Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam bidang geriatri, masalah etika (termasuk hukum) sangat penting artinya, bahkan
diantara berbagai cabang kedokteran mungkin pada cabang inilah etika dan hukum paling
berperan. Kane (1994) dkk menyatakan : ”.... ethic is fundamental part of geriatrics. While it
is central to the practice of medicine it self, the dependent nature of geriatric patients, makes
itaspecialconcern.............”.

Bebagai hal yang sangat perlu diperhatikan adalah, antara lain, keputusan tentang
mati hidup penderita. Apakah pengobatan diteruskan atau dihentikan. Apakah perlu tindakan
resusitasi. Apakah makanan tambahan per infuse tetap diberikan pada penderita kondisi yang
sudah jelas akan meninggal? Dalam geriatric aspek etika ini erat dengan aspek hokum,
sehingga pembicaraan mengenai kedua aspek ini sering disatukan dalam satu pembicaraan.
Aspek hokum penderita denagn kemampuan kognitif yang sudah sangat rendah seperti pada
penderita dementia sangat erat kaitannya dengan segi etik. Antara lain berbagai hal mengenai
pengurusan harta benda enderita lansia yang tidak mempunyai anak dan lain sebagainya.
Beberapa hal tersebut perlu mendapatkan perhatian di Indonesia, Dimana giriatri merupakan
bidang ilmu yang baru saja mulai berkembang. Oleh karena itu, beberapa dari prinsip etika
yang dikemukakan berikut ini sering belum terdapat / dilaksanakan di Indonesia. Pengertian
dan pengetahuan mengenai hal ini akan memberi gambaran bagaimana seharusnya masalah
etika dan hukum pada perumatan penderita lanjut usi diberlakukan.

Pemahaman tentang asuransi kesehatan di Indonesia masih sangat beragam. Dahulu


banyak yang menganggap bahwa JPKM atau biasa disebut Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat bukan asuransi kesehatan, apalagi asuransi kesehatan komersial; perkembangan
selanjutnya menyebutkan JPKM sebagai asuransi sosial karena dijual umumnya kepada
masyarakat miskin di daerah-daerah. Padahal dilihat dari definisi dan jenis programnya,
JPKM jelas bukan asuransi kesehatan sosial. Asuransi kesehatan sosial (social health
insurance) adalah suatu mekanisme pendanaan pelayanan kesehatan yang semakin banyak
digunakan di seluruh dunia karena kehandalan sistem ini menjamin kebutuhan kesehatan
rakyat suatu negara.

1
Namun di Indonesia pemahaman tentang asuransi kesehatan sosial masih sangat rendah
karena sejak lama kita hanya mendapatkan informasi yang biasa tentang asuransi kesehatan
yang didominasi dari Amerika yang didominasi oleh asuransi kesehatan komersial. Literatur
yang mengupas asuransi kesehatan sosial juga sangat terbatas. Kebanyakan dosen maupun
mahasiswa di bidang kesehatan tidak memahami asuransi sosial.

B. Rumusan Masalah

a. Prinsip etika pelayanan kesehatan pada lansia

b. Aspek hukum dan etika

c. Permasalahan yang masih terdapat pada Lanjut Usia

d. Menjelaskan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM).


e. Visi dan Misi
f. Menjelaskan Peraturan-Peraturan JPKM.
g. Penyelenggara JPKM.
h. Aspek Teknis Jasa Pemeliharaan Kesehatan JPKM.
i. Badan Penyelenggara JPKM.
j. Badan Pembina JPKM.
k. Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK).
l. Para Pelaku dan Bagan JPKM.
m. Cara Menjadi Peserta JPKM.
n. Hak dan Kewajiban Peserta JPKM.
o. Kendala yang Mempengaruhi Tingkat Keberhasilan JPKM.
p. Berbagai manfaat bagi keempat pelaku JPKM.

C. TUJUAN
a. Untuk mengetahui prinsip etika pelayanan kesehatan pada lansia

b. Untuk mengetahui Aspek hukum dan etika

c. Untuk mengetahui Permasalahan yang masih terdapat pada Lanjut Usia

d. Untuk mengetahui Menjelaskan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat


(JPKM).
e. Untuk mengetahui Visi dan Misi JPKM
f. Untuk mengetahui Peraturan-Peraturan JPKM.
g. Untuk mengetahui Penyelenggara JPKM.
h. Untuk mengetahui Aspek Teknis Jasa Pemeliharaan Kesehatan JPKM.
i. Untuk mengetahui Badan Penyelenggara JPKM.
j. Untuk mengetahui Badan Pembina JPKM.
2
k. Untuk mengetahui Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK).
l. Untuk mengetahui Para Pelaku dan Bagan JPKM.
m. Untuk mengetahui Cara Menjadi Peserta JPKM.
n. Untuk mengetahui Hak dan Kewajiban Peserta JPKM.
o. Untuk mengetahui Kendala yang Mempengaruhi Tingkat Keberhasilan JPKM.
p. Untuk mengetahui Berbagai manfaat bagi keempat pelaku JPKM.

BAB II

PEMBAHASAN

A. HUKUM DAN ETIKA GERIATRIK

1) Prinsip Etika Pelayanan Kesehatan Pada Lansia

Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada penderita
usia lanjut adalah (Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) :
• Empati : istilah empati menyangkut pengertian : ”simpati atas dasar pengertian yang

3
dalam”. Dalam istilah ini diharapkan upaya pelayanan geriatri harus memandang
seorang lansia yang sakit denagn pengertian, kasih sayang dan memahami rasa
penderitaan yang dialami oleh penderita tersebut. Tindakan empati harus dilaksanakan
dengan wajar, tidak berlebihan, sehingga tidak memberi kesan over-protective dan
belas-kasihan. Oleh karena itu semua petugas geriatrik harus memahami peroses
fisiologis dan patologik dari penderita lansia.
• Yang harus dan yang ”jangan” : prinsip ini sering dikemukakan sebagai non-
maleficence dan beneficence. Pelayanan geriatri selalu didasarkan pada keharusan
untuka mngerjakan yang baik untuk pnderita dan harus menghindari tindakan yang
menambah penderita (harm) bagi penderita. Terdapat adagium primum non nocere
(”yang penting jangan membuat seseorang menderita”). Dalam pengertian ini, upaya
pemberian posisi baring yang tepat untuk menghindari rasa nyeri, pemberian
analgesik (kalau perlu dengan derivat morfina) yang cukup, pengucapan kata-kata
hiburan merupakan contoh berbagai hal yang mungkin mudah dan praktis untuk
dikerjakan.

