PROYEK INOVASI
DISUSUN OLEH
SYAHRONI I4051191008
TEGUH AYATULLAH I4051191009
TRI MUTIARA DAYANI I4051191010
ANNISA NUR MEDINAWATI I4051191039
ENGGAR SEPTHY ARSITHA I4051191040
NADA ELIZA NURLATIFAH I4051191041
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat,
hidayah dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Proyek Inovasi ini
yang berjudul “Pengaruh Pursed Lip Breathing (PLB) Pada Pasien Penyakit
Paru Obtruksi Kronik Terhadap Penurunan Respiratory Rate (RR) dan Pulse
menyelesaikan Proyek Inovasi ini tidak akan berjalan sesuai rencana apabila tidak
Untuk itu pada kesempatan ini tidak lupa Penulis mengucapkan terima
1. Ns. Sukarni, S. Kep., M. Kep. Selaku Dosen Koordinator Profesi Ners Stase
ii
5. Rekan-rekan kelompok 10 gelombang ke-8 Profesi Ners Stase Keperawatan
Medikal Bedah yang telah membantu dan bekerja sama sehingga proyek
6. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala bantuan,
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan Msalah ............................................................................ 5
1.3 Tujuan Masalah .............................................................................. 5
1.3.1 Tujuan Umum .................................................................... 5
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................... 6
1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan ................................................... 6
1.4.2 Bagi Masyarakat................................................................. 6
1.4.3 Bagi Mahasiswa ..............................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
2.1 Pengertian ....................................................................................... 7
2.2 Etiologi ........................................................................................... 8
2.3 Faktor Resiko ................................................................................. 8
2.4 Klasifikasi ...................................................................................... 9
2.5 Manifestasi Klinis .......................................................................... 10
2.6 Patofisiologi ................................................................................... 11
2.7 Pathway .......................................................................................... 12
2.8 Pemeriksaan Diagnostik ................................................................. 13
2.9 Penatalaksanaan ............................................................................. 15
2.10 Komplikasi ..................................................................................... 19
B. Pused Lip Breathing
2.1 Definisi ........................................................................................... 20
2.2 Tujuan ............................................................................................ 20
2.3 Indikasi dan Kontraindikasi ........................................................... 21
2.4 Teknik Pelaksanaan Pursed Lip Breathing .................................... 22
BAB III METODE
3.1 Metode............................................................................................ 23
3.2 Proses Pelaksanaan......................................................................... 23
BAB IV HASIL
4.1 Hasi ............................................................................................... 24
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Pembahasan .................................................................................... 25
BAB VI KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan .................................................................................... 28
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
penyakit saat ini telah mengalami pergantian epidemiologi yang ditandai dengan
Perubahan ini dipengaruhi oleh kondisi demografi, sosial ekonomi dan sosial
budaya. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu kelompok
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah salah satu dari kelompok
penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang
terjadinya inflamasi kronik pada saluran napas dan paru yang ditandai oleh
adanya hambatan aliran udara yang bersifat persisten dan progresif sebagai
respon terhadap partikel atau gas berbahaya (Khotimah, 2013; lisa, saad, dan
dunia yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang progesif dan sebagian
Akhir – akhir ini Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) semakin sering
1
perkiraan WHO, 65 juta orang mengalami penyakit paru obstruktif kronis sedang
atau berat (PPOK). Pada 2002 PPOK adalah penyebab kematian nomor lima.
Jumlah kematian akibat PPOL diproyeksikan meningkat lebih dari 30% dalam
risiko. sedangkan pada tahun 2005 Lebih dari 3 juta orang meninggal karena
PPOK, setara dengan 5% dari semua kematian secara global. Diketahui bahwa
(NHIS) pada tahun 1986 di Amerika Serikat, hampir 11,4 juta penduduk
menderita bronkhitis kronis dan 2 juta menderita emfisema (Amin, 1996 dalam
lisa, saad, dan Suyanto, 2015). Sedangka angka kejadian PPOK di Amerika
kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka 1,5
selama tahun 2000 (Riyanto dan Hisyam, 2007 dalam Bakti, 2015).
Indonesia sebesar 3,7%, Provinsi tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur sebesar
10,0% dan Provinsi terendah adalah Lampung 1,4% dengan usia tertinggi > 75
yaitu 9,4%. Berdasarkan jenis kelamin laki-laki merupakan angka kejadian lebih
tinggi yaitu 4,2% dibandingkan wanita yaitu 3,3% dengan tingkat pendidikan
tidak sekolah merupakan kejadian tertinggi yaitu 7,9% dan pekerjaan sebagai
2
Data Riskesdas (2013) angka kejadian PPOK di Kalimantan Barat adalah
3,5%. Sedangkan angka kejadian daerah Pontianak 1,0% dari angka kejadin
kejadian tertinggi yaitu 8,2% dan pekerjaan sebagai petani, nelayan dan buruh
penderita PPOK satu diantaranya adalah gangguan pernafasan atau sesak nafas.
