu proses yang
meliputi manajemen terpadu pengendalian tuberkulosis resisten obat, manajemen
laboratorium tuberkulosis, dan manajemen logistik.

B. Penyebab dan Penularan TB Paru


1. Penyebab TB Paru
Penyebab tuberkolosis adalah Mycobacterium tubercolasis. Basil ini tidak
berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar
ultraviolet. Ada dua macam mikrobakteria tuberculosis yaitu Tipe Human Dan Tipe
Bovin. Basil Tipe Bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosis
usus. Basil Tipe Human bisa berada di bercak ludah (droplet) dan di udara yang
berasal dari penderita TBC, dan orang yang terkena rentan terinfeksi bila
menghirupnya. (Wim de long).
Setelah organism terinhalasi, dan masuk paru-paru bakteri dapat bertahan
hidup dan menyebar kenodus limfatikus lokal. Penyebaran melalui aliran darah ini
dapat menyebabkan TB pada organ lain, dimana infeksi laten dapat bertahan sampai
bertahun-tahun. (Patrick Davey)
Dalam perjalan penyakitnya terdapat 4 fase: (Wim de Jong)
1. Fase 1 (Fase Tuberculosis Primer) :Masuk kedalam paru dan berkembang biak
tanpa menimbulkan reaksi pertahanan tubuh.
2. Fase 2

14
3. Fase 3 (Fase Laten) :
Fase dengan kuman yang tidur (bertahun-tahun seumur hidup) dan reaktifitas jika
terjadi perubahan keseimbangan daya tahan tubuh, dan bisa terdapat di tulang
panjang, vertebra, tuba fallopi, otak, kelenjar limfa hilus, leher dan ginjal.
4. Fase 4:
Dapat sembuh tanpa cacat atau sebaliknya, juga dapat menyebar ke organ yang
lain dan yang kedua keginjal setelah paru.

2. Penularan TB Paru
Cara penularan. Sumber penularan adalah dahak yang mengandung
kuman TB. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk droplet (percikan dahak). Kuman TB dapat menyebar dari paru
kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran
nafas, atau menyebar langsung kebagian tubuh lainnya.(Brunner & Suddarth :
Keperawatan Medical Bedah)
Cara penularan menurut Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis
yaitu :
1. Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
2. Cara penularan
a) Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
b) Padawaktubatukataubersin,pasienmenyebarkankumankeudaradalambentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar
3000percikan dahak.
c) Umumnyapenularanterjadidalamruangandimanapercikandahakberadadalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,sementara sinar
matahari langsung dapatmembunuh kuman.Percikan dapat bertahan selama
beberapa jamdalam keadaan yang gelap dan lembab.
d) Dayapenularanseorangpasienditentukanolehbanyaknyakumanyangdikeluarkan
dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
menular pasien tersebut.

15
e) Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan
oleh konsentrasi percikan dalamudara dan lamanya menghirup udara
tersebut.(Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis)
3. Risiko penularan
a) Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien
TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih
besar dari pasien
b) TB paru dengan BTA negatif.
c) Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risko
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko
terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang
diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.
d) ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
e) Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi
positif.
4. Resiko menjadi sakit TB
a) Hanya sekitar10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
b) Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi
1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100orang) akan menjadi sakit TB
setiap tahun.
c) Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTApositif.
d) Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah
daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi
(gizi buruk).
e) HIVmerupakanfaktorrisikoyangpalingkuat bagiyangterinfeksiTBmenjadisakit
f) TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler
g) (Cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti
tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi
sakitparahbahkanbisamengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi
HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian
penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

16
C. Pemeriksaan TB Paru
1. Pemeriksaan dahak
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan
3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan
berupa dahal Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
1) S (sewaktu) : dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang
berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang terduga pasien
membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
2) P (Pagi) : dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas fasyankes.
3) S (sewaktu) : dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.
b. Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb)
dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal:
1) Pasien TB ekstra paru
2) Pasien TB anak
3) Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA
negatif.
Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya.
Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang
direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk
memanfaatkan tes cepat tersebut.

2. Pemeriksaan uji kepekaan obat


Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.tb
terhadap OAT. Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat
tersebut harus dilakukan oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji
pemantapan mutu/Quality Assurance (QA). Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil
kesalahan dalam menetapkan jenis resistensi OAT dan pengambilan keputusan
paduan pengobatan pasien dengan resisten obat.

