Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Andra (2016) mengatakan Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah kejadian
kegawatan pada pembuluh darah koroner. Wasid (2017) menambahkan bahwa
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu fase akut dari Angina Pectoris Tidak
Stabil/ APTS yang disertai Infark Miocard Akut/ IMA gelombang Q (IMA-Q)
dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau tanpa gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST
elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari ruptur plak
aterosklerosis yang tak stabil. Mortalitas tidak tergantung pada besarnya
prosentase stenosis (plak) koroner, namun lebih sering ditemukan pada penderita
dengan plak kurang dari 50–70% yang tidak stabil, yakni fibrous cap ‘dinding
(punggung) plak’ yang tipis dan mudah erosi atau ruptur1,2,3
Terminologi sindrom koroner akut berkembang selama 10 tahun terakhir dan
telah digunakan secara luas. Hal ini berkaitan dengan patofisiologi secara umum
yang diketahui berhubungan dengan kebanyakan kasus angina tidak stabil dan
infark miokard.1 Angina tidak stabil, infark miokard tanpa gelombang Q, dan
infark miokard gelombang Q mempunyai substrat patogenik umum berupa lesi
aterosklerosis pada arteri koroner. 1,2,3
Istilah Sindrom Koroner Akut (SKA) banyak digunakan saat ini untuk
menggambarkan kejadian kegawatan pada pembuluh darah koroner. SKA
merupakan satu sindrom yang terdiri dari beberapa penyakit koroner yaitu,
angina tak stabil (unstable angina), infark miokard non-elevasi ST, infark
miokard dengan elevasi ST, maupun angina pektoris pasca infark atau pasca
tindakan intervensi koroner perkutan. 1,2,3
1.2 Tujuan
1. Menjelaskan pengertian Sindrom koroner akut.
2. Menjelaskan etiologi sindrom koroner akut.
3. Menjelaskan klasifikasi sindrom koroner akut.
4. Menjelaskan patofiosiologi sindrom koroner akut.
5. Menjelaskan manifestasi klinis sindrom koroner akut.
6. Menjelaskan pemeriksaan diagnostic pasien sinndrom koroner akut.
7. Menjelaskan penatalaksanaansindrom koroner akut.
8. Membuat asuhan keperawatan pada pasien dengan sindromkoroner akut.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Sindrom Koroner Akut (SKA)


Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan
manifestasi klinis rasa tidak enak didada atau gejala lain sebagai akibat iskemia
miokardium. SKA terdiri atas angina pektoris tidak stabil, infarct myocard acute
(IMA) yang disertai elevasi segmen ST. Penderita dengan infark miokardium tanpa
elevasi ST. SKA ditetapkan sebagai manifestasi klinis penyakit arteri koroner.
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan manifestasi utama proses aterosklerosis.
Harun (2017) mengatakan istilah Sindrom Koroner Akut (SKA) banyak
digunakan saat ini untuk menggambarkan kejadian kegawatan pada pembuluh darah
koroner. Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan satu sindrom yang terdiri dari
beberapa penyakit koroner yaitu, angina tak stabil (unstable angina), infark miokard
non-elevasi ST, infark miokard dengan elevasi ST, maupun angina pektoris pasca
infark atau pasca tindakan intervensi koroner perkutan. Sindrom Koroner Akut
(SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak enak
di dada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium.

2.2 Etiologi Sindrom Koroner Akut (SKA)


Rilantono (1996) mengatakan sumber masalah sesungguhnya hanya terletak
pada penyempitan pembuluh darah jantung (vasokonstriksi). Penyempitan ini
diakibatkan oleh empat hal, meliputi:
a. Adanya timbunan-lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah akibat
konsumsi kolesterol tinggi.
b. Sumbatan (trombosis) oleh sel beku darah (trombus).
c. Vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah akibat kejang yang terus
menerus.
d. Infeksi pada pembuluh darah.
Wasid (2017) menambahkan mulai terjadinya Sindrom Koroner Akut (SKA)
dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni:
a Aktivitas/latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan)
b Stress emosi, terkejut
c Udara dingin, keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan
peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi
debar jantung meningkat, dan kontraktilitas jantung meningkat.