(Hafiizh, 2013). Sesak nafas terjadi akibat gangguan ventilasi saluran pernafasan
menimbulkan berbagai tingkat gangguan antara lain batuk, nyeri dada, sesak
nafas, odema, terjadinya perubahan pola nafas, perubahan postur tubuh. Faktor
utama penyebab resiko PPOK adalah asap rokok atau merokok. Komponen-
komponen dari asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus
bronkus dan silia, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau
disfungsional serta metaplasia. Perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-
penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran
3
Berbagai penangan yang dapat dilakukan pada pasien dengan PPOK yaitu
jalan nafas, melegakan saluran pernafasan (Hilmi, 2005 dalam Bakti, 2015).
diawali dengan nafas dalam/ deep inspiration (Imania, Tirtayasa, & Lesmana,
2015).
Pursed Lip Breathing (PLB) merupakan teknik yang dapat gunakan untuk
oksigen yang dibutuhkan. PLB melatih untuk mengeluarkan napas lebih lambat,
sehingga bernapas lebih mudah, pada tingkat yang lebih nyaman, apakah sedang
4
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dengan ini penulis mengangkat
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) untuk mngatasi Respiratory Rate and
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) untuk mngatasi Respiratory Rate and
5
1.3.2.2. Untuk mengidentifikasi Respiratory Rate dan Pulse Oxsygan Saturation
setelah diberikan Pursed Lip Breathing Exercise
1.4. Manfaat
PPOK.
bahan pembelajaran, sehingga informasi yang didapat dari proyek inovasi ini
juga dapat digunakan sebagai acuan maupun literatur dan penanganan pada
penderita PPOK.
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
7
2.2 Etiologi
Penyebab PPOK terjadi karena gangguan pada bronkus dan alveolus atau
gabungan dari penyakit bronchitis kronis dan emfisema (Kusumawati,2013).
2.3 Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya PPOK menurut Mangunnegoro H dkk., (2003), yaitu
1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih
penting dari faktor penyebab lainnya.Dalam pencatatan riwayat
merokok perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok
Perokok aktif
Perokok pasif
Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun :
Ringan : 0-200
Sedang : 200-600
Berat : >600
Merokok dapat mengakibatkan respon peradangan sehingga
mengakibatkat pepepasan enzim proteolitik (protease). Bersamaan
dengan itu oksidan pada asap menghambatAlpha 1-antitrypsin.
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
Polusi udara yang terus- menerus merupakan predisposisi infeksi
rekuren karena polusi memperlambat aktivitas silia dan fagositosis, sehingga
timbunan mukus meningkat sedangkan mekanisme pertahanannya sendiri
melemah.
3. Hipereaktiviti bronkus
Hiperaktivitas bronkus terjadi karena adanya benda asing yang masuk
ke saluran tersebut yang lama kelamaan meningkatkan aktivitas bronkus
8
sehongga mukus keluar berlebihan. Hal ini beresiko menghambat jalan napas
pada pasien.
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
Infeksi saluran napas bawah yang berulang menyebabkan kerusakan
serabut elastikdan serabut retikular paru-paru disertai dengan menghilangnya
kemampuan mengembangkan paru-paru secara elastis, akan menyebabkan
peregangan paru-paru yang progresif.
5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia
Alpha 1-antitrypsin adalah suatu kondisi genetik yang bertanggung
jawab untuk sekitar 2% dari kasus PPOK. Dalam kondisi ini, tubuh tidak
membuat cukup protein, alpha 1-antitripsin. Alpha 1-antitripsin melindungi
paru-paru dari kerusakan yang disebabkan oleh enzim protease, seperti
elastase dan tripsin, yang dapat dirilis sebagai hasil dari respon inflamasi
terhadap asap tembakau.
2.4 Klasifikasi
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan klasifikasi
(derajat) PPOK menurut GOLD (2009) dalam Candly ( 2010) ,yaitu :
Klasifikasi Penyakit Gejala Klinis Spirometri
PPOK Ringan -Dengan atau tanpa batuk -VEP1 ≥ 80% prediksi
-Dengan atau tanpa (nilai normal spirometri)
produksi sputum -VEP1/KVP < 70%
-Sesak napas derajat
sesak 1 sampai derajat
sesak 2
PPOK Sedang -Dengan atau tanpa batuk -VEP1/KVP < 70%
-Dengan atau tanpa -50% ≤ VEP1 < 80%
produksi sputum prediksi
-Sesak napas derajat 3
PPOK Berat -Sesak napas derajat -VEP1/KVP < 70%
sesak 4 dan 5 -30% ≤ VEP1 < 50%
-Eksaserbasi lebih sering prediksi
terjadi
PPOK Sangat Berat -Sesak napas derajat -VEP1/KVP <70%
sesak 4 dan 5 dengan -VEP1 < 30% prediksi,
gagal napas kronik atau
-Eksaserbasi lebih sering -VEP1 < 50% dengan
9
terjadi gagal napas kronik
-Disertai komplikasi kor
pulmonale atau gagal
jantung kanan
10
5. Penurunan aktivitas
Penderita PPOK akan mengalami penurunan kapasitas fungsional dan
aktivitas kehidupan sehari-hari. Kemampuan fisik yang terbatas pada
penderita PPOK lebih dipengaruhi oleh fungsi otot skeletal atau perifer. Pada
penderita PPOK ditemukan kelemahan otot perifer disebabkan oleh hipoksia,
hiperkapnia, inflamasi dan malnutrisi kronis.
