Bab 1
Bab 1
LAPORAN
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Ketrampilan Dasar Kebidanan Semester Dua
Oleh:
Vika Auliyatun Nafiah
P1337424114003
Regular A Semester ll
BAB 1
TINJAUAN TEORI
Nyeri Somatik
Karakteristik Nyeri Viseral
Superfisial Dalam
Tajam,
Tajam, tumpul, Tajam, tumpul,
Kualitas menusuk,
nyeri terus nyeri terus dan
membakar kejang
Menjalar Tidak Tidak Ya
Torehan, abrasi Panas, iskemia Distensi, iskemia,
3. Stimulus Nyeri
Seseorang dapat menoleransi, menahan nyeri (pain tolerance), atau dapat
mengenali jumlah stimulus nyeri sebelum merasakan nyeri (pain
threshold). Terdapat beberapa jenis stimulus nyeri, diantaranya:
a. Trauma pada jaringan tubuh, misalnya karena bedah, akibat terjadinya
kerusakan jarinagn dan iritasi secara langsung pada reseptor.
b. Gangguan pada jarinagn tubuh, misalnya karena edema, akibat
terjadinya penekanan pada reseptor nyeri.
c. Tumor, dapat juga menekan pada reseptor nyeri.
d. Iskemia pada jaringan, misalnya terjadi blokadc pada arteri koronaria
yang menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpuknya asam laktat
e. Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik.
4. Teori Nyeri
Terdapat beberapa teori tentang terjadinya rangsangan nyeri, diantaranya:
a. Teori pemisahan (specifity theory), menurut teori ini rangsangan sakit
masuk ke medula spinalis (spinal cord) melalui kornu dorsalis yang
bersinaps di daerah posterior. Kemudian naik ke tractus lissur dan
menyilang di garis median ke sisi lainnya dan berakhir di korteks
sensoris tempat rangsangan nyeri tersebut diteruskan.
b. Teori pola (pattern theory), rangsangan nyeri masuk melalui akar
ganglion dorsal ke medula spinalis dan merangsang aktivitas sel T.
Hal ini mengakibatkan suatu respons yang merangsang ke bagian
yang lebih tinggi, yaitu korteks serebri serta kontraksi menimbulkan
persepsi dan otot berkontraksi sehingga menimbulkan nyeri. Persepsi
dipengaruhi oleh modalitas respon dari reaksi sel T.
c. Teori pengendalian gerbang (gate control theory), menurut teori ini,
nyeri tergantung dari kerja syaraf besar dan kecil. Keduanya berada
dalam akar ganglon dorsalis. Rangsangan pada serat besar akan
meningkatkan aktivitas substansia gelatinosa yang mengakibatkan
tertutupnya pintu mekanisme sehingga aktivitas sel T terhambat dan
menyebabkan hantaran rangsangan terhambat. Rangsangan serat besar
dan langsung merangsang ke koeteks serebri. Hasil persepsi ini akan
dikembalikanke dalam medulla spinalis melalui serat eferen dan
reaksinya memengaruhi aktivitas sel T. Rangsangan pada serta kecil
akan menghambat aktivitas substansia gelatinosa dan membuka pintu
mekanisme, sehingga merangsang aktivitas sel T yang selanjutnya
akan menghantarkan rangsangan nyeri.
d. Teori transmisi dan inhibisi, adanya stimulus pada nociceptor
memulai transmisi impuls-impuls syaraf, sehingga transmisi impuls
nyeri menjadi efektif oleh neurotransmitter yang spesifik. Kemudian,
inhibisi impuls nyeri menjadi efektif oleh impuls-impuls pada serabut-
serabut besar yang memblok impuls-inpuls pada pada selaput lamban
dan endogen opiate sistem supresif.
Pengkajian nyeri PQRST :
P : precipitate/ pencetus (faktor yang mempengaruhi gawat/ tidaknya
dan berat/ ringannya nyeri)
Q : quality/ kualitas (nyeri tajam, tumpul, terbakar).
R : region/ daerah (area dan penjalaran/ perjalanan nyeri)
S : severity / keparahan atau intensitas (diukur dengan skala nyeri :
Ukuran skala nyeri 0-10
Skala Keterangan
0 Tidak nyeri
1 Seperti gatal, tersetrum/ nyut-nyut
2 Seperti melilit atau terpukul
3 Seperti perih
4 Seperti keram
5 Seperti tertekan atau tergesek
6 Seperti terbakar atau ditusuk-tusuk
7-9 Sangat nyeri tetapi dapat dikontrol oleh
klien dengan aktivitas yang biasa
dilakukan.