2.3 Klasifikasi Sindrom Koroner Akut (SKA)

2
Wasid (2017) mengatakan berat/ ringannya Sindrom Koroner Akut (SKA)
adalah:
a. Kelas I: Serangan baru, yaitu kurang dari 2 bulan progresif, berat, dengan
nyeri pada waktu istirahat, atau aktivitas sangat ringan, terjadi >2 kali per
hari.
b. Kelas II: Sub-akut, yakni sakit dada antara 48 jam sampai dengan 1 bulan
pada waktu istirahat.
c. Kelas III: Akut, yakni kurang dari 48 jam.
Secara Klinis:
a. Kelas A: Sekunder, dicetuskan oleh hal-hal di luar koroner, seperti anemia,
infeksi, demam, hipotensi, takiaritmi, tirotoksikosis, dan hipoksia karena
gagal napas.
b. Kelas B: Primer.
c. Kelas C: Setelah infark (dalam 2 minggu IMA). Belum pernah diobati.
Dengan anti angina (penghambat beta adrenergik, nitrat, dan antagonis
kalsium) Antiangina dan nitrogliserin intravena.

2.4 Patofisiologi Sindrom Koroner Akut (SKA)


Rilantono (1996) mengatakan Sindrom Koroner Akut (SKA) dimulai dengan
adanya ruptur plak arteri koroner, aktivasi kaskade pembekuan dan platelet,
pembentukan trombus, serta aliran darah koroner yang mendadak berkurang. Hal ini
terjadi pada plak koroner yang kaya lipid dengan fibrous cap yang tipis (vulnerable
plaque). Ini disebut fase plaque disruption ‘disrupsi plak’. Setelah plak mengalami
ruptur maka faktor jaringan (tissue factor) dikeluarkan dan bersama faktor VIIa
membentuk tissue factor VIIa complex mengaktifkan faktor X menjadi faktor Xa
sebagai penyebab terjadinya produksi trombin yang banyak. Adanya adesi platelet,
aktivasi, dan agregasi, menyebabkan pembentukan trombus arteri koroner. Ini disebut
fase acute thrombosis ‘trombosis akut’. Proses inflamasi yang melibatkan aktivasi
makrofage dan sel T limfosit, proteinase, dan sitokin, menyokong terjadinya ruptur
plak serta trombosis tersebut. Sel inflamasi tersebut bertanggung jawab terhadap
destabilisasi plak melalui perubahan dalam antiadesif dan antikoagulan menjadi
prokoagulan sel endotelial, yang menghasilkan faktor jaringan dalam monosit
sehingga menyebabkan ruptur plak. Oleh karena itu, adanya leukositosis dan
peningkatan kadar CRP merupakan petanda inflamasi pada kejadian koroner akut
(IMA) dan mempunyai nilai prognostic. Pada 15% pasien IMA didapatkan kenaikan
CRP meskipun troponin-T negatif. Endotelium mempunyai peranan homeostasis
vaskular yang memproduksi berbagai zat vasokonstriktor maupun vasodilator lokal.

