A. Pendahuluan
Hijrah, secara historis merupakan peristiwa Nabi Muhammad dan para pengikutnya
untuk melakukan eksodus di luar Mekah karena ancaman, perlawanan, intimidasi, dan
bahkan penganiayaan yang dilakukan oleh orang-orang Mekah terhadap Nabi
Muhammad dan para pengikutnya.
Selama masa Nabi Muhammad SAW, istilah hijrah, oleh karena itu, terutama dilihat
sebagai gerakan fisik dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari suaka politik,
keselamatan, keamanan, dan jarak dari penguasa Mekah yang tidak adil. Istilah hijrah
digunakan sekarang sebagai istilah untuk menyebut suatu gerakan yang mengundang
umat Islam, terutama kaum muda, untuk "pindah" ke orang yang lebih baik dengan
meningkatkan kepatuhan dalam menjalankan hukum agama.
Hijrah saat ini diidentifikasi sebagai transformasi diri seorang Muslim dari yang
kurang religius menjadi lebih religius, ditandai dengan mempromosikan hal-hal yang
dianggap sebagai Sunnah Nabi. Tindakan sunnah ini termasuk memelihara janggut dan
mencukur kumis, mengenakan celana di atas pergelangan kaki - biasa disebut celana
cingkrang untuk menghindari anggapan sebagai bentuk kesombongan (isybal).
Menggunakan berbagai kata kosa kata Arab seperti ana (untuk merujuk kepada
saya), antum (untuk merujuk kepada Anda), akhi, ikhwan (istilah untuk pria Muslim) dan
ukhti dan akhwat (istilah untuk wanita Muslim). Beberapa istilah tambahan lainnya
adalah "na'am / la" untuk menyatakan ya atau tidak dan fillah dalam kata ukhti fillah dan
akhi fillah.
Secara umum, para orang yang hijrah adalah kaum muda perkotaan yang relatif
baru dalam wacana keagamaan dan umumnya tidak memiliki latar belakang pendidikan
umum sekolah agama atau universitas. Mereka tertarik pada gerakan hijrah karena
berfokus pada memerangi kemerosotan moral pada kaum muda, seperti seks bebas,
alkohol, dan berkelahi. Mereka juga tertarik karena gerakan hijrah menjanjikan kepastian
dan ketegasan dalam masalah agama, dan juga memasarkan ide-ide anti kemapanan
seperti Khilafah dan anti-Barat, Cina, dan asing.
Bagian yang menarik dari gerakan hijrah adalah pendekatannya yang tidak kaku
atau monoton. Aktivis cenderung menggunakan pendekatan budaya pop untuk menarik
antusiasme milenial. Mereka memanfaatkan semua platform di media sosial dengan
meme, foto, dan konten video yang dibungkus dengan bahasa kaum muda. Jadi, lebih
mudah untuk mempercepat penanaman ideologi hijrah.
Aktivis gerakan hijrah juga mampu mencuri perhatian kaum muda karena mereka
pandai mengakomodasi agama dengan menawarkan produk-produk populer tanpa
kehilangan kesan Islami, seperti distro t-shirt, yang memiliki pesan Islami yang ditulis
bersama dengan celana Cingkrang yang modis. Produk jilbab dan niqab yang dipasarkan
juga cenderung lebih bervariasi dalam hal model dan warna, tetapi masih terlihat pada
syariah. Dengan kata lain, kaum muda tidak perlu takut untuk memilih jalur ehijrah
karena mereka masih bisa tampil modis.
D. Kelemahan Gerakan "Hijrah"
Gerakan hijrah sejauh ini perlu diapresiasi karena mengundang kaum muda untuk
kembali ke agama sambil memperkuat dekadensi moral. Sayangnya, beberapa orang yang
hijrah kadang-kadang terjebak dalam pola simbolis agama dan terjebak dalam mengklaim
kebenaran dengan menganggap diri mereka sebagai yang paling benar sambil
menyalahkan orang atau kelompok yang berbeda.
Contoh publik yang mengejutkan baru-baru ini adalah pernyataan oleh Teuku
Wisnu, salah satu selebriti yang "berhijrah", yang menyalahkan (baca: membid'ahkan)
orang atau kelompok yang mengirim Al-Fatihah kepada orang yang telah meninggal.
Dalam pandangannya, mengirimkan Al-Fatihah kepada orang yang telah meninggal tidak
memiliki bukti dan tidak sesuai dengan bimbingan Nabi Muhammad. Pernyataan Teuku
Wisnu dalam program "News of Islam Today" yang disiarkan di televisi swasta, menuai
kritik dari banyak netizen.