17
Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien TB dengan resistensi
OAT, Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat yaitu GeneXpert ke fasilitas
kesehatan (laboratorium dan RS) di seluruh provinsi.
Dalam menentukan diagnosis TB Paru kemenkes menetapkan hal-hal berikut ini:
a. Dalam upaya pengendalian TB secara Nasional, maka diagnosis TB Paru pada
orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis.
Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis
langsung, biakan dan tes cepat.
b. Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakan
diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan
klinis dan penunjang.
c. Pada sarana terbatas penegakkan diagnosis secara klinis dilakukan setelah
pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan non kuinolon) yang
tidak memberikan perbaikan klinis
d. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis
e. Tidak dibernarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja. Foto thorax tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB Paru,
sehingga dapat menyebabkan terjadinnya overdiagnosis ataupun underdiagnosis.
f. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji tuberkulin.
g. Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung, terduga pasien TB diperiksa contoh uji dahak SPS.
Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 (satu) dari pemeriksaan contoh uji
dahak SPS hasilnya BTA positif. (Kemenkes RI, 2014)

D. Pengobatan TB Paru
1. Tujuan pengobatan TB adalah:
a. Menyembuhkan pasien dengan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup
b. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya
c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB
d. Menurunkan penularan TB
e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resisten kuman terhadap OAT. Adapun
jenis, sifat dan dosis OAT.

18
Tabel 2.1Jenis,sifatdandosisOAT
Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan
(mg/kg)
Haria 3xseminggu
Isoniazid (H) Bakterisid n 5 10
(4-6) (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 10
(8-12) (8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 35
(20-30) (30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15 15
(12-18) (12-18)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 30
(15-20) (20-35)

2. Prinsip pengobatan TB
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB.
Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah
penyebaran lebih lanjut dari kuman TB.
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
b. Diberikan dalam dosis yang tepat
c. Ditelan secara terartur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas
Menelan Obat) sampai selesai pengobatan
d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal
serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan

3. Tahapan pengobatan TB
Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
dengan maksud:
a. Tahap awal: Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini
adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada
dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang
mungkin sedah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.
Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan.
Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit,
daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.

19
b. Tahap Lanjutan: Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting
untuk membunuh sisa-sisa kuman yag masih ada dalam tubuh khususnya kuman
persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.

4. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


Tabel 1. OAT lini pertama
Jenis Sifat Efek samping
Isoniazid Bakterisidal Neuropati perifer, psikosis toksik, gangguan
(H) fungsi hati, kejang
Rifampisin Bakterisidal Flu syndrome, gangguan gastrointestinal,
(R) urine berwarna merah, gangguan fungsi hati,
trombositopeni, demam, skin rash, sesak
nafas, anemia hemolitik
Pirazinamid Bakterisidal Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi
(Z) hati, gout artritis
Streptomisin Bakterisidal Nyeri ditempat suntikan, gangguan
(S) keseimbangan dan pendengaran, renjatan
anafilaktik, anemia, agranulositosis,
trombositopeni
Etambutol Bakteriostatik Gangguan penglihatan, buta warna, neuritis
(E) perifer

5. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia (sesuai rekomendasi WHO dan ISTC)
paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di
Indonesia adalah
a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OATini diberikan untuk pasien baru:
- Pasien baru TB paru BTA positif.
- Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
- Pasien TB ekstra paru

20
Tabel 2.2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1
TahapIntensiftiap Tahap Lanjutan 3 kali
Berat Badan hariselama 56 hari seminggu selama 16
RHZE (150/75/400/275) minggu
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT RH (150/150)
2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTApositif yang telah diobati
sebelumnya:
- Pasien kambuh
- Pasien gagal
- Pasien dengan pengobatan setelahdefault(terputus)

Tabel 2.3 Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2

Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan3 kali


Berat RHZE (150/75/400/275) + S seminggu
Badan RH(150/150) + E(275)

Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu


30–37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tab Etambutol
38–54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tab Etambutol
55–70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tab Etambutol
≥71 kg 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 1000mg Streptomisin inj. + 5 tab Etambutol

Catatan:
Untukpasienyangberumur60tahunkeatasdosismaksimaluntukstreptomisinadalah500
mg tanpa memperhatikan berat badan.
Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak3,7mlsehinggamenjadi 4ml. (1ml = 250mg)

21
c. OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduanpaket untuk tahap intensif
kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel 2.4 Dosis KDT untuk Sisipan


Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
Berat Badan
RHZE(150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet
38 – 54 kg 34KDT
tablet
55 – 70 kg 44KDT
tablet
≥71 kg 4KDT
5 tablet
4KDT
PenggunaanOATlapiskeduamisalnyagolonganaminoglikosida(misalnyak
anamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru
tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada
OAT lapis pertama. Di samping itu dapat juga meningkatkan terjadinya
risikoresistensi pada OAT lapis kedua
Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa
efek samping. Namunsebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karena
itu pemantauan kemungkinanterjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek
samping ringan dan dapat diatasi dengan obatsimtomatik maka pemberian OAT
dapat dilanjutkan. Efek samping OAT dapat dilihat padatabel di bawah ini.