3
Jika mengalami aterosklerosis maka segera terjadi disfungsi endotel (bahkan sebelum
terjadinya plak). Disfungsi endotel ini dapat disebabkan meningkatnya inaktivasi
nitrit oksid (NO) oleh beberapa spesies oksigen reaktif, yakni xanthine oxidase,
NADH/ NADPH (nicotinamide adenine dinucleotide phosphate oxidase), dan
endothelial cell Nitric Oxide Synthase (eNOS). Oksigen reaktif ini dianggap dapat
terjadi pada hiperkolesterolemia, diabetes, aterosklerosis, perokok, hipertensi, dan
gagal jantung. Diduga masih ada beberapa enzim yang terlibat dalam produk radikal
pada dinding pembuluh darah, misalnya lipooxygenases dan P450-monooxygenases.
Angiotensin II juga merupakan aktivator NADPH oxidase yang poten. Ia dapat
meningkatkan inflamasi dinding pembuluh darah melalui pengerahan makrofage
yang menghasilkan monocyte chemoattractan protein-1 dari dinding pembuluh darah
sebagai aterogenesis yang esensial.
Fase selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi arteri koroner akibat
disfungsi endotel ringan dekat lesi atau respons terhadap lesi itu. Pada keadaan
disfungsi endotel, faktor konstriktor lebih dominan (yakni endotelin-1, tromboksan
A2, dan prostaglandin H2) daripada faktor relaksator (yakni nitrit oksid dan
prostasiklin). Nitrit Oksid secara langsung menghambat proliferasi sel otot polos dan
migrasi, adesi leukosit ke endotel, serta agregasi platelet dan sebagai proatherogenic.
Melalui efek melawan, TXA2 juga menghambat agregasi platelet dan menurunkan
kontraktilitas miokard, dilatasi koroner, menekan fibrilasi ventrikel, dan luasnya
infark. Sindrom koroner akut yang diteliti secara angiografi 60—70% menunjukkan
obstruksi plak aterosklerosis yang ringan sampai dengan moderat, dan terjadi disrupsi
plak karena beberapa hal, yakni tipis - tebalnya fibrous cap yang menutupi inti
lemak, adanya inflamasi pada kapsul, dan hemodinamik stress mekanik. Adapun
mulai terjadinya sindrom koroner akut, khususnya IMA, dipengaruhi oleh beberapa
keadaan, yakni aktivitas/ latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan), stress
emosi, terkejut, udara dingin, waktu dari suatu siklus harian (pagi hari), dan hari dari
suatu mingguan (Senin). Keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan
peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar
jantung meningkat, kontraktilitas jantung meningkat, dan aliran koroner juga
meningkat. Dari mekanisme inilah beta blocker mendapat tempat sebagai
pencegahan dan terapi.

2.5 Manifestasi Sindrom Koroner Akut (SKA)


Rilantono (1996) mengatakan gejala sindrom koroner akut berupa keluhan
nyeri ditengah dada, seperti: rasa ditekan, rasa diremas-remas, menjalar ke leher,
lengan kiri dan kanan, serta ulu hati, rasa terbakar dengan sesak napas dan keringat

4
dingin, dan keluhan nyeri ini bisa merambat ke kedua rahang gigi kanan atau kiri,
bahu, serta punggung. Lebih spesifik, ada juga yang disertai kembung pada ulu hati
seperti masuk angin atau maag.
Tapan (2012) menambahkan gejala kliniknya meliputi:
a. Terbentuknya thrombus yang menyebabkan darah sukar mengalir ke otot
jantung dan daerah yang diperdarahi menjadi terancam mati
b. Rasa nyeri, rasa terjepit, kram, rasa berat atau rasa terbakar di dada (angina).
Lokasi nyeri biasanya berada di sisi tengah atau kiri dada dan berlangsung
selama lebih dari 20 menit. Rasa nyeri ini dapat menjalar ke rahang bawah,
leher, bahu dan lengan serta ke punggung. Nyeri dapat timbul pada waktu
istirahat. Nyeri ini dapat pula timbul pada penderita yang sebelumnya belum
pernah mengalami hal ini atau pada penderita yang pernah mengalami angina,
namun pada kali ini pola serangannya menjadi lebih berat atau lebih sering.
c. Selain gejala-gejala yang khas di atas, bisa juga terjadi penderita hanya
mengeluh seolah pencernaannya terganggu atau hanya berupa nyeri yang
terasa di ulu hati. Keluhan di atas dapat disertai dengan sesak, muntah atau
keringat dingin.

2.6 Pemeriksaan Diagnostik Sindrom Koroner Akut (SKA)


Wasid (2007) mengatakan cara mendiagnosis IMA, ada 3 komponen yang
harus ditemukan, yakni:
a. Sakit dada
b. Perubahan EKG, berupa gambaran STEMI/ NSTEMI dengan atau tanpa
gelombang Q patologik
c. Peningkatan enzim jantung (paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas normal),
terutama CKMB dan troponin-T /I, dimana troponin lebih spesifik untuk
nekrosis miokard. Nilai normal troponin ialah 0,1--0,2 ng/dl, dan dianggap
positif bila > 0,2 ng/dl.

2.7 Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut (SKA)


Rilantono (1996) mengatakan tahap awal dan cepat pengobatan pasien
sindrom koroner akut (SKA) adalah:
a. Oksigenasi: Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi
kekurangan oksigen pada miokard yang mengalami cedera serta menurunkan
beratnya ST-elevasi. Ini dilakukan sampai dengan pasien stabil dengan level
oksigen 2–3 liter/ menit secara kanul hidung.
b. Nitrogliserin (NTG): digunakan pada pasien yang tidak hipotensi. Mula-mula
secara sublingual (SL) (0,3 – 0,6 mg), atau aerosol spray. Jika sakit dada tetap
ada setelah 3x NTG setiap 5 menit dilanjutkan dengan drip intravena 5–10

5
ug/menit (jangan lebih 200 ug/menit) dan tekanan darah sistolik jangan
kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya ialah memperbaiki pengiriman oksigen
ke miokard; menurunkan kebutuhan oksigen di miokard; menurunkan beban
awal (preload) sehingga mengubah tegangan dinding ventrikel; dilatasi arteri
koroner besar dan memperbaiki aliran kolateral; serta menghambat agregasi
platelet (masih menjadi pertanyaan).
c. Morphine: Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan
kegelisahan; mengurangi rasa sakit akibat iskemia; meningkatkan venous
capacitance; menurunkan tahanan pembuluh sistemik; serta nadi menurun dan
tekanan darah juga menurun, sehingga preload dan after load menurun, beban
miokard berkurang, pasien tenang tidak kesakitan. Dosis 2 – 4 mg intravena
sambil memperhatikan efek samping mual, bradikardi, dan depresi
pernapasan
d. Aspirin: harus diberikan kepada semua pasien sindrom koroner akut jika tidak
ada kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya ialah menghambat
siklooksigenase –1 dalam platelet dan mencegah pembentukan tromboksan-
A2. Kedua hal tersebut menyebabkan agregasi platelet dan konstriksi arterial.
e. Penelitian ISIS-2 (International Study of Infarct Survival) menyatakan bahwa
Aspirin menurunkan mortalitas sebanyak 19%, sedangkan "The Antiplatelet
Trialists Colaboration" melaporkan adanya penurunan kejadian vaskular IMA
risiko tinggi dari 14% menjadi 10% dan nonfatal IMA sebesar 30%. Dosis
yang dianjurkan ialah 160–325 mg perhari, dan absorpsinya lebih baik
"chewable" dari pada tablet, terutama pada stadium awal 3,4. Aspirin
suppositoria (325 mg) dapat diberikan pada pasien yang mual atau muntah 4.
Aspirin boleh diberikan bersama atau setelah pemberian GPIIb/IIIa-I atau
UFH (unfractioned heparin). Ternyata efektif dalam menurunkan kematian,
infark miokard, dan berulangnya angina pectoris.
f. Antitrombolitik lain: Clopidogrel, Ticlopidine: derivat tinopiridin ini
menghambat agregasi platelet, memperpanjang waktu perdarahan, dan
menurunkan viskositas darah dengan cara menghambat aksi ADP (adenosine
diphosphate) pada reseptor platelet., sehingga menurunkan kejadian iskemi.
Ticlopidin bermakna dalam menurunkan 46% kematian vaskular dan nonfatal
infark miokard. Dapat dikombinasi dengan Aspirin untuk prevensi trombosis
dan iskemia berulang pada pasien yang telah mengalami implantasi stent
koroner. Pada pemasangan stent koroner dapat memicu terjadinya trombosis,
tetapi dapat dicegah dengan pemberian Aspirin dosis rendah (100 mg/hari)
bersama Ticlopidine 2x 250 mg/hari. Colombo dkk. memperoleh hasil yang

