Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PEMENUHAN KEBUTUHAN RASA NYAMAN

PADA Tn. M DENGAN THYPOID DAN DIABETES


MELLITUS DI RUANG DAHLIA RSUD UNGARAN

LAPORAN
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Ketrampilan Dasar Kebidanan Semester Dua

Oleh:
Vika Auliyatun Nafiah
P1337424114003
Regular A Semester ll

PRODI DIPLOMA III KEBIDANAN SEMARANG


JURUSAN KEBIDANAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN
SEMARANG
2015
LAPORAN PEMENUHAN KEBUTUHAN RASA NYAMAN PADA Tn. M
DENGAN THYPOID DAN DIABETES MELLITUS DI RUANG DAHLIA
RSUD UNGARAN

BAB 1
TINJAUAN TEORI

A. Tinjauan Teori dari Penyakit Klien


1. Tyhpoid
a. Pengertian
Demam thypoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai
saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 1 minggu,
gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran (Mansjoer, 2000).
Demam thypoid dan demam parathypoid adalah infeksi
akut usus halus (Juwono, 1996).
Demam thypoid adalah infeksi demam sistemik akut yang
nyata pada monuclear dan membutuhkan tatanama yang terpisah
(smeltzer, 2001).
Berdasarkan berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan
bahwa thypoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh
kuman salmonela typhosa ditandai dengan deman satu minggu.
b. Penyebab
Penyebab demam thypoid adalah salmonella thyposa, hasil gram
negatif, bergerak dengan rambut getar, tidak berspora, mempunyai
sekurang-kurangnya empat macam antigen yaitu antigen O (somatic),
H (flagella), Vi, dan protein membran hialin (Mansjoer, Arief, 2000).
Menurut Sarwono (1996) penyebab thypoid tidak bergantung pada
iklim, tetapi banyak di jumlah di negara yang beriklim tropis. Hal ini
disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan
kebersihan individu dan lingkungan.
c. Patofisiologi
Kuman salmonella thyposa masuk melalui mulut, setelah melewati
aliran selanjutnya akan ke dinding usus halus melalui aliran limfa ke
kelenjar mesentrium mengadakan multipikasi (bakteremia). Biasanya
pasien belum tampak adanya gejala klinik (asimtomatik) seperti mual,
muntah, tak enak badan, nafsu makan menurun, pusing karena segera
diserbu oleh sel sistem retikulo endotetial. Tetapi kuman masih hidup,
selanjutnya melalui duktus toraksitus masuk ke dalam peredaran darah
mengalami bakteremia sehingga tubuh merangsang untuk
mengeluarkan sel pirogen akibatnya terjadi lekositopenia.
Sel pirogen inilah yang mempengaruhi pusat termoregulasi di
hipotalamus sehingga timbul gejala demam dan apabila demam tinggi
tidak segera diatasi maka dapat terjadi gangguan kesadaran dalam
berbagai tingkat. Setelah dari peredaran darah, kuman menuju ke
organ-organ tersebut (hati, limpa, empedu), sehingga timbul
peradangan yang menyebabkan membesarnya organ tersebut dan
nyeri tekan, terutama pada folikel limfosial dan apabila kuman
tersebut dihancurkan oleh sel-sel tersebut maka penyakit berangsur-
angsur mengalami perbaikan dan apabila tidak dihancurkan akan
menyebar ke seluruh organ sehingga timbul komplikasi dapat
memperburuk kondisi pasien (Rahmat Juwono, 1996).
d. Manifestasi Klinik
Gejala dapat timbul secara tiba-tiba/ berangsur-angsur yaitu antara 10-
14 hari. Mulainya samar-samar bersama nyeri kepala, malaise,
anoreksia, dan demam, rasa tidak enak diperut dan nyeri diseluruh
badan. Minggu pertama keluhan dan gejala serupa dengan penyakit
infeksi akut pada umumnya yaitu: demam, nyeri kepala, pusing, nyeri
otot, anoreksia, mual, muntah, konstipasi/ diare, perasaan tidak enak
pada perut, batuk dan epistaksis.
Pada minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas yaitu: demam,
bradikardi relatif, lidah yang khas (kotor ditengah, tepi dan ujung
merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali, metorismus,
