Anda di halaman 1dari 1

JANJI MANIS PUJANGGA POLITIK

Pesta Rakyat, adalah salah satu budaya demokrasi yang di tunggu. Entah itu dari
lapisan masyarakat ataupun kaum elit intelektual yang mencalonkan diri. Mereka (lapisan
masyarakat) menantikan pembaharuan, atau malah menantikan ‘uang panas’ pelicin suatu
tujuan. Suatu hal yang instan sangat disukai kebanyakan masyarakat saat ini. Memperoleh
uang tanpa bersusah payah, melakukan tindakan tanpa mengotori tangan, sudah menjadi hal
yang lumrah dan berbagai segala kenyamanan di tawarkan disana-sini.

Ibarat air mengalir mengikuti arus, tak ada yang bisa melawan zaman. Semua
tergelincir dan terseret arus zaman dengan segala kenyamanan yang ditawarkan. Moral tak
lagi menjadi acuan hidup, krisis disana-sini, dikarenakan kerusakan yang diperbuat manusia
itu sendiri. Tak berbeda jauh dengan kondisi politik demokrasi di negara ini. Demokrasi yang
seharusnya bertujuan mensejahterakan rakyat, malah digunakan sebagai tempat sarana meraih
keuntungan bagi sebagian pihak. Para politikus dan kader setiap partai, naik dan
mencalonkan diri menjadi pemimpin. Di atas mimbar, dengan lantang mereka berucap.
Mengumbar janji-janji manis dan harapan untuk masyarakat. Mereka berpidato bagai seorang
pujangga yang sedang bersyair, membuai kalayak ramai dengan kata-kata harapan. Tak
hanya itu, mereka menggaet dan merekrut orang-orang penting di pedesaan. Untuk dijadikan
rekan, sekaligus pelancar tujuan mereka. Mereka dijanjikan bayaran tinggi, dengan syarat
melakukan segala cara untuk kemenangan (termasuk aksi suap-menyuap). Hak pilih di
jadikan barang lelang yang siapa berani membeli akan mendapatkannya. Taktik politik masa
kini, “duduk diam dan menang”.

Berbeda di era penjajahan, zaman revolusi, dimana kekerasan dan derita sudah
menjadi makanan pokok sehari-hari, perang yang tidak berkesudahan. Masyarakat di era
tersebut dituntut berjuang dan bersusah payah demi meraih kebebasan mereka. Sehingga
mereka yang senantiasa berjuang, tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan berkomitmen
tinggi. Bersatu dan menepis segala perbedaan. Tak heran bila lahir tokoh-tokoh hebat seperti
Soekarno, Hatta, Syahrir dan masih banyak lagi yang tak bisa saya sebutkan satu-persatu.
Dan mungkin mereka akan menangis melihat kondisi penerus yang demikian ini.

Anda mungkin juga menyukai