Efek samping ringan dari OAT

Efek samping Penyebab Penanganan


Tidak nafsu makan, Rifampisin Obat diminum malam sebelum
mual, sakit perut tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin/ allopurinol
Kesemutan s/d rasa INH Beri vitamin B6 (piridoksin)
terbakar di kaki 100 mg per hari
Warna kemerahan Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu
pada air seni diberi apa-apa

22
Efek samping berat dari OAT
Efek samping Penyebab Penanganan
Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT Beri antihistamin & dievaluasi
pada kulit ketat
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan
Gangguan Streptomisin Streptomisin dihentikan
keseimbangan
Ikterik Hampir semua Hentikan semua OAT sampai
OAT ikterik hilang
Bingung dan muntah- Hampir semua Hentikan semua OAT & lakukan
muntah obat uji fungsi hati
Gangguan penglihatan Ethambutol Hentikan ethambutol
Purpura dan renjatan Rifampisin Hentikan rimfapisin
(syok)

E. Pencegahan TB Paru dan Pencegahan Kontak Serumah


Menurut Tjandra dalam Naga (2014; 315), banyak hal yang bisa dilakukan
mencegah terjangkitnya TB paru. Pencegahan-pencegahan berikut dapat dikerjakan
oleh penderita, masyarakat, maupun petugas kesehatan:
1. Bagi penderita, pencegahan penularan dapat dilakukan dengan menutup mulut
saat batuk, dan membuang dahak tidak di sembarang tempat.
2. Bagi masyarakat, pencegahan penularan dapat dilakukan dengan meningkatkan
ketahanan terhadap bayi, yaitu dengan memberikan vaksinasi BCG.
3. Bagi petugas kesehatan, pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan
penyuluhan tentang penyakit TBC, yang meliputi gejala, bahaya, dan akibat yang
ditimbulkannya terhadap kehidupan masyarakat pada umumnya.
4. Petugas kesehatan juga harus segera melakukan pengisolasian dan pemeriksaan
terhadap orang-orang yang terinfeksi, atau dengan mem-berikan pengobatan
khusus kepada penderita TB ini. Pengobatan dengan cara menginap di rumah
sakit hanya dilakukan bagi penderita dengan kategori berat dan memerlukan
pengembangan program pengobatannya, sehingga tidak dikehendaki pengobatan
jalan.
5. Pencegahan penularan juga dapat dicegah dengan melaksanakan disinfeksi,
seperti cuci tangan, kebersihan rumah yang ketat, perhatian khusus terhadap
muntahan atau ludah anggota keluarga yang terjangkit penyakit ini (piring,
tempat tidur, pakaian), dan menyediakan ventilasi rumah dan sinar matahari yang
cukup.

23
6. Melakukan imunisasi orang-orang yang melakukan kontak langsung dengan
penderita, seperti keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan, dan orang lain
yang terindikasi, dengan vaksin BCG dan tindak lanjut bagi yang positif tertular.
7. Melakukan penyelidikan terhadap orang-orang kontak. Perlu dilakukan Tes
Tuberculin bagi seluruh anggota keluarga. Apabila cara ini menunjukkan hasil
negatif, perlu diulang pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan dan perlu
penyelidikan intensif.
8. Dilakukan pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan
yang tepat, yaitu obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter untuk
diminum dengan tekun dan teratur, selama 6-12 bulan. Perlu diwaspadai adanya
kebal terhadap obat-obat, dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.