6
baik dengan menurunnya risiko trombosis tersebut dari 4,5% menjadi 1,3%,
dan menurunnya komplikasi perdarahan dari 10–16% menjadi 0,2–5,5%21.
Namun, perlu diamati efek samping netropenia dan trombositopenia
(meskipun jarang) sampai dengan dapat terjadi purpura trombotik
trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung sel darah lengkap pada
minggu II – III. Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila
dikombinasi dengan Aspirin, namun tidak ada korelasi dengan netropenia dan
lebih rendah komplikasi gastrointestinalnya bila dibanding Aspirin, meskipun
tidak terlepas dari adanya risiko perdarahan. Didapatkan setiap 1.000 pasien
SKA yang diberikan Clopidogrel, 6 orang membutuhkan tranfusi darah 17,22.
Clopidogrel 1 x 75 mg/hari peroral, cepat diabsorbsi dan mulai beraksi
sebagai antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah pemberian obat dan 40–60%
inhibisi dicapai dalam 3–7 hari. Penelitian CAPRIE (Clopidogrel vs ASA in
Patients at Risk of Ischemic Events) menyimpulkan bahwa Clopidogrel
secara bermakna lebih efektif daripada ASA untuk pencegahan kejadian
iskemi pembuluh darah (IMA, stroke) pada aterosklerosis (Product
Monograph New Plavix).

Rilantono (1996) menambahkan penanganan Sindrom Koroner Akut (SKA)


meliputi:
a Heparin: Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada preparat-preparat baru
yang lebih aman (tanpa efek samping trombositopenia) dan lebih mudah
pemantauannya (tanpa aPTT). Heparin mempunyai efek menghambat tidak
langsung pada pembentukan trombin, namun dapat merangsang aktivasi
platelet. Dosis UFH yang dianjurkan terakhir ialah 60 ug/kg bolus,
dilanjutkan dengan infus 12 ug/kg/jam maksimum bolus, yaitu 4.000 ug/kg,
dan infus 1.000 ug/jam untuk pasien dengan berat badan < 70 kg.
b Low Molecular Heparin Weight Heparin (LMWH): Diberikan pada APTS
atau NSTEMI dengan risiko tinggi. LMWH mempunyai kelebihan dibanding
dengan UFH, yaitu mempunyai waktu paruh lebih lama; high bioavailability;
dose – independent clearance; mempunyai tahanan yang tinggi untuk
menghambat aktivasi platelet; tidak mengaktivasi platelet; menurunkan faktor
von Willebrand; kejadian trombositopenia sangat rendah; tidak perlu
pemantauan aPTT ; rasio antifaktor Xa / IIa lebih tinggi; lebih banyak
menghambat alur faktor jaringan; dan lebih besar efek hambatan dalam
pembentukan trombi dan aktivitasnya. Termasuk dalam preparat ini ialah