gangguan mental (Sarwono 1996).
e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan thypoid terdiri dari 3 bagian yaitu:
1) Perawatan
Penderita thypoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi,
observasi dan pengobatan. Penderita harus tirah baring absolut
sampai minimal 7 hari. Besar demam/ kurang lebih selama 14 hari.
Maksud tirah baring adalah untuk mencegah komplikasi
perdarahan/ perforasi usus. Penderita dengan kesadaran menurun,
posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu tertentu untuk
menghindari komplikasi pneumonia hipostaltik dan dekubitus.
2) Diet
Dimasa lalu penderita tifoid diberi ubur saring, kemudian bubur
kasar dan akhirnya nasi sesuai tingkat kesembuhan penderita.
Pemberian bubur saring ini dimaksudkan untuk menghindari
komplikasi usus, karena ada pendapat bahwa ulkus-ulkus perlu
diistirahatkan. Banyak penderita tidak menyukai bubur saring
karena tidak sesuai dengan selera mereka. Karena mereka hanya
makan sedikit dan ini berakibat keadaan umum dan gizi penderita
semakin mundur dan masa penyembuhan menjadi lama.
Makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah
selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan
dengan aman pada penderita tifoid.
3) Obat
a) Obat-obat mikroba yang sering digunakan adalah
kloramfenikol, tiamfenikol, ko-trimoksazol, ampicilin dan
amoksilin, sefalosforin generasi ketiga (sefiperazon,
seftriakson dan cefotaksin), flourokinolon,
b) Obat-obat simtomatik:
Antipiretika dan kortikosteroid
f. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dari demam thypoid menurut Rahmat
Juwono (1996) adalah:
1) Komplikasi pada usus halus: perdarahan usus, perforasi usus, dan
peritonitis
2) Komplikasi diluar usus halus: bronkhitis dan bronkopneumoni,
kolestisitis, thypoid ensefalopati, meningitis, miokarditis, karer
kronik.
2. Diabetes Mellitus
a. Pengertian
Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit kronik yang kompleks yang
melibatkan kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak serta
berkembangnya komplikasi mikrovaskuler dan neurologist (Carpenito,
2004).
Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti mengalirkan atau
mengalihkan (siphon). Melitus berasal dari bahasa latin yang
bermakna manis/ madu. Penyakit diabetes melitus dapat diartikan
individu yang mengalirkan volume urine yang banyak dengan kadar
glukosa tinngi.
Diabetes melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai
dengan ketidakadaan absolute insulin atau penurunan relative
insenstivitas sel terhadap insulin (Brudenell, 1994).
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa, diabetes militus
(DM) atau yang sering dikenal dengan kencing manis adalah kondisi
dimana tubuh sering mengalami gangguan dalam mengendalikan
kadar glukosa darah.
b. Penyebab
Menurut Sjaifoellah (2005), penyebab diabetes melitus adalah sebagai
berikut:
1) Faktor Keturunan
Karena adanya kelaianan fungsi/ jumlah sel-sel betha pancreas
yang bersifat genetic dan diturunkan secara autosom dominan
sehingga mempengaruhi sel betha serta mengubah kemampuannya
dalam mengenali dan menyebarkan rangsang yang merupakan
bagian dari sintesis insulin.
2) Fungsi sel pankreas dan sekresi insulin berkurang
Jumlah glukosa yang diambil dan dilepaskan oleh hati dan yang
digunakan oleh jaringan perifer tergantung keseimbangan fisiologis
beberapa hormon. Hormon yang menurukan glukosa darah yaitu
insulin yang dibentuk sel betha pulau pankreas.
3) Kegemukan/ obesitas
Terjadi karena hipertensi sel betha pankreas dan hiper insulinemia
dan intoleransi glukosa kemudian berakhir dengan kegemukan
dengan diabete melitus dan insulin isufisensi relative.
4) Perubahan pada usia lanjut dengan resistensi insulin