24
BAB III
HASIL CAKUPAN PROGRAM TB PARU
DI PUSKESMAS DUMBO RAYA

A. GAMBARAN UMUM PUSKESMAS DUMBO RAYA


Pelaksanaan kegiatan di Puskesmas Dumbo Raya didasarkan pada program
yang telah di tentukan oleh Dinas Kesehatan Kota Gorontalo. Penjabaran kegiatan
tersebut melalui Rencana Pelaksanaan Kegiatan yang dibuat oleh masing-masing
pemegang program pada awal tahun salah satunya program Pengobatan TB paru.
Jumlah penduduk di wilayah Puskesmas Dumbo Raya sebanyak 20.993 jiwa dengan
Pasien baru TB Paru dari bulan Januari – September 2018 berjumlah 55 jiwa dengan
presentase Laki-laki 32 jiwa dan Perempuan 23 jiwa. Dengan angka penemuan Pasien
TB Paru baru berjumlah 70 jiwa dengan Proporsi pasien TB Paru dengan BTA (+)
berjumlah 67 jiwa dan BTA (-) Rontgen mendukung berjumlah 3 jiwa, Gagal
pengobatan tidak ada.
Alur masuk klien dengan TB Paru di Puskesmas Dumbo Raya mendaftar di
loket, datang dengan keluhan yang sesuai dengan gejala klinis TB paru, setelah
diperiksa oleh Dokter, dokter menginstruksikan untuk melakukan pemeriksaan sputum
pada klien. Kemudian nama klien akan ditulis pada buku daftar suspek TB yang
diperiksa dahak (TB 06). Klien akan diberikan pot dahak untuk pemeriksan dahak
Sewaktu, sebelum pasien pulang diberikan Pot dahak untuk dibawah keesokan harinya
yang telah diisi dengan dahak saat bangun tidur sebelum makan apapun. Setelah
pemeriksaan SPS, dilakukan pemeriksaan sputum Jika hasil pemeriksaan BTA positif ,
maka klien akan dicatat di kartu register pengobatan Pasien TB (TB 01) sebagai pasien
baru dan diberikan pengobatan TB kategori 1, jika hasil pemeriksaan lab negatif maka
pasien akan diberikan antibiotik dan dokter akan menganjurkan pasien untuk datang
kontrol lagi ke puskesmas.

25
B. ALUR PENGOBATAN PASIEN TB PARU
Adapun alur pengobatan untuk pasien TB Paru di Puskesmas Dumbo Raya
sebagai berikut :

26
Tabel 3.1
Proporsi Penderita TB Paru, Gagal Pengobatan dan Meninggal
Di Puskesmas Dumbo Raya Tahun 2018
BTA (-), RO Gagal
Triwulan Suspek BTA (+) Meninggal
mendukung Pengobatan
I 91 13 1 - -
II 216 36 2 - -
III 130 21 - - -
IV - - - - -
Jumlah 437 67 3 0 0
Sumber : Register TB 01 dan TB 06. PKM Dumbo Raya Tahun 2018

Tabel 3.2
Proporsi Penderita TB Paru yang Kambuh dan Pengobatan Lengkap
Di Puskesmas Dumbo Rayatahun 2018
BTA (-), RO Pengobatan
Triwulan BTA (+) Kambuh
Mendukung Lengkap
I 13 1 - -
II 36 2 - 13
III 21 - - 2
IV - - - -
Jumlah 67 3 0 15
Sumber : Register TB 01 dan TB 06. PKM Dumbo Raya Tahun 2018

27
C. HASIL CAKUPAN PROGRAM TB PARU DENGAN MENGGUNAKAN
RUMUS PERHITUNGAN INDIKATOR

1. ANGKA PENEMUAN KASUS ( CARE DETECTION RATE/CDR)


Angka penemuan kasus adalah presentase jumlah pasien baru TB Paru
BTA(+) yang ditemukan dibanding jumlah pasien baru TB Paru BTA(+) yang
diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Case Detection Rate cakupan penemuan
pasien baru TB Paru BTA(+) secara Nasioanal. Indikator ini masih digunakan untuk
evaluasi pencapaian MDGs 2016 untuk program pengendalian TB. Setelah tahun 2016,
indikator ini tidak akan diguanakan lagi dan akan diganti dengan Case Notification
Rate (CNR) sebagai indikator yang menggambarkan cakupan penemuan pasien TB.