10 Sangat nyeri dan tidak dapat dikontrol
oleh klien.
keterangan 1–3 (Nyeri ringan)
4–6 (Nyeri sedang)
7–9 (Nyeri berat)
10 (Sangat nyeri)
T : time/ durasi atau lama waktu serangan dan frekuensi nyeri
5. Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Pengalaman nyeri pada seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal,
diantaranya adalah:
a. Arti nyeri
Arti nyeri bagi seseorang memiliki banyak perbedaan dan hampir
sebagian arti nyeri merupakan arti yang negatif, seperti
membahayakan, merusak, dan lain-lain. Keadaan ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti usia, jenis kelamin, latar belakang sosial
kultural, lingkungan, dan pengalaman.
b. Persepsi nyeri
Persepsi nyeri merupakan penilaian sanagt subyektif tempatnya pada
korteks (pada fungsi evaluatif kognitif). Persepsi ini dipengaruhi oleh
faktor yang dapat memicu stimulasi nociceptor.
c. Toleransi nyeri
Toleransi ini erat hubungannya dengan adanya intensitas nyeri yang
dapat memengaruhi seseorang menahan nyeri. Faktor yang dapat
memengaruhiseseorang menahan nyeri. Faktor yang dapat
memengaruhi peningkatan toleransi nyeri antara lain alkohol, obat-
obatan, hipnosis, geekan atau garukan, pengalihan perhatian,
kepercayaan yang kuat dan sebagainya. Sedangkan faktor yang
menurunkan toleransi antara lain kelelahan, rasa marah, bosan, cemas,
nyeri yang tidak kunjung hialng, sakit, dan lain-lain.
d. Reaksi terhadap nyeri
Reaksi terhadap nyeri merupakan bentuk respons seseorang terhadap
nyeri, seperti ketakutan, gelisah, cemas, menangis, dan menjerit.
Semua ini merupakan bentuk respons nyeri yang dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor, seperti: arti nyeri, tingkat persepsi nyeri,
pengalaman masa lalu, nilai budaya, harapan sosial, kesehatan fisik
dan mental, takut, cemas, usia dan lain-lain.
6. Intervensi
Penanganan nyeri pada pembedahan yang efektif harus mengetahui
patofisiologi dan pain pathway sehingga penanganan nyeri dapat dilakukan
dengan cara farmakoterapi (multimodal analgesia) dan non farmakoterapi
(fisioterapi, psikoterapi).
a. Penanganan nyeri dengan cara farmakologi
1) Analgesik
Beberapa jenis analgesik, yaitu:
a) Non-Narkotik
NSAID non-narkotik umumnya menghilangkan nyeri ringan dan
nyeri sedang, seperti nyeri yang terkait dengan artritis reumatoid,
prosedur pengobatan gigi dan prosedur bedah minor, episiotomi,
dan masalah pada punggung bagian bawah. Satu pengecualian
yaitu ketorolak (Toradol), merupakan agens analgesik utama yang
diinjeksikan yang kemanjurannya dapat di bandingkan dengan
morfin.
b) Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID)
Terapi pada nyeri pascaoperasi ringan sampai sedang harus
dimulai dengan menggunakan NSAID, kecuali kontradiksi.
Walaupun mekalisme kerja NSAID tidak diketahui, NSAID
diyakini bekerja menghambat sintesis prostaglandin, dan
menghambat respon selular selama inflamasi. Kebanyakan
NSAID bekerja pada reseptor syaraf perifer untuk mengurangi
transmisi dan resepsi stimulus nyeri. Berikut obat-obat NSAID :
(1) Ibuprofen : Dismenore
(2) Naproksen : Nyeri kepala vaskular
(3) Indometasin : Artritis reumatoid
(4) Tolmetin : Cedera atletik jaringan lunak
(5) Piroksikam : Gout
(6) Ketorolak : Nyeri pasca operasi dan nyeri traumatik
berat
c) Analgesik narkotik atau opiat
Analgesik opiat atau narkotik umumnya diresepkan untuk nyeri
yang sedang sampai berat, seperti nyeri pasca operasi dan nyeri
maligne. Ini bekerja pada sistem saraf pusat untuk menghasilkan
kombinasi efek yang mendepresi dan menstimulasi.
Analgesik narkotika, apabila diberikan secara oral atau injeksi,
bekerja pada pusat otak yang paling tinggi dan medulla spinalis
melalui ikatan dan reseptor opiat untuk memodifikasi persepsi
nyeri dan reaksi terhadap nyeri. Morfin sulfat merupakan derivat
opium dan memiliki karakteristik efek analgesik sebagai berikut:
(1) Meningkatkan ambang nyeri, sehingga menurunkan presepsi
nyeri.
(2) Mengurangi kecemasan dan ketakutan, yang merupakan
komponen reaksi terhadap nyeri.
(3) Menyebabkan orang tertidur walaupun sedang mengalami
nyeri berat.
Bahaya morfin sulfat dan analgesik narkotik adalah berpotensi
mendepresi fungsi sistem saraf dan vital. Opiat menyebabkan
depresi pernapasan melalui depresi pusat pernapasan di dalam
batang otak. Klien juga mengalami efek samping, seperti mual,
muntah, konstipasi, dan perubahan proses mental.
d) Adjuvan
Adjuvan, seperti sedatif, anticemas, dan relaksan otot
meningkatkan kontrol nyeri atau menghilangkan gejala lain selain
nyeri yang terkait dengan nyeri, seperti depresi dan mual. Agens
tersebut diberikan dalam bentuk tunggal atau disertai analgesik.
