Anda di halaman 1dari 26

Hubungan Standar Praktek Kebidanan Dengan Hukum dan Perundang-

undangan
Bidan merupakan suatu profesi yang selalu mempunyai ukuran atau standar
profesi.Standar profesi bidan yang terbaru adalah diatur dalam PERMENKES RI No.
HK.02.02/MENKES/149/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik bidan.
1. Lingkup Praktek KebidananLingkup prakek kebidanan yang digunakan meliputi asuhan
mandiri/ otonomi pada anak-anak perem, remaja putri dan wanita desa sebelum, selama
kehamilan dan selanjutnya.
Hal ini berarti bidan memberikan pengawasan yang diperlukan asuhan serta nasehat bagi
wanita selama masa hamil, bersalin dan nifas.
1. Standar Praktek Kebidanan
 Standar I : Metode asuhan.
Metode asuhan Meliputi :Pengumpulan data, penentuan diagnosa perencanan, pelaksanaan,
evaluasi dan dokumentasi.
 Standar II : Pengkajian Pengumpulan data tentang status kesehatan klien dilakukan
secara sistematis dan berkesinambungan.
 Standar III : Diagnosa Kebidanan Diagnosa kebidanan dirumuskan berdasarkan analisis
data yang telah dikumpulkan

ETIKOLEGAL DALAM PELAYANAN KEBIDANAN

MENGHARGAI OTONOMI
A. PENGERTIAN
Secara etimologi , Otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang artinya sendiri,
dan nomos yang berarti hukuman atau aturan, jadi pengertian otonomi adalah
pengundangan sendiri (Danuredjo, 1979).

Menurut Koesoemahatmadja (1979: 9),


Otonomi adalah Perundangan Sendiri, lebih lanjut mengemukakan bahwa menurut
perkembangan sejarahnya di Indonesia, otonomi selain memiliki pengertian sebagai
perundangan sendiri, juga mengandung pengertian "pemerintahan" (bestuur)

Menurut Wayong (1979: 16),


Menjabarkan pengertian otonomi sebagai kebebasan untuk memelihara dan
memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan sendiri, menentukan
hukuman sendiri, dan pemerintahan sendiri.

Menurut Syarif Saleh (1963)


Menjelaskan bahwa otonomi ialah hak mengatur dan mmerintah sendiri, hak mana
diperoleh dari pemerintah pusat.

Menurut Ateng Syafruddin (1985: 23)


Adalah kebebasan dan kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang
terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus
dipertanggungjawabkan.

B. OTONOMI DALAM PELAYANAN KEBIDANAN


Profesi yang berhubungan dengan keselamatan jiwa manusia, adalah pertanggung

jawaban dan tanggung gugat (accountability) atas semua tindakan yang dilakukannya.

Sehingga semua tindakan yang dilakukan oleh bidan harus berbasis kompetensi dan

didasari suatu evidence based. Accountability diperkuat dengan satu landasan hukum

yang mengatur batas-batas wewenang profesi yang bersangkutan.

Dengan adanya legitimasi kewenangan bidan yang lebih luas, bidan memiliki hak

otonomi dan mandiri untuk bertindak secara profesional yang dilandasi kemampuan

berfikir logis dan sistematis serta bertindak sesuai standar profesi dan etika profesi.

Praktik kebidanan merupakan inti dan berbagai kegiatan bidan dalam

penyelenggaraan upaya kesehatan yang harus terus menerus ditingkatkan mutunya

melalui:

1. Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan.


2. Penelitian dalam bidang kebidanan.
3. Pengembangan ilmu dan tekhnologi dalam kebidanan.
4. Akreditasi.
5. Sertifikasi.
6. Registrasi.
7. Uji Kompetensi.
8. Lisensi.

Beberapa dasar dalam otonomi dan aspek legal yang mendasari dan terkait
dengan
pelayanan kebidana antara lain sebagai berikut:
1. Kepmenkes Republik Indonesia 900/ Menkcs/SK/ VII/ 2002 Tentang registrasi
dan praktik bidan.
2. Standar Pelayanan Kebidanan, 2001.
3. Kepmenkes Republik Indonesia Nomor 369/Menkes/SK/III/ 2007 Tentang
Standar Prof esi Bidan.
4. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
5. PP No 32/Tahun 1996 Tentang tenaga kesehatan.

6. Kepmenkes Republik Indonesia 1277/Menkes/SK/XI/2001 Tentang organisasi

dan tata kerja Depkes.


7. UU No 22/ 1999 Tentang Otonomi daerah.
8. UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
9. UU tentang aborsi, adopsi, bayi tabung, dan transplantasi.
10. KUHAP, dan KUHP, 1981.
11. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 585/ Menkes/
Per/ IX/ 1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik.
12. UU yang terkait dengan Hak reproduksi dan Keluarga Berencana;
 UU No. 10/1992 Tentang pengembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
Sejahtera.
 UU No. 23/2003 Tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan di Dalam
Rumah Tangga.

C. TUJUAN OTONOMI DALAM KEBIDANAN

Supaya bidan mengetahui kewajiban otonomi dan mandiri yang sesuai

dengan kewenangan yang didasari oleh undang – undang kesehatan yang berlaku.

Selain itu tujuan dari otonomi pelayanan kebidanan ini meliputi :


1. Untuk mengkaji kebutuhan dan masalah kesehatan

Misalnya mengumpulkan data – data dan mengidentifikasi masalah pasien

pada kasus tertentu.

2. Untuk menyusun rencana asuhan kebidanan.

Merencanakan asuhan yang akan diberikan pada pasien sesuai dengan

kebutuhan yang diperlukan oleh pasien tersebut.

3. Untuk mengetahui perkembangan kebidanan melalui penelitian.

4. Berperan sebagai anggota tim kesehatan

Misalnya membangun komunikasi yang baik antar tenaga kesehatan, dan

menerapkan keterampilan manajemen

5. Untuk melaksanakan dokumentasi kebidanan

Mengevaluasi hasil tindakan yang telah dilakukan, mengidentifikasi

Perubahan yang terjadi dan melakukan pendokumentasian.

6. Untuk mengelola perawatan pasien sesuai dengan lingkup tanggung

jawabnya.Membangun komunikasi yang efektif dengan pasien dan

melakukan asuhan terhadap pasien.

D. PERSYARATAN

Suatu ketentuan untuk melaksanakan praktek kebidanan dalam memberikan

asuhan pelayanan kebidanan sesuai dengan bentuk – bentuk otonomi bidan dalam

praktek kebidanan.

Syarat – syarat dari otonomi pelayanan kebidanan meliputi :

 Administrasi
Seorang bidan dalam melakukan praktek kebidanan, hendaknya memiliki sarana dan

prasarana yang melengkapi pelayanan yang memiliki standard dan sesuai dengan

fasilitas kebidanan.

 Dapat diobservasi dan diukur

Mutu layanan kesehatan akan diukur berdasarkan perbandingannya terhadap standar

pelayanan kesehatan yang telah disepakati dan ditetapkan sebelum pengukuran mutu

dilakukan

 Realistic

Kinerja layanan kesehatan yang diperoleh dengan nyata akan diukur terhadap criteria

mutu yang ditentukan, untuk melihat standar pelayanan kesehatan apakah tercapai

atau tidak.

 Mudah dilakukan dan dibutuhkan.

E. KEGUNAAN OTONOMI DALAM PELAYANAN KEBIDANAN

Otonomi pelayanan kesehatan meliputi pembangunan kesehatan,

meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat dalam upaya promotif,

preventif, kuratif, dan rehabilitatif untuk meningkatkan sumber daya manusia yang

berkualitas.

F. REGISTRASI

Registrasi adalah proses seorang profesi untuk mendaftarkan dirinya

kepada badan tertentu untuk mendapatkan kewenangan dan hak atas tindakan yang

dilakukan secara professional setelah memenuhi syarat – syarat yang telah ditetapkan

oleh badan tersebut.


Pengertian registrasi menurut keputusan menteri kesehatan

republikindonesia nomor 900/MENKES/SK/VII/2002 yaitu proses

pendaftaran,pendokumentasian dan pengakuan terhadap seorang bidan setelah

memenuhi standar penampilan minimal yang ditetapka sehingga mampu dalam

melaksanakan profesinya.

Setelah terpenuhnya persyaratan yang ada, maka tenaga profesi tersebut

telah mendapatkan surat izin melakukan praktik.

 Tujuan :

1) Mendata jumlah dan kategori melakukan praktik

2) Meningkatkan mekanisme yang objektif dan komprehensif dalam

penyelesaian dalam kasus malpraktik

3) Meningkatkan kemampuan tenaga profesi dalam mengadopsi kemajuan

ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat.