Jumlah semua penderita TB


Rumus = %
Perkiraan jumlah pasien TB

1. Hasil Angka Penemuan Kasus (CDR) untuk wilayah Puskesmas Dumbo Raya tahun
2017 “Januari -7 Desember “ yakni:
55
x 100% = 239%
23
2. Hasil Angka Penemuan Kasus (CDR) untuk wilayah Puskesmas Dumbo Raya tahun
2018 “Januari – September “ yakni:
70
x 100% = 318%
22

Angka Penemuan Kasus (Case


Detection Rate/CDR)
350%
300%
250%
200% Angka Penemuan Kasus
150% (Case Detection
Rate/CDR)
100%
50%
0%
2017 2018

28
Keterangan :
Berdasarkan Grafik diatas dapat disimpulkan hasil angka penemuan kasus (case
detection rate/CDR) Pada tahun 2017 di puskesmas Dumbo Raya angka
penemuan kasus ada 55 orang, pada tahun 2018 sampai dengan bulan september
ini mencapai 70 orang.

2. ANGKA NOTIFIKASI KASUS (CASE NATIFICATION RATE/CNR)


Angka notifikasi kasus adalah angka yang menunujukan jumlah seluruh pasien TB
yang ditemukan dan tercatat diantara seratus ribu penduduk diwilayah tertentu. Angka ini
apabila dikumpulkan serial, akan menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari
tahun ketahun diwilayah tersebut.
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑇𝐵 (𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑘𝑎𝑠𝑢𝑠) 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑠𝑒𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛
Rumus: 𝑥100000
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘

1. Hasil Angka Notifikasi Kasus (CNR) untuk wilayah Puskesmas Dumbo Raya tahun
2017 “Januari -7 Desember “ yakni:
30
x100000 = 14 orang
20820
2. Hasil Angka Notifikasi Kasus (CNR) untuk wilayah Puskesmas Dumbo Raya tahun
2018 “Januari – September” yakni:
55
x100000 = 26 orang
20993

3. PROPORSI PASIEN TB PARU TERKONFIRMASI BAKTERIOLOGIS DI


ANTARA SUSPEK

Merupakan presentase pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologi yang


ditemukan diantara seluruh Suspek yang diperiksa dahaknya, angka ini
menggambarkan mutu dari proses penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan
menetapkan kriteria suspek.

𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐚𝐬𝐢𝐞𝐧 𝐓𝐁 𝐩𝐚𝐫𝐮 𝐁𝐓𝐀 𝐩𝐨𝐬𝐢𝐭𝐢𝐟 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐭𝐞𝐦𝐮𝐤𝐚𝐧


Rumus= 𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐞𝐥𝐮𝐫𝐮𝐡 𝐬𝐮𝐬𝐩𝐞𝐤 𝐓𝐁 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐩𝐞𝐫𝐢𝐤𝐬𝐚
x 100%

29
Triwulan I:

Data:
a) Jumlah pasien TB Paru BTA positif yang ditemukan= 13 Jiwa
b) Jumlah Seluruh suspek pada bulan Januari s/d Maret 2018= 91 Jiwa
13
= 91 x 100%
Proporsi Pasien TB
BTA positif diantara
suspek = 14%

Triwulan II

Data:

a) Jumlah pasien TB Paru BTA positif yang ditemukan= 36 jiwa


c) Jumlah Seluruh suspek pada bulanApril s/d Juni 2018= 216 jiwa
36
Proporsi Pasien TB = 216 x 100%
BTA positif diantara
suspek = 17%

Triwulan III

Data:

a) Jumlah pasien TB Paru BTA positif yang ditemukan= 21 jiwa


b) Jumlah Seluruh suspek pada bulan Juli s/d Agustus 2018= 130 jiwa
21
Proporsi Pasien TB = 130 x 100%
BTA positif diantara
suspek = 16%

30
Hasil proporsi pasien TB BTA Positif diantara suspek di Puskesmas Dumbo Raya
per Triwulan tahun 2018:

Proporsi pasien TB BTA positif


diantara suspek
18%
16%
14%
12%
10%
Proporsi pasien TB BTA
8% positif diantara suspek
6%
4%
2%
0%
Triwulan I Triwulan II Triwulan III

1. Hasil proporsi pasien TB BTA positif diantara suspek di Puskesmas Dumbo Raya
pada bulan Januari-Desember tahun 2017 yakni:

28
x100% = 11%
260
2. Hasil proporsi pasien TB BTA positif diantara suspek di Puskesmas Dumbo Raya
pada bulan Januari-17 September tahun 2018 yakni:

67
x100% = 15%
437

31
Proporsi pasien TB BTA positif
diantara suspek
16%
14%
12%
10%
8% Proporsi pasien TB BTA
6% positif diantara suspek

4%
2%
0%
2017 2018

Keterangan:
Berdasarkan grafik diatas dapat disimpulkan Angka proposi semua penderita TB
diantara suspek di puskesmas Dumbo Raya tahun 2017 adalah 11% dan 2018adalah
15% . Dimana angka ini sudah mencapai target nasional yaitu 5 – 15%.
Angka ini sekitar 5 – 15%. Bila angka ini terlalu kecil (<5%) kemungkinan
disebabkan:
a) Penjaringan suspek terlalu longgar, banyak suspek yang dijaring tidak
memenuhi kriteria suspek, atau
b) Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu)

Bila angka ini terlalu besar (>15%) kemungkinan disebabkan:

a) Penjaringan terlalu ketat atau


b) Ada masalah dalam pemeriksaan laoratorium (positif palsu).

4. ANGKA KONVERSI (CONVERTION RATE)


Angka koversi adalah presentase pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis
yang mengalami perubahan menjadi BTA(-) setelah menjalani masa pengobatan tahap
awal. Program pengendalian TB di Indonesia masih menggunakan indikator ini karena
berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui apakah
pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar.

32
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑇𝐵 𝑝𝑎𝑟𝑢 𝐵𝑇𝐴 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑜𝑛𝑣𝑒𝑟𝑠𝑖
Rumus: x 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑇𝐵 𝑝𝑎𝑟𝑢 𝐵𝑇𝐴 𝑃𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑜𝑏𝑎𝑡𝑖

Data:
a) Jumlah pasien TB Paru BTA positif yang dikonversi =67 Jiwa
b) Jumlah pasien TB Paru BTA positif yang diobati = 67 Jiwa
67
CR = 67 x100%

CR = 100%

Berdasarkan hasil tersebut maka cakupan untuk angka konversi yaitu 100%
dengan capaian target nasional minimal 80%

1. Hasil Angka Konversi (CR) untuk wilayah Puskesmas Dumbo Raya tahun 2017
yakni:
28
x100% = 100%
28
2. Hasil Angka Konversi (CR) untuk wilayah Puskesmas Dumbo Raya tahun 2018
yakni:
67
x100% = 100%
67

Angka Convertion Rate


120%

100%

80%

60%
Angka Convertion Rate
40%

20%

0%
2017 2018

Keterangan:
Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%. Bila angka konversi masih rendah
perlu diperhatikan antara lain masalah keteraturan minum obat, tidak optimalnya
fungsi petugas/PMO dan masalah dilaboratorium.

33
Angka conversi rate tahun 2017 dan tahun 2018 berkisar 100%. Dimana angka ini
sudah mencapai target 80%. semua penderita BTA (+) yang diobati semuanya
dikonversi.

5. ANGKA KEBERHASILAN PENGOBATAN


Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukan presentase pasien baru TB paru BTA
positif yang menyelesaikan pengobatan ( baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap)
di Antara pasienn baru TB paru BTA positif yang tercatat.
Hasil pengobatan dari pasien baru TB BTA positif yang dapat di toleransi.
a) Angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap
Angka keberhasilan pengobatan >85%, dengan angka kesembuhan mendekati
85%
b) Angka pengobatan gagal : harus <2%
c) Angka default: harus <5%
d) Angka kematian: umumnya <2%
e) Angka pindah: umumnya <5%.

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑇𝐵 𝑝𝑎𝑟𝑢 𝐵𝑇𝐴 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 𝑦𝑎𝑛𝑔 (𝑠𝑒𝑚𝑏𝑢ℎ /𝑝𝑒𝑛𝑔𝑜𝑏𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑙𝑒𝑛𝑔𝑘𝑎𝑝)
Rumus: x 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑇𝐵 𝑝𝑎𝑟𝑢 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑜𝑛𝑓𝑖𝑟𝑚𝑎𝑠𝑖 𝑏𝑎𝑘𝑡𝑒𝑟𝑖𝑜𝑙𝑜𝑔𝑖𝑠 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑜𝑏𝑎𝑡𝑖

1. Hasil Angka keberhasilan pengobatan untuk wilayah Puskesmas Dumbo Raya


tahun 2017 yakni:
24
x100% = 86%
28

2. Hasil Angka keberhasilan pengobatan untuk wilayah Puskesmas Dumbo Raya


tahun 2018 “januari – 17 September “ yakni:
15
x100% = 22%
67

Berdasarkan hasil tersebut maka cakupan untuk angka keberhasilan


pengobatan (success rate) yaitu 22% dengan capaian target nasional minimal 85%.
Pencapaian belum mencapai target karena data yang digunakan hanya sampai bulan
september 2018 jadi masih ada beberapa pasien yang masih sementara menjalani
pengobatan.