Pada usia lanjut terjadi penurunan maupun kemampuan insulin
terutama pada post reseptor.
c. Tanda dan Gejala
Menurut Waspadji (2002), tanda dan gejala dari diabetes melitus
adalah sebagai berikut :
1) Rasa Haus
Rasa haus sering dialami penderita diabetes mellitus, namun sering
pula disalahtafsirkan oleh penderita. Rasa haus yang dirasa sering
dianggap akibat udara yang panas atau beban kerja yang berat.
Untuk menghilangkan rasa haus yang ada, kebanyakan penderita
justru meminum minuman berkadar gula tinggi. Dengan demikian,
kadar gula darah menjadi makin tinggi dan diuresis semakin gencar
serta menambah kehilangan air dan elektrolit yang membuat
penderita semakin haus dan semakin lemas.
2) Rasa Nyeri dan Kejang-Kejang Kaki
Nyeri pada kaki dapat terjadi karena infeksi kepala zakar (balanitis)
pada laki-laki dan peradangan pukas dan dubur atas dasar pruritus
vulvae et ani pada perempuan. Neuropati perifer juga menyebabkan
sakit terutama pada kaki di malam hari yang akan mengganggu
tidur.
Kejang-kejang otot kaki dapat berlangsung karena dehidrasi
dan kehilangan elektrolit. Gejala lain yang dialami antara lain
kesemutan, kulit terasa panas atau seperti di tusuk jarum, rasa tebal
di kulit, kram.
3) Banyak kencing (poliuria)
Poliuria adalah kencing yang sering dan dalam volume besar. Hal
ini akan mengganggu penderita terutama pada malam hari.
Pemeriksaan air kencing terhadap glukosuria dan pemeriksaan
kadar glukosa darah akan memberi petunjuk diagnosa secara pasti.
4) Mudah lelah dan sering mengantuk
Gangguan proses masuknya glukosa ke dalam sel-sel tubuh
menyebabkan sel-sel tubuh tidak mampu memenuhi kebutuhan
akan glukosa yang menjadi bahan bakar untuk menghasilkan energi.
Hal ini menyebabkan tubuh akan terasa lemas dan mudah lelah.
d. Mekanisme Penyakit
Mekanisme timbulnya penyakit kencing manis atau diabetes melitus
adalah sebagai berikut; Pada kondisi normal, glukosa dalam tubuh
yang berasal dari makanan, diserap kedalam aliran darah dan bergerak
ke sel-sel di dalam tubuh. Glukosa tersebut kemudian dimanfaatkan
sebagai energi. Pengubahan glukosa dalam darah menjadi energi
dilakukan oleh hormon insulin yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas.
Hormon insulin juga berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam
darah. Secara normal, glukosa akan masuk ke sel-sel dan
kelebihannya dibersihkan dari darah dalam waktu 2 jam.
Namun apabila insulin yang tersedia jumlahnya terbatas dan
atau tidak bekerja normal, maka se-sel di dalam tubuh tidak terbuka
dan glukosa akan terkumpul dalam darah. Kadar glukosa dala darah
diatas 10 mmol per liter merupakan kondisi diatas ambang serap
ginjal. Apabila kadar glukosa dalam darah berlebihan, maka sebagian
glukosa kemudian dibuang bersama urin. Peristiwa terbuangnya
glukosa bersama-sama urin tersebut dikenal dengan istilah kencing
manis.
e. Diagnosis
Diabetes melitus melalui tiga cara:
1) Gejala klasik DM + gula darah sewaktu/ acak ≥ 200 mg/dl (11,1
mmol/L).
Tanda-tanda klasik DM : polifagi (banyak makan), polidipsi
(banyak minum), poliuria (banyak kencing), penurunan berat badan.
Gula darah sewaktu adalah hasil pemeriksaan gula darah sesaat
pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
2) Gejala klasik DM + gula darah puasa ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/L).
Gula darah puasa adalah pasien tidak mendapat kalori tambahan
sedikitnya 8 jam (pasien dipuasakan selama kurang lebih 8 jam,
tapi masih bisa minum air putih).
3) Kadar gula 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥
200 mg/dl (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standart
WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gr
glukosaanhidrus yang dilarutkan kedalam air.