 Persyaratan :

Beberapa syarat yang mesti dilengkapi pada saat mengajukan registrasi:

1) Fotocopy ijazah bidan

2) Fotocopy transkip nilai akademik

3) Surat keterangan sehat dari dokter

4) Pas foto 4 X 6 sebanyak 2 lembar

Masa berlaku registrasi yaitu dalam rentang waktu 5 tahun, setelah 5 tahun

bidan harus melakukan registrasi ulang.

 Kegunaan

Registrasi berguna untuk mendapatkan surat izin bidan sebagai dasar

menerbitkan surat izin praktek bidan.


Bidan teregistrasi merupakan seseorang yang telah menamatkan pendidikan

bidandan telah mampu menrapkan kemampuannya dalam memberikan asuhan kepada

ibu dan anak sesuai dengan standar profesinya.

 Lisensi Praktik Kebidanan

Lisensi praktik kebidanan merupakan proses administrasi yang dilakukan

pemerintah dalam mengeluarkan surat izin praktik yang diberikan kepada suatu tenaga

profesi untuk pelayanan yang mandiri.

Menurut IBI : Lisensi adalah pemberian ijin praktek sebelum diperkenankan

melakukan pekerjaan yang telah ditetapkan.

 Tujuan

1) Memberikan kejelasan batas wewenang

Dalam hal ini, seorang bidan harus mengetahui wewenang yang harus

dilakukannya sesuai dengan standar profesi yang dimiliki dan sesuai dengan undang –

undang yang berlaku agar dalam menjalankan profesinya tidak melakukan pelanggaran

– pelanggaran.

2) Menetapkan sarana dan prasarana

Seorang profesi juga harus mengetahui apa – apa saja sarana dan

prasanayang mesti dimiliki dalam melakukan praktek profesi.

3) Meyakinkan klien

Dalam melakukan asuhan terhadap klien, seorang tenaga profesi

harusbisa meyakinkan klien tersebut terhadap asuhan yang telah kita berikan dan

jelaskan.

 Persyaratan
Syarat – syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan license praktik

suatu profesi meliputi :

1) Fotokopi SIB yang masih berlaku

2) Fotokopi ijazah bidan

3) Surat keterangan sehat

4) Rekomendasi dari organisasi profesi

5) Pas foto ukurab 4 x 6 cm sebanyak 2 lembar

PENUTUP

Kesimpulan

Profesi kebidanan menyangkut dengan keselamatan jiwa manusia yang menjadi

tanggung jawab dan tanggung gugat atas semua tindakan kebidanan yang dilakukan.

Praktik kebidanan merupakan sesuatu yang sangat penting dan dituntut dalam profesi

kebidanan.

Tindakan yang dilakukan oleh profesi kebidanan ini didasari oleh kompetensi dan

evidence base dan diperkuat oleh landasan hukum yang mengatur profesi yang

bersangkutan.

Seorang bidan memiliki kewenangan atas hak otonomi dan kemandirian untuk

bertindak secara professional yang memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan sesuai

dengan standar profesi kebidanan. Jadi otonomi dalam pelayanan kebidanan ini adalah

kekuasaan seorang bidan dalam melakukan praktik kebidanan yang sesuai dengan

peran dan fungsi bidan berdasarkan wewenang yang dimiliki oleh bidan itu sendiri.

Staffing adalah salah satu fungsi manajemen yang melakukan penarikan, penyeleksian,
pengembangan dan penggunaan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk pencapaian tujuan
organisasi secara efektif dan efisien.
Hubungan staffing dengan pengorganisasian :

Organizing yaitu berupa penyusunan wadah legal yang menampung berbagai kegiatan yang
harus dilakukan pada suatu organisasi. Sedangkan staffing berhubungan dengan penerapan
orang-orang yang memangku masing-masing jabatan yang terdapat didalam organisasi.
Jika diibaratkan sebuah kendaraan..
pengorganisasian menyiapkan kendaraan, sedangkan staffing mengisi pengemudinya.

Ketika manajer melaksanakan fungsi staffing, hal itu akan sangat berpengaruh terhadap
tingkat pencapaian tujuan (kinerja organisasi)

Prinsip Staffing :

mengarahkan karyawan yang tepat untuk berkontribusi terhadap pencapaian tujuan dalam
sistem manajemen.
" The Right Man on The Right Place"

Proses Staffing :

1. Perencanaan kebutuhan SDM


2. Recruitment (penarikan tenaga kerja)
3. Pelatihan dan Pengembangan
4. Pemberian kompensasi
5. Pemeliharaan
6. Integrasi pengusaha dan karyawan untuk menjadi partner kerja
7. PHK

Memimpin (Leading) :
suatu proses untuk memengaruhi seseorang atau kelompok kegiatan terhadap pencapaian
tujuan yang telah ditentukan

Kepemimpinan (Leadership) :
adalah sebuah kemampuan dalam menggunakan kekuasaannya (power) untuk menggerakkan
orang lain yang diarahkan demi pencapaian tujuan organisasi.

Jenis Kekuasaan :

1. Coercive Power : dengan dasar pemberian sanksi


2. Reward Power : dengan dasar pemberian hadiah
3. Legitimate Power : dengan dasar jabatan yang sah
4. Expert Power : dengan dasar keahlian
5. Refferent Power : dengan dasar rekomendasi

Gaya Kepemimpinan ( Styles of Leadership ) :


1. Kepemimpinan Otokratis : pemimpin mendominasi pengambilan keputusan,
memberi sanksi pada bawahan yang melakukan kesalahan, komunikasi satu arah (Top
Down).
2. Kepemimpinan Demokratis : pemimpin memberdayakan pemikiran bawahan, dalam
pengambilan keputusan mempertimbangkan masukan dari bawahan. komunikasi dua
arah (Top Down dan Bottom Up)

Teori dua faktor Herzberg


terdapat dua faktor yang memengaruhi tingkat kepuasan kerja karyawan :

1. Motivational Factors

 pencapaian prestasi kerja


 pengakuan atau penghargaan hasil kerja
 jenis pekerjaan menarik
 tanggung jawab pada pekerjaan
 pengembangan karir

2. Maintenance Factors

 gaji
 sistem pengawasan
 kebijakan dan administrasi organisasi
 hubungan antar karyawan
 kondisi lingkungan kerja

PENGERTIAN STAFFING

Staffing merupakan fungsi manajemen yang berkenaan dengan penarikan, penempatan,


pemberian latihan, dan pengembangan anggota- anggota organisasi.[2] dipahami bidang-
bidang pekerjaan yang akan dilakukan dan penempatan tenaga-tenaga yang sesuai. Staffing
merupakan salah satu fungsi administrasi berupa penyusunan personalia pada suatu
organisasi sejak dari merekrut tenaga kerja, pengembangannya sampai dengan usaha agar
setiap tenaga kerja memberikan daya guna yang maksimal bagi organisasi.

B. PRINSIP DALAM STAFFING

Dalam staffing berlaku prinsip utama yaitu : “The Right Man in The Right Place and Time”
yang berarti bahwa setiap personel ditempatkan pada unit kerja yang sesuai dengan keahlian
dan kecakapannya, dengan demikian suatu perkerjaan/tugas dalam unit kerja dilakukan oleh
orang yang tepat dan mendapat hasil pekerjaan yang optimal. Jika prinsip ini tidak
diterapkan, dan menempatkan personel pada tugas dan jenis pekerjaan yang bukan
keahliannya, maka akan menghambat upaya pencapaian tujuan administrasi itu sendiri, sebab
hasil dari pekerjaan tersebut cenderung kurang berdaya guna bagi organisasi.

Hal ini sering terjadi pada unit kerja yang kekurangan karyawan, sehingga memaksa seorang
karyawan membawahi dan mengerjakan beberapa jenis pekerjaan yang bukan pada bidang
keahliannya, atau bisa terjadi karena menempatkan seseorang atas pendekatan nepotisme
tanpa memperhatikan keahlian orang tersebut, tindakan nepotisme ini tentu akan membuka
peluang kolusi dan korupsi yang berakibat buruk terhadap kemajuan unit organisasi kerja itu
sendiri.

C. TUJUAN DALAM STAFFING

1. Terwujudnya sinergitas pekerja sesuai dengan seluruh tugas dan kewajibannya


2. Terwujudnya mekanisme kerja yang kooperatif, efektif dan terpadu
3. Memudahkan pekerja dengan keahlian pada bidang masing-masing menyelesaikan
tugasnya dengan baik
4. Mendorong pekerja untuk memberikan daya guna dan hasil guna yang maksimal bagi
organisasi

D. TAHAPAN PROSES STAFFING

Kegiatan ini dilaksanakan oleh bagian personalia dalam unit organisasi kerja. Diawali
dengan pendataan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan, dan membuat susunan perencanaan
proses rekruitmen.