34
6. ANGKA KESEMBUHAN (CURE RATE)
Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan presentase pasien baru TB
paru terkonfirmasi bakteriologis yang sembuh setelah selesai masa pengobatan. Diantara
pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis yang tercatat. Untuk kepentingan khusus
(survailans), angka kesembuhan dihitung juga untuk pasien paru terkonfirmasi
bakteriologis pengobatan ulang (kambuh dan dengan riwayat pengobatan TB
sebelumnya) dengan tujuan:
a. Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap obat terjadi
dikomunitas, hal ini harus dipastikan dengan survailans kekebalan obat.
b. Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan obat baris kedua
(second line drugs).
c. Menunjukan prevalensi HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang terjadi pada
pasien dengan HIV.
d. Untuk perhitungan, digunakan rumus yang sama dengan cara mengganti sebutan
numerator dan denominator jumlah pasien TB paru pengobatan ulang.

Rumus:

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑇𝐵 𝑝𝑎𝑟𝑢 𝑇𝑒𝑟𝑘𝑜𝑛𝑓𝑖𝑟𝑚𝑎𝑠𝑖 𝐵𝑎𝑘𝑡𝑒𝑟𝑖𝑜𝑙𝑜𝑔𝑖𝑠


𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑚𝑏𝑢ℎ
x 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑇𝐵 𝑝𝑎𝑟𝑢 𝑇𝑒𝑟𝑘𝑜𝑛𝑓𝑖𝑟𝑚𝑎𝑠𝑖
𝐵𝑎𝑘𝑡𝑒𝑟𝑖𝑜𝑙𝑜𝑔𝑖𝑠 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑜𝑏𝑎𝑡𝑖

Data :

a) Jumlah pasien baru BTA positif yang sembuh = 15 Jiwa


b) Jumlah pasien baru BTA positif yang diobati = 67 Jiwa

15
Cure Rate = 67 x 100%

Cure Rate = 22 %

Berdasarkan hasil tersebut maka cakupan untuk cure rate yaitu 22% dengan
capaian target nasional minimal 85%. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%.
Angka kesembuhan 22% dan belum mencapai target nasional 85% karena masih ada
beberapa pasien yang sedang menjalani pengobatan maka perlu diperhatikan hasil

35
pengobatan lainnya, yaitu berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap, meninggal,
gagal, default, dan pindah.

7. INDIKATOR PROGRAM TB
Indikator program TB untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai
alat ukur kemajuan program (marker of progress) dalam menilai kemajuan keberhasilan
program pengendalian TB digunakan berbagai indikator. Indikator utama program
pengendalian TB secara Nasional ada dua yaitu:
1. Angka notifikasi kasus TB (Case Notifiction Rate/CNR) dan
2. Angka keberhasilan pengobatan TB ( Treatment Succes Rate/TSR).
Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator nasional
tersebut diatas, yaitu:
1. Indikator penemuan TB
a. Proporsi pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara terduga TB
b. Proporsi pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua pasien TB paru
diobati
c. Proporsi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis yang di obati dianatara pasien TB
terkonfirmasi biologis
d. Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB
e. Angka penemuan kasus TB (Case Detection Rate/CDR)
f. Proporsi pasien TB yang di tes HIV
g. Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya positif
h. Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus TB
RR/MDR yang ada
i. Proporsi pasien terbukti TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi pemeriksaan uji
kepekaan OAT lini ke dua
j. Proporsi pengobatan pasien TB RR/MDR diobati diantara pasien TB RR/MDR
ditemukan.

2. Indkator pengobatan Tb
a. Angka konversi (convertion rate)
b. Angka kesembuhan (cure rate)
c. Angka putus berobat
d. Angka keberhasilan pengobatan TB anak

36
e. Proporsi anak yang menyelesaikan PP INH diantara seluruh anak mendapatkan PP
dan INH
f. Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
g. Proporsi pasien TB positif yang mendapatkan ART
h. Angka keberhasilan pengobatan TB MDR atau Treatmen Succes Rate