B. Tinjauan Teori Prioritas Kebutuhan Dasar Klien


1. Pengertian Kebutuhan Rasa Nyaman
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan,
bersifat sangat subyektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang
dalam hal skala atau tingkatannya, dan hanya pada orang tersebutlah yang
dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya. Berikut
adalah pendapat beberapa ahli mengenai pengertian nyeri:
a. Mc. Coffery (1979), mendefinisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang
mempengaruhi seseorang yang keberadaannya diketahui hanya jika
orang tersebut pernah mengalaminya.
b. Wolf Weifsel Feurst (1974), mengatakan nyeri merupakan suatu
perasaan menderita secara fisik dan mental atau perasaan yang bisa
menimbulkan ketegangan.
c. Artun C Curton (1983), mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu
mekanisme bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang dirusak, dan
menyebabkan individutersebut bereaksi untuk menghilangkan
rangsangan nyeri.
d. Scrumun, mengartikan nyeri sebagai suatu keadaan yang tidak
menyenangkan akibat terjadinya rangsangan fisik maupun dari serabut
saraf dalam tubuh ke otak dan diikuti oleh reaksi fisik, fisiologis
maupun emosional.
Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia)
atau pasca pembedahan harus dilakukan penanganan nyeri yang
sempurna karena dampak dari nyeri itu sendiri akan menimbulkan
respon stres metabolik (MSR) yang akan mempengaruhi semua sistem
tubuh dan memperberat kondisi pasien.
2. Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua macam yakni nyeri akut
dan nyeri kronik. Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara
mendadak dan cepat menghilang tidak melebihi 6 bulan dan ditandai
adanya penigkatan tegangan otot. Nyeri kronik merupakan nyeri yang
timbul secara perlahan-lahan, biasanya berlangsung dalam waktu yang
cukup lama, yaitu lebih dari 6 bulan. Yang termasuk dalam kategori nyeri
kronik adalah nyeri terminal, sindrom nyeri kronik, dan nyeri
psikosomatik.
Ditinjau dari sifat terjadinya, nyeri dapat dibagi kedalam beberapa
kategori antara nyeri tertusuk dan nyeri terbakar.

Perbedaan nyeri akut dan kronik

Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronik

Pengalaman Suatu kejadian Suatu situasi, status eksistensi

Sebab eksternal atau Tidak diketahui atau pengobatan


Sumber
penyakit dari dalam yang terlalu lama
Serangan Mendadak Bisa mendadak, berkembang dan
terselubung

Waktu Sampai 6 bulan Lebih dari 6 bulan sampai


bertahun-tahun

Pernyataan Daerah nyeri tidak Daerah nyeri sulit dibedakan

nyeri diketahui dengan pasti antara intensitas sehingga sulit


dievaluasi (perubahan perasaan)

Pola respons yang khas


Gejala-gejala Pola respons yang bervariasi
dengan gejala yang
klinis sedikit gejala-gejala adaptasi
lebih jelas

Pola Terbatas Berlangsung terus dapat


bervariasi
Biasanya berkurang Penderitaan meningkat setelah
Perjalanan
setelah beberapa saat beberapa saat

Selain klasifikasi diatas, terdapat jenis nyeri yang spesifik


diantaranya adalah nyeri somatik, nyeri viseral, nyeri menjalar (referent
paint), nyeri psikogenik, nyeri phantom dari ekstremitas, nyeri neurologis
dan lain-lain.
Nyeri somatis dan nyeri viseral ini umumnya bersumber dari kulit
dan jaringan di bawah kulit (superfisial) pada otot dan tulang.