Rekruitmen karyawan dilakukan untuk menggantikan pekerja lama yang telah berhenti
dikarenakan pensiun, meninggal, mengundurkan diri atau diberhentikan karena suatu
kebijakan tertentu.

Pada organisasi pendidikan, penambahan dan rekruitmen jumlah karyawan/tenaga pengajar


juga disesuaikan dengan penambahan jumlah pendaftaran peserta didik baru.

PENGERTIAN PENGORGANISASIAN (ORGANIZING)

1. Pengertian Pengorganisasian (Organizing)


Pengorganisasian adalah merupakan fungsi kedua dalam Manajemen dan pengorganisasian
didefinisikan sebagai proses kegiatan penyusunan struktur organisasi sesuai dengan tujuan-
tujuan, sumber-sumber, dan lingkungannya. Dengan demikian hasil pengorganisasian adalah
struktur organisasi.
Pengorganisasian (Organizing) adalah suatu langkah untuk menetapkan, menggolongkan dan
mengatur berbagai macam kegiatan yang di pandang. Seperti bentuk fisik yang tepat bagi
suatu ruangan kerja administrasi, ruangan laboratorium, serta penetapan tugas dan wewenang
seseorang pendelegasian wewenang dan seterusnya dalam rangka untuk mencapai tujuan.

2. Pengertian Struktur Organisasi


Struktur organisasi adalah susunan komponen-komponen (unit-unit kerja) dalam organisasi.
Struktur organisasi menunjukkan adanya pembagian kerja dan menunjukkan bagaimana
fungsi-fungsi atau kegiatan-kegiatan yang berbeda-beda tersebut diintegrasikan (koordinasi).
Selain daripada itu struktur organisasi juga menunjukkan spesialisasi-spesialisasi pekerjaan,
saluran perintah dan penyampaian laporan.

Struktur Organisasi dapat didefinisikan sebagai mekanisme-mekanisme formal organisasi


diolah. Struktur organisasi terdiri atas unsur spesialisasi kerja, standarisasi, koordinasi,
sentralisasi atau desentralisasi dalam pembuatan keputusan dan ukuran satuan kerja.

3. Pengorganisasian sebagai Salah satu Fungsi Manajemen


Setelah kita telah mempelajari perencanaan sebagai salah satu fungsi manajemen, tentunya
kita harus mempelajari fungsi manajemen lainnya. Salah satu fungsi manajemen adalah
mengetahui pengorganisasian yang merupakan salah satu fungsi manajemen yang penting
karena dengan pengorganisasian berarti akan memadukan seluruh sumber-sumber yang ada
dalam organisasi,baik yang berupa sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya ke
arah tercapainnya suatu tujuan.pentingnya pengorganisasian sebagai fungsi yang dijalankan
oleh setiap manajer atau orang-orang yang menjalankan manajemendalam setiap
organisasi.Fungsi manajemen lainnya yaitu pengorganisasian,yang sama pula pentingnya
dengan fungsi perencanaan karena dalam pengorganisasian seluruh sumber (resources) baik
berupa manusia maupun yang nonmanusia harus diatur dan paduakan sedemikian rupa untuk
berjalannnya suatu organisasi dalam rangkai pencapaian tujuannya. Pemahaman tentang
pengorganisasian sebagai salah satu fungsi manajemen,akan memberikan kejelasan bahwa
proses pengaturan di dalam organisasi tidak akan selesai,tanpa diikuti oleh aktuasi yang
berupa bimbingan kepada manusia yang berada di dalam organisasi tersebut,agar secara
terus-menerus dapat menjalankan kegiatan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Akademik freedom adalah hak/ jaminan untuk bebas menyampaikan kritik dalam mimbar akademik,
sesuai dengan kaedah yang berlaku dalam ilmu pengetahuan. Ada juga student government adalah
instansi formal yang independen dan tidak dapat dipengaruhi otoritas universitas. Pemerintahan ini
hanya terdiri dari mahasiswa yang terorganisir dengan baik sehingga dapat menjadikan kampus
kedua setelah kampus akademik untuk belajar.

Kebebasan Akademik dan Otonomi Keilmuan


Akademisi Jerman Wilhelm von Humbolt (1809) memformulasi konsep Akademische
Freiheit (kebebasan akademik). Lernfreiheit (kebebasan mahasiswa untuk belajar) dan
Lerhfreiheit (kebebasan dosen untuk mengajar) bersama dengan otonomi institusi menjadi
pilar dasar kebebasan akademik.

Sebelum adanya kebebasan akademik ini, para ilmuwan masa lalu dibayangi oleh adanya rasa
ketakutan jika memformulasikan suatu teori atau aksioma baru yang bertentangan dengan
norma yang dianut pada saat itu. Astronom termasyhur Galileo Galilei (1564-1642) menjadi
contoh korban peminggiran terhadap ilmuwan yang berani berseberangan dengan kaidah
umum. Ia dikenakan tahanan rumah hingga akhir hayatnya, karena memverifikasi keabsahan
teori Copernicus yang mengatakan bahwa galaksi anggota tata surya mengelilingi matahari.
Ini bertentangan dengan teori Tychonic (bumi dan bulan tak mengitari matahari) yang
dipercaya pada zaman itu.

Apa definisi kebebasan akademik?

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kebebasan akademik? Menurut Arthur Lovejoy yang
dikutip oleh Haryasetyaka (2004), kebebasan akademik adalah kebebasan seseorang atau
seorang peneliti di lembaga i1mu pengetahuan untuk mengkaji persoalan serta mengutarakan
kesimpulannya baik melalui penerbitan atau perkuliahan tanpa campur tangan dari penguasa
politik atau keagamaan atau lembaga yang mempekerjakannya kecuali apabila metode yang
digunakannya tidak memadai atau bertentangan dengan etika professional atau lembaga yang
berwenang dalam bidang keilmuannya.

Nymeyer (1956) sendiri menyatakan bahwa kebebasan akademik merupakan kebebasan


anggota fakultas untuk mengajar pada suatu sekolah dengan pikirannya sendiri dan
mempromosikan spekulasi dan kesimpulan yang dibuat secara independen atau bebas dari
apa yang mungkin dikehendaki institusi.

Pada akhirnya, kebebasan akademik harus dipahami sebagai seperangkat hak dan kewajiban
dengan tetap bertanggung jawab dan akuntabel penuh kepada masyarakat. Mandiri, dapat
diartikan mampu berbicara dengan bebas tentang masalah-masalah etika, budaya, sosial,
ekonomi dan lain-lain secara mandiri. Adapun menurut Prof. Dr .Abdullah Ali M.Sc.
kebebasan akademik sebagai bagian dari kebebasan yang bertanggung jawab yang tidak
terpisahkan dari kebebasan setiap warga negara.

Sejarah Kebebasan Akademik

Munculnya tuntutan untuk mendapatkan hak kebebasan akademik harus dipahami dalam
konteks kesejarahan, yaitu dalam abad pertengahan, tatkala gereja merupakan pusat
wewenang dan wibawa untuk mendalami berbagai masalah yang berkaitan dengan upaya
mencari kebenaran filsafat dan ilmu.

Pada masa itu, upaya tersebut bukan saja dilakukan dalam lingkungan gereja, melainkan juga
di luar gereja, yaitu di kalangan para ilmuwan. Namun karena pada masa itu masih berlaku
asas ‘faith-over-reason’, maka bila terjadi perbedaan pendapat antara lingkungan gereja dan
kalangan ilmuwan, maka dengan sendirinya pendapat lingkungan gereja (berdasarkan faith)
diunggulkan atas pendapat kalangan ilmuwan (berdasarkan reason).
Keabsahan pendapat dari lingkungan gereja itu bisa diperkuat oleh melalui pernyataan secara
ex cathedra (dari mimbar), yang dalam hal ini berarti dari mimbar gereja.

Selama abad pertengahan perbedaan pendapat antara kalangan gereja dan ilmuwan sering
menimbulkan pertentangan yang tak terselesaikan. Perbedaan pendapat itu mungkin saja
berlangsung sekedar dalam posisi kesejajaran (juxta-position) tanpa saling berbenturan,
dalam hal mana tidak terjadi sengketa dengan konsekuensi serius. Lain halnya kalau
perbedaan pendapat itu terjadi dengan pengambilan posisi yang saling berlawanan (contra-
position).

Perkembangan ilmu yang mulai pesat menghasilkan berbagai temuan dan pernyataan
pendapat tidak selalu sejalan dengan pandangan kalangan gereja. Makin lama makin banyak
terjadi benturan antara hasil perenungan dalam lingkungan gereja dan pemikiran di kalangan
ilmuwan. Seiring dengan perkembangan tersebut, masyarakat ilmuwan makin berhasrat untuk
membedakan diri dari lingkungan gereja sejauh kegiatannya bersangkutan dengan ikhtiar
mencari kebenaran ilmiah (scientific truth) melalui penalaran (reasoning).

