PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
Wasid (2017) mengatakan berat/ ringannya Sindrom Koroner Akut (SKA)
adalah:
a. Kelas I: Serangan baru, yaitu kurang dari 2 bulan progresif, berat, dengan
nyeri pada waktu istirahat, atau aktivitas sangat ringan, terjadi >2 kali per
hari.
b. Kelas II: Sub-akut, yakni sakit dada antara 48 jam sampai dengan 1 bulan
pada waktu istirahat.
c. Kelas III: Akut, yakni kurang dari 48 jam.
Secara Klinis:
a. Kelas A: Sekunder, dicetuskan oleh hal-hal di luar koroner, seperti anemia,
infeksi, demam, hipotensi, takiaritmi, tirotoksikosis, dan hipoksia karena
gagal napas.
b. Kelas B: Primer.
c. Kelas C: Setelah infark (dalam 2 minggu IMA). Belum pernah diobati.
Dengan anti angina (penghambat beta adrenergik, nitrat, dan antagonis
kalsium) Antiangina dan nitrogliserin intravena.
3
Jika mengalami aterosklerosis maka segera terjadi disfungsi endotel (bahkan sebelum
terjadinya plak). Disfungsi endotel ini dapat disebabkan meningkatnya inaktivasi
nitrit oksid (NO) oleh beberapa spesies oksigen reaktif, yakni xanthine oxidase,
NADH/ NADPH (nicotinamide adenine dinucleotide phosphate oxidase), dan
endothelial cell Nitric Oxide Synthase (eNOS). Oksigen reaktif ini dianggap dapat
terjadi pada hiperkolesterolemia, diabetes, aterosklerosis, perokok, hipertensi, dan
gagal jantung. Diduga masih ada beberapa enzim yang terlibat dalam produk radikal
pada dinding pembuluh darah, misalnya lipooxygenases dan P450-monooxygenases.
Angiotensin II juga merupakan aktivator NADPH oxidase yang poten. Ia dapat
meningkatkan inflamasi dinding pembuluh darah melalui pengerahan makrofage
yang menghasilkan monocyte chemoattractan protein-1 dari dinding pembuluh darah
sebagai aterogenesis yang esensial.
Fase selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi arteri koroner akibat
disfungsi endotel ringan dekat lesi atau respons terhadap lesi itu. Pada keadaan
disfungsi endotel, faktor konstriktor lebih dominan (yakni endotelin-1, tromboksan
A2, dan prostaglandin H2) daripada faktor relaksator (yakni nitrit oksid dan
prostasiklin). Nitrit Oksid secara langsung menghambat proliferasi sel otot polos dan
migrasi, adesi leukosit ke endotel, serta agregasi platelet dan sebagai proatherogenic.
Melalui efek melawan, TXA2 juga menghambat agregasi platelet dan menurunkan
kontraktilitas miokard, dilatasi koroner, menekan fibrilasi ventrikel, dan luasnya
infark. Sindrom koroner akut yang diteliti secara angiografi 60—70% menunjukkan
obstruksi plak aterosklerosis yang ringan sampai dengan moderat, dan terjadi disrupsi
plak karena beberapa hal, yakni tipis - tebalnya fibrous cap yang menutupi inti
lemak, adanya inflamasi pada kapsul, dan hemodinamik stress mekanik. Adapun
mulai terjadinya sindrom koroner akut, khususnya IMA, dipengaruhi oleh beberapa
keadaan, yakni aktivitas/ latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan), stress
emosi, terkejut, udara dingin, waktu dari suatu siklus harian (pagi hari), dan hari dari
suatu mingguan (Senin). Keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan
peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar
jantung meningkat, kontraktilitas jantung meningkat, dan aliran koroner juga
meningkat. Dari mekanisme inilah beta blocker mendapat tempat sebagai
pencegahan dan terapi.