 Otonomi : yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai hak


untuk menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri.
Tentu saja hak tersebut mempunyai batasan, akan tetapi di bidang
geriatri hal tersebut berdasar pada keadaan, apakah penderita dapat
membuat putusan secara mandiri dan bebas. Dalam etika ketimuran,
seringakali hal ini dibantu (atau menjadi semakin rumit ?) oleh
pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki, prinsip otonomi berupaya
untuk melindungi penderita yang fungsional masih kapabel
(sedanagkan non-maleficence dan beneficence lebih bersifat
melindungi penderita yang inkapabel). Dalam berbagai hal aspek etik
ini seolah-olah memakai prinsip paternalisme, dimana seseorang
menjadi wakil dari orang lain untuk membuat suatu keputusan (mis.
Seorang ayah membuat keuitusan bagi anaknya yang belum dewasa).
• Keadilan : yaitu prinsip pelayanan geriatri harus memberikan
perlakuan yang sama bagi semua penderita. Kewajiban untuk
memperlakukan seorang penderita secara wajar dan tidak mengadakan
pembedaan atas dasar karakteristik yang tidak relevan.

4
• Kesungguhan Hati : yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi
semua janji yang diberikan pada seorang penderita.

Dengan melihat prinsip diatas tersebut, asek etika pada pelayanan geriatric berdasarkan
prinsip otonomi kemudian di titik beratkan pada berbagai hal sebagai berikut :

a. penderita harus ikut berpartisipasi dalam prosea pengambilan keutusan dan


pembuatan keputusan. Pada akhirnya pengambilan keputusan harus bersifat sukarela

b. keputusan harus telah mendapat penjelasan cukup tentang tindakan atau keputusan
yang akan diambil secara lengkap dan jelas.

c. keputuan yang diambil hanya dianggap sah bial penderita secara mental dianggap
kapabel.
Atas dasar hal diatas maka aspek etika tentang otonomi ini kemudian ituangkan dalam
bentuk hukum sebagai persetujuan tindakan meik (pertindik) atau informed consent.
Dalam hal seperti diatas, maka penderita berha menolak tindakan medik yang
disarankan oleh dokter, tetapi tidak berarti boleh memilih tindakan, apabila
berdasarkan pertimbangan dokter yang bersangkutan tindakan yang dipilih tersebut
tidak berguan (useless) atau bahkan berbahaya (harmful).
Kapasitas untuk mengambil keputusan, merupakan aspek etik dan hokum yang sangat
rumit. Dasar dari penilaian kapasitas pengambilan keputusan penderita tersebut
haruslah dari kapasitas fungsional penderita dan bukan atas dasar label iagnosis,
antara lain terlihat dari :

 apakan penderita bisa buat/tunjukan keinginan secara benar ?

 dapatkah penderita memberi alasan tentang pilihan yang dibuat ?

 apakah alasan penderita tersebut rasional (artinya setelah penderita mendapatkan


penjelasan yang lengkap dan benar) ?

 apakah penderita mengerti implikasi bagi dirinya ? (misalnya tentang keuntungan


dan kerugian dari tindakan tersebut ? dan mengerti pula berbagai pilihan yang
ada) ?pendekatan fungsional tersebut memang sukar, karena seringkali masih
terdapat fungsi yagn baik dari 1 aspek, tetapi fungsi yagn lain sudah tidak baik,
sehingga perlu pertimbangan beberapa faktor. Pada usia lanjut serinkali sudah
5
terdapat gangguan komunikasi akibat menurunnya pendengaran, sehingga perlu
waktu, upaya dan kesabaran yang lebih guna mengetahui kapasitas fungsional
penderita.Pada dasarnya prinsip etika ini mnyatakan bahwa kapasitas penderita
untuk mengambil/menentukan keputusan (prinsip otonomi) dibatasi oleh :
o realitas klinik adanya gangguan proses pengambilan keputusan (misalnya
pada keadaan depresi berat, tidak sadar atau dementia). Bila gangguan
tersebut demikian berat, sedangakan keputusan harus segera diambil, maka
keputusan bisa dialihkan kepada wakil hukum atau walimkeluarga
(istri/suami/anak atau pengacara). Dalam istilah asing keadaan ini disebut
sebagai surrogate decission maker.
 Apabila keputusan yang diharapkan bantuannya bukan saja mengenai aspek
medis, tetapi mengenai semua aspek kehidupan (hokum, harta benda dll) maka
sebaiknya terdapat suatu badan pemerintah yang melindungi kepentingan
penderita yang disebut badan perlindungan hokum (guardianship board).
(Brocklehurst and Allen 1987, Kane et al, 1994).Dalam kenyatannya
pengambila keputusan ini sering dilakukan berdasarkan keadaan de-facto yaitu
oleh suami/istri/anggota kelurga, dinbanding keadaan de-jure oleh pengacara,
karena hal yang terkhir ini sering tidak praktis, waktu lama, dan sering
melelahkan baik secara fisik maupun emosional.Oleh Karen suatu hal,
misalnya gangguan komunikasi, salah pengertian, kepercayaan penderita atau
latar belakang budaya dapat menyebabkan penderita mengambil keputusan
yang salah ( antara lain menolak tramfusi / tindakan bedah yagn live saving).
Dalam hal ini, dokter dihadapkan pada keadaan yang sulit, dimana atas
otonomi penderita tetap harus dihargai.Yang penting adalah bahwa dokter mau
mendengar semua keluhan atau alas an penderita dan kalau mungkin
memperbaiki keputusan penderita tersebut denagn pemberian edukasi.
Seringkali perlu diambil tindakan “kompromi” antara apa yang baik menurut
pertimbangan dokter dan apa yang diinginkan oleh penderita.