2.6 Patofisiologi
Pada bronkitis kronik terjadi penyempitan saluran nafas. Penyempitan ini
dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas dan menimbulkan sesak. Pada
bronkitis kronik, saluran pernafasan kecil yang berdiameter kurang dari 2 mm
menjadi lebih sempit. Berkelok-kelok, dan berobliterasi. Penyempitan ini terjadi
karena metaplasia sel goblet. Saluran nafas besar juga menyempit karena
hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mukus. Pada emfisema paru penyempitan
saluran nafas disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-paru (Mansjoer, 2001
dalam Afianti. ,2011).
Faktor resiko utama dari ppok ini adalah merokok. Komponen-komponen
asap rokok ini merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mokus bronkus dan
sillia. Selain itu, sillia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau
disfungsional serta metalapsia. Perubahan- perubahan pada sel penghasil mucus
dan sillia menggangu sistem escalator mukosilaris dan menyebabkan
penumpukan mucus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran
pernafasan. Mucus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme
penyebab infeksi dan menjadi sangan purulen. Timbul peradangan yang
menyebabkan edema dan pembengkakan jaringan. Ventilasi, terutama ekspirasi
terhambat. Timbul hiperkapnea akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit
dilakukan akibat mucus yang kental dan adannya peradangan. Komponen-
komponen asap rokok tersebut juga merangsang terjadinya peradangan kronik
pada paru. Mediator- mediator peradangan secara progresif merusak struktur-
struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran pernafasan dan
kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama
11
pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan ( recoil ) paru
secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila terjadi recoil pasif , maka
udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps. ( price, S &
Wilson, L , 2006 ).
2.7 Pathway
Pencetus
(Bronkitis Kronik, Empisema Rokok
Silia
PPOK
berdisfungsional dan
bermetaplasia
Pembesaran Alvioli
Inflamasi
Hipertrofi & hiperplasi
Kelenjar Mukus
Infeksi
Gangguan
Pertukaran Gas Obstruksi Saluran Napas
Sputum
meningkat
Suplai oksigen tidak Espansi Paru Menurun
adekuat ke seluruh
tubuh Penumpukan mukus
Peningkatan Frekuensi kental
Pernafasan
Hipoksia
Batuk
Peningkatan Penggunaan
Sesak Energi untuk Pernafasan
Meningkat Ketidakefektifan
BersihanJalan Nafas
Ketidakefektifan
Pola Nafas Intoleransi Aktifitas
12
2.8 Pemeriksaan Diagnostik
2.8.1 Menurut Sudoyo (2010) dalam Wahyu (2014), pemeriksaan diagnostik pada
PPOK anatar lain :
1) Tes fungsi paru
PEF < 100L/ menit atau FEV1 < 1 L mengindikasikan adanya ekserbasi
yang parah.
2) Pemeriksaan analisis gas darah
a) PaO2< 8,0 kPa (60 mmHg) dan atau SaO2< 90% dengan atau
tanpa PaCO2\< 6,7 kPa (50 mmHg), saat bernafas dalam udara
ruangan, mengindikasikan adanya gagal nafas.
b) PaO2< 6,7 kPa (50 mmHg), PaCO2> 9,3 kPa (70 mmHg) dan pH <
7,30, memberi kesan episode yang mengancam jiwa perlu
dilakukan monitor ketat serta penanganan intensif.
3) Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG dapat membantu penegakan diagnosis hipertrofi
ventrikel kanan, aritmia dan iskemia. untuk Mengetahui komplikasi pada
jantung yang ditandai oleh pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
4) Kultur dan sensitivitas kuman
Untuk mengetahui kuman penyebab serta resistensi kuman terhadap
antibiotik yang dipakai, pemeriksaan ini juga diperlukan jika adanya
respon terhadap antibiotic yang di pakai sebagai pengobatan pada
pemulaan penyakit.
2.8.2 Menurut murwani, 2012 dalam wahyu, 2014, pemeriksaan laboratorium,yaitu :
1) Pemeriksaan laboratorium
a) Leukosit
Hitung sel darah putih menunjukkan jumlah sel darah putih per
microliter darah. Peningkatan leukosit dapat dditemukan pada
berbagai kondisi, seperti : Penyakit infeksi bakteri, perdarahan akut,
disfungsi endotel, Leukimia, Terpapar bahan beracun, gagal ginjal
13
(nefritis), Penyakit inflamasi kronis, reaksi stress, olahraga, panas,
dingin, anestesi, merokok sigaret.
b) Eritrosit
Pemeriksaan eritrosit dilakukan untuk mengetahui adanya
kelainan sel darah merah yang berfungsi sebagai alat transport utama
yang membawa oksigen. Umur eritrosit normal rata-rata 110-120 hari.