Perbedaan nyeri somatik dan viseral

Nyeri Somatik
Karakteristik Nyeri Viseral
Superfisial Dalam

Tajam,
Tajam, tumpul, Tajam, tumpul,
Kualitas menusuk,
nyeri terus nyeri terus dan
membakar kejang
Menjalar Tidak Tidak Ya
Torehan, abrasi Panas, iskemia Distensi, iskemia,

Stimulasi terlalu panas dan pergeseran spasmus, iritas

dingin tempat kimiawi (tidak ada


torehan)
Reaksi
Tidak Ya Ya
autonom
Refleks Tidak Ya Ya
Nyeri menjalar adalah nyeri yang terasa pada bagian tubuh yang
lain, umumnya terjadi akibat kerusakan pada cedera organ visceral. Nyeri
psikogenik adalah nyeri yang tidak diketahui secara fisik biasanya timbul
akibat psikologis. Nyeri phantom adalah nyeri yang disebabkan karena
salah satu ekstremitas diamputasi. Nyeri neurologis adalah bentuk nyeri
yang tajam karena adanya spasme sepanjang atau di beberapa jalur saraf.

3. Stimulus Nyeri
Seseorang dapat menoleransi, menahan nyeri (pain tolerance), atau dapat
mengenali jumlah stimulus nyeri sebelum merasakan nyeri (pain
threshold). Terdapat beberapa jenis stimulus nyeri, diantaranya:
a. Trauma pada jaringan tubuh, misalnya karena bedah, akibat terjadinya
kerusakan jarinagn dan iritasi secara langsung pada reseptor.
b. Gangguan pada jarinagn tubuh, misalnya karena edema, akibat
terjadinya penekanan pada reseptor nyeri.
c. Tumor, dapat juga menekan pada reseptor nyeri.
d. Iskemia pada jaringan, misalnya terjadi blokadc pada arteri koronaria
yang menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpuknya asam laktat
e. Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik.
4. Teori Nyeri
Terdapat beberapa teori tentang terjadinya rangsangan nyeri, diantaranya:
a. Teori pemisahan (specifity theory), menurut teori ini rangsangan sakit
masuk ke medula spinalis (spinal cord) melalui kornu dorsalis yang
bersinaps di daerah posterior. Kemudian naik ke tractus lissur dan
menyilang di garis median ke sisi lainnya dan berakhir di korteks
sensoris tempat rangsangan nyeri tersebut diteruskan.
b. Teori pola (pattern theory), rangsangan nyeri masuk melalui akar
ganglion dorsal ke medula spinalis dan merangsang aktivitas sel T.
Hal ini mengakibatkan suatu respons yang merangsang ke bagian
yang lebih tinggi, yaitu korteks serebri serta kontraksi menimbulkan
persepsi dan otot berkontraksi sehingga menimbulkan nyeri. Persepsi
dipengaruhi oleh modalitas respon dari reaksi sel T.
c. Teori pengendalian gerbang (gate control theory), menurut teori ini,
nyeri tergantung dari kerja syaraf besar dan kecil. Keduanya berada
dalam akar ganglon dorsalis. Rangsangan pada serat besar akan
meningkatkan aktivitas substansia gelatinosa yang mengakibatkan
tertutupnya pintu mekanisme sehingga aktivitas sel T terhambat dan
menyebabkan hantaran rangsangan terhambat. Rangsangan serat besar
dan langsung merangsang ke koeteks serebri. Hasil persepsi ini akan
dikembalikanke dalam medulla spinalis melalui serat eferen dan
reaksinya memengaruhi aktivitas sel T. Rangsangan pada serta kecil
akan menghambat aktivitas substansia gelatinosa dan membuka pintu
mekanisme, sehingga merangsang aktivitas sel T yang selanjutnya
akan menghantarkan rangsangan nyeri.
d. Teori transmisi dan inhibisi, adanya stimulus pada nociceptor
memulai transmisi impuls-impuls syaraf, sehingga transmisi impuls
nyeri menjadi efektif oleh neurotransmitter yang spesifik. Kemudian,
inhibisi impuls nyeri menjadi efektif oleh impuls-impuls pada serabut-
serabut besar yang memblok impuls-inpuls pada pada selaput lamban
dan endogen opiate sistem supresif.
Pengkajian nyeri PQRST :
P : precipitate/ pencetus (faktor yang mempengaruhi gawat/ tidaknya
dan berat/ ringannya nyeri)
Q : quality/ kualitas (nyeri tajam, tumpul, terbakar).
R : region/ daerah (area dan penjalaran/ perjalanan nyeri)
S : severity / keparahan atau intensitas (diukur dengan skala nyeri :
Ukuran skala nyeri 0-10