2) PEMBERIAN PERALATAN PERPANJANGN HIDUP (Life Sustaining Device)


Salah satu aspek etika yang penting dan tetpa controversial dalam pelayanan
geriatric adalah penggunaan perpanjangan hidup, antara lain ventilator dan upaya
perpanjangan hidup yang lai (resusitasi kardio-pulmoner dll). Pada penderita dewasa
muda hal ini sering klai tidak menjadi masalah, karena sering diharapkan hidup
penderita masihj akan berlangsung lama bila jiwanya bisa ditolong. Pada usia lanjut
6
apalagi kalau penyakitnya sudah meluas (advanced) pemberian peralatan tersebut
seringkali diperdebatkan justru merupakan tindakan yang “kejam” (futile
treatment).Dikatakan sebagai “kekejaman fisiologik” bila terapi/tindakan yang
diberikan tidaka akan memberikan perbaikan (plausible effect) sama sekali pada
kesehatan penderita. “kekejaman kuantitatif” bila tindakan atau terapi tampaknya
tidak ada gunanya. “Kekejaman kualitatif” bila tindakan atau terapi perpanjangn
hidup tidak menunjukan perbaiakan atau justru mengurangi kualitas hidup
penderita.Walaupun sering menimbulakan tanggapan emosional dari keluarga,
penghentian peralatan penpanjangan hidup (ventilator dsb) harus diberi pertimbangan
yang sama dengan pertimbangan apakah alat tersebut perlu dipasang atau tidak.
Pemasangan alat ini tidak dengan sendirintya menghalangi untuk suatu saat
menghentikannya bila dianggap tidak ada gunannya lagi.Dokter harus menjelaskan
hal ini kepada keluarga penderita dan memberi pengertian bahwa evaluasi
menunjukkan pemberian peralatan tersebut perlu dihentikan.

3) LANDASAN HUKUM DI INDONESIA

Berbagai produk hokum dan perundang-undangan yang langsung mengenai Lanjut


Usia atau yang tidak langsung terkai dengan kesejahteraan Lanjut Usia telah diterbitkan sejak
1965. beberapa di antaranya adalah :

a. Undang-undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang Jompo
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1965 nomor 32 dan tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia nomor 2747).

b. Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga


Kerja.

c. Undang-undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok


Kesejahteraan Sosial.

d. Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai


Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.

e. Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional.

f. Undang-undang Nomor 2 tahun 1982 tentang Usaha Perasuransian.


7
g. Undang-undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

h. Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.

i. Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang PErkembangan Kependudukan dan


Pembangunan keluarga Sejahtera.

j. Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun.

k. Undang-undang Nomor 23 tentang Kesehatan.

l. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan


Keluarga Sejahtera.

m. Peraturan Pemerintah Nomor 27 ahun 1994 tentang Pengelolaan Perkembangan


Kependudukan.

n. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (Tambahan


lembaran Negara nomor 3796), sebagai pengganti undang-Undang nomor 4 tahun
1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang jompo.
Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 ini berisikan antara lain :

a) Hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan


kelembagaan.

b) Upaya pemberdayaan.

c) Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia potensial dan tidak


potensial.

d) Pelayanan terhadap Lanjut Usia.

e) Perlindungan sosial.

f) Bantuan sosial.

g) Koordinasi.

h) Ketentuan pidana dan sanksi administrasi.

8
i) Ketentuan peralihan.

4) PERMASALAHAN

Permasalahan yang masih terdapat pada Lanjut Usia, bila ditinjau dari aspek hokum dan
etika, dapat disebabkan ole factor, seperti berikut :
1. Produk Hukum

Walaupun telah diterbitkan dalam jumlah banyak, belum semua produk hokum dan
perundang-undangan mempunyai Peraturan Pelakisanaan. Begitu pula, belum diterbirkan
Peraturan Daerah, Petunjuk Pelaksanaan serta Ptunjuk Teknisnya, sehingga penerapannya di
lapangan sering menimbulkan permasalahan. Undang-undang terakhir yang diterbitkan yaitu
Undang-undang Nomor 13 tahun 1998, baru mengatur kesejahteraan sosial Lanjut Usia,
sehingga perlu dipertimbangkan diterbitkannya undang-undang lainnya yang dapat mengatasi
permasalahan Lanjut Usia secara spesifik.

2. Keterbatasan prasarana

Prasarana pelayanan terhadap Lanjut Usia yang terbatas di tingkat masyarakat,


pelayanan tingkat dasar, pelayanan rujuikan tingkat I dan tingkat II, sering
menimbulkanpermasalahan bagi para Lanjut Usia. Demikian pula, lembaga sosial masyarakat
dan ortganisasi sosial dan kemsyarakatan lainnya yang menaruh minat pada permasalahan ini
terbatas jumlahnya. Hal ini mengakibatkan para Lanjut Usia tak dapat diberi pelayanan sedini
mungkin, sehingga persoalanya menjadi berat pada saat diberikan pelayanan.

3. Keterbatasan sumberdaya Manusia

Terbatasntya kuantitas dan kualitas tenaga yang dapat memberi pelayanan serta
perawatan kepada Lanjut Usia secara bermutu dan berkelanjutan mengakibatkan
keterlambatan dalam mengetahui tanda-tanda dini adanya suatu permasalahan hukum dan
etika yang sedang terjadi.

4. Hubungan Lanjut Usia dengan Keluarga

9
Menurut Mary Ann Christ, et al. (1993), berbagai isu hokum dan etika yang sering
terjadi pada hubungan Lanjut Usia dengan keluarganya adalah :
a. Pelecehan dan ditentarkan (abuse and neglect)

b. Tindak kejahatan (crime)

c. Pelayanan perlindungan (protective services)

d. Persetujuan tertulis (informed consent)

e. Kualitas kehidupan dan isu etika (quality of life and related ethical issues)

B. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM)


Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat untuk selanjutnya disebut JPKM
merupakan peran serta masyarakat dalam pembiayaan pemeliharaan kesehatan. Dalam
Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan pasal 1
no 15 disebutkan bahwa “Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat adalah suatu cara
penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan paripurna berdasarkan azas usaha bersama dan
kekeluargaan, yang berkesinambungan dan dengan mutu yang terjamin serta pembiayaan
yang dilaksanakan pra upaya”. (Departemen Kesehatan:2001)

Selanjutnya dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 dinyatakan
bahwa "Pemerintah mengembangkan, membina dan mendorong Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat sebagai cara yang dijadikan landasan setiap penyelenggaraan
pemeliharaan kesehatan, yang pembiayaannya dilaksanakan secara pra upaya, berazaskan
usaha bersama dan kekeluargaan”. (Departemen Kesehatan:2001)

Sebelum JPKM masuk dalam UU kesehatan tersebut, berbagai upaya memobilisasi dana
masyarakat dengan menggunakan prinsip asuransi telah dilakukan antara lain
dengan program DUKM (Dana upaya kesehatan masyarakat) dan uji coba TK-TK oleh PT
astek. Dengan memobilisasi dana masyarakat diharapkan mutu pelayanan kesehatan dapat
ditingkatkan tanpa harus meningkatkan anggaran pemerintah. Konsep yang ditawarkan
adalah secara perlahan pembiayaan kesehatan harus ditanggung masyarakat sementara
pemerintah lebih berfungsi sebagai regulator. (Nurhayati, S.Km, M.Kes ; 2012 )

10
Upaya memobilisasi dana masyarakat tidak terlepas dari berbagai upaya swastanisasi di
dunia yang memandang bahwa dominasi upaya pemerintah dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat akan menghadapi masalah biaya, efesien, dan mutu pelayanan. (Nurhayati,S.Km,
M.Kes ; 2012 )

Program swastanisasi besar-besaran dilaksanakan di inggris pada masa perdana mentri


Margareth Tacher untuk berbagai program pemerintahannya pada awal tahun 80-an.
Perusahaan penerbangan British Airways dan radio serta televisi BBC yang tadinya dikelola
pemerintah merupakan contoh bentuk swastanisasi upaya pemerintah Inggris. Sejak itu
gelombang privatisasi di dunia terus meluas. (Nurhayati, S.Km, M.Kes ; 2012 )

Di dalam sistem kesehatan indonesia upaya itu antara lain dapat dilihat dari upayah
menggerakkan pembiayaan kesehatan oleh masyarakat dan transformasi RSUP menjadi RS
perjan (Perusahaan Jawatan). Namun demikian, di Inggris sendiri sistem pelayanan kesehatan
masih tetap di kelola oleh pemerintah dengan sistem National Health service. Tetapi
reformasi NHS terus berjalan hingga saat ini. Dalam kerangka fikir inilah program JPKM
yang bertujuan untuk memobilisasi dana masyarakat guna membiayai pelayanan kesehatan
dikembangkan. (Nurhayati, S.Km, M.Kes ; 2012 )

Perkembangan JPKM tidak lepas dari peran pemerintah Amerika Serikat melalui
program bantuan pembangunan (The United States Agency for International Development,
USAID). Pada tahun 1988, USAID membiayai proyek analisis kebijakan Ekonomi kesehatan
(AKEK) pada depertemen kesehatan selama 5 tahun. Dalam proyek inilah antara lain
perkembangan pemikiran-pemikiran pembiayaan kesehatan yang semua di kenal dengan
konsep dana upaya kesehatan masyarakat (DUKM) yang secara operasional dijabarkan dalam
bentuk JPKM. Karena seperti biasanya proyek-proyek USAID selalu membawa konsultan
dari amerika yang secara tidak langsung mempengaruhi pemikiran yang pada waktu itu
sangat populer di Amerika. (Nurhayati, S.Km, M.Kes ; 2012 )

Selama pertengahan tahun 1970-an dan pertengahan 1980-an memang banyak sekali
publikasi-publikasi yang menggunakan keberhasilan Health Maintenance
Organization (HMO) di Amerika dalam mengendalikan biaya kesehatan. Sebenarnya
keberhasilan HMO di Amerika dalam pengendalian biaya kesehatan relatif baik dibandingkan
dengan model asuransi kesehatan tradisional. Artinya keberhasilan HMO di Amerika hanya
dibandingkan dengan model asuransi lain yang ada di Amerika, tidak di bandingkan dengan

11
model asuransi lain yang ada di negara-negara maju lainnya yang mempunyai pengendalian
biaya lebih kuat dari HMO. (Nurhayati, S.Km, M.Kes ; 2012 )

Namun demikian karena proyek AKEK dan berbagai proyek pembiayaan lainnya di
indonesia selama dekade tahun 1980an lebih banyak di dominasi oleh amerika serikat, maka
tidaklah mengherankan jika konsep sistem pembiayaan kesehatan kita pada waktu itu (hingga
saat ini) lebih banyak mengikuti pola amerika yang boros dan tidak egaliter. Sementara
pengaruh donor-donor dari negara-negara lain pada waktu itu tidak banyak. (Nurhayati,
S.Km, M.Kes ; 2012)

Hal ini tidak hanya berlaku pada model JPKM, akan tetapi juga mempengaruhi sistem
asuransi lainnya dan sistem lainnya seperti sistem pendidikan dan keuangan. Pada prinsip
JPKM merupakan program asuransi kesehatan komersial yang mengambil bentuk Managed
Care , khususnya bentuk HMO Amerika. Dalam ayat 4 pasal 66 UU 23/92 yang sama
disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan JPKM di atur oleh
peraturan pemerintah. Namun demikian, sampai saat ini PP dimaksud belum pernah berhasil
di keluarkan. (Nurhayati, S.Km, M.Kes ; 2012 )

A. Visi dan Misi


JPKM salah satu strategi menuju Indonesia 2010
VISI:
Kepesertaan semesta 2010 (80%) penduduk sudah terlindungi kesehatan dan menjadi
anggota JPKM di tahun 2010.
MISI:

1. Memantapkan institusi pembinaan JPKM di Tingkat Pusat, Provinsi,


Kabupaten/Kota.
2. Mendorong profesionalisme JPKM.
3. Mendorong pembentukan jaringan yang “sadar biaya” dan “sadar mutu”.
4. Meningkatkan kepesertaan masyarakat dalam JPKM.
5. Menghimpun dukungan asosiasi profesi dan pihak terkait terhadap penyelenggaraan
JPKM.

B. Peraturan JPKM
JPKM dirumuskan setelah telah bertahun-tahun terhadap sistem pemeliharaan kesehatan
di manca negara. JPKM merupakan penyempurnaan terkini setelah sistem pemeliharaan
kesehatan dengan pembayaran tunai, asuransi ganti rugi, asuransi dengan tagihan provider
12
mengalami kegagalan dalam mengendalikan biaya kesehatan. Kelebihan JPKM terhadap
sistem asuransi kesehatan tradisional adalah pembayaran pra upaya kepada PPK yang
memungkinkan pengendalian biaya oleh PPK dan memungkinkan Bapel berbagi resiko biaya
dengan PPK.

JPKM bertujuan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui:

a. Jaminan pemeliharaan kesehatan sesuai kebutuhan utama peserta


yang berkesinambungan.
b. Pelayanan kesehatan paripurna yang lebih bermutu dengan biaya yang hemat dan
terkendali.
c. Pengembangan kemandirian masyarakat dalam membiayai pelayanan kesehatan yang
diperlukannya.
d. Pembudayaan perilaku hidup bersih dan sehat.
Sasaran JPKM adalah:

a. Karyawan perusahaan/dunia usaha.


b. Seluruh anggota keluarga/masyarakat.
c. Pelajar dan mahasiswa.
d. Organisasi sosial dan kemasyarakatan.
e. (Dr.Sunarto, M.Kes ; 2012)
Paket jaminan JPKM:

a. Paket jaminan mencakup pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, penyembuhan,


dan dilaksanakan secara paripurna (konfrehensif), berkesinambungan, dan bermutu. Paket
tersebut harus di susun sesuai dengan kebutuhan peserta.
b. Paket terbagi atas paket dasar dan paket tambahan. Paket dasar yang wajib
diselenggarakan oleh sebuah bapel. Karena bapel dapat menjual paket tambahan hanya
setelah paket dasar, maka paket dasar ini pada hakekatnya saama dengan
peraturan minimum benefit dalam peraturan asuransi kesehatan di Amerika.
c. Paket pemeliharaan dasar adalah sebagai berikut:
d. Rawat jalan meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif (pemulihan) sesuai
kebutuhan medis. Pelayanan ini harus mencakup imunisasi, keluarga berencana,
pelayanan ibu dan anak dengan catatan pelayanan persalinan hanya di berikan sampai
anak ke dua.
e. Rawat inap sesuai kebutuhan medis meliputi 5 hari rawat.
f. Pemeriksaan penunjang meliputi radio diagnostic dan atau ultrasonografi, laboratorium
klinik.
g. Paket tambahan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bapel dengan peserta.
h. Dalam keadaan gawat darurat peserta dapat memperoleh pelayanan pada setiap PPK.

13
i. Peserta tidak perlu membayar lagi di PPK apabila pelayanan yang di berikan sesuai
dengan paket yang dipilihnya.

C. Penyelenggaraan JPKM
JPKM merupakan model jaminan kesehatan pra bayar yang mutunya terjaga dan
biayanya terkendali. JPKM dikelola oleh suatu Badan Penyelenggara (BaPel) dengan
merepakan jaga mutu dan kendali biaya. Peserta akan memperoleh pelayanan kesehatan
paripurna dan berjenjang dengan pelayanan tingkat pertama sebagai ujung tombak, yang
memenuhi kebutuhan utama kesehatannya dengan mutu terjaga dan biaya
terjangkau. Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) adalah bagian dari jaringan pelayanan yang
dikontrak dan dibayar pra-upaya atau dimuka oleh Bapel, sehingga terdorong untuk
memberikan pelayanan paripurna yang terjaga mutu dan terkendali biayanya. (Dr.Sunarto,
M.Kes ; 2012)

Jaringan pelayanan berjenjang terdiri atas pelayanan tingkat pertama (primer), sekunder,
dan tersier. PPK I dapat berupa dokter umum/dokter keluarga, dokter gigi, bidan praktek,
puskesmas, balkesmas, maupun klinik yang dikontrak oleh bapel JPKM yang bersangkutan.
Jika diperlukan akan dirujuk ke tingkat sekunder (PPK II) yakni praktek dokter spesialis,
kemudian dapat dilanjutkan ke tingkat tersier ( PPK III) yaitu pelayanan spesialistik di rumah
sakit untuk pemeriksaan atau rawat inap. (Dr.Sunarto, M.Kes ; 2012)

D. Aspek Teknis Jasa Pemeliharaan Kesehatan JPKM


Pengkajian terhadap aspek teknis jasa pemeliharaan kesehatan adalah kajian terhadap jasa
pemeliharaan kesehatan yang akan dipasarkan oleh JPKM. Usaha JPKM harus menyediakan
minimal Paket Pemeliharaan Kesehatan. Dasar yang terdiri dari jenis pelayanan:

a. Rawat jalan tingkat I


b. Rawat jalan tingkat II atau rujukan
c. Rawat inap, termasuk persalinan
d. Pelayanan gawat darurat
e. Pelayanan penunjang
f. Pencegahan dan peningkatan kesehatan
Rincian paket disesuaikan disesuaikan dengan kebutuhans etempat. Selain itu dapat
dikembangkan pula paket tambahan. JPKM harus dapat menghasilkan jasa pemeliharaan
kesehatan yang menarik, kompetitif, bermutu dan terjangkau oleh masyarakat.

14
E. Badan Penyelenggara (Bapel JPKM)
Badan Penyelenggara (Bapel JPKM) adalah suatu badan hukum yang telah diberi izin
operasional dari Menteri Kesehatan RI untuk menyelenggarakan pengelolaan JPKM Bapel
JPKM dapat berbentuk koperasi, yayasan, perseroan terbatas, BUMN, BUMD, atau bentuk
usaha lainnya yang memiliki izin usaha dibidang JPKM. Tugas dari Bapel JPKM adalah :

a. Manajemen pemeliharaan kesehatan yang paripurna, terstruktur, bermutu dan


berkesinambungan Manajemen keuangan secara cermat.
b. Manajemen Kepesertaan.
c. Sistem Informasi Manajemen.
Bapel JPKM berhak atas imbalan jasa penyelenggaraan JPKM. Bapel JPKM wajib
menyelenggarakan JPKM sesuai ketentuan yang berlaku sesuai dengan izin operasional yang
diberikan. Data pemanfaatan pelayanan diperiksa oleh Bapel dengan telaah utilisasi
(utilization review) untuk dapat melakukan pengendalian mutu atau pengendalian
pembiayaan, sekaligus untuk melihat apakah pelayanan yang diberikan sudah sesuai dengan
prosedur dan kontrak.