4
dingin, dan keluhan nyeri ini bisa merambat ke kedua rahang gigi kanan atau kiri,
bahu, serta punggung. Lebih spesifik, ada juga yang disertai kembung pada ulu hati
seperti masuk angin atau maag.
Tapan (2012) menambahkan gejala kliniknya meliputi:
a. Terbentuknya thrombus yang menyebabkan darah sukar mengalir ke otot
jantung dan daerah yang diperdarahi menjadi terancam mati
b. Rasa nyeri, rasa terjepit, kram, rasa berat atau rasa terbakar di dada (angina).
Lokasi nyeri biasanya berada di sisi tengah atau kiri dada dan berlangsung
selama lebih dari 20 menit. Rasa nyeri ini dapat menjalar ke rahang bawah,
leher, bahu dan lengan serta ke punggung. Nyeri dapat timbul pada waktu
istirahat. Nyeri ini dapat pula timbul pada penderita yang sebelumnya belum
pernah mengalami hal ini atau pada penderita yang pernah mengalami angina,
namun pada kali ini pola serangannya menjadi lebih berat atau lebih sering.
c. Selain gejala-gejala yang khas di atas, bisa juga terjadi penderita hanya
mengeluh seolah pencernaannya terganggu atau hanya berupa nyeri yang
terasa di ulu hati. Keluhan di atas dapat disertai dengan sesak, muntah atau
keringat dingin.
5
ug/menit (jangan lebih 200 ug/menit) dan tekanan darah sistolik jangan
kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya ialah memperbaiki pengiriman oksigen
ke miokard; menurunkan kebutuhan oksigen di miokard; menurunkan beban
awal (preload) sehingga mengubah tegangan dinding ventrikel; dilatasi arteri
koroner besar dan memperbaiki aliran kolateral; serta menghambat agregasi
platelet (masih menjadi pertanyaan).
c. Morphine: Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan
kegelisahan; mengurangi rasa sakit akibat iskemia; meningkatkan venous
capacitance; menurunkan tahanan pembuluh sistemik; serta nadi menurun dan
tekanan darah juga menurun, sehingga preload dan after load menurun, beban
miokard berkurang, pasien tenang tidak kesakitan. Dosis 2 – 4 mg intravena
sambil memperhatikan efek samping mual, bradikardi, dan depresi
pernapasan
d. Aspirin: harus diberikan kepada semua pasien sindrom koroner akut jika tidak
ada kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya ialah menghambat
siklooksigenase –1 dalam platelet dan mencegah pembentukan tromboksan-
A2. Kedua hal tersebut menyebabkan agregasi platelet dan konstriksi arterial.
e. Penelitian ISIS-2 (International Study of Infarct Survival) menyatakan bahwa
Aspirin menurunkan mortalitas sebanyak 19%, sedangkan "The Antiplatelet
Trialists Colaboration" melaporkan adanya penurunan kejadian vaskular IMA
risiko tinggi dari 14% menjadi 10% dan nonfatal IMA sebesar 30%. Dosis
yang dianjurkan ialah 160–325 mg perhari, dan absorpsinya lebih baik
"chewable" dari pada tablet, terutama pada stadium awal 3,4. Aspirin
suppositoria (325 mg) dapat diberikan pada pasien yang mual atau muntah 4.
Aspirin boleh diberikan bersama atau setelah pemberian GPIIb/IIIa-I atau
UFH (unfractioned heparin). Ternyata efektif dalam menurunkan kematian,
infark miokard, dan berulangnya angina pectoris.
f. Antitrombolitik lain: Clopidogrel, Ticlopidine: derivat tinopiridin ini
menghambat agregasi platelet, memperpanjang waktu perdarahan, dan
menurunkan viskositas darah dengan cara menghambat aksi ADP (adenosine
diphosphate) pada reseptor platelet., sehingga menurunkan kejadian iskemi.