3. Indikator penunjang TB
a. Proporsi laboratorium yang mengikuti pemantapan mutu eksternal (PME) uji silang
untuk pemeriksaan mikroskopis
b. Proporsi laboratorium dengan kinerja pembacaan mikroskopis baik diantara peserta
PME uji silang
c. Proporsi laboratorium yang mengikuti kegiatan PME 4x setahun
d. Jumlah kabupaten/kota melaporkan terjadinya kekosongan OAT ini

37
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB


(mycobacterium tuberculosi). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya. Dari data yang didapatkan di wilayah kerja
puskesmas Dumbo Raya didapatkan jumlah kasus baru selama 1 tahun terakhir (Januari–
17 September) yang dinyatakan sebanyak 70 kasus barudan daftar penderita suspek
sebanyak 437 kasus. Pemeriksaan SPS di puskesmas Dumbo Raya ini tidak dilakukan
karena tidak ada analis kesehatan sebagai petugas laboratorium di puskesmas ini.
Pengobatan dilakukan selama 6 bulan dengan cara pengambilan obat seminggu sekali
untuk fase intesif setiap hari senin, dan pengambilan untuk fase lanjutan 2 minggu sekali
setiap hari senin. Didapatkan angka penemuan kasus proporsi pasien TB BTA positif
diantara Suspek TB di Puskesmas Dumbo Raya pada tahun 2018 pada Triwulan I yaitu
14%, Triwulan II yaitu 17%, Triwulan III yaitu 16% dengan capaian target nasional
sekitar 5-15%. Angka konversi pada tahun 2018 yaitu 100% dengan capaian target
nasional minimal 100%. Angka Kesembuhan pada tahun 2018 sebesar 22% dan belum
mencapai target nasional 85% karena masih ada beberapa pasien yang sedang menjalani
pengobatan maka perlu diperhatikan hasil pengobatan lainnya, yaitu berapa pasien
dengan hasil pengobatan lengkap, meninggal, gagal, default, dan pindah. Serta Angka
Keberhasilan Pengobatan pada tahun 2018 yaitu 22% dengan capaian target nasional
minimal 85%. Pencapaian belum mencapai target karena data yang digunakan hanya
sampai bulan september 2018 jadi masih ada beberapa pasien yang masih sementara
menjalani pengobatan.

B. SARAN
Diharapkan bahwa puskesmas dapat mengembangkan program TB paru guna
untuk memberantas dan membantu pemerintah dalam meraih target Indonesia Bebas TB
tahun 2050. Penjaringan suspect dan penemuan kasus baru di wilayah setempat perlu di
tingkatkan, sehingga dapat menurunkan resiko penularan TB ke pasien yang sehat. Perlu
adanya tenaga kesehatan terutama analis laboratorium yang bertugas sebagai petugas
laboratorium. Dan juga dapat melanjutkan atau meningkatkan pendekatan manajemen

38
yang telah disosialisasikan oleh Diploma IV Keperawatan khususnya peningkatan
pelaksanaan program pengendalian TB paru dan Kepuasan terhadap pasien serta hal ini
sebagai saran terhadap mahasiswa sebagai sumber pengetahuan dan penerapan serta
bahan informasi untuk mahasiswa berikutnya yang akan melaksanakan praktek stase
manejemen TB paru.

39
DOKUMENTASI

Melakukan Kunjungan pada Penderita TB Paru di Wilayah PKM Dumbo Raya

40
Melakukan Kunjungan pada Penderita TB Paru di PKM Dumbo Raya

41
Melakukan Pemeriksaan Sputum BTA di Lab PKM Kota Timur

42
Pemberian OAT pada Penderita TB Paru di Lab PKM Dumbo Raya

43
Kegiatan Penyuluhan Kesehatan di Wilayah Kelurahan Bugis Kec. Dumbo Raya

Kegiatan Prolanis di PKM Dumbo Raya

44
Kegiatan Posyandu di Wilayah PKM Dumbo Raya

45
SEMINAR AKHIR MANAJEMEN TB PARU

46
DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2015. Bone Bolango dalam Angka 2015. Gorontalo: BPS Kabupaten Bone Bolango

Chandra Budiman. 2012. Kontrol Penyakit Menular pada Manusia. Jakarta: EGC.

Kemenkes RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes RI

Kemenkes RI. 2014. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI

Naga S, S. 2014. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam.Yogyakarta: Diva Press.

Direktorat Jenderal P2PL. 2009. Pelatihan Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Bagi


Petugas TB di Sarana Pelayanan Kesehatan (SPK). Jakarta: Direktorat Jenderal
P2PL

47

Anda mungkin juga menyukai