Sedatif seringkali di resepkan untuk penderita nyeri kronik. Obat-
obaatan ini seringkali menimbulkan rasa kantuk dan kerusakaan
koordinasi, keputusan dan kewaspadaan mental.
b. Penanganan nyeri dengan cara non-farmakoterapi
1) Relaksasi
Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan
merelaksasikan ketegangan otot yang mendukung rasa nyeri. Teknik
relaksasi mungkin perlu di ajarkan beberapa kali agar mencapai hasil
yang optimal. Pasien yang telah mengetahui teknik ini mungkin
hanya perlu di instruksikan menggunakan teknik relaksasi untuk
menurunkan atau mencegah meningkatnya nyeri.
Tindakan relaksasi dapat dipandang sebagai upaya pembebasan
mental dan fisik dari tekanan dan stress. Dengan relaksasi, klien
dapat mengubah persepsi terhadap nyeri.
Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen
dengan frekuensi lambat, dan berirama. Pasien dapat memejamkan
matanya dan bernapas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang
konstan dapat dipertahankan dengan cara menghitung lambat dalam
hati saat bersamaan dengan inhalasi (hirup, dua, tiga) dan ekhalasi
(hembuskan, dua, tiga). Pada saat perawat mengajarkan teknik ini,
akan sangat membantu jika menghitung dengan keras bersama-sama
klien pada awalnya. Apabila pernapasan yang teratur telah tercapai,
perintahkan klien untuk perlahan-lahan merelaksasikan otot-otot
pada leher, tangan, dada, paha, dan kaki.
2) Guided Imagery Relaxtion
Latihan guided imagery relaxtion merupakan intervensi perilaku
untuk mengatasi kecemasan, stress dan nyeri (Yung et al, 2001).
Guided imagery relaxation dapat mengurangi tekanan dan
berpengaruh terhadap proses fisiologi seperti menurunkan tekanan
darah, nadi dan respirasi dan meningkatkan suhu tubuh. Hal itu
karena guided imagery relaxtion dapat mengaktivasi sistem saraf
parasimpatis (Ackerman dan turkoski, 200, Tusek and Cwynar,
2000). Tujuan dari guided imagery relaxtion adalah mengalihkan
perhatian dari stimulus nyeri atau kecemasan kepada hal – hal yang
menyenangkan dan relaksasi.
3) Massage
Pijat adalah manipulasi lapisan dangkal dan lebih dalam dari otot
dan jaringan ikat untuk meningkatkan fungsi, membantu dalam
proses penyembuhan, dan mempromosikan relaksasi dan
kesejahteraan. Pijat melibatkan bertindak dan memanipulasi tubuh
dengan tekanan-terstruktur, tidak terstruktur, stasioner, atau
bergerak-ketegangan, gerak, atau getaran, dilakukan secara manual
atau dengan alat bantu mekanis. Jaringan target mungkin termasuk
otot , tendon, ligamen, fasia, kulit, sendi, atau jaringan ikat, serta
limfatik kapal, atau organ dari sistem pencernaan. Pijat dapat
diterapkan dengan tangan, jari, siku, lutut, lengan, dan kaki .
4) Distraksi
Distraksi adalah pengalihan dari focus perhatian terhadap nyeri ke
stimulus yang lain. Teknik distraksi dapat mengatasi nyeri
berdasarkan teori bahwa aktifasi retikuler menghambat stimulus
nyeri, jika seseorang menerima input sensori yang berlebihan dapat
menyebabkan terhambatnya infuls nyeri ke otak (nyeri berkurang
atau tidak dirasakan oleh klien). Stimulus yang menyenangkan dari
luar juga dapat menyerang sekresi endorphin, sehingga stimulus
nyeri yang dirasakan klien menjadi berkurang. Oleh karena itu,
stimulus penglihatan, pendengaran, dan sentuhan mungkin akan
lebih efektif dalam menurunkan nyeri di banding stimulasi satu
indera saja.
7. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan, proses yang continue
yang penting untuk menjamin kualitas dan ketetapan perawatan yang
diberikan dan dilakukan dengan meninjau respon pasien untuk
menentukan keaktifan rencana perawatan dan memenuhi kebutuhan pasien.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien sudah tidak
merasakan demam, tidak merasakan nyeri, merasa lebih baik serta merasa
nyaman dengan kondisinya.
DAFTAR PUSTAKA
Noer, Sjaifoellah. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1 Edisi Ketiga.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Uliyah, Musrifatul dan A. Aziz Alimul Hidayat. 2006. Keterampilan Dasar
Praktik Klinik Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
Unniversitas Muhammadiyah Surakarta. Tanpa tahun. Jurnal “BABII”. (6-18).
[Online]. Tersedia:http://jtptunimus-gdl-nafikalist-5139-2-babii.pdf. [06 Juni
2015].
Waspadji, S., dkk.. 2002. Pedoman Diet Diabetes Mellitus. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.