Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Latar Belakang
Dengue Fever/DF dan Dengue haemorrhagic fever/DHF adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue atau yang sering dikenal dengan Demam dengue (DD) dan
demam berdarah dengue (DBD). Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah
kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi DHF
oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka
perawatan rumah sakit dan kematian akibat DHF, khususnya pada anak.1
Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun
2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit
penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007).4-5 Berbagai faktor kependudukan
berpengaruh pada peningkatan dan penyebaran kasus DHF, antara lain:
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi,
2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali,
3. Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis,
4. Peningkatan sarana transportasi.2
Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol vektor
nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang optimal pada penderita
DHF, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini. Sampai saat
ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DHF, prinsip utama dalam terapi DHF adalah terapi
suportif, yakni pemberian cairan pengganti. Dengan memahami patogenesis, perjalanan
penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat
dilakukan secara efektif dan efisien.3

B. Definisi
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit demam akut yang disertai dengan
adanya manifestasi perdarahan, yang bertendensi mengakibatkan renjatan yang dapat
menyebabkan kematian.1
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah infeksi akut yang disebabkan oleh
Arbovirus (arthropodborn virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan
Aedes Albopictus.2

C. Epidemiologi
Epidemi penyakit yang berhubungan dengan demam dengue pertama kali dilaporkan
dalam literatur atau pustaka kedokteran terjadi pada tahun 1779 di Batavia (sekarang disebut
Jakarta). Dan pada tahun 1780 di Philadelphia. Sejak saat itu epidemik telah dilaporkan di
Calcutta (1824, 1853, 1871, 1905), India Barat (1827), Hongkong (1901), Yunani (1927-
1928), Australia (1925-1926, 1942), Amerika Serikat (1922) dan Jepang (1942-1945).5
Dengue sering terdapat di daerah tropis terutama di Asia Tenggara, Afrika dan bagian
selatan Amerika. Epidemik DHF yang terbesar terjadi di Kuba pada tahun 1981 dengan 24.000
kasus DHF dan 10.000 kasus DSS. Pada tahun 1986 dan 1987 angka kejadian Dengue
dilaporkan di Brasil. Pada tahun 1988 epidemik dengue dilaporkan terjadi di Meksiko dan
pada tahun 1990 kira-kira seperempat dari 300.000 penduduk yang tinggal di Iquitos Peru
menderita Demam Dengue.5
Data yang terkumpul dari tahun 1968-1993 menunjukkan DHF dilaporkan terbanyak
terjadi pada tahun 1973 sebanyak 10.189 pasien dengan usia pada umumnya di bawah 15
tahun. Penelitian di Pusat Pendidikan Jakarta, Semarang, Yogya dan Surabaya menunjukkan
bahwa DHF dan DSS juga ditemukan pada usia dewasa, dan terdapat kecenderungan
peningkatan jumlah pasiennya.5
Vektor utama dengue di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti, di samping pula
Aedes albapictus. Vektor ini bersarang di bejana-bejana yang berisi air jernih dan tawar seperti
bak mandi, drum penampung air, kaleng bekas dan lain-lainnya.1

D. Etiologi
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam
kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang di kenal sebagai genus
Flavivirus, family Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotype.(3) Flavivirus merupakan
virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul
4x106.1
Adapun 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-4, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam berdarah dengue. DEN-3 yang terbanyak ditemukan di Indonesia
dan merupakan serotype yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan
manifestasi klinis yang berat.(4,6) Terdapat reaksi silang antara serotype dengue dengan
Flavivirus lain seperti Yellow Fever, Japanese encephalitis dan West Nile virus. Pada
Artropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes
(stegomyia) dan Toxorhynchites.1
Cara penularannya infeksi virus dengue ini ada tiga factor yang memegang peranan,
yaitu manusia, virus, dan vector perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada
saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di
kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation priod) sebelum
dapat menularkan kembali kepada manusia saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh
nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovarian transmission), namun
peranannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembang
biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya
(infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic
incubation priod) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk
hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang viremia, yaitu 2 hari sebelum
demam sampai 5 hari setelah demam timbul.1,3

E. Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah hingga saat ini masih diperdebatkan. Dua teori
yang banyak dianut pada DHF dan DSS adalah Hipotesis immune enhancement dan hipotesis
infeksi sekunder (teori secondary hetelogous dengue infection).1,3
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme
Imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan
dengue.1
Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DHF adalah:
a) Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berperan dalam proses netralisasi
virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibody. Sel
target virus ini adalah sel monosit terutama dan sel makrofag sebagai tempat replikasi.
b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun
seluler terhadap virus dengue. TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan
limfokin. Sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5,IL-6,dan IL-10.
c) Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibody.
d) Aktifasi komplemen oleh kompleks imun yang menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a
akibat aktivasi C3 dan C5 yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang
ekstravaskuler.(1,3)
Hipotesis ”the secondary heterologous infection” yang di rumuskan oleh
Suvatte,1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada
seorang pasien, respon antibody anamnestik yang akan terjadi dalam beberapa hari
mengakibatkan proliferasi dan transformasi dengan menghasilkan titer tinggi antibody IgG
anti dengue.(3)
Gambar 1. Teori heterologous dengue infection

Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung bahwa


mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang lebih
besar untuk menderita DHF berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali virus
lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari
membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi
mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.1
F. Manifestasi Klinis.
Manifestasi klinik infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau dapat berupa
demam yang tidak khas. Pada umumnya pasien mengalami demam dengan suhu tubuh 39-
40oC, bersifat bifasik (menyerupai Pelana kuda), fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti
oleh fase kritis pada hari ke-3 selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam,
akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan tidak
adekuat.1,3
-
Fase Febris Demam mendadak tinggi 2-7 hari
- Muka kemerahan, eritema kulit
- Sakit kepala
- Beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorokan, injeksi
faring dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah.
-
Dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti petekie,
perdarahan mukosa, walau jarang terjadi dapat pula
terjadi perdarahan pervaginam dan gastrointestinal.
Fase Kritis - Terjadi pada hari 3-7 sakit.
- Ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai kenaikan
permeabilitas kepiler dan timbul kebocoran plasma yang
biasanya berlangsun 24-48 jam.
- Kebocoran plasma sering didahului lekopeni progresif
disertai penurunan hitung trombosit.
- Dapat terjadi syok.
Fase - Terjadi setelah fase kritis.
Pemulihan - Terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke
intravaskuler secara perlahan pada 48-72 jam setelahnya.
- KU membaik, nafsu makan pulih, hemodinamik stabil,
diuresis membaik.
Menurut manifestasi kliniknya DHF sangat bervariasi, WHO (1997) membagi menjadi
4 derajat : 1
DD Demam disertai 2 atau lebih tanta: sakit kepala, nyeri retro
orbital, mialgia, atralgia
Leukopenia, trobositopenia, tidak ditemukan bukti
kebocoran plasma
DBD Gejala diatas + uji tourniquet positif.
Derajat I Trobositopenia (<100.000), bukti kebocoran plasma
DBD Gejala diatas + uji tourniquet positif disertai manifestasi
Derajat II perdarahan (seperti : Epistaksis, perdarahan gusi )
Trobositopenia (<100.000), bukti kebocoran plasma
DBD Gejala diatas + didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi
Derajat III cepat dan lemah, tekanan nadi menyempit (<20 mmhg),
hipotensi, sianosis, disekitar mulut, kulit dingin dan lembab,
gelisah.
Trobositopenia (<100.000), bukti kebocoran plasma
DBD Syok berat, nadi tidak teraba, dan tekanan darah tidak
Derajat IV terukur.
Trobositopenia (<100.000), bukti kebocoran plasma