7
Dalteparin, Enoxaparin, dan Fraxi-parin. Dosis Fraxiparin untuk APTS dan
NQMCI: 86 iu antiXa/kg intravena bersama Aspirin (maksimum 325 mg)
kemudian 85 iu antiXa/kg subkutan selama 6 hari: 2 x tiap 12 jam (Technical
Brochure of Fraxiparin. Sanofi – Synthelabo).
c Warfarin: Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran bahwa
pengobatan jangka panjang dapat memperoleh efek antikoagulan secara dini.
Tak ada perbedaan antara pemberian Warfarin plus Aspirin dengan Aspirin
saja (CHAMP Study, CARS Trial) sehingga tak dianjurkan pemberian
kombinasi Warfarin dengan Asparin.
d Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor (GPIIb/IIIa-I): obat ini perlu diberikan pada
NSTEMI SKA dengan risiko tinggi, terutama hubungannya dengan intervensi
koroner perkutan (IKP). Pada STEMI, bila diberikan bersama trombolitik
akan meningkatkan efek reperfusi (studi GUSTO V dan ASSENT-3). GUSTO
V membandingkan Reteplase dengan Reteplase dan Abciximab (GPIIb/IIIa-I)
pada IMA, sedangkan ASSENT–3 membandingkan antara Tenecteplase
kombinasi dengan Enoxaparin atau Abciximab dengan Tenecteplase
kombinasi UFH pada IMA , yang ternyata tak ada perbedaan pada mortalitas
4. Efek GPIIb/IIIa-I ialah menghambat agregasi platelet tersebut dan cukup
kuat terhadap semua tipe stimulan seperti trombin, ADP, kolagen, dan
serotonin 17. Ada 3 perparat, yaitu Abciximab, Tirofiban, dan Eptifibatide
yang diberikan secara intravena. Ada juga secara peroral, yakni Orbofiban,
Sibrafiban, dan Ximilofiban. GPIIb/IIIa-I secara intravena jelas menurunkan
kejadian koroner dengan segera, namun pemberian peroral jangka lama tidak
menguntungkan, bahkan dapat meningkatkan mortalitas. Secara invitro, obat
ini lebih kuat daripada Aspirin dan dapat digunakan untuk mengurangi akibat
disrupsi plak. Banyak penelitian besar telah dilakukan, baik GPIIb/IIIa-I
sendiri maupun kombinasi dengan Aspirin, Heparin, maupun pada saat
tindakan angioplasti dengan hasil cukup baik. Namun, tetap perlu diamati
komplikasi perdarahannya dengan menghitung jumlah platelet
(trombositopenia) meskipun ditemukan tidak serius. Disebut trombositopenia
berat bila jumlah platelet < 50.000 ml 4,17,26. Dasgupta dkk. (2000) meneliti
efek trombositopenia yang terjadi pada Abciximab tetapi tidak terjadi pada
Eptifibatide atau Tirofiban dengan sebab yang belum jelas. Diduga karena
Abciximab menyebabkan respons antibodi yang merangsang kombinasi
platelet meningkat dan menyokong terjadinya trombositopenia. Penelitian
TARGET menunjukkan superioritas Abciximab dibanding Agrastat dan tidak

8
ada perbedaan antara intergillin dengan derivat yang lain. Penelitian ESPRIT
memprogram untuk persiapan IKP, ternyata hanya nenguntungkan pada grup
APTS.
e Direct Trombin Inhibitors: Hirudin, yaitu suatu antikoagulan yang berisi 65
asam amino polipeptida yang mengikat langsung trombin. GUSTO IIb telah
mencoba terapi terhadap 12.142 pasien APTS/NSTEMI dan STEMI, namun
tidak menunjukan perbedaan yang bermakna terhadap mortalitas 17,28.
f Trombolitik: dengan trombolitik pada STEMI dan left bundle branch block
(LBBB) baru, dapat menurunkan mortalitas dalam waktu pendek sebesar 18%
29, namun tidak menguntungkan bagi kasus APTS dan NSTEMI. Walaupun
tissue plasminogen activator (t-PA) kombinasi dengan Aspirin dan dosis
penuh UFH adalah superior dari Streptokinase, hanya 54% pasien mencapai
aliran normal pada daerah infark selama 90 menit 30,31,32,33. Trombolitik
terbaru yang diharapkan dapat memperbaiki patensi arteri koroner dan
mortalitas ialah Reteplase (r-PA) dan Tenecteplase (TNK-t-PA), karena
mempunyai waktu paruh lebih panjang daripada t-PA. Namun, ada 2
penelitian besar membandingkan t-PA dengan r-PA plus TNK-t-PA, namun
ternyata tidak ada perbedaan dan risiko perdarahannya sama saja.
g Kateterisasi Jantung: selain pengunaan obat-obatan, teknik kateterisasi
jantung saat ini juga semakin maju. Tindakan memperdarahi (melalui
pembuluh darah) daerah yang kekurangan atau bahkan tidak memperoleh
darah bisa dilaksanakan dengan membuka sumbatan pembuluh darah koroner
dengan balon dan lalu dipasang alat yang disebut stent. Dengan demikian
aliran darah akan dengan segera dapat kembali mengalir menjadi normal.

2.8 Asuhan Keperawatan Klien dengan Sindrom Koroner Akut (SKA)

a. Pengkajian:
1) Identitas klien (umumnya jenis kelamin laki-laki dan usia > 50 tahun)
2) Keluhan (nyeri dada, Klien mengeluh nyeri ketika beristirahat, terasa panas,
di dada retro sternal menyebar ke lengan kiri dan punggung kiri, skala nyeri 8
(skala 1-10), nyeri berlangsung ± 10 menit)
3) Riwayat penyakit sebelumnya (DM, hipertensi, kebiasaan merokok,
pekerjaan, stress), dan Riwayat penyakit keluarga (jantung, DM, hipertensi,
ginjal).

b. Pemeriksaan Penunjang:

9
1) Perubahan EKG (berupa gambaran STEMI/ NSTEMI dengan atau tanpa
gelombang Q patologik)
2) Enzim jantung (meningkat paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas normal,
terutama CKMB dan troponin-T /I, dimana troponin lebih spesifik untuk
nekrosis miokard. Nilai normal troponin ialah 0,1--0,2 ng/dl, dan dianggap
positif bila > 0,2 ng/dl).

c. Pemeriksaan Fisik
1) B1: dispneu (+), diberikan O2 tambahan
2) B2: suara jantung murmur (+), chest pain (+), crt 2 dtk, akral dingin
3) B3: pupil isokor, reflek cahaya (+), reflek fisiologis (+)
4) B4: oliguri
5) B5: penurunan nafsu makan, mual (-), muntah (-)
6) B6: tidak ada masalah

d. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan


DIAGNOSA KEPERAWATAN

N Diagnose Tujuan Intervensi


o

1 Nyeri Setelah dilakukan Menejemen nyeri


intervensi keperawatan
Gejala dan Observasi:
selama 3 x 24 jam maka
Tanda Mayor
tingkat nyeri menurun 1. Identifikasi lokasi
Subjektif: dengan kriteria hasil: karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas,
Mengeluh nyeri 1. KKeluhan nyeri
intensitas nyeri
Objektif: menurun 2. Identifikasi skala
2. MMeringis
nyeri
Tampak menurun
meringis 3. SSikap protektif Terapeutik
Bersikap menurun 1. Berikan tehnik non
protektif 4. GGelisah menurun
5. KKesulitan tidur farmakologis untuk
(missal.
menurun mengurangi rasa
Waspada, posisi 6. FFrekuensi nadi nyeri
menghindari membaik Edukasi
nyeri)
Gelisah
1. JJelaskan periode,
Frekunsi nadi
penyebab dan
meningkat
Sulit tidur pemicu nyeri

10
Gejala dan Kolaborasi
Tanda Minor
1. Kolaborasi
Subjektif pemberian analgetik

Objektif:

1. Tekanan
darah
meningk
at
2. Pola
nafas
berubah
3. Nafsu
makan
berubah
4. Proses
berfikir
tergangg
u
5. Berfokus
pada diri
sendiri
2 Penurunan Setelah dilakukan Observasi:
curah jantung intervensi keperawatan
selama 3x24 jam maka 1. Identifikasi tanda dan
Definisi: gejala primer penurunan
curah jantung meningkat curah jantung (meliputi
ketidakadekuat dengan kriteria hasil: dispnea, kelelahan,
an jantung edema)
1. Kekuatan nadi perifer 2. Identifikasi tanda dan
memompa meningkat gejala sekunder
2. Palpitasi menurun penurunan curah jantung
darah untuk
3. Bradikardi menurun (meliputi palpitasi,
memenuhi 4. Takikardi menurun ronkhi basah, batuk,
5. Gambaran EKG kulit pucat)
kebutuhan
aritmia menurun 3. Monitor aritmia
metabolism 6. Lelah menurun Terapeutik:
7. Edema menurun
8. Dipsnea menurun 1. Posisikan pasien semi
9. Sianosis menurun fowler atau posisi
10. Batuk menurun nyaman
2. Berikan dukungan
emosional dan spritual