Subjek penelitian yang dilakukan oleh Kirana adalah Riris Setyo Rini, personil
kelompok Sakti Sheila on Seven, dan Febrianti Almeera. Ketiga subjek mengalami
beberapa tahapan psikologis, seperti kesadaran diri, penerimaan diri, pola pikir, harga
diri, motivasi, dan self-efficacy. Namun, prosesnya tidak bisa dipisahkan dari kegiatan
sehari-hari setelah hijrah. Ketiga seniman tersebut mendirikan bisnis produk Islami yang
pada akhirnya memunculkan saran khusus kepada konsumen.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Ditha Prasanti dan Sri Indriani dengan
judul "Interaksi Sosial Keanggotaan Mari Hijrah Komunitas di Lini Media Sosial", Hasil
penelitian menunjukkan bahwa interaksi sosial yang terjadi pada komunitas Let's Hijrah
dalam kelompok media sosial LINE adalah proses asosiatif yang terbagi menjadi dua
bentuk, yaitu akomodasi dan asimilasi. Dalam proses akomodasi, masyarakat tidak selalu
melihat akomodasi antara anggota masyarakat terkait dengan aturan yang berlaku, yaitu
yurisprudensi Islam. Adapun proses asimilasi, jelas bahwa interaksi anggota masyarakat
selalu menganut tujuan kelompok untuk pindah ke tempat yang lebih baik. Namun, dalam
proses asimilasi, sering ada perdebatan di antara anggota masyarakat yang mengarah
pada persepsi negatif dari anggota lain yang tidak setuju dengan pendapat kelompok.
Penelitian yang dilakukan oleh Uwes Fatoni dan Annisa Nafisa Rais dengan judul
"Manajemen Impression Dai dalam Kegiatan Dakwah Pemuda Hijrah," menggunakan
analisis teori Manajemen Impression dari Erving Goffman. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa fenomena para pengkhotbah muda dalam kegiatan pengabaran bagi kaum muda
berhijrah sehingga khotbah mereka diterima oleh kaum muda dengan menggunakan
metode yang lebih segar dan inovatif, salah satunya dilakukan oleh Ustadz Handy Bonny.
Ustadz Handy Bonny bertujuan untuk mengelola kesan yang baik dan menghasilkan citra
publik yang baik. Dia menggunakan media sosial sebagai panggung untuk berkhotbah
dengan tema dan desain yang menarik. Ia juga terlihat "kasual" agar mudah diterima oleh
orang-orang muda, berperilaku sopan, santai, tidak menggurui, menggunakan bahasa
yang lembut, tetapi tetap mempertahankan etika dan kesopanan. Hubungan Kontrol Diri
dengan Muru'ah dengan Anggota Gerakan Pemuda Hijrah di Masjid TSM Bandung,
"ditulis oleh Siti Qodariah dan kawan-kawan Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara kontrol diri dan murū'ah (r = 0,842), yang berarti bahwa
semakin tinggi kontrol diri, semakin tinggi murū'ah. Dari aspek kontrol diri, yang
memiliki korelasi tertinggi dengan murū'ah adalah kontrol keputusan (r = 0,904), diikuti
oleh kontrol kognitif (r = 0,847), dan kontrol perilaku terakhir (r = 0,794).
Kitab suci Al-Qur'an menggunakan berbagai istilah "hijrah" yang berbeda dalam
perintahnya untuk menghindari kejahatan (Qur'an 74: 5), berpaling dari istri yang tidak
taat (Qur'an 4:33), bukan mengabaikan Qur'an. an (Qur'an 25:30), untuk meninggalkan
orang tua yang tidak percaya tanpa menyakiti hati mereka (QS.73: 10), kembali kepada
Tuhan dengan harapan mendapatkan bimbingan-Nya (Qur'an 29:26), tinggalkan tempat
atau syarat untuk Allah (QS.4: 88). Semua ini adalah makna baru yang diterapkan oleh
umat Islam pada kata dasar: h-j-r dan kata-kata turunannya.
Dalam benak umat Islam, makna religius-etis melebihi makna biasa hajara
(bergerak). Hijrah menjadi praktik keagamaan terbesar, yaitu, untuk melepaskan tuntutan
duniawi untuk kesalehan, pencurahan energi untuk kemurnian dan kemuliaan, untuk
mempelajari ilmu-ilmu yang memperkuat iman, melayani Tuhan, pengetahuan dan
kemanusiaan. (Ismail Faruqi).
Hijrah saat ini diidentifikasi sebagai transformasi diri seorang Muslim dari yang
kurang religius menjadi lebih religius, ditandai dengan mempromosikan hal-hal yang
dianggap sebagai Sunnah Nabi. Konsep hijrah pada saat ini adalah, khususnya oleh
milenium, meliputi: Pertama, membangun pemahaman tentang hijrah. Hijrah tidak hanya
menggerakkan atau mengubah penampilannya, tetapi juga memahami sifat hijrah. Inti
dari hijrah adalah meninggalkan tindakan penuh nafsu, menuju sesuatu yang diberkati
oleh Tuhan.