G. Diagnosis
Diagnosis DHF ditegakkan berdasarkan Kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997
terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. 7
Kriteria klinis :
 Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, atau riwayat demam akut, berlangsung
terus-menerus selama 2-7 hari, biasanya bifasik (plana kuda).
 Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
- Uji torniquet positif.
- Petekie, ekimosis, purpura.
- Perdarahan mukosa ( epitaksis atatu perdarahan gusi )
- Hematemesis atau melena.
 Pembesaran hati
 Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi,kaki dan
tangan dingin,kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.
Kriteria Laboratoris :
 Trombositopenia ( jumlah trombosit <100.000/ul ).
 Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut :
- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis
kelamin.
- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan
sebelumnya.
 Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.

Gambar 2. Spektrum DHF


H. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue
adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan
darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma
biru.1,5
Ada 4 jenis pemeriksaan laboratorium yang digunakan yaitu :
 Uji serologi: deteksi antibodi IgG dan IgM, uji HI
 Isolasi virus
 Deteksi RNA/DNA dengan tehnik Polymerase Chain Reaction (PCR).
 Deteksi antigen (pemeriksaan NS-I) Lebih Spesifisitas 100% dan
sensitivitas 92.3%
Pemeriksaan Dengue NSl Antigen adalah pemeriksaan baru terhadap antigen non
struktural-I dengue (NSl) yang dapat mendeteksi infeksi virus dengue dengan lebih awal
bahkan pada hari pertama onset demam. 1
a) Pemeriksaan NS-I perlu dilakukan pada pasien yang megalami gejala Demam/klinis lain
< 3 hari, dikarenakan Early detection sangatlah penting untuk menentukan pengobatan
(terapisupportif) yang tepat (cegah Resistensi antibiotik), serta pemantauan pasien dengan
segera.
b) Tanpa meninggalkan pemeriksaan Dengue serologi karena pemeriksaaan NS1 bersifat
komplementer (saling menunjang), terkhusus apabila didapatkan hasil Ns1 (-) dan gejala
infeksi tetap muncul.
c) Penggunaan Dengue IgG / IgM juga diperlukan bagi dokter penganut paham "infeksi
sekunder dapat menyebabkan infeksi yang lebih berat dan memerlukan penanganan yang
berbeda dengan infeksi primer"
d) Dengan adanya Spesifisitas 100% dan sensitivitas 92.3%. Dengan demikian pomakaian
pemeriksaan ini akan dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas untuk diagnosis
infeksi dengue.1,5

2. Pemeriksaan radiologis
Pada foto thorak didapati efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi
apabila terjadi perembesan plasma hebat. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam
posisi lateral dekubitus kanan ( pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan ).1

I. Diagnosis Banding
Perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan demam tipoid,
influenza, idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP), chikungunya dan leptospirosis. 1
1. Belum / tanpa renjatan :
a. Campak
b. Infeksi bakteri / virus lain (tonsilo faringitis, demam dari kelompok pnyakit
exanthem, hepatitis, chikungunya)
2. Dengan renjatan
a. Demam tipoid
b. Renjatan septik oleh kuman gram negatif lain
3. Dengan perdarahan
a. Leukemia
b. ITP
c. Anemia Aplastik
4. Dengan kejang
a. Ensefalitis
b. Meningitis

J. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya terapi DHF adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan
ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi
substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal
terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.
Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari
ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan
berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular.3
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DHF dewasa
mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori,
sebagai berikut: 1,2
1. Penanganan tersangka DHF tanpa syok
2. Pemberian cairan pada tersangka DHF dewasa di ruang rawat
3. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan hematokrit >20%
5. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DHF dewasa
6. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa

Protokol 1. Penanganan Tersangka DHF tanpa syok.


Seorang yang tersangka menderita DHF dilakukan pemeriksaan haemoglobin, hematokrit,
dan trombosit, bila :
 Hb, Hct, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam waktu 24 jam
berikutnya ( dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, lekosit dan trombosit tiap 24 jam ) atau bila
keadaan penderita memburuk segera kembali ke instalansi gawat darurat.
 Hb, Hct normal dengan trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.
 Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan dirawat.