Ticlopidin bermakna dalam menurunkan 46% kematian vaskular dan nonfatal
infark miokard. Dapat dikombinasi dengan Aspirin untuk prevensi trombosis
dan iskemia berulang pada pasien yang telah mengalami implantasi stent
koroner. Pada pemasangan stent koroner dapat memicu terjadinya trombosis,
tetapi dapat dicegah dengan pemberian Aspirin dosis rendah (100 mg/hari)
bersama Ticlopidine 2x 250 mg/hari. Colombo dkk. memperoleh hasil yang
6
baik dengan menurunnya risiko trombosis tersebut dari 4,5% menjadi 1,3%,
dan menurunnya komplikasi perdarahan dari 10–16% menjadi 0,2–5,5%21.
Namun, perlu diamati efek samping netropenia dan trombositopenia
(meskipun jarang) sampai dengan dapat terjadi purpura trombotik
trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung sel darah lengkap pada
minggu II – III. Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila
dikombinasi dengan Aspirin, namun tidak ada korelasi dengan netropenia dan
lebih rendah komplikasi gastrointestinalnya bila dibanding Aspirin, meskipun
tidak terlepas dari adanya risiko perdarahan. Didapatkan setiap 1.000 pasien
SKA yang diberikan Clopidogrel, 6 orang membutuhkan tranfusi darah 17,22.
Clopidogrel 1 x 75 mg/hari peroral, cepat diabsorbsi dan mulai beraksi
sebagai antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah pemberian obat dan 40–60%
inhibisi dicapai dalam 3–7 hari. Penelitian CAPRIE (Clopidogrel vs ASA in
Patients at Risk of Ischemic Events) menyimpulkan bahwa Clopidogrel
secara bermakna lebih efektif daripada ASA untuk pencegahan kejadian
iskemi pembuluh darah (IMA, stroke) pada aterosklerosis (Product
Monograph New Plavix).
7
Dalteparin, Enoxaparin, dan Fraxi-parin. Dosis Fraxiparin untuk APTS dan
NQMCI: 86 iu antiXa/kg intravena bersama Aspirin (maksimum 325 mg)
kemudian 85 iu antiXa/kg subkutan selama 6 hari: 2 x tiap 12 jam (Technical
Brochure of Fraxiparin. Sanofi – Synthelabo).
c Warfarin: Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran bahwa
pengobatan jangka panjang dapat memperoleh efek antikoagulan secara dini.
Tak ada perbedaan antara pemberian Warfarin plus Aspirin dengan Aspirin
saja (CHAMP Study, CARS Trial) sehingga tak dianjurkan pemberian
kombinasi Warfarin dengan Asparin.
d Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor (GPIIb/IIIa-I): obat ini perlu diberikan pada
NSTEMI SKA dengan risiko tinggi, terutama hubungannya dengan intervensi
koroner perkutan (IKP). Pada STEMI, bila diberikan bersama trombolitik
akan meningkatkan efek reperfusi (studi GUSTO V dan ASSENT-3). GUSTO
V membandingkan Reteplase dengan Reteplase dan Abciximab (GPIIb/IIIa-I)
pada IMA, sedangkan ASSENT–3 membandingkan antara Tenecteplase
kombinasi dengan Enoxaparin atau Abciximab dengan Tenecteplase
kombinasi UFH pada IMA , yang ternyata tak ada perbedaan pada mortalitas
4. Efek GPIIb/IIIa-I ialah menghambat agregasi platelet tersebut dan cukup
kuat terhadap semua tipe stimulan seperti trombin, ADP, kolagen, dan
serotonin 17. Ada 3 perparat, yaitu Abciximab, Tirofiban, dan Eptifibatide
yang diberikan secara intravena. Ada juga secara peroral, yakni Orbofiban,