Setiap hari terjadi kerusakan sel eritrosit sebesar 1% dari seluruh
jumlah eritrosit oleh sumsum tulang. Bila tingkat kerusakan sel
eritrosit lebih cepat (umur eritrosit lebih pendek) dari kapasitas
sumsum tulang untuk memproduksi sel eritrosit (disebut proses
hemolisis), maka akan menimbulkan kondisi anemia.
c) Hemoglobin
Hb merupakan protein di dalam sel darah merah yang
berfungsi mengikat oksigen. Hb tinggi ditemukan pada kondisi PPOK,
gagal jantung kongestif, perokok, preklamsia, sedangkan Hb rendah
ditemukan pada kondisi penyakit hati kronik, anemia, hipertyroid,
kanker, lupus.
d) BBS atau LED
Merupakan salah satu pemeriksaan rutin untuk darah untuk
mengetahui tingkat peradangan dalam tubuh seseorang. Proses
pemeriksaan sedimentasi (pengendapan) darah ini diukur dengan
memasukkan darah kita ke dalam tabung khusus LED dalam posisi
tegak luruh selama satu jam. Sel darah merah akan mengendap ke
dasar tabung sementara plasma darah akan mengambang di
permukaan. Kecepatan pengendapan sel darah merah inilah yang
disebut LED.
e) Analisa darah arteri (PO2 dan saturasi oksigen)
Analisis gas darah merupakan pemeriksaan untuk mengukur
keasaman (pH), jumlah oksigen dan karbondioksida dalam darah.
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai fungsi kerja paru-paru dalam
14
menghantarkan oksigen ke dalam sirkulasi darah dan mengambil
karbondioksida dari dalam darah. Analisis gas darah meliputi
pemeriksaan PO2, PCO3, pH, HCO3, dan saturasi O2. Normal pH 7,35-
7,45 dan PaCO2 35-45 mmHg, serta pO2 75-100 mmHg.
2.9 Penatalaksaan
2.9.1 Medis
Penatalaksanaan medis secara umum (Somantri,2007) , yaitu:
1. Pasien dengan penyakit asal COPD : pemberian O2 sangat dianjurkan
untuk memperbaiki pertukaran gas dan menurunkan tekanan arteri pulmonal
serta tahanan vaskuler pulmonal.
2. Higienis bronchial : diberikan obat golongan bronkodilator
3. Jika terdapat gejala gagal jantung : perbaiki kondisi hipoksemia dan
hiperkapnia
4. Bedrest, diet rendah sodium, pemberian diuretic
5. Digitalis : bertujuan untuk meningkatkan kontraktilitas dan menurunkan
denyut jantung, selain itu juga mempunyai efek digitalis ringan.
Penatalaksanaan Medis (Smeltzer,Suzanne.C, 2001), yaitu
1. Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara
2. Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia,
maka digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau eritromisin
4×0.56/hari Augmentin (amoksilin dan asam klavulanat) dapat
diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B.
Cacarhalis yang memproduksi B. Laktamase Pemberiam antibiotik
seperti kotrimaksasol, amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang
mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan
membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam
7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder
atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat.
15
b. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2
c. Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan baik.
d. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di
dalamnya golongan adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien dapat
diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratopium bromida 250 mg
diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 - 0,56 IV
secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang di lakukan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin
4×0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas
tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan
obyektif dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi
1. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
2. Mukolitik dan ekspektoran
3. Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal
napas tipe II dengan PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg).
2.9.2 Penatalaksanaan keperawatan
1. Memperbaiki pertukaran gas
Perawat harus memantau perubahan jalan napas yang dapat
menimbulkan dispnea dan hipoksia. Perawat dapat mengukur perbaikan
dalam laju aliran ekspirasi (berapa lama diperlukan untuk ekshalasi dan
jumlah udara yang dihembuskan).
2. Terapi aerosol
Terapi ini membantu mengencerkan sekresi sehingga mudah untuk
dibuang. Pada terapi ini bronkodilator yang dihirup sering ditambahkan ke
dalam nebuliser untuk memberikan aksi bronkodilator langsung pada jalan
napas sehingga juga dapat memperbaiki pertukaran gas. Pasien juga
16
disarankan untuk menghirup moisture untuk lebih mengencerkan sekresi,
kemudian membatukkan dengan ekspulsif atau drainase postural akan
membantu dalam pengeluaran sekresi. Perawat membantu pasien untuk
melakukan hal ini dengan benar agar tidak membuat pasien keletihan.
3. Terapi oksigen
Oksigen diresepkan ketika terjadi hipoksemia. Perawat harus
memantau keefektifan terapi oksigen dan memastikan bahwa pasien patuh
dalam menggunakan alat pemberi oksigen. Pasien diinstruksikan tentang
penggunaan oksigen yang tepat dan tentang bahaya peningkatan laju aliran
oksigen.
4. Pembuangan sekresi bronchial
Tujuan utama dalam pengobatan PPOK adalah untuk menghilangkan
kuantitas dan viskositas sputum untuk memperbaiki ventilasi paru dan
pertukaran gas. Cara yang dapat dilakukan adalah pasien dianjurkan untuk
memasukan cairan yang banyak (6 sampai 8 gelas) dalam sehari untuk
mengencerkan sekresi.
5. Drainase postural
Drainase postural dengan perkusi dan vibrasi menggukanakan bantuan
gaya gravitasi untuk membantu menaikan sekresi sehingga dapat dikeluarkan
dan diisap dengan mudah. Terapi yang dapat mendilatasi bronkioles, seperti
terapi aerosol , bronkodilator aerosolisasi, atau tindakan pernapasan tekanan
positif intermitten (IPPB), harus diberikan sebelum drainase postural karena
sekresi akan lebih mudah mengalir setelah percabangan trakeobonkial
berdilatasi. Pasien diinstruksikan bernapas dan batuk efektif untuk membantu
mengeluarkan sekresi.