Dalam ikhtiar tersebut perlu pertama-tama dibedakan antara pandangan yang berorientasi
pada dalil-dalil keimanan di satu pihak dan pendekatan yang berdasarkan pada pengamatan
dan penalaran. Demikianlah diterimanya sesuatu kebenaran bisa merupakan konsekuensi
tindakan keimanan (act of faith) dan bisa juga sebagai konsekuensi tindakan penalaran (act of
reason).

Perkembangan ini merintis diterimanya kesepakatan, bahwa di samping adanya kebenaran


yang diterima berdasarkan keimanan, juga ada kebenaran yang diterima melalui penalaran.
Faith dan reason tidak perlu satu terhadap lainnya saling ditempatkan apirori pada posisi
saling bertentangan, apalagi dalam perbandingan superior-inferior. Demikianlah tidak
tertutup kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat antara lingkungan gereja dan kalangan
ilmuwan tanpa ada keharusan untuk secara apriori mengunggulkan posisi yang satu terhadap
lainnya.

Pelaksanaan Kebebasan Akademik

Gagasan Humbolt tentang reformasi pendidikan tinggi dengan kebebasan akademik dan
otonomi institusi ini mengilhami lahirnya paradigma perguruan tinggi search after truth
(kebenaran ilmiah). Perguruan tinggi ideal selain berkiprah sebagai ajang transfer ilmu
pengetahuan dan teknologi, sebagai kawah candradimuka yang selalu bergelora dan dinamis
bagi mengkader ilmuwan, pemikir andal dan profesional, juga menjadi wahana verifikasi
kebenaran atau ketidakbenaran suatu teori, serta tempat berkuncup dan berkembangnya teori
dan teknologi baru.

Pada konferensi dunia pendidikan tinggi di Paris (1998) tentang Autonomy, Social
Responsibility and Academic Freedom, kebebasan akademik dan otonomi perguruan tinggi
menjadi prakondisi yang mesti dipenuhi untuk menggapai peran universitas sebagai
pengembang dan penyebar ilmu pengetahuan yang independen. Dengan semakin dinamisnya
masyarakat dan beragamnya aktivitas ekonomi, universitas dihadapkan pada realitas untuk
selalu adaptif bagi mewadahi tuntutan kedinamisan tersebut. Pendidikan tinggi harus menjadi
elemen sentral dan proaktif memosisikan dan menata diri untuk memenuhi ritme perubahan
dalam masyarakat.
Setiap institusi pendidikan pada hakekatnya adalah pusat kegiatan transfer dan transmisi ilmu
pengetahuan antar akademisi. Interaksi, transfer, dan transmisi ilmu pengetahuan tersebut
melibatkan struktur, sarana, prasarana, metodologi dan pengelola, hingga institusi-institusi
tersebut pada gilirannya akan menjelma menjadi sebuah mesin ilmu pengetahuan. Turbin
proses ilmu pengetahuan tersebut pada akhirnya memunculkan konkritisasi-nya di tengah
masyarakat melalui berbagai kegiatan pengembangan masyarakat, yang tidak menutup
kemungkinan pada perkembangan selanjutnya akan memunculkan permasalahan-
permasalahan, terkait dengan peran dan fungsi akademisi selaku pengemban moral keilmuan
yang objektif dan ilmiah.

Salah satu karakter utama akademisi adalah komitmennya terhadap proyek rekonstruksi atau
rethingking segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat dan peradaban, terutama
apabila kondisinya sudah kurang menguntungkan bagi kemanusiaan. Untuk itu, mereka
senantiasa akrab dengan perubahan, dan memang mereka sendiri yang bergerak sebagai agen-
nya. Akan tetapi pada saat yang sama para akademisi juga terlalu sadar bahwa mereka sedang
berada dalam masa transisi yang harus hidup dalam kejujuran, keintelektualan, keyakinan dan
kekritisan.

Salah satu perkara yang dianggap urgen dalam hal ini adalah bagaimana seharusnya
kebebasan akademik itu dijalankan di lembaga ilmu pengetahuan (baca: dalam hal ini
diwakili oleh Perguruan Tinggi ) oleh civitas akademika. Kebebasan akademik yang
dilaksanakan oleh civitas akademika tidaklah mutlak dan absolut. Kebebasan tersebut
haruslah memperhatikan etika professional, etika yang berlaku dalam masyarakat. Suatu
kebebasan akademik tidak akan dibenarkan jika bertentangan dengan nilai-nilai agama,
kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa. Pelaksanaannya dapat
dilakukan melalui berbagai media massa, tatap muka dan lain sebagainya. Yang terpenting
adalah kebebasan akademik harus dipahami sebagai seperangkat hak dan kewajiban dengan
tetap bertanggung jawab penuh kepada masyarakat.

Ada 3 konsep pelaksanaan kebebasan akademik. Pertama, sebagai peneliti dosen harus
bebas. Kedua, sebagai pemikir asli dosen harus bebas tanpa mematuhi (terikat dan kaku) hal-
hal yang berlaku di masa lalu. Ketiga, sebagai penyebar gagasan kedua, setelah sebelumnya
ada orang lain yang mengemukakannya, dosen dalam beberapa hal mungkin bebas, namun
dalam beberapa hal lainnya mungkin tidak bebas.

Kebebasan akademik terdiri dari proteksi terhadap independensi intelektual profesor, peneliti
dan mahasiswa dalam mencari/menggali pengetahuan dan mengekspresikan gagasan-gagasan
yang bebas dari turut campur legislator atau pihak yang berwenang dalam instutisinya
sendiri. Ini berarti tidak ada kekolotan politik, ideologi atau agama yang dibebankan kepada
professor, peneliti dan mahasiswa melalui berbagai cara.

Kebebasan untuk mengajar menimbulkan konsekuensi pada keniscayaan bagi sang dosen
untuk selalu mengkontribusikan hasil-hasil riset mutakhir dalam setiap materi pengajarannya
agar tidak usang termakan zaman. Seorang dosen dituntut kecakapan mengembangkan IQ
(intelligence quotient), EQ (emotional quotient), SQ (spiritual quotient), dan daya nalar
mahasiswanya (modifikasi St Kartono, 2002).

Dalam konteks kebebasan akademik, dosen ideal berupa sosok guru dan ilmuwan profesional
yang haus akan pembaruan dan selalu berupaya untuk meng-update pengetahuannya melalui
riset, pertemuan ilmiah, studi literatur, dan produktif mengaktualisasikan kepakarannya via
publikasi; serta selalu tanggap dan responsif terhadap persoalan di masyarakat yang terkait
dengan bidang keilmuannya. Jadi, dosen itu seyogianya berkarakter kaya gagasan, bertabur
kreativitas, luas wawasan, dan tajam analisis yang disokong oleh sentuhan intelektualitas
terkini. Bukan sosok yang terkubur dalam rutinitas mengajar dan membimbing semata!

Di sisi lain mahasiswa bebas belajar, mengambil, mengikuti pandangan yang disampaikan
dalam perkuliahan dan bebas menilai materi yang diberikan tersebut. Mereka mendapat
perlakuan yang sama dalam pembelajaran serta tidak boleh dipaksa dalam kelas maupun di
lingkungan akademik untuk menerima pendapat atau gagasan tentang filosofi, politik dan isu-
isu lain, merupakan bagian dari pelaksanaan kebebasan akademik.

Peribahasa Latin Non scholae sed vitae discimus (belajar demi hidup) seyogianya
menumbuhkan inspirasi mahasiswa untuk belajar tidak hanya mengejar prestasi akademik
cemerlang dengan perolehan indeks prestasi tinggi, tapi miskin kreativitas dan tumpul daya
nalar, melainkan juga suatu dorongan kalbu untuk menimba ilmu pengetahuan dan mampu
mengkritisi hakikat ilmu pengetahuan tersebut.