Ketiga, mendampingi pemimpin agama. Hijrah tidak cukup dengan istigfar dan
meningkatkan amal ibadah tanpa menunjukkan upaya untuk mendekati para pemimpin
agama, karena mereka adalah pewaris nabi.
Keempat, membentuk komunitas hijrah. Generasi hari ini, jika mereka memutuskan
untuk berehijrah, langkah selanjutnya adalah mencari atau bergabung dengan komunitas
Muslim lainnya, seperti komunitas pengajian atau majlis taklim dan sebagainya. Kelima,
berniat membantu agama Tuhan. Dalam melakukan hijrah, niat untuk membantu agama
Tuhan berarti bahwa hijrah dilakukan bukan untuk kesalehan pribadi tetapi juga untuk
kesalehan sosial.
F. Teori Motivasi
Terkait dengan motivasi untuk berhijrah, kata motivasi berasal dari kata motive.
Motif berasal dari kata "gerak" yang berarti gerakan. Motivasi umumnya didefinisikan
sebagai dorongan keseluruhan, keinginan, kebutuhan, dan kekuatan serupa yang
mengarahkan perilaku.
Menurut Nico Syukur Dister motivasi agama terbagi menjadi empat, yaitu:
Motivasi didorong oleh keinginan untuk mengatasi frustrasi yang ada dalam kehidupan,
motivasi agama karena, didorong oleh keinginan untuk menjaga moralitas dan norma
masyarakat, motivasi agama, didorong oleh suatu keinginan untuk memuaskan
keingintahuan manusia. Motivasi beragama, didorong oleh keinginan menjadikan agama
sebagai alat untuk mengatasi rasa takut.
Meskipun ada beberapa motivasi keagamaan di atas, Nico Syukur percaya bahwa
motivasi agama yang sebenarnya adalah motivasi untuk agama itu sendiri, yaitu sikap
batin agama. Mengenai motivasi, milenium yang berehijrah umumnya tampak
bermotivasi agama, dibuktikan dengan konsistensi komitmen dan agama dan karakter
tampilan mereka
Karakteristik jiwa yang sakit adalah kebalikan dari pikiran yang sehat; dalam hal
itu pikiran yang sehat dipenuhi dengan optimisme sementara jiwa-jiwa yang sakit
pesimistis. Pikiran yang sehat bersifat ekstrovert dan tidak reflektif; jiwa yang sakit
tertutup dan lebih bijaksana dalam berurusan dengan kehidupan. Jika pikiran sehat
cenderung liberal dalam teologinya, jiwa yang sakit, meskipun tidak selalu ortodoks,
mendukung jenis teologi yang lebih menuntut.
H. Konversi Agama.
Selain jenis pertumbuhan religi jiwa yang sakit, acara hijrah juga bisa dijelaskan
dalam kategori pengalaman konversi agama. Gagasan pertobatan itu sendiri adalah jenis
pertumbuhan dan perkembangan spiritual yang melibatkan perubahan besar dalam arah
mengenai pemikiran dan perilaku keagamaan. Konversi mengacu pada periode emosional
dalam bentuk pencerahan tiba-tiba, tetapi kadang-kadang sangat mendalam atau biasa-
biasa saja, meskipun kadang-kadang muncul secara bertahap. Dalam penelitian ini,
pengertian pertobatan merujuk pada pertumbuhan dan perkembangan spiritual yang
memengaruhi perubahan perilaku keagamaan seseorang dari yang kurang religius
menjadi lebih religius.
Jika dilihat dari teori pertobatan, fenomena hijrah termasuk dalam kategori
pertobatan dalam konteks perubahan agama yang sangat radikal dari negara sebelumnya
yang hanya biasa, atau bahkan tidak taat, menjadi religius, sangat taat dan pada saat yang
sama. waktu yang sama holistik (kaffah). Ini dibuktikan dengan perubahan yang terjadi
tidak hanya dalam cara berpikir dan berperilaku tetapi juga dalam cara berperilaku, yang
semuanya mengidealkan cara keagamaan yang benar-benar meniru model Nabi
Muhammad (Uswatun Hasanah).
I. Siapakah Milenial?
Karena subjek dari fenomena hijrah umumnya adalah kaum muda yang sering
disebut sebagai kelompok milenial, perlu untuk mengenal mereka lebih dekat. Definisi
milenial itu sendiri adalah generasi anak muda yang lahir pada tahun 1982 dengan
kisaran 20 tahun sesudahnya. Pada 2017, mereka berusia 16 hingga 36 tahun. Jika
didasarkan pada Teori Generasi yang diciptakan oleh Karl Mannheim pada tahun 1923,
generasi milenial adalah generasi yang lahir pada pertengahan 1980 hingga 2000. Salah
satu karakteristik utama generasi milenial adalah ditandai dengan meningkatnya
penggunaan dan keakraban dengan komunikasi, media, dan teknologi digital. Dengan
kemajuan teknologi, generasi millennial memiliki sifat kreatif, informatif, bersemangat,
dan produktif.