F. Badan Pembina JPKM (Bapim JPKM)


Badan Pembina JPKM (BAPIM JPKM) adalah badan pemerintah yang melaksanakan
fungsi pemerintah yang melaksanakan, seperti diatur dalam pasal 66 ayat 1 UU No. 23/1992
tentang kesehatan, yakni mengembangkan, membina serta mendorong penyelenggaraan
JPKM. Anggota badan pembina terdiri dari wakil-wakil pemerintah umum dan jajaran
kesehatan serta pihak-pihak terkait. Bapim berkewajiban membina, mengembangkan serta
mendorong (termasuk mengawasi) penyelenggaraan JPKM.

Bapim berhak memperoleh semua data dan informasi yang berkaitan dengan
penyelenggaraan JPKM di wilayah kerjanya. Bapim JPKM diharapkan aktif menjalin
hubungan dengan Bapel JPKM, peserta dan PPK, untuk kemudian memberikan masukan
kepada penentu kebijakan berdasarkan hasil pemantau, pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan JPKM.

Sebagai suatu jaminan kesehatan yang efektif dan efisien, JPKM mengandung beberapa
jurus yang harus diterapkan untuk memenuhi kebutuhan utama kesehatan peserta secara
paripurna dengan mutu yang terjamin dan biaya yang terkendali 7 jurus dalam pelaksanaan
15
JPKM yang menjamin efesiensi, efektivitas dan pemerataan pemeliharaan kesehatan dalam
JPKM meliputi:

a. Pembayaran iuran dimuka ke Badan Penyelenggara.


Peserta JPKM membayar sejumlah iuran di muka secara teratur kepada

Bapel, sehingga Bapel dapat mengetahui jumlah dana yang harus dikelolanya secara
efisien untuk pemeliharaan kesehatan peserta.

b. Pembayaran sejumlah dana dimuka oleh Bapel kepada PPK


Sehingga PPK tahu batas anggaran yang harus digunakan untuk
merencanakan pemeliharaan kesehatan peserta secara efisien dan efektif. Dapat
digunakan beberapa cara seperti kapitasi, sistem anggaran.

c. Pemeliharaan kesehatan paripurna mencakup upaya promotif/ peningkatan kesehatan.


Preventif, kuratif/ pengobatan sertarehabilitatif/ pemulihan kesehatan.
d. Ikatan Kerja hubungan antara Bapel dan PPK dan antar Bapel dengan peserta diatur
dengan ikatan kerja yang menata secara rinci dan jelas hak dan kewajiban masing-
masing.
e. Jaga mutu pelayanan kesehatan Jaga mutu dilaksanakan oleh Bapel agar pelayanan
kesehatan yang diberikan sesuai kebutuhan dan standar profesi serta kaidah pengobatan
rasional.
f. Pemantauan pemanfaatan pelayanan Pemantauan ini perlu dilakukan untuk dapat
melakukan penyesuaian kebutuhan medis peserta, mengetahui perkembangan
epidemologi penyakit peserta dan pengendalian penggunaan pelayanan kesehatan oleh
peserta.
g. Penanganan keluhan dilaksanakan oleh Bapel dengan tujuan menjamin mutu dan
stabilitas dalam menjalankan kegiatan JPKM.

G. Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK)


Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dalam JPKM adalah sarana kesehatan yang
dikontrak oleh Badan Penyelenggara JPKM untuk melaksanakan pemeliharaan kesehatan
peserta secara efektif dan efesien berdasarkan paket pemeliharaan kesehatan yang disepakati
bersama.

Sarana Pemberi Pelayanan Kesehatan tersebut dapat berupa :

 Praktek dokter dan dokter gigi.


 Klinik yang melakukan praktek dokter bersama, baik umum maupun spesialis.
16
 Bidan praktek.
 Puskesmas atau Puskesmas Pembantu.
 Balkesmas.
 Praktek dokter spesialis.
 Rumah Sakit Umum Pemerintah.
 Rumah Sakit Swasta.
 Rumah bersalin, dll.
PPK berhak mendapatkan pembayaran praupaya dari Bapel JPKM, PPK berkewajiban
memberikan jasa pelayanan kepada peserta JPKM sesuai ketentuan. Peraturan mengenai
pemberi pelayanan kesehatan tertuang dalam peraturan Menteri Kesehatan RI
No.571/Menkes/Per/VII/1993, tentang penyelenggaraan program JPKM.

Pengaturan tersebut meliputi hal-hal berikut:

a. PPK dilarang menarik pembayaran dari peserta sepanjang pelayanan yang diberikan
sesuai dengan paket yang disepakati bersama (pasal 27).
b. PPK tidak boleh menolak peserta yang membutuhkan pelayanan kesehatan (pasal 28).
c. PPK dilarang menghentikan perawatan dalam suatu proses karena alasan administratif
(pasal 29).
d. Peserta tidak perlu membayar sepanjang pelayanan sesuai dengan kesepakatan bersama
yang tertuang dalam kontrak.
Untuk memperoleh pelayanan pada sarana kesehatan, peserta JPKM hanya perlu
menunjukkan identitas kepesertaan JPKM yang masih berlaku, Pemberian Pelayanan
Kesehatan (PPK) memeriksa dan menetapkan jenis pelayanan yang diberikan sesuai
kebutuhan medis peserta.

Kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dalam pemberian pelayanan kesehatan


oleh PPK adalah sebagai berikut :

a. Pelayanan selesai karena peserta hanya membutuhkan konsultasi.


b. PPK memberikan pengobatan kepada peserta JPKM.
c. PPK memberikan rujukan ke rumah sakit, konsultasi dengan dokter spesialis atau jika
diperlukan rawat inap di rumah sakit.
PPK meminta pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
rontgen, dan lain-lain yang dianggap perlu.