11
Edukasi:

1. Anjurkan beraktivitas
fisik sesuai toleransi
Kolaborasi:

1. Kolaborasi pemberian
antiaritmia

3 Intoleransi Setelah dilakukan Observasi:


aktivitas intervensi keperawatan
selama 3x24 jam maka 1. identifikasi gangguan
1. Definisi: fungsi tubuh yang
toleransi aktivitas mengakibatkan kelelahan
ketidakcuku meningkat dengan kriteria 2. monitor kelelahan fisik
pan energi hasil: dan emosional
Terapeutik:
untuk 1. frekuensi nadi
melakukan meningkat 1. sediakan lingkungan
2. keluhan lelah menurun nyaman dan rendah
aktivitas 3. dispnea saat aktivitas stimulus
sehari-hari menurun Edukasi:
dispnea setelah aktivitas
menurun 1. anjurkan tirah baring
2. anjurkan melakukan
aktivitas secara bertahap
Kolaborasi:

1. kolaborasi dengan ahli


gizi tentang cara
meningkatkan asupan
makanan

4 Resiko Setelah dilakukan Observasi


ketidakseimba intervensi keperawatan
ngan elektrolit selama 3 x 24 jam maka 1. identifikasi
kemungkinan
keseimbangan elektrolit penyebab
Definisi meningkat dengan kriteria ketidakseimbangan
Beresiko hasil elektrolit
perubahan kadar 2. monitor mual
1. serum natrium muntah dan diare
serum elektrolit membaik terapeutik
2. serum kalium
membaik 1. atur waktu pe
3. serum magnesium mantauan sesuai
membaik dengan kondisi
paisen
edukasi

1. jelaskan tujuan dan


prosedur

12
pemantauan
5 Intoleransi Setelah dilkakukan Observasi
aktivitas intervensi keperawatan
selama 3 x 24 jam maka 1. identifikasi
Definisi gangguan fungsi
toleransi aktivitas tubuh yang
Ketidakcukupan meningkat dengan kriteria mengakibatkan
energi untuk hasil kelelahan
melakukan 2. monitor kelelahan
1. frekuensi nadi fisik dan emosional
aktifitas sehari- meningkat terapeutik
hari 2. dyspnea saat
beraktivitas 1. sediakan lingkungan
3. keluhan Lelah nyaman dan rendah
menurun stimulus
4. dyspnea setelah edukasi
aktivitas menurun
1. anjurkan tirah baring
2. anjurkan melakukan
aktivitas secara
bertahap
kolaborasi

1. kolaborasi dengan
ahli gizi tentang cara
meningkatkan
asupan makanan

Daftar Pustaka

Jevon Philip, Ewen Beverley. 2015. Pemamntauan Pasien Kritis Edisi kedua.
Jakarta: Erlangga.

TIM PPGD. 2016. Penanggulangan Penderita Gawar Darurat Basic Trauma &
Cardiac Life Support. Bukittinggi.

O’Grady, Eileen. 2007. A Nurses’s Guide to Caring for Cardiac Intervention


Patients.England.

Andra. (2016). Sindrom Koroner Akut: Pendekatan Invasif Dini atau Konservatif.

13
Carpenito. (1998). Diagnosa Keperawata: Aplikasi Pada Praktek Klinis. Edisi VI.
Jakarta: EGC
Rilantono, dkk. (1996). Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Wasid (2017). Tinjauan Pustaka Konsep Baru Penanganan Sindrom Koroner Akut.

14

Anda mungkin juga menyukai