Penggunaan perangkat ini dapat membuat generasi milenial menjadi individu yang
lebih produktif dan efisien. Mereka dapat melakukan segalanya dengan mengirim pesan
singkat, mengakses situs pendidikan, bertransaksi bisnis online, memesan layanan
transportasi online, dan sebagainya. Oleh karena itu, mereka dapat menciptakan peluang
baru seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih.
Menurut teori ini, para orang yang hijrah hampir mencerminkan karakteristik
generasi milenial di atas. Selain itu, keakraban mereka dengan komunikasi, media, dan
teknologi digital telah menjadi motor dan pada saat yang sama, alat percepatan untuk
penyebaran informasi serta ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan agama di antara
mereka. Mereka juga menggunakan hampir semua alat komunikasi digital, seperti
WhatsApp, Instagram, facebook, line, youtube, dan lainnya sebagai alat komunikasi dan
pertukaran pertukaran informasi dengan sesama orang yang hijrah, serta ustadz mereka.
Satu hal lagi yang perlu dilihat dari para orang yang hijrah adalah sikap mereka
terhadap kelompok lain setelah berhijrah. Ini menjadi penting untuk melihat sejauh mana
pertobatan mereka berdampak sosial atau tidak pada kondisi sosial dan keagamaan secara
umum.
Cendekiawan Agama membagi pandangan agama umat Islam menjadi dua, yaitu
pola-pola pandangan keagamaan eksklusif dan inklusif. Pandangan eksklusif dicirikan:
Pertama, menerapkan pendekatan literal dalam memahami teks-teks Islam, yaitu Alquran
dan Hadis, dan berorientasi pada masa lalu. Karena pandangan ini menekankan arti literal
dari teks, peran ijtihad tidak penting. Kedua, pandangan keselamatan hanya bisa dicapai
melalui Islam. Bagi penganut pandangan ini, Islam adalah agama terakhir yang
kedatangannya memperbaiki agama-agama lain dan karenanya mempertanyakan
kebenaran kitab-kitab suci dan agama-agama selain Islam. Sikap ini diterjemahkan
menjadi penolakan terhadap agama lain dan pengikut mereka. Ketiga, ini menekankan
gagasan bahwa tidak ada pemisahan antara Islam dan negara, dan semua aspek kehidupan
harus tunduk pada prinsip-prinsip Islam. Keempat, orang percaya percaya bahwa ada
persekongkolan antara pemerintah Indonesia dan Kristen untuk melemahkan kekuatan
politik Islam.
Jika dilihat dari teori di atas, kelompok Hijrah, dalam hal pandangan agama,
mendekati kelompok eksklusif. Meski begitu, setidaknya sampai sekarang, kegiatan
keagamaan mereka lebih fokus pada peningkatan agama ke dalam diri mereka sendiri,
yang mereka rasa masih perlu disempurnakan. Aspek lain yang sudah mulai
dikembangkan adalah aspek sosial dan ekonomi, di mana mereka terlibat langsung. Hal
ini dapat dilihat dari pembentukan komunitas sosial, termasuk pembelajaran agama, di
antaranya.
Sulit untuk membedakan antara fakta dan pendapat atau apakah seseorang peduli
apakah suatu argumen itu logis atau tidak. Fenomena Hijrah, jika dilihat dari perspektif
pasca-kebenaran, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh era pasca-kebenaran ini. Ini karena
pelaku Hijrah lebih lunak dalam memilih dan menafsirkan ulama atau ulama sebagai
sumber pembelajaran mereka.
Mereka tidak lagi berasumsi bahwa ulama atau ulama ini harus selalu seseorang
yang telah menguasai pengetahuan agama dan memiliki latar belakang ilmiah dari
lembaga pendidikan agama resmi seperti pondok pesantren atau sekolah Islam atau
universitas. Pada gilirannya, ulama dapat memasukkan angka-angka tanpa latar belakang
pendidikan agama formal; beberapa adalah orang yang baru saja mempelajari Islam atau
berpindah agama.
Dalam konteks pasca-kebenaran, dapat dipahami bahwa mendengarkan orang-
orang yang berasal dari lembaga pendidikan Islam formal bukan lagi satu-satunya sumber
pembelajaran agama yang valid. Di sisi lain, sumber-sumber pembelajaran telah
berkembang dan bergeser ke sumber-sumber yang memiliki koneksi emosional sesuai
dengan keyakinan seseorang. Bahkan dalam beberapa kasus, para sarjana Youtube yang
sesuai dengan selera seseorang lebih disukai daripada para sarjana agama dalam
pengertian konvensional.
L. Kesimpulan