Anda di halaman 1dari 5

ANAK BERMASALAH

Anak yang mengalami kesulitan belajar adalah anak yang memiliki ganguan satu atau
lebih dari proses dasar yang mencakup pemahaman penggunaan bahasa lisan atau tulisan,
gangguan tersebut mungkin menampakan diri dalam bentuk kemampuan yang tidak
sempurna dalam mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca,menulis, mengeja atau
menghitung.Batasan tersebut meliputi kondisi-kondisi seperti gangguan perceptual, luka pada
otak, diseleksia dan afasiaperkembangan.

Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya dengan lancar dan berhasil
tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam
belajarnya mengalamiberbagai kesulitan.Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh hambatan-
hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapatbersifat psikologis, sosiologis,
maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang
dicapainya berada di bawah semestinya.

Dalam proses perkembangan anak, maka Erikson dalam tahapan perkembangan anak
menjelaskan tentang tahapan perkembangan psikososial anak yaitu pada tahapan industry vs
inferiority, pada tahapan ini anak – anak ingin memasuki dunia yang lebih luas dalam hal
pengetahuan dan pekarjaan, dengan menggali pengetahuan yang banyak dari lingkungan
sekitarnya maka anak sedang mengembangkan dan menumbuhkan sense of industry, yaitu
perasaan akan kompetensi dan keahlian yang dimilki anak, namun ketika anak gagal dalam
pemenuhan hak ini, maka anak akan mengalami perasaan inferioritas, yaitu perasaan tidak
mampu untuk melakakukan apapun (Lusi, 2008 dalam Suyanto, 2013). Anak yang
mengalami kekerasan dari berbagai perlakuan, mereka mengalami inferioritas dalam hal ahk
mereka tidak dipenuhi secara optimal oleh orang tua dan lingkungan mereka, mereka tidak
memeiliki hak bersuara, bahkan bersuara pun tidak akan pernah didengar, sehingga mereka
hidup dalam ketakutan dan baying-bayang ingatan yang serba kelam (Suyanto, 2013).

Menurut Richard J. Galles (dalam Suyanto:48) yang dimaksud Child Abuse atau
tindak kekerasan terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan bahaya atau
kerugian terhadap anak-anak baik secara fisik maupun emosional. Berker 1987 (dalam
Suyanto:48) yang dimaksud kekerasan pada anak adalah tindakan melukai berulang-ulang,
baik secara fisik maupun emosional kepada anak yang seharusnya dilindungi dan tergantung,
melalaui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degredasi cemoohan yang
permanen, atau kekersan seksual, dimana hal ini biasanya dilakukan oleh para orang tua, atau
pihak lain yang seharusnya merawat dan melindungi anak-anak itu. Orang tua sebagai figure
dan model bagi anak-anak, sebaiknya mereka benar-benar bisa memberikan pengajaran dan
pengasuhan yang terbaik untuk anak meraka, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadist“
sesungguhnya kelembutan itu akan menghiasi sesuatu, dan tanpa kelembutan sesuatu akan
menjadi tercela” (HR. Muslim) (Jamaluddin, 2009). Sebagaimana kita tahu, anak belajar dari
lingkungan dengan cara vicarious learning, artinya mereka meniru apa yang telah dilakukan
oleh orang tuanya di kemudian kelak.

Faktor anak yang mengalami masalah itu bisa dilihat pertama kali dari keluarganya,
terutama dari orang tua yang dapat menyebabkan problem bagi perkembangan anak. Seperti:

 Orang tua tidak mengetahui bahwa anak belajar dari cara orang tua dan anggota
keluarga yang memberlakukan anak, contohnya dari apa yang dilihat, didengar, dan
dialami anak. Anak belajar dari itu semua, jadi wajar saja ketika anak mempunyai
prilaku yang buruk itu dari faktor lingkungannya sendiri, terutama dari lingkungan
keluarga.

 Orang tua tidak menyadari bahwa anak mempunyai potensi yang dapat
mempengaruhi cara belajar anak.

 Orang tua kurang menyadari bahwa anak belajar mengembangkan emosi dalam
keluarga seperti rasa kasih sayang, cemas, takut, dan empati.

 Orang tua tidak mengetahui bahwa pola asuh dalam keluarga merupakan hal yang
menentukan pola perkembangan pola asuh pada anak. Anak mungkin jadi agresif,
tidak peduli dengan orang lain, anak pendiam, dan anti sosial.

 Orang tua tidak mengetahui bahwa anak belajar sambil bermain. Orang tua yang
sangat melindungi anak menganggap bermain merupakan hal yang tidak aman buat
anak, akibatnya anak tidak dapat menyelesaikan tugas perkembangannya secara
sempurna.

 Orang tua kurang melatih anak dalam pembiasaan, misalnya melatih anak dalam
proses sensorik seperti cara anak memegang sendok, garpu dan kurang melatih anak
mandiri. Akibatnya anak selalu manja, rasa perhatian orang tua kurang sehingga
prilaku anak menjadi pemalas.

 Orang tua kurang memahami perkembangan sosial anak, melalui pelatihan seperti
anak tidak diajarkan untuk berbagi akibatnya anak menjadi pribadi yang mempunyai
sifat egois dan tidak mau memahami orang lain.

 Orang tua tidak mengetahui bahwa keluarga merupakan fondasi pertama kali yang
harus dibangun untuk anak,

 Kurangnya faktor komunikasi orang tua terhadap anak.

Sebab-Sebab Bermasalah

Secara garis besar pangkal soal masalah-masalah siswa dapat dikelompokkan menjadi dua:
1. Internal

Sebab-sebab internal ialah sebab-sebab yang berpangkal dari kondisi si murid itu sendiri. Hal
ini bisa bermula dari adanya kelainan fisik maupun kelainan psikis.

a) Kelainan fisik

Anak-anak yang menderita kelainan fisik akan merasa tertolak untuk hadir ditengah-tengah
temannya yang normal. Sebagai contoh si Udin yang terlalu gemuk akan jadi bahan ejekan
teman-temannya. Hal ini membuatnya merasa tak aman untuk hadir ditengah-tengah
temannya.

Kelainan fisik amatlah banyak bentuknya. Diantaranya ialah buta, bermata satu, bisu tuli,
kaki kecil satu atau bahkan lumpuh total.

Agar mereka tidak tersisihkan diantara teman-temannya yang normal, maka demi masa
depannya negara menyelenggarakan pendidikan yang khusus buat mereka.

b) Kelainan psikis

Yang dimaksud dengan kelainan psikis ialah kelainan yang terjadi pada kemampuan brpikir
(kecerdasan) seorang anak. Kelainan ini baik secara inferior (lemah) maupun suferior(kuat).

Tak dapat dipungkiri bahwa anak-anak memang memiliki taraf kecerdasan (IQ) yang
berbeda-beda. Kelainan inferior dalam kecerdasan meliputi : ideot, embisil, debil, border line,
dan bodoh. Anak-anak seperti ini akan sangat tersiksa bila dikumpulkan dalam suatu kelas
dengan anak-anak yang superior. Begitu juga sebaliknya, orang genius akan merasa tertekan
apabila disatu ruangkan dengan anak-anak yang inferior.

Alternatif terbaik untuk mereka adalah dengan mengumpulkan mereka pada satu kelas
tersendiri bahkan satu sekolah khusus yang mendidik mereka.

Kelainan psikis lainnya:

a) Anak-anak yang tegang

Sering kita melihat anak-anak yang tingkah lakunya mengimplikasikan penyaluran


ketegangan jiwanya atau usaha pengendoran dari ketegangan. Gejala-gejala yang sering
tampak biasanya berwujud tingkah laku tidak tenang, gerak-gerik yang tidak lancar,
pandangan mata yang menunjukkan ketidak bahagiaan (kesedihan), menggigit-gigit pensil,
menghisap ibu jari dan menggigit kuku.

Guru atau orang tua perlu meluangkan waktunya khusus untuk mengetahui mengapa
anak tersebut melakukan yang demikian. Apakah ada kemungkinan anak itu mempunyai
masalah yang terpecahkan ? Apakah ada kekecewaan yang dialami anak, baik ditinjau dari
segi pemenuhan kebutuhan jasmaniah atau kejiwaan. Bahaya atau sebabnya masih baru
diketemukan, dan untuk mendorongnya maka masalahnya perlu dihadapi oleh anak maupun
pendidik. Agar dapat dicari jalan keluar sebaik-baiknya.

b) Anak yang agresif

Anak yang selalu mengganggu di kelas tentu mempunyai masalah sendiri. Sebelum
kita dapat mengadakan langkah-langkah pertolongan terhadap anak tersebut, sebaiknya
diketahui sebab-sebab mengapa anak itu bersifat agresif? Sifat agresif sering disebabkan oleh
perlakuan orang tua, kompetisi, iri antara kakak beradik, kondisi di dalam rumah atau
sekolah. Dan sebagai faktor yang lebih dasar ialah adanya kebutuhan pokok anak, yaitu
kebutuhan akan kasih sayang, penghargaan, pengakuan yang tidak terpenuhi dengan
semestinya.

Tindakan menolong perlu dilatar belakangi pemahaman tentang keadaan dan


kebutuhan kejiwaan anak, dilaksanakan dengan hati-hati, dengan sikap dan tindakan yang
dipikirkan secara masak dengan mempertimbangkan persoalan dan tujuan yang ingin dicapai
maupun akibat dari pertolongan ini.

c) Anak yang pemalu dan menyendiri

Sebab-sebab anak berperangai demikian ialah:

- Sebab-sebab jasmaniah: kekurangan daya tahan, penglihatan atau pendengaran kurang baik.

- Perwujudan bentuk tubuh atau roman muka kurang menarik, pakaian tidak dapat menyamai
atau mengikuti teman lain atau mode, dan lain-lain.

- Kemampuan dan keterampilan intelegensi (kecerdasan) ketinggalan atau tidak dapat


menyamai teman-teman sekelasnya.

- Kegagalan yang terus-menerus, tidak disertai dengan keberhasilan.

- Tidak memiliki keterampilan-keterampilan tertentu yang dapat menarik penghargaan


teman-teman sebayanya.

- Guru yang keras dan meminta atau menuntut terlalu banyak.

- Mempunyai kakak laki-laki atau perempuan yang diperlakukan berbeda dengan kita.

2. Eksternal

Sebab-sebab eksternal ialah sebab-sebab yang hadir dari luar si murid, terdiri dari:

a) Keluarga
Lingkungan keluarga adalah lingkungan yang pertama kali oleh anak. Di dalam
keluarga anak mulai tumbuh sejak lahir. Pada waktu kecil inilah adanya apa yang disebut
Media Montessori sebagai masa peka, sedangkan Dr. Zakiah Darodjat memberikan istilah
adanya persepsi dasar.

Orang tua yang otoriter akan memperlakukan anak-anaknya secara otoriter. Perlakuan
ini akan berkesan dalam jiwa anak sebagai persepsi dasar. Sebagai kelanjutannya ialah bahwa
anak tersebut akan tumbuh dan berkembang sebagai anak yang otoriter dan keras kepala.

b) Pergaulan

Lingkungan kedua yang dikenal oleh anak adalah lingkungan masyarakat atau
lingkungan pergaulan anak-anak yang telah didik baik oleh orang tuanya.

Seorang anak yang dididik untuk jujur akan merasa jengkel jika ternyata teman-
temannya suka berbohong. Dia dihadapkan pada dua pilihan, jujur sesuai dengan dididikan
orang tua tapi tak diterima oleh kelompok atau ikut berbohong agar diterima oleh kelompok
meskipun bertentangan dengan batinnya.

Lingkungan pergaulan juga mempunyai andil yang sangat berarti bagi perkembangan
psikis anak. Jika lingkungan baik anak cenderung menjadi baik. Jika, lingkungan jelek
anakpun ada kecenderungan ikut jelek.

c) Pengalaman hidup

Pepatah mengatakan “Pengalaman adalah guru yang terbaik”. Pepatah ini


mengajarkan bahwa, pengalaman-pengalaman masa lalu tak akan pernah hilang. Semuanya
tersimpan rapi dalam ruang ingatan.

Anak-anak yang bodoh sering tak diperhatikan oleh gurunya. Suatu saat dia membuat
keonaran dan ternyata dengan cara itu ia diperhatikan oleh gurunya. Tetapi, hakikatnya dia
juga tak menyukai keonaran itu tapi apa boleh buat. Karena hanya itulah satu-satunya cara
yang ia tempuh untuk menarik perhatian gurunya.

Anda mungkin juga menyukai