Rena Sapitri - LP Autis PDF
Rena Sapitri - LP Autis PDF
AUTIS
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah stase Keperawatan Anak
Program Profesi Ners Angkatan XXXVIII
RENA SAPITRI
II. Klasifikasi
Menurut Veskarisyanti (2008), terdapat beberapa klasifikasi autis diantaranya yaitu:
1) Aloof, anak dengan autisme tipe aloof senantiasa berusaha menarik diri dari kontak sosial,
dan cenderung untuk menyendiri di pojok.
2) Passive, anak dengan autisme tipe ini tidak berusaha mengadakan kontak sosial melainkan
hanya menerima saja.
3) Active but odd, pada tipe ini anak mau melakukan pendekatan namun hanya bersifat
repetitif dan aneh.
Menurut Childhood Autism Rating Scale (CARS), autis dapat diklasifikasikan sebagai berikut
(Mujiyanti, 2011):
1) Autis Ringan
Pada kondisi ini, anak autis masih menunjukkan adanya kontak mata walaupun tidak
berlangsung lama. Anak autis juga dapat memberikan sedikit respon ketika namanya
dipanggil, menunjukkan ekspresi-ekspresi muka, dan dalam berkomunikasi dua arah
meskipun terjadi hanya sesekali.
2) Autis Sedang
Pada kondisi ini, anak autis masih menunjukkan sedikit kontak mata namun tidak
memberikan respon ketikan namanya dipanggil. Tindakan agresif atau hiperaktif,
menyakiti diri sendiri, acuh, dan gangguan motorik yang stereopik cenderung agak sulit
untuk dikendalikan tetapi masih bisa dikendalikan.
3) Autis Berat
Pada kondisi ini, anak autis menunjukkan tindakan-tindakan yang sangat tidak terkendali,
biasanya anak autis akan memukul-mukulkan kepalanya ke tembok secara berulang-ulang
tanpa henti. Ketika orang tuanya berusaha mencegah, anak autis tidak memberikan respon
dan tetap melakukannya, bahkan dalam kondisi berada di pelukan orang tuanya sendiri.
Anak autis baru berhenti ketika sudah merasa lelah kemudian langsung tertidur.
III. Etiologi
Penyebab pasti terjadinya autisme masih belum jelas, banyak teori yang menyebutkan
bahwa penyebab autis adalah multifaktor, diantaranya yaitu faktor genetik, terganggunya
sistem saraf pusat, terkena paparan infeksi, dan kemungkinan-kemungkinan lain. Sebanyak ±
20% kasus autisme disebabkan oleh faktor genetik, yaitu Tuberous sclerosis (17-58%) dan
Sindrom fragile X (20-30%). Disebut fragile-X karena secara sitogenetik penyakit ini ditandai
oleh adanya kerapuhan (fragile) yang tampak seperti patahan di ujung akhir lengan panjang
kromosom X4. Sindrom fragile X merupakan penyakit yang diwariskan secara X-linked (X
terangkai) yaitu melalui kromosom X. Pola penurunannya tidak umum, yaitu tidak seperti
penyakit dengan pewarisan X-linked lainnya, karena tidak bisa digolongkan sebagai dominan
atau resesif, laki-laki dan perempuan dapat menjadi penderita maupun pembawa sifat (carrier)
(Suteja, 2014).
Banyak penelitian yang melaporkan bahwa anak autis memiliki kelainan pada hampir
semua struktur otak. Tetapi kelainan yang paling konsisten adalah pada otak kecil. Otak kecil
berfungsi mengontrol fungsi luhur dan kegiatan motorik, juga sebagai sirkuit yang mengatur
perhatian dan pengindraan. Jika sirkuit ini rusak atau terganggu maka akan mengganggu fungsi
bagian lain dari sistem saraf pusat, seperti misalnya sistem limbik yang mengatur emosi dan
perilaku (Sugiarmin, 2005). Pada umumnya anak autisme tidak dapat mengendalikan
emosinya, sering agresif terhadap diri sendiri dan orang lain, atau sangat pasif seolah-olah tidak
mempunyai emosi. Selain itu, juga muncul perilaku yang berulang-ulang (stereotipik) dan
hiperaktivitas, yang keduanya erat kaitannya dengan adanya gangguan pada daerah sistem
limbik di otak.
Terdapat pula beberapa dugaan yang menyebabkan terjjadinya kerusakan pada otak
yang menimbulkan gangguan autisme diantaranya yaitu adanya pertumbuhan jamur Candida
yang berlebihan di dalam usus (Rahayu, 2014). Akibat terlalu banyak jamur, maka sekresi
enzim ke dalam usus berkurang. Kekurangan enzim menyebabkan makanan tidak tidak dapat
dicerna dengan sempurna sehingga akan menjadi racun bagi tubuh. Bila pencernaan baik,
protein biasanya akan memutus rantai yang terdiri dari 20 asam amino ke seluruh tubuh.
Namun, apabila pencernaan kurang baik, maka masih ada beberapa asam amino yang rantainya
belum terputus. Rangkaian yang terdiri dari beberapa asam amino disebut peptida. Oleh karena
adanya kebocoran usus, maka peptida tersebut diserap melalui dinding usus, masuk ke dalam
aliran darah dan menembus ke dalam otak. Di dalam otak, peptida tersebut ditangkap oleh
reseptor opioid, dan berfungsi seperti morfin. Hal ini menyebabkan terganggunya kerja
susunan saraf pusat, seperti persepsi, kognisi (kecerdasan), emosi, dan perilaku.
Adapula dugaan yang menyebutkan bahwa yang menyebabkan terjadinya kerusakan
pada otak yaitu adanya timbal, merkuri, atau zat beracun lain yang termakan bersama makanan
yang dikonsumsi oleh ibu hamil, yang selanjutnya mempengaruhi pertumbuhan otak janin yang
dikandungnya. Adapun faktor lain yaitu dari faktor ibu yang terinfeksi virus TORCH
(Toksoplasmosis, Rubella, Cytomegali, dan Herpes) yang terjadi sebelum atau setelah
kelahiran sehingga dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan sel otak (Rahayu, 2014).
Menurut Rahayu (2014) terdapat beberapa gejala yang dapat menggambarkan anak yang
mengalami autis, diantaranya yaitu:
1) Dalam bidang komunikasi verbal maupun non verbal, ditunjukkan dengan gejala:
a. Mengalami keterlambatan dalam perkembangan bicara, atau kemampuan bicara.
b. Meracau dengan bahasa aneh.
c. Bicara tetapi tidak digunakan untuk komunikasi.
d. Echolalia/membeo/meniru.
e. Menarik tangan orang dewasa untuk minta tolong.
2) Dalam bidang interaksi sosial, ditunjukkan dengan gejala:
a. Tidak adanya kontak mata dengan lawan bicara.
b. Ekspresi wajah tidak sesuai dengan perasaan.
c. Gerakan atau sikap tubuh tidak sesuai dengan pembicaraan yang sedang berlangsung.
d. Mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan dengan teman sebaya yang sesuai
dengan usianya, mengalami kesulitan dalam aktivitas dan minat yang melibatkan orang
lain, mengalami kesulitan dalam melakukan hubungan timbal balik dengan orang lain.
e. Menolak untuk dipeluk, disentuh, dan digendong.
f. Tidak mau menengok apabila dipanggil.
3) Dalam bidang perilaku, ditunjukkan dengan gejala:
a. Mengalami gangguan perilaku berlebihan, hiperaktivitas motorik, seperti tidak bisa
diam, lari tidak terarah, melompat-lompat, berputar-putar, mengibas-ngibaskan
tangan, gerakan diulang-ulang.
b. Duduk diam, melamun, tatapan mata kosong, terpaku pada benda yang berputar dan
tidak beranjak, lekat pada benda tertentu.
4) Dalam bidang perasaan dan emosi, ditunjukkan dengan gejala:
a. Tidak ada atau kurang empati.
b. Tertawa-tawa sendiri, menangis, atau marah-marah tanpa sebab yang jelas.
c. Sering mengamuk atau tantrum apabila tidak mendapat yang diinginkan, bisa menjadi
agresif dan destruktif atau merusak.
5) Dalam bidang persepsi sensoris, ditunjukkan dengan gejala:
a. Mencium-cium, menggigit atau menjilati mainan atau benda apapun.
b. Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.
c. Tidak suka disentuh/sangat sensitif.
d. Merasa sangat tidak nyaman apabila memakai baju atau celana dari bahan kasar.
V. Pemeriksaan Penunjang
Apabila tes-tes secara behavioral maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya
autisme, maka beberapa instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan
untuk mendiagnosa autisme, yaitu:
1) Childhood Autism Rating Scale (CARS)
Skala peringkat autisme masa kanak-kanak ini dibuat oleh Eric Schopler pada awal tahun
1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku. Anak akan dievaluasi berdasarkan
hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan,
kemampuan mendengar dan komunikasi verbal.
2) The Checklist for Autism in Toddlers (CHAT)
Berupa daftar pemeriksaan autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi
anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen pada awal tahun 1990-an,
berisi beberapa daftar pertanyaan yang meliputi aspek imition, perend play, dan joint
attention (Suteja, 2014).
3) The Autism Screening Questionare
Berupa daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala item yang digunakan pada anak di atas
usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka.
4) The Screening Test for Autism in Two Years Old
Berupa tes screening autisme untuk anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy
Stoen di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu bermain, imitasi
motor dan konsentrasi.
VI. Penatalaksanaan Medis
Terapi psikofarmakologi tidak mengubah riwayat keadaan atau perjalanan gangguan
autistik, tetapi efektif mengurangi perilaku autistik seperti hiperaktivitas, penarikan diri,
stereotipik, menyakiti diri sendiri, agresivitas dan gangguan tidur. Sejumlah observasi
menyatakan, manipulasi terhadap sistem dopamin dan serotonin dapat bermanfaat bagi pasien
autis. Antipsikotik generasi baru, yaitu antipsikotik atipikal, merupakan antagonis kuat
terhadap reseptor serotonin 5-HT dan dopamin tipe 2 (D2). Risperidone bisa digunakan sebagai
antagonis reseptor dopamin D2 dan serotonin 5-HT untuk mengurangi agresivitas,
hiperaktivitas, dan tingkah laku menyakiti diri sendiri. Olanzapine, digunakan karena mampu
menghambat secara luas pelbagai reseptor, olanzapine bisa mengurangi hiperaktivitas,
gangguan bersosialisasi, gangguan reaksi afektual (alam perasaan), gangguan respons sensori,
gangguan penggunaan bahasa, perilaku menyakiti diri sendiri, agresi, iritabilitas emosi atau
kemarahan, serta keadaan cemas dan depresi.
VII. Penatalaksanaan
Terdapat beberapa penanganan terpadu yang dapat dilakukan pada penderita autis, yaitu
sebagai berikut (Handojo, 2009):
a. Terapi Biomedik
Terapi biomedis yaitu penanganan biomedis melalui perbaikan kondisi tubuh agar terlepas
dari faktor-faktor yang merusak, misalnya keracunan logam berat, alergen dan lain-lain.
Terapi ini bertujuan untuk memperbaiki metabolisme tubuh melalui diet dan pemberian
suplemen. Terapi ini meliputi pengaturan diet dengan menghindari zat yang menimbulkan
alergi, pengobatan terhadap jamur, dan pemberian suplemen dan vitamin (Rahayu, 2014):
- Diet gluten dan kasein atau disebut GFCF (Glutein Free Casein Free) yang berarti
menghindari makanan dan minuman yang mengandung gluten dan kasein (gluten
adalah campuran protein yang terkandung pada gandum, sedangkan kasein adalah
protein susu). Penurunan gejala autisme dengan diet khusus biassanya dapat dilihat
dalam waktu antara 1-3 minggu. Apabila diet yang telah dijalankan tidak menunjukkan
perubahan atau kemajuan yang berarti, maka diet tersebut dapat dihentikan dan anak
dapat diberi makanan seperti sebelumnya. Makanan yang harus dihindari yaitu semua
makanan yang dibuat dari terigu dan susu serta olahannya, misalnya roti, mie, kue,
biskuit, pizza, spaghetti, es krim, keju, mentega, yogurt, dan lain-lain.
- Diet anti yeast/ragi/jamur, diberikan kepada anak dengan gangguan infeksi jamur/yeast.
Makanan yang perlu dihindari yaitu makanan yang mengandung gula dan yeast
misalnya roti, pastry, biskuit; makanan hasil olahan, seperti daging asap, sosis, kornet;
macam-macam saus, monosodium glutamate, macam-macam kecap, macam-macam
acar atau makanan yang mengandung cuka, mayonnaise; semua jenis jamur segar
maupun kering; buah yang dikeringkan; dan sari buah yang diawetkan.
- Diet untuk alergi dan intoleransi makanan, pada umumnya anak autis menderita alergi
berat, biasanya yang sering menimbulkan alergi yaitu ikan, udang, telur, susu, coklat,
dan gandum. Untuk mengatur makanan terhadap anak yang alergi dan intoleransi
makanan pertama-tama harus mencari sumber penyebabnya dulu, kemudian baru
hindarkan. Cara mengatur makanan untuk anak autis yaitu, (1) Berikan makanan yang
seimbang. (2) Gula sebaiknya dihindari khususnya bagi yang hiperaktif dan ada infeksi
jamur. (3) Minyak untuk memasak sebaiknya menggunakan minyak sayur, minyak
jagung, minyak biji bunga matahari. (4) Cukup mengkonsumsi serat, khususnya yang
berasal dari sayuran dan buah-buahan segar. (5) Pilih makanan yang tidak
menggunakan zat penambah rasa, zat pewarna, dan zat pengawet. (6) Berikan suplemen
vitamin dan mineral apabila keseimbangan gizi tidak terpenuhi. (7) Perhatikan
komposisi makanan dan waktu kadaluwarsanya. (8) Berikan makanan yang bervariasi.
(9) Hindari makanan siap saji.
b. Terapi Wicara
Menurut Veskarisyanti (2008), umumnya hampir semua penyandang autisme mengalami
keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa. Kadang-kadang bicaranya cukup
berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai kemampuan bicaranya untuk
berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain. Oleh karena itu, terapi wicara (speech
therapy) dilakukan untuk membantu anak berbicara lebih baik. bantuan yang dapat
diberikan dalam terapi wicara adalah:
- Untuk organ bicara dan sekitarnya yang sifatnya fungsional → membantu untuk
melatih organ bicara yang mengalami kesulitan.
- Untuk artikulasi atau pengucapan.
c. Terapi Perilaku
Terapi ini bertujuan agar anak autis dapat mengurangi perilaku yang bersifat self-
maladaption (tantrum atau melukai diri sendiri) dan menggantinya dengan perilaku yang
dapat diterima oleh masyarakat. Fokus penanganan dalam terapi perilaku adalah pemberian
reinforcement positif setiap kali anak merespon sesuai dengan instruksi yang diberikan,
namun dalam terapi ini tidak menerapkan punishment bila anak merespon tidak sesuai
dengan instruksi. Perlakuan ini diharapkan dapat meningkatkan respon positif anak dan
mengurangi kemungkinan ia merespon negatif terhadap instruksi yang diberikan. Prinsip
dasar terapi ini adalah Atencendent diikuti oleh Behavior dan diikuti oleh Consequence.
Atencendent berupa instruksi yang diberikan oleh seseorang kepada anak autis, melalui
metode pembelajarannya yang terstruktur diharapkan anak autis dapat memahami behavior
(perilaku) apa yang diharapkan dilakukan olehnya setelah mendapat instruksi, dan perilaku
tersebut diharapkan cenderung terjadi lagi bila anak autis memproleh consequence
(konsekuensi) yang menyenangkan. Tujuan penanganan ini adalah untuk meningkatkan
pemahaman dan kepatuhan anak terhadap aturan.
d. Terapi Okupasi
Terapi ini bertujuan untuk membantu anak autis yang mempunyai perkembangan motorik
kurang baik yang dilakukan melalui gerakan-gerakan. Terapi okupasi ini dapat membantu
menguatkan, memperbaiki koordinasi dan keterampilan ototnya. Otot jari tangan misalnya
sangat penting dikuatkan dan dilatih supaya anak bisa menulis dan melakukan semua hal
yang membutuhkan keterampilan otot jari tangannya seperti menunjuk, bersalaman,
memegang raket, memetik gitar, main piano, dan sebagainya (Danuatmaja, 2003).
e. Terapi Sensori Integrasi
Integrasi sensoris berarti kemampuan untuk megolah dan mengartikan seluruh rangsang
yang diterima dari tubuh maupun lingkungan, dan kemudian menghasilkan respon yang
terarah. Terapi ini berguna untuk meningkatkan kematangan susunan saraf pusat, sehingga
lebih mampu untuk memperbaiki struktur dan fungsinya. Aktivitas ini merangsang koneksi
sinaptik yang lebih kompleks, dengan demikian dapat meningkatkan kapasitas untuk
belajar.
f. Terapi Perkembangan
Dalam terapi perkembangan, anak akan dipelajari minatnya, kekuatannya dan tingkat
perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan
intelektualnya sampai benar-benar anak tersebut mengalami kemajuan sampai dengan
interaksi simboliknya (Suteja, 2014).
g. Terapi Visual
Terapi visual bertujuan agar anak-anak autis dapat belajar dan berkomunikasi dengan cara
melihat (visual learner) gambar-gambar yang unik dan disenangi, misalnya dengan metode
Picture Exchange Communication System/PECS (Suteja, 2014).
h. Terapi Musik
Terapi musik dapat dilakukan untuk membantu perkembangan anak agar anak dapat
menanggap melalui pendengarannya, lalu diaktifkan di dalam otaknya, kemudian
dihubungkan ke pusat-pusat saraf yang berkaitan dengan emosi, imajinasi dan ketenangan
(Suteja, 2014). Musik yang dipakai adalah musik yang lembut dan dapat dengan mudah
dipahami oleh anak.
VIII. Pengkajian
Pada anak yang menderita autis, dapat dikenali tanda dan gejala autisme sebagai berikut
(Rahayu, 2014):
1) Usia 0-6 bulan
a. Bayi nampak terlalu tenang
b. Terlalu sensitif, cepat terusik/terganggu
c. Jarang mengoceh dan menunjukkan senyuman
d. Jarang menunjukkan kontak mata
e. Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama pada saat mandi
f. Bila digendong, tangan dikepalkan atau kaki ditegangkan secara berlebihan.
2) Usia 6-24 bulan
a. Tidak mau dipeluk, apabila digendong cenderung kaku dan tegang
b. Tidak tertarik pada mainan
c. Tidak berreaksi terhadap suara atau kata dan tidak berupaya menggunakan kata-kata
d. Sangat tertarik pada kedua tangannya sendiri, ditujukan dengan selalu memandang
tangannya sendiri atau benda secara lama (akibat dari terlambatnya dalam
perkembangan motorik halus dan kasar).
3) Usia 2-4 tahun
a. Tidak berminat atau bersosialisasi terhadap anak-anak lain
b. Kaku terhadap orang lain
c. Kontak mata terbatas
d. Tidak pernah fokus
e. Mencium atau menjilat-jilat benda
f. Menolak dipeluk.
4) Usia 4-5 tahun
a. Kalau anak bisa bicara, biasanya mengalami echolalia/membeo/menirukan suara orang
atau mengeluarkan suara-suara aneh
b. Mudah marah atau emosi apabila rutinitasnya diganggu dan kemauannya tidak dituruti
c. Agresif dan mudah melukai diri sendiri.