Gambar 3. Penanganan tersangka DHF tanpa syok

Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangka DHF di ruang rawat.


Pasien yang tersangka DHF tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok maka
diruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini :
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut :
1500 + (20 x( BB-20) ml
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, HT tiap 24 jam :
 Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan tetap,
tetapi pemantauan Hb, Ht, trombo dilakukan tiap 12 jam.
 Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000, maka Pemberian cairan sesuai
dengan protokol penatalaksanaan DHF dengan peningkatan Ht>20%.

Gambar 4. Pemberian cairan pada tersangka DHF dewasa di ruang rawat


Protokol 3. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan Ht>20%.

Gambar 5. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan hematokrit >20%


Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan spontan pada DHF
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DHF dewasa adalah : perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali, perdarahan saluran cerna (henatemesis dan melena
atau hematokesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan
tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam.1,3

Perdarahan Spontan dan Masif :


- Epistaksis tidak terkendali
- Hematemesis melena
- Perdarahan otak
- Hematuria

TRANSFUSI
TROMBOSIT

Hb < 10 gr% TRANSFUSI PRC

Gambar 6. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DHF

Protokol 5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue


Bila kita berhadapan dengan sindroma syok dengue pada dewasa (SSD) maka hal pertama
yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian
cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian pada sindrom syok
dengue sepilih kali lipat dibandingkan dengan penderita DHF tanpa renjatan, dan renjatan
dapat terjadi karena keterlambatan penderita DHF mendapatkan pertolongan/pengobatan,
penatalaksanaan tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan
dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat. 1,3
Gambar 7. Tatalaksana sindroma syok dengue

Kriteria memulangkan pasien, apabila memenuhi semua keadaan dibawah ini: 1


1. Tampak perbaikan secara klinis
2. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
3. Tidak dijumpai distress pernafasan (efusi pleura atau asidosis)
4. Hematokrit stabil
5. Jumlah trombosit cendrung naik > 50.000/nl
6. Tiga hari setelah syok teratasi
7. Nafsu makan membaik
K. Komplikasi
1. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DHF dengan maupun tanpa syok
2. Kelainan ginjal berupa gagal ginjal akut akibat syok berkepanjangan
3. Edema paru, akibat over loading cairan 3
L. Prognosis
Kematian oleh demam dengue hampir tidak ada, sebaliknya pada DHF/DSS
mortalitasnya cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan Jakarta
memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit umumnya lebih ringan dari pada
anak-anak.2
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro, Nainggolan, L., Chen, K., & Pohan, H. (2014). Demam Berdarah Dengue. Dalam
S. Setiati, I. Alwi, A. W. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi, & A. F. Syam, Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid I (hal. 539-48). Jakarta: Interna Publishing.

2. Sumarno S., Soedarmo P., Garna H., Rezeki S., & Satari H. (2008). Buku Ajar Infeksi dan
Pedriatri Tropis (2 ed.). Jakarta.

3. Rejeki S, Adinegoro S. (2004). Demam Berdarah Dengue (DHF), Tatalaksana Demam


Berdarah Dengue Di Indonesia. Jakarta

4. Mansjoer A,Triyanti K, Savitri R,Wardhani W, Setiowulan W, Kapita selekta FKUI,


Jakarta, (I), 428-433

5. WHO, Dengue haemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention and control. 2nd
edition. Geneva : World Health Organization. 1997 dalam:
http://www.who.int/csr/resources/publications/dengue/Denguepublication/en

6. Hagop Isnar, MD, Dengue dalam : http://www.emedicine.com

7. BHJ, Dengue, Dengue Haemorragic Fever, Dengue Shock Syndrome dalam:


http://www.bhj.org/journal/2001_4303_july01/review_380.html

Anda mungkin juga menyukai