Jenis-Jenis Evaluasi Pendidikan


1) Evaluasi Formatif

Evaluasi yang dilaksanakan pada setiap kali satuan program pelajaran atau subpokok
bahasan dapat diselesaikan, dengan tujuan untuk mengetahui sejauhmana peserta didik telah
mampu menguasai (memiliki kompetensi) sesuai dengan tujuan pengajaran yang telah
ditentukan.
2) Evaluasi Summatif

Evaluasi yang dilaksanakan setelah sekumpulan program pelajaran selesai diberikan


(berakhir), tujuan utama dari evaluasi summatif ini adalah untuk menentukan keberhasilan
peserta didik, setelah mereka menempuh program pengajaran.
Jenis evalusi berdasarkan lingkup kegiatan pembelajaran :
1. Evaluasi program pembelajaran
Evaluais yang mencakup terhadap tujuan pembelajaran, isi program pembelajaran,
strategi belajar mengajar, aspe-aspek program pembelajaran yang lain.
2. Evaluasi proses pembelajaran
Evaluasi yang mencakup kesesuaian antara peoses pembelajaran dengan garis-garis besar
program pembelajaran yang di tetapkan, kemampuan guru dalam
melaksanakan proses pembelajaran, kemampuan siswa dalam mengikuti proses
pembelajaran.
3. Evaluasi hasil pembelajaran
Evaluasi hasil belajar mencakup tingkat penguasaan siswa terhadap tujuan pembelajaran
yang ditetapkan, baik umum maupun khusus, ditinjau dalam aspek kognitif, afektif,
psikomotorik. 1[1]
B. Bentuk Evaluasi
1) Evaluasi Formatif
Evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir pembahasan suatu pokok bahasan/topic,
dan di maksudkan untuk mengetahui sejauh manakah proses pembelajaran telah berjalan
sebagaimna yang direncanakan.

Winkel menyatakan evaluasi formatif adalah penggunaan tes-tes selama proses


pembelajaran yang masih berlangsung, agar siswa dan guru memperoleh informasi mengenai
kemajuan yang telah di capai
Sementara Tesmer menyatakan evaluasi formatif adalah untuk mengontrol sampai
sejauh mana siswa menguasai materi yang di ajarkan pada pokok pembahasan tersebut.2[2]

2) Evaluasi Sumatif
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir satu satuan waktu
yang didalamnya tercakup lebih dari satu pokok bahasan, dan dimaksudkan untuk
mengetahui sejauh mana peserta didik telah dapat berpindah dari satu unit ke unit yang
berikutnya.
3) Evaluasi Diagnostic

Evaluasi diagnostic adalah evaluasi yang digunakan untuk mengetahui kelebihan-


kelebihan dan kelemahan yang ada pada siswa sehingga dapat di berikan perlakuan yang
tepat.
2.2 Syarat-syarat Alat Penilaian Yang Baik
Sebuah instrumen evaluasi hasil belajar hendaknya memenuhi syarat sebelum di
gunakan untuk mengevaluasi atau mengadakan penilaian agar terhindar dari kesalahan dan
hasil yang tidak valid (tidak sesuai kenyataan sebenarnya). Alat evaluasi yang kurang baik
dapat mengakibatkan hasil penilaian menjadi bias atau tidak sesuainya hasil penilaian dengan
kenyataan yang sebenarnya, seperti contoh anak yang pintar dinilai tidak mampu atau
sebaliknya.
Jika terjadi demikian perlu ditanyakan apakah persyaratan instrumen yang digunakan
menilai sudah sesuai dengan kaidah-kaidah penyusunan instrumen.
Instrumen Evaluasi yang baik memiliki ciri-ciri dan harus memenuhi beberapa kaidah
antara lain:
 Validitas
 Reliabilitas
2.3 Validitas dan Reliabilitas
A. Validitas
1. Pengertian Validitas
Menurut Azwar (1986) Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti
sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya.
Suatu skala atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang
tinggi apabila instrumen tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur
yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Sedangkan tes yang memiliki
validitas rendah akan menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran.
Terkandung di sini pengertian bahwa ketepatan validitas pada suatu alat ukur
tergantung pada kemampuan alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang
dikehendaki dengan tepat. Suatu tes yang dimaksudkan untuk mengukur variabel A dan
kemudian memberikan hasil pengukuran mengenai variabel A, dikatakan sebagai alat ukur
yang memiliki validitas tinggi. Suatu tes yang dimaksudkan mengukur variabel A akan tetapi
menghasilkan data mengenai variabel A’ atau bahkan B, dikatakan sebagai alat ukur yang
memiliki validitas rendah untuk mengukur variabel A dan tinggi validitasnya untuk
mengukur variabel A’ atau B (Azwar 1986).
Sisi lain dari pengertian validitas adalah aspek kecermatan pengukuran. Suatu alat
ukur yang valid tidak hanya mampu menghasilkan data yang tepat akan tetapi juga harus
memberikan gambaran yang cermat mengenai data tersebut.
Cermat berarti bahwa pengukuran itu dapat memberikan gambran mengenai
perbedaan yang sekecil-kecilnya mengenai perbedaan yang satu dengan yang lain. Sebagai
contoh, dalam bidang pengukuran aspek fisik, bila kita hendak mengetahui berat sebuah
cincin emas maka kita harus menggunakan alat penimbang berat emas agar hasil
penimbangannya valid, yaitu tepat dan cermat. Sebuah alat penimbang badan memang
mengukur berat, akan tetapi tidaklah cukup cermat guna menimbang berat cincin emas
karena perbedaan berat yang sangat kecil pada berat emas itu tidak akan terlihat pada alat
ukur berat badan.
Menggunakan alat ukur yang dimaksudkan untuk mengukur suatu aspek tertentu akan
tetapi tidak dapat memberikan hasil ukur yang cermat dan teliti akan menimbulkan kesalahan
atau eror. Alat ukur yang valid akan memiliki tingkat kesalahan yang kecil sehingga angka
yang dihasilkannya dapat dipercaya sebagai angka yang sebenarnya atau angka yang
mendekati keadaan yang sebenarnya (Azwar 1986).
Pengertian validitas juga sangat erat berkaitan dengan tujuan pengukuran. Oleh karena
itu, tidak ada validitas yang berlaku umum untuk semua tujuan pengukuran. Suatu alat ukur
biasanya hanya merupakan ukuran yang valid untuk satu tujuan yang spesifik. Dengan
demikian, anggapan valid seperti dinyatakan dalam “alat ukur ini valid” adalah kurang
lengkap. Pernyataan valid tersebut harus diikuti oleh keterangan yang menunjuk kepada
tujuan (yaitu valid untuk mengukur apa), serta valid bagi kelompok subjek yang mana?
(Azwar 1986)
Pengertian validitas menurut Walizer (1987) adalah tingkaat kesesuaian antara suatu
batasan konseptual yang diberikan dengan bantuan operasional yang telah dikembangkan.
Menurut Aritonang R. (2007) validitas suatu instrumen berkaitan dengan kemampuan
instrument itu untuk mengukur atu mengungkap karakteristik dari variabel yang dimaksudkan
untuk diukur. Instrumen yang dimaksudkan untuk mengukur sikap konsumen terhadap suatu
iklan, misalnya, harus dapat menghasilkan skor sikap yang memang menunjukkan sikap
konsumen terhadap iklan tersebut. Jadi, jangan sampai hasil yang diperoleh adalah skor yang
menunjukkan minat konsumen terhadap iklan itu.
Validitas suatu instrumen banyak dijelaskan dalam konteks penelitian sosial yang
variabelnya tidak dapat diamati secara langsung, seperti sikap, minat, persepsi, motivasi, dan
lain sebagainya. Untuk mengukur variabel yang demikian sulit, untuk mengembangkan
instrumen yang memiliki validitas yang tinggi karena karakteristik yang akan diukur dari
variabel yang demikian tidak dapat diobservasi secara langsung, tetapi hanya melalui
indikator (petunjuk tak langsung) tertentu. (Aritonang R. 2007)
Menurut Masri Singarimbun, validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur
itu mengukur apa yang ingin diukur. Bila seseorang ingin mengukur berat suatu benda, maka
dia harus menggunakan timbangan. Timbangan adalah alat pengukur yang valid bila dipakai
untuk mengukur berat, karena timbangan memang mengukur berat. Bila panjang sesuatu
benda yang ingin diukur, maka dia harus menggunakan meteran. Meteran adalah alat
pengukur yang valid bila digunakan untuk mengukur panjang, karena memang meteran
mengukur panjang. Tetapi timbangan bukanlah alat pengukur yang valid bilamana digunakan
untuk mengukur panjang.
Sekiranya penelliti menggunakan kuesioner di dalam pengumpulan data penelitian,
maka kuesioner yang disusunnya harus mengukur apa yang ingin diukurnya. Setelah
kuesioner tersebut tersusun dan teruji validitasnya, dalam praktek belum tentu data yang
dikumpulkan adalah data yang valid. Banyak hal-hal lain yang akan mengurangi validitas
data; misalnya apakah si pewawancara yang mengumpulkan data betul-betul mengikuti
petunjuk yang telah ditetapkan dalam kuesioner. (Masri Singarimbun)
Menurut Suharsimi Arikunto, validitas adalah keadaan yang menggambarkan tingkat
instrumen bersangkutan yang mampu mengukur apa yang akan diukur.3[3]
Menurut Soetarlinah Sukadji, validitas adalah derajat yang menyatakan suatu tes
mengukur apa yang seharusnya diukur. Validitas suatu tes tidak begitu saja melekat pada tes
itu sendiri, tapi tergantung penggunaan dan subyeknya.

B. Reliabilitas
Menurut Masri Singarimbun, realibilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh
mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat pengukur dipakai
dua kali – untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relative
konsisten, maka alat pengukur tersebut reliable. Dengan kata lain, realibitas menunjukkan
konsistensi suatu alat pengukur di dalam pengukur gejala yang sama.
Menurut Brennan (2001: 295) reliabilitas merupakan karakteristik skor, bukan tentang
tes ataupun bentuk tes.
Menurut Sumadi Suryabrata (2004: 28) reliabilitas menunjukkan sejauhmana hasil
pengukuran dengan alat tersebut dapat dipercaya. Hasil pengukuran harus reliabel dalam
artian harus memiliki tingkat konsistensi dan kemantapan.
Dalam pandangan Aiken (1987: 42) sebuah tes dikatakan reliabel jika skor yang
diperoleh oleh peserta relatif sama meskipun dilakukan pengukuran berulang-ulang.
Dengan demikian, keandalan sebuah alat ukur dapat dilihat dari dua petunjuk yaitu
kesalahan baku pengukuran dan koefisien reliabilitas. Kedua statistik tersebut masing-masing
memiliki kelebihan dan keterbatasan (Feldt & Brennan, 1989: 105)
Reliabilitas, atau keandalan, adalah konsistensi dari serangkaian pengukuran atau
serangkaian alat ukur. Hal tersebut bisa berupa pengukuran dari alat ukur yang sama (tes
dengan tes ulang) akan memberikan hasil yang sama, atau untuk pengukuran yang lebih
subjektif, apakah dua orang penilai memberikan skor yang mirip (reliabilitas antar penilai).
Reliabilitas tidak sama dengan validitas. Artinya pengukuran yang dapat diandalkan akan
mengukur secara konsisten, tapi belum tentu mengukur apa yang seharusnya diukur.
Dalam penelitian, reliabilitas adalah sejauh mana pengukuran dari suatu tes tetap konsisten
setelah dilakukan berulang-ulang terhadap subjek dan dalam kondisi yang sama. Penelitian
dianggap dapat diandalkan bila memberikan hasil yang konsisten untuk pengukuran yang
sama. Tidak bisa diandalkan bila pengukuran yang berulang itu memberikan hasil yang
berbeda-beda.
Pengukuran reliabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai alat statistik
(Feldt & Brennan, 1989: 105)
Berdasarkan sejarah, reliabilitas sebuah instrumen dapat dihitung melalui dua cara
yaitu kesalahan baku pengukuran dan koefisien reliabilitas (Feldt & Brennan: 105). Kedua
statistik di atas memiliki keterbatasannya masing-masing. Kesalahan pengukuran merupakan
rangkuman inkonsistensi peserta tes dalam unit-unit skala skor sedangkan koefisien
reliabilitas merupakan kuantifikasi reliabilitas dengan merangkum konsistensi (atau
inkonsistensi) diantara beberapa kesalahan pengukuran. Dalam kerangka teori tes klasik,
suatu tes dapat dikatakan memiliki reliabilitas yang tinggi apabila skor tampak tes tersebut
berkorelasi tinggi dengan skor murninya sendiri. Interpretasi lainnya adalah seberapa tinggi
korelasi antara skor tampak pada dua tes yang pararel. (Saifuddin Azwar, 2006: 29).
Reliabilitas menurut Ross E. Traub (1994: 38) yang disimbolkan oleh dapat didefinisikan
sebagai rasio antara varian skor murni dan varian skor tampak Secara matematis teori di atas
dapat ditulis : Reliabilitas alat ukur tidak dapat diketahui dengan pasti tetapi dapat
diperkirakan. Dalam mengestimasi reliabilitas alat ukur, ada tiga cara yang sering digunakan
yaitu (1) pendekatan tes ulang, (2) pendekatan dengan tes pararel dan (3) pendekatan satu kali
pengukuran.
Pendekatan tes ulang merupakan pemberian perangkat tes yang sama terhadap sekelompok
subjek sebanyak dua kali dengan selang waktu yang berbeda. Asumsinya adalah bahwa skor
yang dihasilkan oleh tes yang sama akan menghasilkan skor tampak yang relatif sama.
Estimasi dengan pendekatan tes ulang akan menghasilkan koefisien stabilitas. Untuk
memperoleh koefisien reliabilitas melalui pendekatan tes ulang dapat dilakukan dengan
menghitung koefisien korelasi linear antara distribusi skor subyek pada pemberian tes
pertama dengan skor subyek pada pemberian tes kedua. Pendekatan tes ulang sangat sesuai
untuk mengukur ketrampilan terutama ketrampilan fisik.
Misalnya seorang guru hendak melihat reliabilitas tes yang telah dibuatnya. Setelah
melakukan dua kali pengukuran didapatkan skor tes sebagai berikut:

Koefisien reliabilitas test di atas dapat dihitung dengan menggunakan formula korelasi
produk momen dari Pearson sebagai berikut:
Dengan demikian, korelasi sebesar 0,954 menggambarkan bahwa reliabilitas tes
cukup tinggi. Salah satu kelemahan mendasar dari teknik test-retest adalah carry-over effect.
Masalah ini disebabkan oleh adanya kemungkinan pada test yang kedua dipengaruhi oleh test
pertama. Misalnya, jika peserta tes masih ingat dengan soal-soal dan bahkan jawaban ketika
dilakukan test pertama. Hal ini dapat meningkatkan korelasi serta overestimasi terhadap
PXX’. Ross E. Traub (1994: 38)
2. Jenis-jenis Reliabilitas
Walizer (1987) menyebutkan bahwa ada dua cara umum untuk mengukur reliabilitas,
yaitu:
1. Relibilitas stabilitas. Menyangkut usaha memperoleh nilai yang sama atau serupa untuk
setiap orang atau setiap unit yang diukur setiap saat anda mengukurnya. Reliabilitas ini
menyangkut penggunaan indicator yang sama, definisi operasional, dan prosedur
pengumpulan data setiap saat, dan mengukurnya pada waktu yang berbeda. Untuk dapat
memperoleh reliabilitas stabilitas setiap kali unit diukur skornya haruslah sama atau hampir
sama.
2. Reliabilitas ekivalen. Menyangkut usaha memperoleh nilai relatif yang sama dengan jenis
ukuran yang berbeda pada waktu yang sama. Definisi konseptual yang dipakai sama tetapi
dengan satu atau lebih indicator yang berbeda, batasan-batasan operasional, paeralatan
pengumpulan data, dan / atau pengamat-pengamat.
Menguji reliabilitas dengan menggunakan ukuran ekivalen pada waktu yang sama bias
menempuh beberapa bentuk. Bentuk yang paling umum disebut teknik belah-tengah. Cara ini
seringkali dipakai dalam survai.Apabila satu rangkaian pertanyaan yang mengukur satu
variable dimasukkan dalam kuesioner, maka pertanyaan-pertanyaan tersebut dibagi dua
bagian persis lewat cara tertentu. (Pengacakan atau pengubahan sering digunakan untuk
teknik belah tengah ini.) Hasil masing-masing bagian pertanyaan diringkas ke dalam skor,
lalu skor masing-masing bagian tersebiut dibandingkan. Apabila dalam skor kemudian skor
masing-masing bagian tersebut dibandingkan. Apabila kedua skor itu relatif sama, dicapailah
reliabilitas belah tengah. Reliabilitas ekivalen dapat juga diukur dengan menggunakan teknik
pengukuan yang berbeda. Kecemasan misalnya, telah diukur dengan laporan pulsa. Skor-skor
relatif dari satu indikator macam ini haruslah sesuai dengan skor yang lain. Jadi bila seorang
subyek nampak cemas pada ”ukuran gelisah” orang tersebut haruslah menunjukkan tingkatan
kecermatan relatif yang sama bila tekanan darahnya yang diukur.4[4]
3. Metode pengujian reliabilitas
Tiga tehnik pengujian realibilitas instrument antara lain :
a. Teknik Paralel (Paralel Form atau Alternate Form) Teknik paralel disebut juga tenik
”double test double trial”. Sejak awal peneliti harus sudah menyusun dua perangkat
instrument yang parallel (ekuivalen), yaitu dua buah instrument yang disusun berdasarkan
satu buah kisi-kisi. Setiap butir soal dari instrument yang satu selalu harus dapat dicarikan
pasangannya dari instrumen kedua. Kedua instrumen tersebut diujicobakan semua. Sesudah
kedua uji coba terlaksana, maka hasil instrumen tersebut dihitung korelasinya dengan
menggunakan rumus product moment (korelasi Pearson).
b. Teknik Ulang (Test Re-test) Disebut juga teknik ”single test double trial”. Menggunakan
sebuah instrument, namun dites dua kali. Hasil atau skor pertama dan kedua kemudian
dikorelasikan untuk mengetahui besarnya indeks reliabilitas.Teknik perhitungan yang
digunakan sama dengan yang digunakan pada teknik pertama yaitu rumus korelasi Pearson.
Menurut Saifuddin Azwar, realibilitas tes-retest adalah seberapa besat derajat skor tes
konsisten dari waktu ke waktu. Realibilitas diukur dengan menentukan hubungan antara skor
hasil penyajian tes yang sama kepada kelompok yang sama, pada waktu yang berbeda.
Metode pengujian reliabilitas stabilitas yang paling umum dipakai adalah metode pengujian
tes-kembali (test-retest). Metode test-retest menggunakan ukuran atau “test” yang sama untuk
variable tertentu pada satu saat pengukuran yang diulang lagi pada saat yang lain. Cara lain
untuk menunjukkan reliabilitas stabilitas, bila kita menggunakan survai, adalah memasukkan
pertanyaan yang sama di dua bagian yang berbeda dari kuesioner atau wawancara. Misalnya
the Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MPPI) mengecek reliabilitas test-retest
dalam satu kuesionernya dengan mengulang pertanyaan tertentu di bagian-bagian yang
berbeda dari kuesioner yang panjang.
Kesulitan terbesar untuk menunjukkan reliabilitas stabilitas adalah membuat asumsi
bahwa sifat/ variable yang akan diukur memang benar-benar bersifat stabil sepanjang waktu.
Karena kemungkinan besar tidak ada ukuran yang andal dan sahih yang tersedia. Satu-
satunya faktor yang dapat membuat asumsi-asumsi ini adalah pengalaman, teori dan/atau
putusdan terbaik. Dalam setiap kejadian, asumsi ini selalu ditantang dan sulit rasanya
mempertahankan asumsi tersebut atas dasar pijakan yang obyektif.
1. Jenis Evaluasi Berdasarkan Tujuan
a. Evaluasi Diagnostik
Evaluasi diagnostik adalah evaluasi yang di tujukan untuk menelaah kelemahan-kelemahan
siswa beserta faktor-faktor penyebabnya.
b. Evaluasi Selektif
Evaluasi selektif adalah evaluasi yang di gunakan untuk memilih siswa yang paling tepat
sesuai dengan kriteria program kegiatan tertentu.
c. Evaluasi Penempatan
Evaluasi penempatan adalah evaluasi yang digunakan untuk menempatkan siswa dalam
program pendidikan tertentu yang sesuai dengan karakteristik siswa.
d. Evaluasi Formatif
Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilaksanakan untuk memperbaiki dan meningkatan
proses belajar dan mengajar.
e. Evaluasi sumatif
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan untuk menentukan hasil dan kemajuan
bekerja siswa.
2. Jenis Evaluasi Berdasarkan Sasaran.
a. Evaluasi Konteks
Evaluasi yang ditujukan untuk mengukur konteks program baik mengenai rasional tujuan,
latar belakang program, maupun kebutuhan-kebutuhan yang muncul dalam perencanaan
b. Evaluasi Input
Evaluasi yang diarahkan untuk mengetahui input baik sumber daya maupun strategi yang
digunakan untuk mencapai tujuan.
c. Evaluasi Proses
Evaluasi yang di tujukan untuk melihat proses pelaksanaan, baik mengenai kalancaran
proses, kesesuaian dengan rencana, faktor pendukung dan faktor hambatan yang muncul
dalam proses pelaksanaan, dan sejenisnya.
d. Evaluasi Hasil Atau Produk
Evaluasi yang diarahkan untuk melihat hasil program yang dicapai sebagai dasar untuk
menentukan keputusan akhir, diperbaiki, dimodifikasi, ditingkatkan atau dihentikan.
e. Evaluasi Outcom Atau Lulusan
Evaluasi yang diarahkan untuk melihat hasil belajar siswa lebih lanjut, yankni evaluasi
lulusan setelah terjun ke masyarakat.
3. Jenis Evalusi Berdasarkan Lingkup Kegiatan Pembelajaran
a. Evaluasi Program Pembelajaran
Evaluasi yang mencakup terhadap tujuan pembelajaran, isi program pembelajaran, strategi
belajar mengajar, aspek-aspek program pembelajaran yang lain.
b. Evaluasi Proses Pembelajaran
Evaluasi yang mencakup kesesuaian antara proses pembelajaran dengan garis-garis besar
program pembelajaran yang di tetapkan, kemampuan guru dalam melaksanakan proses
pembelajaran, kemampuan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran.
c. Evaluasi Hasil Pembelajaran
Evaluasi hasil belajar mencakup tingkat penguasaan siswa terhadap tujuan pembelajaran yang
ditetapkan, baik umum maupun khusus, ditinjau dalam aspek kognitif, afektif, psikomotorik.
4.Jenis Evaluasi Berdasarkan Objek Dan Subjek Evaluasi
a. Berdasarkan Objek
a.1.Evaluasi Input
Evaluasi terhadap siswa mencakup kemampuan kepribadian, sikap, keyakinan.
a.2.Evaluasi Transformasi
Evaluasi terhadao unsur-unsur transformasi proses pembelajaran antara lain materi, media,
metode dan lain-lain.
a.3.Evaluasi output
5.Evaluasi Terhadap Lulusan Yang Mengacu Pada Ketercapaian Hasil
Pembelajaran Berdasarkan Subjek
a.Evaluasi internal
Evaluasi yang dilakukan oleh orang dalam sekolah sebagai evaluator, misalnya guru.
b.Evaluasi eksternal
Evaluasi yang dilakukan oleh orang luar sekolah sebagai evaluator, misalnya orangtua,
masyarakat.
Sesuai dengan pengertian evaluasi, sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk mengetahui
keadaan suatu objek dengan menggunakan beberapa instrumen dan hasilnya, dibandingkan
dengan suatu tolak ukur untuk memperoleh suatu kesimpulan. Artinya, dalam mengambil
langkah untuk melaksanakan evaluasi, tentunya diperlukan pengetahuan dan pemahaman
terhadap suatu objek dengan terus menerus diadakan instrumen-instrumen yang kemudian
dengan hasil instrumen tersebut diharapkan akan memperoleh sebuah kesimpulan.
Pelaksanaan evaluasi demikian sesuai dengan anjuran baginda Rosulullah dalam sabda Beliau
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagai berikut :
‫عن مسلم بن قيس وعن سعيد أبي عن أبيه عن رجاء بن إسماعيل عن‬
‫ قال الخدري سعيد أبي عن شهاب بن طارق‬: ‫هللا صلى هللا رسول قال‬
‫فبلسانه يستطع لم فإن بيده فليغيره منكرا منكم رأى من وسلم عليه‬
‫اإليمان أضعف وذلك فبقلبه يستطع لم فإن‬
Artinya : “ dari Ismail bin Roja’ dari bapaknya dari abu sa’id dan qois bin muslim dari
thoriq bin syihab dari abu sa’id al khudri berkata : Rosulullah saw bersabda : barangsiapa
melihat kemungkaran maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya apabila belum
bisa, maka dengan lidahnya, apabila belum juga bisa maka dengan hatinya, dan demikian itu
adalah selemah-lemahnya iman.
(HR. Imam )
Tujuan Evaluasi Pembelajaran :
a. Mendeskripsikan kemampuan belajar siswa
b. Mengetahui tingkay keberhasilan PBM
c. Menentukan tindak lanjut hasil penilaian
d. Memberikan pertanggung jawaban (account ability)

Fungsi Evaluasi Pembelajaran :


a. Selektif
b. Diagnostik
c. Penempatan
d. Pengukuran tingkat keberhasilan
Menurut Asmawi Zainul dan Noehi Nasution fungsi evaluasi pembelajarn yaitu :
a) Fungsi remedial
b) Fungsi umpan balik
c) Fungsi motivasi & pembimbingan Anak
d) Perbaikan kurikulim dan program pendidikan
e) Pengembangan ilmu

Syarat-syarat Evaluasi Pembelajaran


Syarat-syarat Umum :
A. Kesahihan, pengganti validitas yang dapat diartikan sebagai ketepatan untuk mengevaluasi
apa yang seharusnya dievaluasi, hal ini dapat diterjemahkan juga kelayakan interpretasi
terhadap hasil dari suatu instumen evaluasi atau tes tindak terhadap instrumen itu sendiri
B. Keterandalan, hal ini berhubungan dengan masalah kepercayaan yakni tingkat kepercayaan
bahwa suatu instrumen mampu memberikan hasil yang tepat.
C. Kepraktisan, hal ini dapat diartikan sebagai kemudahan yang ada pada instrumen evaluasi
baik dalam mempesiapkan, mempergunakan, menginterpretasi/memperoleh hasil, maupun
kemudahan dalam menyimpannya

gembangkan teori kepribadian yang telah mempengaruhi sejumlah bidang yang berbeda,
termasuk pendidikan. Ini pengaruh luas karena sebagian tingginya tingkat kepraktisan’s teori
Maslow. Teori ini akurat menggambarkan realitas banyak dari pengalaman pribadi. Banyak
orang menemukan bahwa mereka bisa memahami apa kata Maslow. Mereka dapat mengenali
beberapa fitur dari pengalaman mereka atau perilaku yang benar dan dapat diidentifikasi
tetapi mereka tidak pernah dimasukkan ke dalam kata-kata.

Maslow adalah seorang psikolog humanistik. Humanis tidak percaya bahwa manusia yang
mendorong dan ditarik oleh kekuatan mekanik, salah satu dari rangsangan dan bala bantuan
(behaviorisme) atau impuls naluriah sadar (psikoanalisis). Humanis berfokus pada potensi.
Mereka percaya bahwa manusia berusaha untuk tingkat atas kemampuan. Manusia mencari
batas-batas kreativitas, tertinggi mencapai kesadaran dan kebijaksanaan. Ini telah diberi label
“berfungsi penuh orang”, “kepribadian sehat”, atau sebagai Maslow menyebut tingkat ini,
“orang-aktualisasi diri.”

Maslow telah membuat teori hierarkhi kebutuhan. Semua kebutuhan dasar itu adalah
instinctoid, setara dengan naluri pada hewan. Manusia mulai dengan disposisi yang sangat
lemah yang kemudian kuno sepenuhnya sebagai orang tumbuh. Bila lingkungan yang benar,
orang akan tumbuh lurus dan indah, aktualisasi potensi yang mereka telah mewarisi. Jika
lingkungan tidak “benar” (dan kebanyakan tidak ada) mereka tidak akan tumbuh tinggi dan
lurus dan indah.

Maslow telah membentuk sebuah hirarki dari lima tingkat kebutuhan dasar. Di luar
kebutuhan tersebut, kebutuhan tingkat yang lebih tinggi ada. Ini termasuk kebutuhan untuk
memahami, apresiasi estetik dan spiritual kebutuhan murni. Dalam tingkat dari lima
kebutuhan dasar, orang tidak merasa perlu kedua hingga tuntutan pertama telah puas, maupun
ketiga sampai kedua telah puas, dan sebagainya. Kebutuhan dasar Maslow adalah sebagai
berikut:

Teori Kebutuhan Maslow

1. Kebutuhan Fisiologis

Ini adalah kebutuhan biologis. Mereka terdiri dari kebutuhan oksigen, makanan, air, dan suhu
tubuh relatif konstan. Mereka adalah kebutuhan kuat karena jika seseorang tidak diberi semua
kebutuhan, fisiologis yang akan datang pertama dalam pencarian seseorang untuk kepuasan.

2. Kebutuhan Keamanan

Ketika semua kebutuhan fisiologis puas dan tidak mengendalikan pikiran lagi dan perilaku,
kebutuhan keamanan dapat menjadi aktif. Orang dewasa memiliki sedikit kesadaran
keamanan mereka kebutuhan kecuali pada saat darurat atau periode disorganisasi dalam
struktur sosial (seperti kerusuhan luas). Anak-anak sering menampilkan tanda-tanda rasa
tidak aman dan perlu aman.

3. Kebutuhan Cinta, sayang dan kepemilikan

Ketika kebutuhan untuk keselamatan dan kesejahteraan fisiologis puas, kelas berikutnya
kebutuhan untuk cinta, sayang dan kepemilikan dapat muncul. Maslow menyatakan bahwa
orang mencari untuk mengatasi perasaan kesepian dan keterasingan. Ini melibatkan kedua
dan menerima cinta, kasih sayang dan memberikan rasa memiliki.

4. Kebutuhan Esteem

Ketika tiga kelas pertama kebutuhan dipenuhi, kebutuhan untuk harga bisa menjadi dominan.
Ini melibatkan kebutuhan baik harga diri dan untuk seseorang mendapat penghargaan dari
orang lain. Manusia memiliki kebutuhan untuk tegas, berdasarkan, tingkat tinggi stabil diri,
dan rasa hormat dari orang lain. Ketika kebutuhan ini terpenuhi, orang merasa percaya diri
dan berharga sebagai orang di dunia. Ketika kebutuhan frustrasi, orang merasa rendah, lemah,
tak berdaya dan tidak berharga.

5. Kebutuhan Aktualisasi Diri

Ketika semua kebutuhan di atas terpenuhi, maka dan hanya maka adalah kebutuhan untuk
aktualisasi diri diaktifkan. Maslow menggambarkan aktualisasi diri sebagai orang perlu untuk
menjadi dan melakukan apa yang orang itu “lahir untuk dilakukan.” “Seorang musisi harus
bermusik, seniman harus melukis, dan penyair harus menulis.” Kebutuhan ini membuat diri
mereka merasa dalam tanda-tanda kegelisahan. Orang itu merasa di tepi, tegang, kurang
sesuatu, singkatnya, gelisah. Jika seseorang lapar, tidak aman, tidak dicintai atau diterima,
atau kurang harga diri, sangat mudah untuk mengetahui apa orang itu gelisah tentang. Hal ini
tidak selalu jelas apa yang seseorang ingin ketika ada kebutuhan untuk aktualisasi diri.

Teori hierarkhi kebutuhan sering digambarkan sebagai piramida, lebih besar tingkat bawah
mewakili kebutuhan yang lebih rendah, dan titik atas mewakili kebutuhan aktualisasi diri.
Maslow percaya bahwa satu-satunya alasan bahwa orang tidak akan bergerak dengan baik di
arah aktualisasi diri adalah karena kendala ditempatkan di jalan mereka oleh masyarakat
negara. Dia bahwa pendidikan merupakan salah satu kendala. Dia merekomendasikan cara
pendidikan dapat beralih dari orang biasa-pengerdilan taktik untuk tumbuh pendekatan orang.
Maslow menyatakan bahwa pendidik harus menanggapi potensi individu telah untuk tumbuh
menjadi orang-aktualisasi diri / jenis-nya sendiri. Sepuluh poin yang pendidik harus alamat
yang terdaftar:

1. Kita harus mengajar orang untuk menjadi otentik, untuk menyadari diri batin mereka
dan mendengar perasaan mereka-suara batin.
2. Kita harus mengajar orang untuk mengatasi pengkondisian budaya mereka dan
menjadi warga negara dunia.
3. Kita harus membantu orang menemukan panggilan mereka dalam hidup, panggilan
mereka, nasib atau takdir. Hal ini terutama difokuskan pada menemukan karier yang
tepat dan pasangan yang tepat.
4. Kita harus mengajar orang bahwa hidup ini berharga, bahwa ada sukacita yang harus
dialami dalam kehidupan, dan jika orang yang terbuka untuk melihat yang baik dan
gembira dalam semua jenis situasi, itu membuat hidup layak.
5. Kita harus menerima orang seperti dia atau dia dan membantu orang belajar sifat batin
mereka. Dari pengetahuan yang sebenarnya bakat dan keterbatasan kita bisa tahu apa
yang harus membangun di atas, apa potensi yang benar-benar ada.
6. Kita harus melihat itu kebutuhan dasar orang dipenuhi. Ini mencakup keselamatan,
belongingness, dan kebutuhan harga diri.
7. Kita harus refreshen kesadaran, mengajar orang untuk menghargai keindahan dan hal-
hal baik lainnya di alam dan dalam hidup.
8. Kita harus mengajar orang bahwa kontrol yang baik, dan lengkap meninggalkan yang
buruk. Dibutuhkan kontrol untuk meningkatkan kualitas hidup di semua daerah.
9. Kita harus mengajarkan orang untuk mengatasi masalah sepele dan bergulat dengan
masalah serius dalam kehidupan. Ini termasuk masalah ketidakadilan, rasa sakit,
penderitaan, dan kematian.
10. Kita harus mengajar orang untuk menjadi pemilih yang baik. Mereka harus diberi
latihan dalam membuat pilihan yang baik.

Read more: TEORI MASLOW : Teori Hierarki Kebutuhan Maslow

Anda mungkin juga menyukai