Sibrafiban, dan Ximilofiban. GPIIb/IIIa-I secara intravena jelas menurunkan
kejadian koroner dengan segera, namun pemberian peroral jangka lama tidak
menguntungkan, bahkan dapat meningkatkan mortalitas. Secara invitro, obat
ini lebih kuat daripada Aspirin dan dapat digunakan untuk mengurangi akibat
disrupsi plak. Banyak penelitian besar telah dilakukan, baik GPIIb/IIIa-I
sendiri maupun kombinasi dengan Aspirin, Heparin, maupun pada saat
tindakan angioplasti dengan hasil cukup baik. Namun, tetap perlu diamati
komplikasi perdarahannya dengan menghitung jumlah platelet
(trombositopenia) meskipun ditemukan tidak serius. Disebut trombositopenia
berat bila jumlah platelet < 50.000 ml 4,17,26. Dasgupta dkk. (2000) meneliti
efek trombositopenia yang terjadi pada Abciximab tetapi tidak terjadi pada
Eptifibatide atau Tirofiban dengan sebab yang belum jelas. Diduga karena
Abciximab menyebabkan respons antibodi yang merangsang kombinasi
platelet meningkat dan menyokong terjadinya trombositopenia. Penelitian
TARGET menunjukkan superioritas Abciximab dibanding Agrastat dan tidak
8
ada perbedaan antara intergillin dengan derivat yang lain. Penelitian ESPRIT
memprogram untuk persiapan IKP, ternyata hanya nenguntungkan pada grup
APTS.
e Direct Trombin Inhibitors: Hirudin, yaitu suatu antikoagulan yang berisi 65
asam amino polipeptida yang mengikat langsung trombin. GUSTO IIb telah
mencoba terapi terhadap 12.142 pasien APTS/NSTEMI dan STEMI, namun
tidak menunjukan perbedaan yang bermakna terhadap mortalitas 17,28.
f Trombolitik: dengan trombolitik pada STEMI dan left bundle branch block
(LBBB) baru, dapat menurunkan mortalitas dalam waktu pendek sebesar 18%
29, namun tidak menguntungkan bagi kasus APTS dan NSTEMI. Walaupun
tissue plasminogen activator (t-PA) kombinasi dengan Aspirin dan dosis
penuh UFH adalah superior dari Streptokinase, hanya 54% pasien mencapai
aliran normal pada daerah infark selama 90 menit 30,31,32,33. Trombolitik
terbaru yang diharapkan dapat memperbaiki patensi arteri koroner dan
mortalitas ialah Reteplase (r-PA) dan Tenecteplase (TNK-t-PA), karena
mempunyai waktu paruh lebih panjang daripada t-PA. Namun, ada 2
penelitian besar membandingkan t-PA dengan r-PA plus TNK-t-PA, namun
ternyata tidak ada perbedaan dan risiko perdarahannya sama saja.
g Kateterisasi Jantung: selain pengunaan obat-obatan, teknik kateterisasi
jantung saat ini juga semakin maju. Tindakan memperdarahi (melalui
pembuluh darah) daerah yang kekurangan atau bahkan tidak memperoleh
darah bisa dilaksanakan dengan membuka sumbatan pembuluh darah koroner
dengan balon dan lalu dipasang alat yang disebut stent. Dengan demikian
aliran darah akan dengan segera dapat kembali mengalir menjadi normal.
a. Pengkajian:
1) Identitas klien (umumnya jenis kelamin laki-laki dan usia > 50 tahun)
2) Keluhan (nyeri dada, Klien mengeluh nyeri ketika beristirahat, terasa panas,
di dada retro sternal menyebar ke lengan kiri dan punggung kiri, skala nyeri 8
(skala 1-10), nyeri berlangsung ± 10 menit)
3) Riwayat penyakit sebelumnya (DM, hipertensi, kebiasaan merokok,
pekerjaan, stress), dan Riwayat penyakit keluarga (jantung, DM, hipertensi,
ginjal).