6. Mencegah infeksi bronkopulmonal
Infeksi bronkopulmonal harus dikendalikan untuk menghilangkan
edema inflamasi dan memungkinkan penyembuhan aksi siliaris normal. Pada
PPOK infeksi dapat disertai dengan perubahan yang sangat halus. Pasien
diinstruksikan untuk melaporkan dengan egera jika sputum mengalami
17
perubahan warna,karakter dan jumlah karena perubahan itu dapat menjadi
tanda-tanda infeksi.
7. Latihan bernapas dan training pernapas
a. Latihan Bernapas
Sebagian besar individu dengan PPOK bernapas dengan dalam
dari dada bagian atas dengan cara yang cepat dan tidak efisien. Jenis
bernapas dengan dada atas ini dapat diubah menjadi bernapas
diafragmatik dengan latihan. Training pernapasan diafragmatik
mengurangi frekuensi pernapasan, meningkatkan ventilasi alveolar,
kadang membantu mengeluarkan udara sebanyak mungkin selama
ekspirasi.
b. Mengatur aktivitas
Pasien harus ikut serta dalam perencanaan aktivitas perawatan
diri dengan perawat dan dalam menentukan waktu yang paling tepat
untuk beraktivitas.
c. Latihan otot-otot pernapasan
Jika pasien telah mempelajari pernapasan diafragmatik, suatu
program otot-otot mungkin direncanakan untuk membantu
menguatkan otot-otot yang digunakan dalam bernapas.
8. Melakukan aktivitas perawatan diri
Dengan membaiknya pertukaran gas, bersihan jalan napas, dan
perbaikan pola pernapasan, pasien dianjurkan untuk melakukan perawatan
diri. Pasien diajarkan untuk mencoba mengkoordinasikan pernapaan
diagfragmatik dengan aktivitas seperti berjalan, mandi, dan aktivitas-aktivitas
lain yang dilakukan pasien sehari-hari.
9. Meningkatkan pengkondisian fisik
Teknik pengkondisian fisik termasuk latihan pernapasan dan latihan
pengkondisian fisik secara umum yang dimaksud untuk memulihkan dan
meningkatkan ventilasi paru. Program latiahan dan pengkondisian fisik secara
bertahap mencakup treadmill, sepeda statis dan tingkat berjalan yang diukur.
18
10. Pendidikan pasien dan pertimbangan perawatan di rumah
a. Menetapkan tujuan yang realistic
b. Menghindari suhu yang ekstrim
c. Mengurangi konsumsi rokok/ berhenti merokok
d. Perubahan gaya hidup agar lebih memperhatikan kesehatan.
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK menurut PDPI (2003) adalah :
1. Gagal napas
a) Gagal napas kronik
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg,
dan pH normal,
b) Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai dengan :
- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun
2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan
terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada
kondisi kronik ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya
kadar limposit darah.
3. Kor pulmonal
Ditandai P pulmonal pada EKG,hematokrit >50 %,dapat disertai gagal
jantung kanan.
19
B. Pursed Lip Breathing Exercise
2.1. Definisi
Pursed Lip Breathing exercise merupakan latihan pernafasan dengan cara
penderitaduduk dan inspirasi dalam saat ekspirasi penderita menghembuskan
melalui mulut hampir tertutup seperti bersiul secara perlahan (Smeltzer , 2008).
Pursed-lip breathing (PLB) merupakan terapi latihan yang sering digunakan
oleh pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dalam program
rehabilitasi paru, dengan tujuan meningkatkan efisiensi pernapasan dan
mengurangi sesak napas (Fregonezi et al, 2004).
Pursed Lip Breathing Exercise adalah suatu latihan bernafas yang terdiri dari
dua mekanisme yaitu inspirasi secara dalam serta ekspirasi aktif dalam dan
panjang. Proses ekspirasi secara normal merupakan proses mengeluarkan nafas
tanpa menggunakan energi berlebih. Bernafas Pursed Lip Breathing Exercise
melibatkan proses ekspirasi secara panjang (Bakti, 2015)
2.2. Tujuan
2.2.1. Untuk mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta mengurangi
kerja pernafasan.
2.2.2. Meningkatkan inflasi alveolar maksimal, relaksasi otot dan menghilangkan
ansietas.
2.2.3. Mencegah pola aktifitas otot pernafasan yang tidak berguna, melambatkan
frekuensi pernafasan, mengurangi udara yang terperangkap, serta
mengurangi kerja bernafas (Smeltzer , 2008).
Latihan peranafasan dengan teknik Pursed Lip Breathing Exercise
membantu meningkatkan compliance paru untuk melatih kembali otot
pernafasan berfungsi dengan baik serta mencegah disstress pernafasan
(Ignatavius dan Workman, 2006).
Pursed Lip Breathing exercise dapat mencegah atelektasis dan
meningkatkan fungsi ventilasi pada paru, pemulihan kemampuan otot
pernafasan akan meningkatkan complience paru sehingga membantu ventilasi
lebih adekuat dan menunjang oksigenasi jaringan (Westerdhal, 2005).
20
Pada PPOK terjadi gangguan otot pernapasan yang dipengaruhi
konstraksi otot dan kekuatan otot pernapasan. Hilangnya daya elastis paru
pada PPOK menyebabkan hiperinflasi dan obstruktif jalan napas kronik yang
mengganggu proses ekspirasi sehingga volume udara yang masuk dan keluar
tidak seimbang serta terdapat udara yang terjebak (air trapping). Air Trapping
dalam keadaan lama menyebabkan diafragma mendatar, kontraksi otot kurang
efektif dan fungsinya sebagai otot utama pernapasan berkurang terhadap
ventilasi paru. Berbagai kompensasi otot interkostal dan otot inspirasi
tambahan yang biasa dipakai pada kegiatan tambahan akan dipakai terus-
menerus sehingga peran diafragma menurun sampai 65%. Volume napas
mengecil dan napas menjadi pendek sehingga menjadi hipoventilasi alveolar
yang akan meningkatkan konsumsi O2 dan menurunkan daya cadang
penderita. Frekuensi Pernapasan atau Respiratory Rate (RR) meningkat
sebagai upaya untuk mengkompensasi volume alun napas yang kecil (Agustin
& Yunus, 2008).
Pursed Lip Breathing (PLB) meningkatkan tekanan parsial oksigen
dalam arteri (PaO2), yang menyebabkan penurunan tekanan terhadap
kebutuhan oksigen dalam proses metabolisme tubuh, sehingga menyebabkan
penurunan sesak nafas dan Respiratory Rate (RR) atau frekuensi pernapasan
(Spahija et al, 2005).
2.3. Indikasi dan Kontraindikasi
2.3.1. Indikasi
a. Klien dengan gangguan pernapasan dengan akumulasi secret
b. Klien yang akan dilakukan pemeriksaan diagnostic seputum
c. Klien setelah menggunakan bronkodilator
2.3.2. Kontraindikasi
a. Klien dengan hemoptoe
b. Klien dengan kanker paru dengan yang beresiko tinggi terjadinya
hemoptoe
21
2.4. Teknik Pelaksanaan Pursed Lip Breathing
2.4.1. Mengatur posisi pasien dengan duduk ditempat tidur atau kursi.
2.4.2. Meletakkan satu tangan pasien di abdomen (tepat dibawah proc.sipoideus)
dan tangan lainnya ditengah dada untuk merasakan gerakan dada dan
abdomen saat bernafas.
2.4.3. Menarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik sampai dada dan
abdomen terasa terangkat maksimal lalu jaga mulut tetap tertutup selama
inspirasi dan tahan nafas selama 2 detik.
2.4.4. Hembuskan nafas melalui bibir yang dirapatkan dan sedikit terbuka sambil
mengkontraksikan otot – otot abdomen selama 4 detik (Smeltzer , 2008).
Inspirasi dalam dan ekspirasi panjang tentunya akan meningkatkan
kekuatan kontraksi otot intra abdomen sehingga tekanan intra abdomen
meningkat melebihi pada saat ekspirasi pasif. Tekanan intra abdomen yang
meningkat lebih kuat lagi tentunya akan meningkatkan pergerakan diafragma
ke atas membuat rongga thorak semakin mengecil. Rongga thorak yang
semakin mengecil ini menyebabkan tekanan intra alveolus semakin meningkat
sehingga melebihi tekanan udara atmosfer. Kondisi tersebut akan
menyebabkan udara mengalir keluar dari paru ke atmosfer. Ekspirasi panjang
saat bernafas Pursed Lip Breathing Exercise juga akan menyebabkan
obstruksi jalan nafas dihilangkan sehingga resistensi pernafasan menurun.
Penurunan resistensi pernafasan akan memperlancar udara yang dihirup dan
dihembuskan sehingga akan mengurangi sesak nafas (Smeltzer, 2008).
22
BAB 3
METODE
3.1. Metode
Pada proyek inovasi ini kami menggunakan metode pursed lips breathing
pada penderita PPOK di unit rawat inap penyakit dalam RSUD sultan syarif
muhammad al kadrie dengan jumlah pasien 1 orang yaitu yang diberikan
tindakan pursed lips breathing. Tindakan ini dilakukan selama 2 hari dengan
pemberian intervensi 2 kali dalam sehari. Sebelum dilakukan intervensi pada hari
pertama dilakukan pre dengan pengukuran respiratori rate, pulse oksigen
saturasi. Post pada hari ke dua dengan pengukuran respiratori rate, pulse oksigen
saturasi.
3.2. Proses Pelaksanaan
Proses pelaksanaan yaitu
1. Mengatur posisi pasien dengan duduk ditempat tidur atau kursi.
2. Meletakkan satu tangan pasien di abdomen (tepat dibawah proc.sipoideus)
dan tangan lainnya ditengah dada untuk merasakan gerakan dada dan
abdomen saat bernafas.
3. Menarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik sampai dada dan
abdomen terasa terangkat maksimal lalu jaga mulut tetap tertutup selama
inspirasi dan tahan nafas selama 2 detik.
4. Hembuskan nafas melalui bibir yang dirapatkan dan sedikit terbuka sambil
mengkontraksikan otot – otot abdomen selama 4 detik
23
BAB 4
HASIL
4.1. Hasil
Pre dilakukan pada hari pertama, pada kelompok intervensi didapatkan
hasil Respiratory Rate adalah 26 x/m dan pulse oksigen saturasi adalah 92%.
Sedangkan post dilakukan pada hari kedua, didapatkan hasil Respiratory Rate
adalah 22 x/m dan pulse oksigen saturasi adalah 94%.
24
BAB 5
PEMBAHASAN
5.1. Pembahasan
Dalam proyek yang dilakukan didapatkan pasien dengan PPOK sebelum
dilakukan tindakan pursed lips breathing, didapatkan pasien masih mengalami
takipnea dengan RR 26 x/ menit dan spO2 94%. Hal ini terjadi karena pasien
mengalami gangguan pada proses pertukaran gas penyempitan saluran napas
sehingga udara yang masuk tidak masksimal dan saat pertukaran gas, terdapat
udara yang terperangkap sehingga kebutuhan oksogen di dalam tubuh meningkat.
Pada bronkitis kronik terjadi penyempitan saluran nafas. Penyempitan ini dapat
mengakibatkan obstruksi jalan nafas dan menimbulkan sesak. Pada bronkitis
kronik, saluran pernafasan kecil yang berdiameter kurang dari 2 mm menjadi
lebih sempit. Berkelok-kelok, dan berobliterasi. Penyempitan ini terjadi karena
metaplasia sel goblet. Saluran nafas besar juga menyempit karena hipertrofi dan
hiperplasi kelenjar mukus. Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas
disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-paru (Mansjoer, 2001 dalam
Afianti, 2011).
Penatalaksanaan keperawatan yang diberikan pada pasien PPOK bertujuan
untuk meningkatkan pertukaran gas, meningkatkan kebersihan jalan napas yang
efektif, meningkatkan pola pernapasan, meningkatkan toleransi aktivitas,
meningkatkan koping, memantau dan menangani komplikasi (Smeltzer & Bare,
2010). Pola pernapasan dapat ditingkatkan dengan pursed lips breathing (PLB)
yakni pernapasan melalui bibir (Smeltzer & Bare, 2013). Latihan pernapasan
tersebut bertujuan untuk mencegah bronkiolus-bronkiolus kecil mengalami kolaps
dan mengurangi jumlah udara yang terakumulasi (Price & Wilson, 2005). Pursed
lips breathing merupakan breathing control yang dapat memberikan perasaan
relaksasi dan mengurangi dipsnea pada penderita PPOK (Reid & Chung, 2004).
Pursed lips breathing (PLB) adalah teknik bernapas yang dapat digunakan untuk
membantu bernapas lebih efektif dan dapat meningkatkan saturasi oksigen. PLB
melatih penderita PPOK untuk menghembuskan napas lebih lambat, sehingga
25
akan bernapas lebih mudah dan merasa nyaman, baik ketika beristirahat maupun
beraktivitas. Teknik pernapasan ini juga dapat membantu penderita PPOK merasa
lebih baik secara fisik dan mental (Petty et al., 2005). Aini et al. (2007)
melakukan penelitian yang menyimpulkan bahwa breathing retraining yang salah
satunya dengan PLB dapat meningkatkan ventilasi paru pada penderita PPOK.
Selanjutnya penelitian lain dilakukan oleh Imania et al. (2015) terhadap 10 orang
tenaga sortasi di pabrik teh PT. Candi loka Jamus Ngawi, disimpulkan bahwa
breathing exercise dengan pursed lips breathing dapat meningkatkan volume
ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) dan kapasitas vital paru. PLB akan
menyebabkan peningkatan tekanan dalam rongga mulut, kemudian tekanan ini
diteruskan melalui cabang-cabang bronkus sehingga dapat mencegah air trapping
dan kolaps saluran napas kecil saat ekspirasi (Smeltzer & Bare, 2001). PLB
dilakukan dengan cara tariknapas melalui hidung, buang napas lebih lambat
melalui bibir mengerucut seperti bersiul (Petty et al., 2005).
Setelah pasien diajarkan untuk melakukan teknik pursed lips breathing
selama 2 kali sehari dan klien mengatakan napasnya menjadi lebih lega dan
sesaknya berkurang. Saat diukur RR nya menjadi 22 x/menit dan spO2 nya 94%.
Pursed Lip Breathing (PLB) meningkatkan tekanan parsial oksigen dalam arteri
(PaO2), yang menyebabkan penurunan tekanan terhadap kebutuhan oksigen
dalam proses metabolisme tubuh, sehingga menyebabkan penurunan sesak nafas
dan Respiratory Rate (RR) atau frekuensi pernapasan (Spahija et al, 2005).
Udara yang ke luar akan dihambat oleh kedua bibir, yang menyebabkan tekanan
dalam rongga mulut lebih positif. Tekanan posistif ini akan menjalar ke dalam
saluran napas yang menyempit dan bermanfaat untuk mempertahankan saluran
napas untuk tetap terbuka. Dengan terbukanya saluran napas, maka udara dapat
ke luar dengan mudah melalui saluran napas yang menyempit serta dengan
mudah erpengaruh pada kekuatan otot pernapasan untuk mengurangi sesak napas
(Alsagaf, 2012).
26
Penderita PPOK cenderung lebih sulit melakukan ekspirasi daripada
inspirasi (Sherwood, 2011). Hal tersebut dikarenakan menutupnya saluran napas
yang meningkat akibat tekanan ekstra positif dalam dada selama ekspirasi.
Sebaliknya, tekanan ekstra negatif terjadi pada pleura saat inspirasi yang
menyebabkan saluran napas membuka bersamaan dengan mengembangnya
alveoli. Kondisi tersebut menyebabkan udara cenderung memasuki paru dengan
mudah, tetapi kemudian terperangkap di dalam paru (Guyton & Hall, 2007).
27
BAB 6
KESIMPULAN
6.1. Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan suatu penyakit yang
karena hambatan aliran udara secara kronis dan perubahan-perubahan patologi
pada paru, dimana hambatan aliran udara saluran nafas bersifat progesif dan
berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal dari paru-paru terhadap gas
atau partikel yang berbahaya.
Pursed Lip Breathing exercise merupakan salah satu latihan pernafasan
yang efektif pada penderitaPPOK dengan cara penderita duduk dan inspirasi
dalam saat ekspirasi penderita menghembuskan melalui mulut hampir tertutup
seperti bersiul secara perlahan. Teknik ini akan meningkatkan tekanan parsial
oksigen dalam arteri (PaO2), yang menyebabkan penurunan tekanan terhadap
kebutuhan oksigen dalam proses metabolisme tubuh, sehingga menyebabkan
penurunan sesak nafas dan Respiratory Rate (RR) atau frekuensi pernapasan.
Teknik ini memiliki manfaat yang berarti ketika diberikan pada pasien
yang menderita PPOK. Terdapat perbedaan antara pasien yang dilakukan PLB
dan yang tidak dilakukan PLB. Pasien yang dilakukan teknik PLB menunjukkan
perubahan yang baik pada status RR dan spO2 dibandingkan pada pasien yang
tidak dilakukan PLB.
28
DAFTAR PUSTAKA
Afianti ,Putri Andhini. 2011. Referat dan laporan kasus penyakit paru obstruktif
kronik(PPOK).Makasar : Universitas Hassanudin.
Agustin H & Yunus F. 2008. Proses Metabolisme pada Penyakit Paru Obstruktrif
Kronik (PPOK). Jakarta: Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi FKUI – SMF – Paru, RS Persahabatan.
Aini, F., Sitorus, R., & Budiharto. (2008). Pengaruh breathing retraining terhadap
peningkatan fungsi paru pada asuhan keperawatan pasien PPOK. Jurnal
Keperawatan Indonesia, 12(1)29–33.
Bakti, A. K., Dwi Rosella, K., St FT, S., & Fis, M. (2015). Pengaruh Pursed Lip
Breathing Exercise Terhadap Penurunan Tingkat Sesak Napas Pada Penyakit
Paru Obstruksi Kronik (Ppok) Di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat
BBKPM Surakarta (Doctoral Dissertation, Universitas Muhammadiyah
Surakarta).
Edwin Hafiizh, M., Basuki, N., Physio, M., & Isnaini Herawati, S. (2013). Pengaruh
Pursed-Lip Breathing Terhadap Penurunan Respiratory Rate (Rr) Dan
Peningkatan Pulse Oxygen Saturation (Spo2) Pada Penderita Ppok (Doctoral
Dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).
Eksaserbasi Akut Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009. Medan : FK
USU
Fregonezi, Resqueti, Rous. 2004. Review Article Pursed Lips Breathing. Arch
Bronconeumol 2004;40(6):279-82. Barcelona: Hospital de la Santa Creu i
Sant Pau.
GOLD. 2009. “Global Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease”. USA: GOLD
Guyton, A.C & Hall, J.E. (2007). Buku ajar fisiologi kedokteran, edisi 11,
diterjemahkan oleh Irawati, Ramadhani, D., Indriyani, F., Dany, F., Nuryanto,
I., Rianti, S.S.P., Resmisari, T., & Suyono, Y. Jakarta: EGC.
Ignatavius dan Workman. 2006. Medical Surgical Mursing Critical Thinking for
Collaborative Care. St. Louis USA : Wstline Industrial Drive.
29
Imania, D. R., Tirtayasa, K., & Lesmana, S. I. (2015). Breathing Exercise Sama
Baiknya Dalam Meningkatkan Kapasitas Vital (Kv) Dan Volume Ekspirasi
Paksa Detik Pertama (Vep1) Pada Tenaga Sortasi Yang Mengalami Gangguan
Paru Di Pabrik Teh Pt. Candi Loka Jamus Ngawi. Sport And Fitness
Journal, 3(3), 38-49.
Lisa, T. G., & Saad, A. (2015). Profil Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(Ppok) Yang Dirawat Inap Di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau Tahun
2013. Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Kedokteran, 2(2), 1-13.
Price, Sylvia A & Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit edisi 6. Jakarta : EGC.
Reid, W. D. & Chung, F. (2004). Clinical management notes and case histrories in
cardiopulmonary physical therapy. USA: SLACK Incorporated.
30
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). (2013). Badan Penelitian Dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian RI Tahun 2013. Diakses: 22 April 2017, Dari
Http://Www.Depkes.Go.Id/Resources/Download/General/Hasil%20Riskesdas
%202013.Pdf.
Setia, M. 2011. Hubungan Antara Kadar Tumor Necrosis Factor Alpha serum
Dengan Derajat Keparahan Pada PPOK Stabil. Universitas Sumatera Utara
Sukandar, Elin Yulinah. dkk. 2009. ISO FARMAKOTERAPI. Jakarta: ISFI Penerbitan
31