Skala Keterangan
0 Tidak nyeri
1 Seperti gatal, tersetrum/ nyut-nyut
2 Seperti melilit atau terpukul
3 Seperti perih
4 Seperti keram
5 Seperti tertekan atau tergesek
6 Seperti terbakar atau ditusuk-tusuk
7-9 Sangat nyeri tetapi dapat dikontrol oleh
klien dengan aktivitas yang biasa
dilakukan.
10 Sangat nyeri dan tidak dapat dikontrol
oleh klien.
keterangan 1–3 (Nyeri ringan)
4–6 (Nyeri sedang)
7–9 (Nyeri berat)
10 (Sangat nyeri)
T : time/ durasi atau lama waktu serangan dan frekuensi nyeri
5. Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Pengalaman nyeri pada seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal,
diantaranya adalah:
a. Arti nyeri
Arti nyeri bagi seseorang memiliki banyak perbedaan dan hampir
sebagian arti nyeri merupakan arti yang negatif, seperti
membahayakan, merusak, dan lain-lain. Keadaan ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti usia, jenis kelamin, latar belakang sosial
kultural, lingkungan, dan pengalaman.
b. Persepsi nyeri
Persepsi nyeri merupakan penilaian sanagt subyektif tempatnya pada
korteks (pada fungsi evaluatif kognitif). Persepsi ini dipengaruhi oleh
faktor yang dapat memicu stimulasi nociceptor.
c. Toleransi nyeri
Toleransi ini erat hubungannya dengan adanya intensitas nyeri yang
dapat memengaruhi seseorang menahan nyeri. Faktor yang dapat
memengaruhiseseorang menahan nyeri. Faktor yang dapat
memengaruhi peningkatan toleransi nyeri antara lain alkohol, obat-
obatan, hipnosis, geekan atau garukan, pengalihan perhatian,
kepercayaan yang kuat dan sebagainya. Sedangkan faktor yang
menurunkan toleransi antara lain kelelahan, rasa marah, bosan, cemas,
nyeri yang tidak kunjung hialng, sakit, dan lain-lain.
d. Reaksi terhadap nyeri
Reaksi terhadap nyeri merupakan bentuk respons seseorang terhadap
nyeri, seperti ketakutan, gelisah, cemas, menangis, dan menjerit.
Semua ini merupakan bentuk respons nyeri yang dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor, seperti: arti nyeri, tingkat persepsi nyeri,
pengalaman masa lalu, nilai budaya, harapan sosial, kesehatan fisik
dan mental, takut, cemas, usia dan lain-lain.
6. Intervensi
Penanganan nyeri pada pembedahan yang efektif harus mengetahui
patofisiologi dan pain pathway sehingga penanganan nyeri dapat dilakukan
dengan cara farmakoterapi (multimodal analgesia) dan non farmakoterapi
(fisioterapi, psikoterapi).
a. Penanganan nyeri dengan cara farmakologi
1) Analgesik
Beberapa jenis analgesik, yaitu:
a) Non-Narkotik
NSAID non-narkotik umumnya menghilangkan nyeri ringan dan
nyeri sedang, seperti nyeri yang terkait dengan artritis reumatoid,
prosedur pengobatan gigi dan prosedur bedah minor, episiotomi,
dan masalah pada punggung bagian bawah. Satu pengecualian
yaitu ketorolak (Toradol), merupakan agens analgesik utama yang
diinjeksikan yang kemanjurannya dapat di bandingkan dengan
morfin.
b) Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID)
Terapi pada nyeri pascaoperasi ringan sampai sedang harus
dimulai dengan menggunakan NSAID, kecuali kontradiksi.
Walaupun mekalisme kerja NSAID tidak diketahui, NSAID
diyakini bekerja menghambat sintesis prostaglandin, dan
menghambat respon selular selama inflamasi. Kebanyakan