b. Pemeriksaan Penunjang:
9
1) Perubahan EKG (berupa gambaran STEMI/ NSTEMI dengan atau tanpa
gelombang Q patologik)
2) Enzim jantung (meningkat paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas normal,
terutama CKMB dan troponin-T /I, dimana troponin lebih spesifik untuk
nekrosis miokard. Nilai normal troponin ialah 0,1--0,2 ng/dl, dan dianggap
positif bila > 0,2 ng/dl).
c. Pemeriksaan Fisik
1) B1: dispneu (+), diberikan O2 tambahan
2) B2: suara jantung murmur (+), chest pain (+), crt 2 dtk, akral dingin
3) B3: pupil isokor, reflek cahaya (+), reflek fisiologis (+)
4) B4: oliguri
5) B5: penurunan nafsu makan, mual (-), muntah (-)
6) B6: tidak ada masalah
10
Gejala dan Kolaborasi
Tanda Minor
1. Kolaborasi
Subjektif pemberian analgetik
Objektif:
1. Tekanan
darah
meningk
at
2. Pola
nafas
berubah
3. Nafsu
makan
berubah
4. Proses
berfikir
tergangg
u
5. Berfokus
pada diri
sendiri
2 Penurunan Setelah dilakukan Observasi:
curah jantung intervensi keperawatan
selama 3x24 jam maka 1. Identifikasi tanda dan
Definisi: gejala primer penurunan
curah jantung meningkat curah jantung (meliputi
ketidakadekuat dengan kriteria hasil: dispnea, kelelahan,
an jantung edema)
1. Kekuatan nadi perifer 2. Identifikasi tanda dan
memompa meningkat gejala sekunder
2. Palpitasi menurun penurunan curah jantung
darah untuk
3. Bradikardi menurun (meliputi palpitasi,
memenuhi 4. Takikardi menurun ronkhi basah, batuk,
5. Gambaran EKG kulit pucat)
kebutuhan
aritmia menurun 3. Monitor aritmia
metabolism 6. Lelah menurun Terapeutik:
7. Edema menurun
8. Dipsnea menurun 1. Posisikan pasien semi
9. Sianosis menurun fowler atau posisi
10. Batuk menurun nyaman
2. Berikan dukungan
emosional dan spritual
11
Edukasi:
1. Anjurkan beraktivitas
fisik sesuai toleransi
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian
antiaritmia
12
pemantauan
5 Intoleransi Setelah dilkakukan Observasi
aktivitas intervensi keperawatan
selama 3 x 24 jam maka 1. identifikasi
Definisi gangguan fungsi
toleransi aktivitas tubuh yang
Ketidakcukupan meningkat dengan kriteria mengakibatkan
energi untuk hasil kelelahan
melakukan 2. monitor kelelahan
1. frekuensi nadi fisik dan emosional
aktifitas sehari- meningkat terapeutik
hari 2. dyspnea saat
beraktivitas 1. sediakan lingkungan
3. keluhan Lelah nyaman dan rendah
menurun stimulus
4. dyspnea setelah edukasi
aktivitas menurun
1. anjurkan tirah baring
2. anjurkan melakukan
aktivitas secara
bertahap
kolaborasi
1. kolaborasi dengan
ahli gizi tentang cara
meningkatkan
asupan makanan
Daftar Pustaka
Jevon Philip, Ewen Beverley. 2015. Pemamntauan Pasien Kritis Edisi kedua.
Jakarta: Erlangga.
TIM PPGD. 2016. Penanggulangan Penderita Gawar Darurat Basic Trauma &
Cardiac Life Support. Bukittinggi.
Andra. (2016). Sindrom Koroner Akut: Pendekatan Invasif Dini atau Konservatif.
13
Carpenito. (1998). Diagnosa Keperawata: Aplikasi Pada Praktek Klinis. Edisi VI.
Jakarta: EGC
Rilantono, dkk. (1996). Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Wasid (2017). Tinjauan Pustaka Konsep Baru Penanganan Sindrom Koroner Akut.
14