H. Para Pelaku dan Bagan JPKM


a. Peserta

17
Peserta yang mendaftarkan diri dalam satuan keluarga, kelompok atau unit organisasi,
dengan membayar kepada bapel sejumlah iuran tertentu secara teratur untuk membiayai
pemeliharaan kesehatannya.
b. Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK)
PPK yang merupakan bagian dari jaringan pelayanan kesehatan terorganisir untuk
memberikan pelayanan paripurna dan berjenjang secara efektif dan efisien.
c. Badan Penyelenggara JPKM (Bapel)
Bapel JPKM sebagai badan hukum yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan
JPKM dengan secara profesional menerapkan trias manajemen, meliputi manajemen
kepesertaan, keuangan dan pemeliharaan kesehatan.

d. Pemerintah
Pemerintah sebagai (badan), pembinan yang melaksanakan, fungsi untuk
mengembangkan, membina dan mendorong penyelenggaraan JPKM.

Keempat pelaku terjadi hubungan saling menguntungkan dan berlaku penerapan jurus-
jurus kendali biaya, kendali mutu pelayanan dan pemenuhan kebutuhan medis bagi peserta
(berbentuk pelayanan paripurna dan berjenjang).

(Dr.Sunarto, M.Kes ; 2012)

I. Cara untuk menjadi peserta JPKM adalah:


 Untuk menjadi peserta JPKM, sebaiknya dilakukan secara berkelompok untuk
membangun solidaritas dan memudahkan administrasi dengan daya tawar yang tinggi.
 Anggota suatu organisasi (perusahaan, sekolah/ perguruan tinggi, kelompok
pedagang, organisasi kemasyarakatan,organisasi kepemudaan, dll) dapat menjadi
peserta secara berkelompok dengan menghubungi Bapel JPKM terdekat.
 Calon peserta wajib mengisi formulir isian dengan jujur dan jelas.
 Anggota JPKM membayar sejumlah iuran yang besarnya disepakati bersama atau
disepakati antara Bapel dan Calon peserta melalui kelompoknya.
 Setiap peserta JPKM akan mendapatkan kartu identitas JPKM yang akan berlaku
selama masa yang disepakati.
 Dengan menunjukkan kartu identitas JPKM tersebut, peserta dapat memeriksakan diri
dan mendapat perawatan (jika dianggap perlu) sesuai dengan ketentuan di tempat-
tempat Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) yang telah dikontrak oleh Bapel JPKM.
 Setiap anggota JPKM harus dapat mengerti dan memahami hak dan kewajibannya
sebagai peserta JPKM.

18
J. Hak dan Kewajiban Peserta JPKM
1. Hak Peserta
A. Memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan paripurna yang berjenjang sesuai
dengan kebutuhannya yang tertuang dalam paket pemeliharaan kesehatan dalam
kontraknya dengan Bapel.
B. Mendapat kartu peserta JPKM sebagai tanda identitas untuk memperoleh pelayanan
di sarana kesehatan yang ditunjuk.
C. Mengajukan keluhan dan memperoleh penyelesaian atas keluhan tersebut.
D. Memberikan masukan atau pendapat untuk perbaikan penyelenggaraan JPKM.
2. Kewajiban Peserta:
 Membayar iuran dimuka secara teratur kepada Bapel JPKM.
 Mentaati segala ketentuan dan kesepakatan.
 Menandatangani kontrak.

K. Kendala yang Mempengaruhi Tingkat Keberhasilan JPKM


1. Rendahnya minat masyarakat untuk menjadi peserta JPKM. Hal ini dapat karena
faktor sosialiasi, pemahaman untuk menerima konsep asuransi dan program
JPKM, masih banyaknya institusi/perorangan pelayanan kesehatan yang relatif
murah.
2. Tidak siapnya aparat yang menangani program JPKM. Pengelolaan kesehatan
masih dipahami sebagai prinsip sosial dan masil mengandalkan subsidi
pemerintah.
3. Pemberi Pelayanan Kesehatan belum siap dengan konsep kapitasi. Sulit merubah
PPK dari orientasi sakit dengan sistem pemayaran fee for service ke orientasi
sehat dengan sistem pembayaran kapitasi.
4. Bapel JPKM masih dianggap belum berpengalaman.
5. Komitmen pemerintah rendah.
(Dr.Sunarto, M.Kes ; 2012)

L. Berbagai manfaat bagi keempat pelaku JPKM:


a. Masyarakat
 Memperoleh pelayanan paripurna (Preventif, Promotif, Kuratif dan Rehabilitatif) dan
bermutu.
 Masyarakat keluar biaya ringan, karena di JPKM terjadi subsidi silang.
 Masyarakat terjamin dalam memperoleh pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan
utamanya.

19
 Terjadi pemerataan pelayanan kesehatan sekaligus akan meningkatkan derajat kesehatan.
(Dr. Sunarto, M. Kes ; 2012)
b. Pemberi Pelayanan Kesehatan
 PPK dapat merencanakan pelayanan lebih efektif dan efisien mungkin karena ditunjang
sistem pra upaya.
 PPK akan memperoleh balas jasa yang lebih besar dengan terpeliharanya kesehatan
peserta.
 PPK dapat lebih meningkatkan profesionalisme, kepuasan kerja dan mengembagakan
mutu pelayanan.
 Sarana pelayanan tingkat I, II, dan III yang selama ini memakai tarif wajar akan mendapat
pasokan dana lebih banyak apabila masyarakat telah ber-JPKM dari tarif yang
diberlakukan di JPKM. Sarana pelayanan (terutama) yang selama ini sudah mahal
memang mengalami penurunan pasokan dana dari jasa pelayanan karena efisiensi dalam
sistem JPKM.
c. Dunia Usaha
 Biaya pelayanan kesehatan dapat direncanakan secara tepat.
 Pemeliharaan kesehatan karyawan dapat terlaksana secara lebih efisien dan efektif.
 Pembiayaan pelayanan akan lebih efisien karena menerapkan sistem pra-upaya bagi jasa
pelayanan kesehatan, dibandingkan dengan sistem ganti rugi (fee for service), sistem
klaim dll sebagai balas jasa pasca pelayanan.
 Terjaminnya kesehatan karyawan akan mendorong produktifitas.
 Merupakan komoditi baru yang menjanjikan bagi dunia usaha yang akan menjadi
Bapel. (Dr.Sunarto, M.Kes ; 2012)
d. Pemerintah
 Pemda memperoleh masyarakat yang sehat dan produktif dengan biaya yang berasal dari
masyarakat sendiri.
 Subsidi pemerintah dapat dialokasikan kepada yang lebih memerlukan, terutama bagi
keluarga miskin. Pembayaran pra-upaya dalam JPKM memakai perhitungan unit cost riil/
non subsisdi, sehingga bisa menyesuaikan tarif untuk yang mampu. Tahun 2005,
Pemerintah Pusat mengalokasikan dana program kompensasi BBM untuk 34,6 juta
penduduk miskin yang memerlukan anggaran 2,1 triliun. Pemerintah menunjuk PT. Askes
sebagai Bapel yang mengelola dana tersebut dengan berbagai pertimbangannya.
 Pengeluaran Pemda dalam bidang kesehatan dapat lebih efisien. (Dr.Sunarto, M.Kes ;
2012)
Agar terjamin efisiensi, efektifitas dan pemerataan pemeliharaan kesehatan, maka dalam
pelaksanaannya JPKM menggunakan tujuh jurus:

20
a) Pembayaran iuran (premi) dimuka ke Badan Penyelenggara. Peserta JPKM membayar
sejumlah iuran dimuka secara teratur kepada Bapel, sehingga Bapel mengetahui
jumlah dana yang harus dikelola secara efisien untuk pemeliharaan kesehatan peserta.
b) Pembayaran pra-upaya ke Pemberi Pelayanan Kesehatan. Pembayaran sejumlah
dimuka oleh Bapel ke PPK, sehingga PPK tahu batas anggaran yang harus digunakan
untuk merencanakan pemeliharaan kesehatan bagi peserta secara efisien dan efektif.
Pembayaran dapat berbagai cara antara lain: sistem kapitasi, sistem anggaran, DRG
(diagnostic related group). Umumnya menggunakan sistem kapitasi, pembayaran
dimuka sebesar perkalian jumlah peserta denagn satuan biaya.
c) Pemeliharaan kesehatan paripurna mencakup upaya promotif/ peningkatan kesehatan,
preventif/ pencegahan penyakit, kuratif/ pengobatan serta rehabilitatif/ pemulihan
kesehatan yang dilakukan secara terstruktur dan berjenjang oleh sarana pelayanan
kesehatan primer, sekunder dan tersier.
d) Ikatan Kerja. Hubungan antara bapel dengan PPK, hubungan Bapel dengan peserta
diatur dengan ikatan kerja yang menata secara rinci dan jelas hak dan kewajiban
masing-masing.
e) Jaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Jaga mutu dilakukan oleh Bapel (dengan PPK) agar
pelayanan kesehatan yang diberikan sesuai kebutuhan dan standar profesi dan kaidah
pengobatan rasional.
f) Pemantauan Pemanfaatan Pelayanan. Pemantauan ini perlu dilakukan agar dapat
melakukan penyesuaian kebutuhan medis peserta, mengetahui perkembangan
epidemiologi penyakit peserta dan pengendalian penggunaan pelayanan kesehatan
oleh peserta.
g) Penanganan Keluhan dilaksanakan oleh Bapel. Bertujuan untuk menjamin mutu dan
stabilitas dalam menjalankan kegiatan JPKM. (Dr.Sunarto, M.Kes ; 2012).

BAB III

21
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dibandungkan dengan keadaan negara maju, hukum perundang-undangan terhadap lanjut


usia di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan, antara lain belum adanya undang-
undang tentang lanjut usia (Senior Citizen’s Act), elayanan berkelanjutan bagi lanjut usai
9Continuum of Care), tunjangan pelayanan dan peraawatan terhadap lanjut usai (Medicare),
hak penghuni panti (Charter of Resident’s Right) dan pelayanan lanjut usia di masyarakat.
Keadaaan ini menimbulkan berbagai permasalahn. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998
tetang kesejahteran lanjut usia merupaan langkah awal guna m3ningkatkan perhatian
pemerintah dan masyarakat kepada lanjut usia.

JPKM merupakan model jaminan kesehatan pra-bayar yang mutunya terjaga dan
biayanya terkendali, JPKM dikelola oleh suatu badan penyelenggara (bapel) dengan
menerapkan jaga mutu dan kendali biaya. Masyarakat yang ingin menjadi peserta/anggota
mendaftarkan diri dalam kelompok-kelompok ke bapel dengan membayar iuran di muka.
Peserta akan memperoleh pelayanan kesehatan paripurna dan berjenjang dengan pelayanan
tingkat pertama sebagai ujung tombak, yang memenuhi kebutuhan utama kesehatannya
dengan mutu terjaga dan biaya terjangkau.

Dengan adanya JPKM di indonesia, masyarakat bisa memanfaatkan fasilitas kesehatan


yang sudah ada dengan membayar iuran dan dalam dasar azaz saling tolong menolong,
mayarakat juga selain mendapatkan pelayanan kesehatan, juga mendapatkan promotif,
prefentif, kuratif, dan rehabilitatif. Masyarakat indonesia agar bisa lebih sadar akan kesehatan
di mulai dari individu, keluarga sampai lingkungan sekitarnya, dengan adanya jpkm
masyarakat akan terjamin dalam segi kesehatan sesuai dengan kebutuhan, dan JPKM dapat
memeratakan khususnya dibidang kesehatan sehingga masyarakat lebih sadar pentingnya
hidup sehat, dan dapt meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

B. SARAN

Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat menambah wawasan kita tentang JPKM,
yang sangat berguna untuk kita dmana kita di tuntut untuk meningkatkan derajat kesahatan
masyarakat Indonesia dengan program JPKM ini maka akan mempermudah kita menjangkau
setiap lapisan masyarakat. Untuk para pembaca, setidaknya dapat mengetahui tentang JPKM,

22
Manfaat JPKM, syarat-syarat untuk mengikuti JPKM, Tujuan JPKM, sasaran JPKM. Dan
diharapkan agar dapat menyikapi makalah kami dan memberikan saran serta kritik untuk
menyempurnakan makalah kami ini.

23
DAFTAR PUSTAKA

• Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut),
Edisi 2. 2000. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

•SKM, Hardiwinoto, Stiabudi, Tony.Pandaun Gerontologi, Tinjauan Dari

Berbagai Aspek. 2005. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

•www.google.com(online)diakses pada tanggal 26 Oktober 2009.

24

Anda mungkin juga menyukai