NSAID bekerja pada reseptor syaraf perifer untuk mengurangi
transmisi dan resepsi stimulus nyeri. Berikut obat-obat NSAID :
(1) Ibuprofen : Dismenore
(2) Naproksen : Nyeri kepala vaskular
(3) Indometasin : Artritis reumatoid
(4) Tolmetin : Cedera atletik jaringan lunak
(5) Piroksikam : Gout
(6) Ketorolak : Nyeri pasca operasi dan nyeri traumatik
berat
c) Analgesik narkotik atau opiat
Analgesik opiat atau narkotik umumnya diresepkan untuk nyeri
yang sedang sampai berat, seperti nyeri pasca operasi dan nyeri
maligne. Ini bekerja pada sistem saraf pusat untuk menghasilkan
kombinasi efek yang mendepresi dan menstimulasi.
Analgesik narkotika, apabila diberikan secara oral atau injeksi,
bekerja pada pusat otak yang paling tinggi dan medulla spinalis
melalui ikatan dan reseptor opiat untuk memodifikasi persepsi
nyeri dan reaksi terhadap nyeri. Morfin sulfat merupakan derivat
opium dan memiliki karakteristik efek analgesik sebagai berikut:
(1) Meningkatkan ambang nyeri, sehingga menurunkan presepsi
nyeri.
(2) Mengurangi kecemasan dan ketakutan, yang merupakan
komponen reaksi terhadap nyeri.
(3) Menyebabkan orang tertidur walaupun sedang mengalami
nyeri berat.
Bahaya morfin sulfat dan analgesik narkotik adalah berpotensi
mendepresi fungsi sistem saraf dan vital. Opiat menyebabkan
depresi pernapasan melalui depresi pusat pernapasan di dalam
batang otak. Klien juga mengalami efek samping, seperti mual,
muntah, konstipasi, dan perubahan proses mental.
d) Adjuvan
Adjuvan, seperti sedatif, anticemas, dan relaksan otot
meningkatkan kontrol nyeri atau menghilangkan gejala lain selain
nyeri yang terkait dengan nyeri, seperti depresi dan mual. Agens
tersebut diberikan dalam bentuk tunggal atau disertai analgesik.
Sedatif seringkali di resepkan untuk penderita nyeri kronik. Obat-
obaatan ini seringkali menimbulkan rasa kantuk dan kerusakaan
koordinasi, keputusan dan kewaspadaan mental.
b. Penanganan nyeri dengan cara non-farmakoterapi
1) Relaksasi
Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan
merelaksasikan ketegangan otot yang mendukung rasa nyeri. Teknik
relaksasi mungkin perlu di ajarkan beberapa kali agar mencapai hasil
yang optimal. Pasien yang telah mengetahui teknik ini mungkin
hanya perlu di instruksikan menggunakan teknik relaksasi untuk
menurunkan atau mencegah meningkatnya nyeri.
Tindakan relaksasi dapat dipandang sebagai upaya pembebasan
mental dan fisik dari tekanan dan stress. Dengan relaksasi, klien
dapat mengubah persepsi terhadap nyeri.
Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen
dengan frekuensi lambat, dan berirama. Pasien dapat memejamkan
matanya dan bernapas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang
konstan dapat dipertahankan dengan cara menghitung lambat dalam
hati saat bersamaan dengan inhalasi (hirup, dua, tiga) dan ekhalasi
(hembuskan, dua, tiga). Pada saat perawat mengajarkan teknik ini,
akan sangat membantu jika menghitung dengan keras bersama-sama
klien pada awalnya. Apabila pernapasan yang teratur telah tercapai,
perintahkan klien untuk perlahan-lahan merelaksasikan otot-otot
pada leher, tangan, dada, paha, dan kaki.
2) Guided Imagery Relaxtion
Latihan guided imagery relaxtion merupakan intervensi perilaku
untuk mengatasi kecemasan, stress dan nyeri (Yung et al, 2001).
Guided imagery relaxation dapat mengurangi tekanan dan
berpengaruh terhadap proses fisiologi seperti menurunkan tekanan
darah, nadi dan respirasi dan meningkatkan suhu tubuh. Hal itu
karena guided imagery relaxtion dapat mengaktivasi sistem saraf
parasimpatis (Ackerman dan turkoski, 200, Tusek and Cwynar,
2000). Tujuan dari guided imagery relaxtion adalah mengalihkan
perhatian dari stimulus nyeri atau kecemasan kepada hal – hal yang
menyenangkan dan relaksasi.
3) Massage
Pijat adalah manipulasi lapisan dangkal dan lebih dalam dari otot
dan jaringan ikat untuk meningkatkan fungsi, membantu dalam
proses penyembuhan, dan mempromosikan relaksasi dan
kesejahteraan. Pijat melibatkan bertindak dan memanipulasi tubuh
dengan tekanan-terstruktur, tidak terstruktur, stasioner, atau
bergerak-ketegangan, gerak, atau getaran, dilakukan secara manual
atau dengan alat bantu mekanis. Jaringan target mungkin termasuk
otot , tendon, ligamen, fasia, kulit, sendi, atau jaringan ikat, serta
limfatik kapal, atau organ dari sistem pencernaan. Pijat dapat
diterapkan dengan tangan, jari, siku, lutut, lengan, dan kaki .
4) Distraksi
Distraksi adalah pengalihan dari focus perhatian terhadap nyeri ke
stimulus yang lain. Teknik distraksi dapat mengatasi nyeri
berdasarkan teori bahwa aktifasi retikuler menghambat stimulus
nyeri, jika seseorang menerima input sensori yang berlebihan dapat
menyebabkan terhambatnya infuls nyeri ke otak (nyeri berkurang
atau tidak dirasakan oleh klien). Stimulus yang menyenangkan dari
luar juga dapat menyerang sekresi endorphin, sehingga stimulus
nyeri yang dirasakan klien menjadi berkurang. Oleh karena itu,
stimulus penglihatan, pendengaran, dan sentuhan mungkin akan
lebih efektif dalam menurunkan nyeri di banding stimulasi satu
indera saja.
7. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan, proses yang continue
yang penting untuk menjamin kualitas dan ketetapan perawatan yang
diberikan dan dilakukan dengan meninjau respon pasien untuk
menentukan keaktifan rencana perawatan dan memenuhi kebutuhan pasien.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien sudah tidak
merasakan demam, tidak merasakan nyeri, merasa lebih baik serta merasa
nyaman dengan kondisinya.
DAFTAR PUSTAKA

Brudenell, M. 1994. Diabetes pada Kehamilan. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC.

Hestiantoro, Andon via Prawiroharjo, Sarwono. 2011. Ilmu Kandungan. Jakarta:


PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Noer, Sjaifoellah. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1 Edisi Ketiga.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Uliyah, Musrifatul dan A. Aziz Alimul Hidayat. 2006. Keterampilan Dasar
Praktik Klinik Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
Unniversitas Muhammadiyah Surakarta. Tanpa tahun. Jurnal “BABII”. (6-18).
[Online]. Tersedia:http://jtptunimus-gdl-nafikalist-5139-2-babii.pdf. [06 Juni
2015].
Waspadji, S., dkk.. 2002. Pedoman Diet Diabetes Mellitus. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai