Anda di halaman 1dari 36

“PROSES PEMBENTUKAN PERPU (PERATURAN

PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG – UNDANG)”

Makalah ini disusun sebagai persyaratan tugas kelompok

Mata Kuliah

Perancangan Peraturan Perundang – Undangan

Disusun oleh Kelompok 4 (Pseudowetgeving) :

1 Herfinitha Nurmala Lubis 20170401190


2 Prismawinda. N 20170401097
3 Esti Dika Sari 20170401127

Dosen Pengampu: Muhammad Abudan,S,H.,M.H.

PROGRAM EKSEKUTIF

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ESA UNGGUL

SEMESTER GANJIL 2019/2020


KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puja dan Puji syukur atas rahmat


Tuhan Yang Maha Esa, karena tanpa Rahmat dan Ridhonya, kita tidak dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan selesai tepat waktu.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Muhammad


Abudan SH,. MH, selaku dosen pengampu mata kuliah Perancangan
Peraturan Perundang-Undangan yang membimbing kami dalam pengerjaan
tugas makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-
teman kami yang selalu setia membantu dalam hal mengumpulkan data-data
dalam pembuatan makalah ini. Dalam makalah ini kami menjelaskan
tentang “Peraturan Pengganti Undang - Undang”. Mungkin dalam
pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami ketahui. Maka
dari itu kami mohon saran & kritik dari teman-teman maupun dosen. Demi
tercapainya makalah yang sempurna.

Jakarta, 13 September 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................... i

DAFTAR ISI ............................................................................................ ii

BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................................1

1.1. Latar Belakang ..........................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah .....................................................................................7

1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan ..................................................................7

BAB II. PEMBAHASAN .......................................................................................9

2.1. PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH


PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPU) ..............................................9

2.2. PROSES PENETAPAN, DAN PENGUNDANGAN PERATURAN


PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG ..................................13

2.3. PROSES PEMBERIAN PERSETUJUAN PERATURAN


PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPU) OLEH
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT. ...........................................................14

2.4. Posisi Perpu dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan .............16

2.5. Arti ‘’Kegentingan Yang Memaksa’’ Secara Multitafsir ....................17

2.6. Uji Materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang


(PERPU) Kepada Mahkama Konstitusi..........................................................20

BAB III. PENUTUP .......................................................................................28

3.1. Kesimpulan ......................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................30

ii
BAB I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pada tahun 2015, diundangkan sebanyak


2521 peraturan perundang-undangan, dan
pada tahun 2016, diundangkan sebanyak
2538 peraturan perundang-undangan. Jenis
peraturan perundang-undangan tersebut mulai
dari undang-undang, peraturan pemerintah,
peraturan presiden, peraturan menteri dan
peraturan lembaga. Data ini belum mencakup
peraturan-peraturan yang ada di daerah yang
dibentuk dan hanya berlaku dalam wilayah
daerahnya masing-masing.
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo
menyinggung soal banyaknya peraturan
dan regulasi yang ada di Indonesia. Bahkan
menurutnya berbagai peraturan tersebut sampai
menjerat para pejabat negara seperti menteri,
direktur jenderal, hingga sekretaris jenderal
dalam pusaran korupsi. Dia menyebutkan,
dalam laporan yang diperolehnya dari Badan
Perencanaan dan Pembangunan Nasional
(Bappenas) disebutkan bahwa Indonesia
memiliki 42 ribu regulasi. Tak hanya itu, sebanyak 3 ribu peraturan daerah
(Perda) yang
ada di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
pun bermasalah. "Kita adalah kapal besar dan
negara besar. Kita terjerat pada aturan-aturan
yang kita buat sendiri."1

1
Hukum diciptakan untuk mengatur sistem
bernegara serta memiliki peran sebagai penjaga
ketertiban di dalam masyarakat. Di sisi lain
hukum diciptakan untuk mengatasi suatu
permasalahan tertentu yang timbul di dalam
masyarakat. Namun seringkali hukum yang
diciptakan tersebut justru menimbulkan
permasalahan baru dalam pelaksanaannya.
Berbagai faktor menjadi penyebab timbulnya
permasalahan, antara lain disebabkan
banyaknya peraturan perundang-undangan yang
dibuat tidak mencerminkan aspirasi masyarakat
dan kebutuhan pembangunan. Perumusan
norma peraturan perundang-undangan yang
bias mengakibatkan sulitnya implementasi
atau menimbulkan banyak intepretasi dan
inkonsistensi. Isi peraturan perundangundangan
tidak mencerminkan keseimbangan
antara hak dan kewajiban dari obyek yang diatur,
keseimbangan antara hak individual dan hak
sosial. Isi peraturan perundang- undangan yang
ada juga tidak mempertimbangkan pluralisme
dalam berbagai hal, serta materi peraturan
perundang-undangan yang ada saling tumpang
tindih satu sama lain. Seolah-olah permasalahan
yang berkaitan dengan peraturan perundangundangan
ini tidak pernah tersentuh dan ada
penyelesaiannya.2
Di sisi lain, sistem pembentukan
peraturan perundang-undangan kita telah
dibuat dengan tahapan yang panjang, mulai

2
dari tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan. Dengan tahapan yang panjang
tersebut sejatinya telah mengakomodir proses
pembentukan yang komprehensif sehingga dari
proses tersebut semestinya produk peraturan
yang dihasilkan jauh dari ketidaksempurnaan.
Namun sekian banyaknya peraturan yang
telah diundangkan, ternyata masih terdapat
pula peraturan-peraturan yang dibentuk tanpa
melalui tahapan pengundangan, bahkan tidak
jarang dicantumkan sebagai dasar hukum
pembentukan dari suatu peraturan perundangundangan.
Salah satu pertimbangan majelis Hakim
Mahkamah Agung dalam putusan Mahkamah
Agung Nomor 37P/HUM/20173 tanggal 20 Juni
2017 tentang uji materi yang diajukan oleh
beberapa pengemudi angkutan online (daring)
terhadap Peraturan Menteri Perhubungan Nomor
PM 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan
Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor
Umum Tidak Dalam Trayek, mendasarkan
putusannya pada Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materi
yang belum pernah diundangkan baik dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia maupun
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (UU No.12 Tahun 2011)
jelas menyebutkan bahwa peraturan yang

3
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia,
Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang
setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang
atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Wali Kota, Kepala
Desa atau yang setingkat diakui keberadaannya
sebagai peraturan perundang-undangan
sepanjang dibentuk atas perintah peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan.
Namun, sampai saat ini, tidak dapat
ditemukan satupun Peraturan MK yang melalui
tahapan pengundangan. Selain itu peraturan
perundang-undangan yang dibentuk yang tidak
diundangkan, dapat ditemukan pada peraturanperaturan
menteri dan lembaga bahkan pada
beberapa peraturan presiden. Belum lagi apabila
menyisir peraturan perundang-undangan yang
dimuat dalam kerangka peraturan perundangundangan
pada bagian dasar hukum yang
memuat daftar peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar kewenangan pembentukan
peraturan perundang-undangan dan dasar
perintah pembentukan peraturan perundangundangan.
Penyuntingan yang dilakukan dalam

4
pengajuan permohonan pengundangan sering kali dapat menemukan satu
peraturan yang
tidak diundangkan yang dimuat dalam kerangka
tersebut.
Hal ini jelas terjadi dan belum ada tindakan
nyata untuk memperbaikinya. Hal ini juga
bisa menjadi salah satu indikator kualitas dari
peraturan perundang-undangan kita sekaligus
memperlihatkan betapa prosedur tahapan
pengundangan yang merupakan salah satu
tahapan pembentukan peraturan perundangundangan
diabaikan. Pengundangan yang
bertujuan sebagai daya ikat terhadap masyarakat
seakan tidak lagi memiliki arti karena peraturan
dapat dibuat dan diberlakukan tanpa melalui
tahapan pengundangan bahkan peraturan
yang telah diundangkan sekalipun tidak dapat
diberlakukan karena terkendala peraturan
pelaksanaannya. Daya ikat dan daya laku
seakan tidak lagi berkaitan dengan tahapan
pengundangan, padahal Pasal 87 UU No.12
Tahun 20114 menyatakan bahwa peraturan
perundang-undangan mulai berlaku dan
mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal
diundangkan.
Berangkat dari gap antara peraturan yang
berlaku dengan fakta yang terjadi mengenai
peraturan-peraturan yang tidak diundangkan
namun tetap diberlakukan, maka perlu
untuk mempertanyakan kembali, apa makna
pengundangan peraturan perundang-undangan

5
dalam sistem pembentukan peraturan
perundang-undangan?
Metode penulisan yang digunakan adalah
yuridis normatif yaitu menggunakan norma
hukum tertulis sebagai dasar penelitian.5
Penelitian diarahkan pada upaya mengkaji
hukum positif terkait Pengundangan Peraturan
Perundang-undangan.
Tipologi penelitian ini deskriptif, yaitu
menguraikan atau menjelaskan praktik
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Jenis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi
kepustakaan, dokumen dan laporan yang terkait
dengan masalah yang diteliti. Dalam penelitian
ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan
studi kepustakaan yaitu teknik pengumpulan
data dengan cara mengumpulkan bahan-bahan
berupa buku-buku, jurnal-jurnal, pendapatpendapat
hukum, arsip negara, putusan
pengadilan, dan lain sebagainya yang relevan
dengan obyek penelitian.
Metode pengumpulan data ini berguna
untuk mendapatkan landasan teori yang
berupa pendapat para ahli mengenai hal yang
terkait dengan objek penelitian yang sedang
diteliti. Studi kepustakaan dapat dilakukan
dimana saja, terdapat kemudahaan akses atas

6
bahan kepustakaan yang berkaitan, serta
dapat diperoleh dengan lebih cepat, mudah dan
lengkap. Metode pengolahan dan analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kualitatif. Didasarkan atas interpretasi atau
data yang dipersepsi seperti apa, kenapa, siapa,
dimana dan bagaimana. Bentuk hasil penelitian
ini adalah deskriptif analisis, dimana hasil
penelitian memberikan gambaran secara obyektif
terhadap Pengundangan Peraturan Perundangundangan.
1.2.Rumusan Masalah
1. Bagaimana Proses Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (PERPU)?
2. Bagaimana Proses Penetapan, dan Pengundangan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang?
3. Bagaimana Proses Pemberian Persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (PERPU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat?
4. Bagaimana Posisi Perpu dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan?
5. Apa Arti ‘’Kegentingan Yang Memaksa’’ Secara Multitafsir?
6. Bagaimana Uji Materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(PERPU) Kepada Mahkama Konstitusi

1.3.Tujuan dan Manfaat Penulisan


Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini ini adalah :

1. Untuk Mengetahui Proses Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti


Undang-Undang (PERPU)
2. Untuk Mengetahui Proses Penetapan, dan Pengundangan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang

7
3. Untuk Mengetahui Proses Pemberian Persetujuan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (PERPU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat?
4. Untuk Mengetahui Posisi Perpu dalam Hierarki Peraturan Perundang-
undangan
5. Untuk Mengetahui Arti ‘’Kegentingan Yang Memaksa’’ Secara Multitafsir
6. Untuk Mengetahui Uji Materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (PERPU) Kepada Mahkama Konstitusi

8
BAB II. PEMBAHASAN

2.1.PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH


PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPU)

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) adalah


peraturan yang dibentuk oleh Presiden dalam “hal ihwal kegentingan yang
memaksa”, oleh karena itu proses pembentukan agak berbeda dengan
pembentukan suatu Undang-Undang. Materi muatan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang adalah sama dengan materi muatan Undang-
Undang.
Apabila melihat ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 beserta
penjelasannya, dapat diketahui bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (PERPU) mempunyai hierarki, fungsi dan materi muatan yang
sama dengan Undang-Undang, hanya di dalam pembentukannya berbeda
dengan Undang-Undang.
Selama ini Undang-Undang selalu dibentuk oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dan dalam keadaan normal, atau
menurut Perubahan UUD 1945 dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan rakyat dan Presiden, serta disahkan
oleh Presiden, sedangkan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang
(PERPU) dibentuk oleh Presiden tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
karena adanya suatu “hal ihwal kegentingan yang memaksa”.
Penjelasan Pasal 22 Undang-Undang dasar 1945 menyatakan Peratuan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) sebagai suatu
“noodverordeningsrecht” Presiden (hak Presiden untuk mengatur dalam
kegentingan yang memaksa).
Proses pembentukan suatu Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang
(PERPU) berjalan lebih singkat, mengingat pembentukannya dilakukan dalam
hal ihwal kegentingan yang memaksa. Dalam pembentukan Peraturan

9
Pemerintah Penganti Undang-Undang (PERPU) itu beberapa mata rantai
prosesnya dipersingkat.
Dalam Pasal 29 dan Pasal 47 ayat 4, Pasal 53 Undang-Undang No. 12 Th.
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dirumuskan bahwa,
peraturan pemerintah pengganti undang-undang, rancangan peraturan
pemerintah, dan rancangan peraturan Presiden diatur dengan Peraturan
Presiden’.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 24 Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut, saat ini telah berlaku
Peraturan Presiden No. 87 Th. 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
Menurut Pasal 57 Peraturan Presiden No. 87 Th. 2014, dalam hal ikhwal
kegentingan yang memaksa, Presiden memerintahkan penyusunan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Selanjutnya Presiden akan menugaskan penyusunan Rancangan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang kepada Menteri yang tugas dan
tanggung jawabnya meliputi materi yang akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut, yang dalam penyusunannya
menteri tersebut berkoordinasi dengan Menteri dan menteri/pimpinan lembaga
terkait (Pasal 58 Peraturan Presiden No. 87 Th. 2014).
Menurut ketentuan dalam Pasal 38 Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005,
setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan oleh
Presiden, menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi materi yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut
kemudian menyusun Rancangan Undang-Undang mengenai Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang
tersebut kemudian akan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat sesuai
dengan Pasal 25 dan Pasal 26 Peraturan Presiden ini.
Sesuai dengan sifat dari suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang, maka setelah ditetapkan oleh Presiden dan diundangkan, Peraturan

10
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) dapat langsung berlaku
mengikat umum, akan tetapi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(PERPU) tersebut harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk
dimintakan persetujuannya.
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”) yang berbunyi:

“Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-


undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa.”

UU dan Perpu dalam hierarki peraturan perundang-undangan memang


memiliki kedudukan yang sama, hanya saja keduanya dibentuk dalam keadaan yang
berbeda. UU dibentuk oleh Presiden dalam keadaan normal dengan persetujuan
DPR, sedangkan Perpu dibentuk oleh Presiden dalam keadaan genting yang
memaksa tanpa persetujuan DPR. Kondisi inilah yang kemudian membuat
kedudukan Perpu yang dibentuk tanpa persetujuan DPR kadang-kadang dianggap
memiliki kedudukan di bawah UU.

Perpu ini jangka waktunya terbatas (sementara) sebab secepat mungkin


harus dimintakan persetujuan pada DPR, yaitu pada persidangan berikutnya.
Apabila Perpu itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan UU.Sedangkan,apabila Perpu
itu tidak disetujui oleh DPR, akan dicabut. Karena itu, hierarkinya adalah
setingkat/sama dengan Undang-Undang sehingga fungsi maupun materi muatan
Perpu adalah sama dengan fungsi maupun materi muatan Undang-Undang. Jadi,
saat suatu Perpu telah disetujui oleh DPR dan dijadikan UU, saat itulah biasanya
Perpu dipandang memiliki kedudukan sejajar/setingkat dengan UU. Hal ini
disebabkan karena Perpu itu telah disetujui oleh DPR, walaupun sebenarnya secara
hierarki perundang-undangan, fungsi, maupun materi, keduanya memiliki
kedudukan yang sama meski Perpu belum disetujui oleh DPR.

11
Berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 ada tiga syarat
sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk
menetapkan PERPU yaitu:

1. Adanya keadaan yaitu kebutuhanmendesak untuk menyelesaikan masalah


hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi
kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; dan
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat
Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu
yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu
kepastian untuk diselesaikan.

Adapun proses penyusunan PERPU adalah sebagai berikut :

1. PERPU harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut


(persidangan pertama DPR setelah PERPU ditetapkan oleh Presiden);
2. Pengajuan PERPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
bentuk pengajuan RUU tentang penetapan PERPU menjadi Undang-
Undang;
3. DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan
terhadap PERPU;
4. Dalam hal PERPU mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna,
PERPU tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang;
5. Dalam hal PERPU tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna,
PERPU tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku;
6. Dalam hal PERPU harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan PERPU;
7. RUU tentang Pencabutan PERPU sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
mengatur segala akibat hukum dari pencabutan PERPU; dan

12
8. RUU tentang Pencabutan PERPU sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan PERPU dalam
rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Dasar Hukum :

1. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945;


2. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan;
3. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tata Cara Mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan
Peraturan Presiden;

2.2.PROSES PENETAPAN, DAN PENGUNDANGAN PERATURAN


PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

Proses Penetapan, dan Pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-


Undang saat ini diatur dalam Pasal 114 ayat (1) Peraturan Presiden No. 87 Th. 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang dirumuskan sebagai berikut :
“Presiden menetapkan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, atau Rancangan Peraturan Presiden
yang telah disusun berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.”
Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, Menteri Sekretaris Negara
melakukan penyiapan naskah rancangan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang, kemudian Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, dengan membubuhkan tanda tangan, sesuai Pasal
114 ayat (2) huruf a dan ayat (3) Peraturan Presiden No. 87 Th. 2014. Sesudah
itu, Menteri Sekretaris Negara membubuhkan nomor dan tahun pada naskah

13
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang untuk disampaikan kepada
Menteri untuk diundangkan (Pasal 8 ayat (4) Peraturan Presiden No. 87 Th.
2014).
Menteri akan mengundangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang tersebut dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia disertai nomor dan tahunnya, dan menempatkan Penjelasannya dalam
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dengan memberikan nomor.
{Pasal 147 Peraturan Presiden No. 87 Th. 2014 }.
Selanjutnya Menteri akan menandatangani pengundangan dengan
membubuhkan tandatangan pada naskah Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, dan kemudian menyampaikannya kepada Menteri Sekretaris
Negara untuk disimpan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(Pasal 152 Peraturan Presiden No. 87 Th. 2014).

2.3.PROSES PEMBERIAN PERSETUJUAN PERATURAN


PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPU) OLEH
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT.

Dalam sidang pertama Dewan Perwakilan Rakyat setelah Peraturan Pemerintah


Pengganti Undang-Undang (PERPU) tersebut diundangkan, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (PERPU) tersebut akan dikirimkan sebagai suatu
Rancangan Undang-Undang kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dengan
suatu surat Presiden.
Menurut ketentuan dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka pembahasan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
Pasal65
(1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan
oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi.

14
(2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang berkaitan dengan:
a. otonomi daerah;
b. hubungan pusat dan daerah;
c. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;
d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan
e. perimbangan keuangan pusat dan daerah, dilakukan dengan mengikutsertakan
DPD.
(3) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan
Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan hanya pada
pembicaraan tingkat I.
(4) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diwakili oleh alat kelengkapan
yang membidangi materi muatan Rancangan Undang-Undang yang dibahas.
(5) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan Undang-Undang
yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Sementara itu, menurut Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia No. 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahum 2014 Tentang Tata Tertib
tersebut akan dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. Ketentuan tersebut dirumuskan
dalam Pasal 6 sebagai berikut :

Pasal6:
memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan
pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi
undang-undang;
Selama pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang
diadakan di dewan Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (PERPU) tersebut dinyatakan tetap mempunyai daya laku dan

15
tetap mengikat umum sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(PERPU), sampai suatu saat ia dinyatakan ditolak atau disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat menjadi suatu Undang-Undang.
Apabila rancangan undang-undang yang berasal dari Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (PERPU) tersebut disetujui oleh dewan Perwakilan
Rakyat, maka akan menjadi Undang-Undang; sedangkan apabila ditolak oleh
Dewan Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (PERPU) tersebut harus dicabut.1

2.4.Posisi Perpu dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan

1. Hirarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan Tap MPRS No.


XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum adalah sebagai berikut :
• Undang-Undang Dasar (UUD)
• Ketetapan MPRS (Tap MPRS)
• Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-
Undang (UU) dan (Perpu)
• Peraturan Pemerintah (PP)
• Keputusan Presiden (Keppres)
• Peraturan Menteri (Permen) dan sebagainya.
2. Hirarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan Tap MPR No.
III/MPR/2000 Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
adalah sebagai berikut :
• Undang-Undang Dasar (UUD)
• Ketetapan MPR (Tap MPR)
• Undang-Undang (UU)
• Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
• Peraturan Pemerintah (PP)
• Keputusan Presiden (Keppres)

1
Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-Undangan: Prosesdan Teknik Pembentukannya (2),
Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm. 79-85

16
• Peraturan Daerah (Perda)
3. Hirarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan UU No 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai
berikut :
• Undang-Undang Dasar dan Perubahan Undang-Undang Dasar
• Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang
• Peraturan Pemerintah
• Peraturan Presiden
• Peraturan Daerah
4. Hirarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan UU No. 11 Tahun
2011 Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
• Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
• Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
• Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
• Peraturan Pemerintah
• Peraturan Presiden
• Peraturan Daerah Provinsi
• Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Dari tata urutan perundang-undangan tersebut diatas, terlihat dengan jelas
bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) mendapat
posisi yang sama/sederajat dengan UU. Hal itu menunjukkan bahwa posisi
antara UU dan Perppu adalah sama, demikian juga dengan substansinya, hanya
karena perbedaan masalah mekanismelah yang kemudian menjadi ciri khas
pembeda dari kedua produk hukum tersebut

2.5.Arti ‘’Kegentingan Yang Memaksa’’ Secara Multitafsir

Sampai saat ini belum ada ukuran yang jelas dan terukur tentang apa yang
dimaksud dengan hal ikhwal “kegentingan yang memaksa” yang dapat menjadi
alasan keluarnya Perppu. Menurut Prof. Ismail Sunny mengenai keluarnya

17
suatu Perppu dapat diartikan keadaan darurat, lebih dari itu tidak ada. Namun
pemerintah bisa mengartikannya hal tersebut secara luas, dan dalam hukum tata
negara, keadaan darurat jelas pengertiannya luas sekali. Di sinilah Presiden
menjadi memaknai hal ihwal kegentingan yang memaksa secara multitafsir atau
beragam penafsiran.
Bila kita menelaah sejarah ketata-negaraan Republik Indonesia, hampir
sebagian besar Perppu selalu dikeluarkan oleh Presiden pada saat negara berada
dalam posisi darurat (noodsverordeningsrech).Sementara dalam Penjelasan
Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan, memberikan penjelasan bahwa
pasal tersebut mengenai noodverordeningsrecht Presiden, di mana aturan
tersebut diadakan supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah
dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas
dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan
DPR. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam Pasal 22 dimaksud, yang
kekuatannya sama dengan UU, harus disahkan pula oleh DPR.
Maka dari itu, persepsi yang timbul di sebagian masyarakat bahwa hal
ikhwal “kegentingan yang memaksa” yaitu suatu keadaan di mana negara dalam
keadaan darurat untuk segera dilakukan penyelamatan, sehingga sedikit banyak
harus merujuk pada UU 23/1959 tentang Keadaan Bahaya. Namun demikian,
Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 menyatakan bahwa “Dengan
ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-
pasal”, sehingga hal ikhwal “kegentingan yang memaksa” sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, sebenarnya tidak sama dengan
“keadaan bahaya” seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 12 UUD 1945 dan
pengaturannya yang tertuang dalam UU 23/1959 tentang Keadaan Bahaya,
yang memang harus didasarkan atas kondisi obyektif sebagaimana ditetapkan
dengan undang-undang.
Sedangkan hal ikhwal “kegentingan yang memaksa” yang dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 memang merupakan hak subyektif Presiden
yang kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan

18
sebagai undang-undang. Keterangan tersebut di atas tertuang secara jelas dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai the interpreter of constitutionterhadap
perkara No. 003/PUU-III/2005 mengenai perkara judicial review UU 19/2004
tentang Penetapan PP 1/2004 tentang Perubahan Atas UU 41/1999 tentang
Kehutanan menjadi Undang-undang. Terlebih lagi, dalam praktik
ketetanegaraan selama ini, dari berbagai Perppu yang pernah dikeluarkan oleh
Presiden menunjukkan adanya kecenderungan penafsiran hal ikhwal
“kegentingan yang memaksa” sebagai keadaan mendesak yang perlu diatur
dengan peraturan setingkat undang-undang (misalnya Perppu 1/1992 tentang
Penangguhan Berlakunya UU 14/1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
Perppu 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, atau perppu-
perppu yang terkait dengan Pilkada).
Dan yang terakhir, perppu yang sempat membuat heboh para pengamat
hukum di negeri ini adalah Perppu 4/2009 tentang Perubahan Atas UU 30/2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dari semua perppu yang disebutkan di
atas, hampir tidak ada kaitannya dengan keadaan bahaya sebagaimana
dimaksud Pasal 12 UUD 1945 dan UU 3/1959 tentang Keadaan Bahaya
Di sinilah sebenarnya kelemahan produk hukum kita yang kemudian
dikhawatirkan, khususnya menyangkut kewenangan mutlak Presiden dalam
mengeluarkan sebuah perppu. Menafsirkan istilah kegentingan yang memaksa
dengan beragam penafsiran akan dapat memberikan peluang bagi Presiden
untuk berlaku sewenang-wenang. Baik dalam upaya mempertahankan
pemerintahannya, maupun untuk menindas lawan-lawan politiknya. Meskipun
ada keharusan uji objektif Perppu di DPR, dalam term pemerintahan otoritarian,
Presiden dapat saja menyimpangi ketentuan tersebut, dan menghindari
penolakan dari DPR. Presiden dapat mengeluarkan perppu untuk jangka waktu
tertentu, untuk selanjutnya dicabut kembali oleh Presiden atau ditolak oleh
DPR.
Artinya bahwa dengan kewenangan mutlak yang dimiliki oleh Presiden
dalam mengeluarkan perppu, ditambah lagi dengan tiadanya batasan yang jelas
tentang pengertian kegentingan yang memaksa akan sangat berpeluang

19
menciptakan pemerintahan yang otoriter.
Apalagi dengan kondisi perpolitikan bangsa kita seperti saat ini, di mana
mayoritas suara di parlemen berada dalam genggaman penguasa. Kalaupun
seandainya perppu dibawa ke DPR untuk memperoleh persetujuan, maka tipis
kemungkinan bahwa DPR akan menolaknya. Parlemen bisa jadi hanya akan
berperan sebagai “tukang stempel” semata dan itu berarti akan semakin terbuka
lebar peluang bagi Presiden untuk menjalankan pemerintahan tanpa control.

2.6.Uji Materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang


(PERPU) Kepada Mahkama Konstitusi

Tugas dan Wewenang dari Mahkamah Konstusi menurut UUD 1945 adalah :

1. Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya


bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewewenangan lembaga Negara yang
kewewenangannya diberikan oleh UUD1945, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.
2. Wajib memberi keputusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden atau Wakil Presiden menurut
UUD 1945.

Wewenang Mahkamah Konstitusi meliputi :

 Menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945.


 Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945.
 Memutus pembubaran partai politik.3.
 Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Permasalahan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan mekansime


pengujian suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) terhadap

20
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) harus diakui cukup sulit untuk
dipecahkan. Sebagian para ahli hukum mengatakan bahwa Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) tak bisa diuji materi di Mahkama Konstitusi.
Bahkan, mantan Ketua MK, Moh. Mahfud MD pernah berujar tegas soal itu.
Perpu, kata Mahfud, hanya boleh diuji dengan legislatif review di Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bukan judicial review ke MK.
Jadi, MK tidak akan menguji materi Perpu. Demikian kata Mahfud. Ini diperkuat
oleh ketentuan letterlijk Pasal 24C UUD 1945 yang menyebut "MK berwenang
untuk menguji undang-undang terhadap UUD".

Namun, karena ’lisan’ dan argumen sang Ketua itu tak mengikat secara hukum,
maka tak ada larangan bagi pihak-pihak yang mengajukan permohonan uji materi
Perpu ke MK. Setidaknya, dua Perpu sekarang sedang ’parkir’ di MK menanti
diputus. Keduanya adalah Perpu Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas UU
Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Perpu
Nomor 4 tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).

1. Koridor Sistem Kontruksi

Tentang Perpu, yang perlu diperhatikan pertama kali sebelum yang lainnya
adalah bagaimana UUD 1945 mengaturnya. Artinya, menyoal Perpu tentu
harus meletakkannya dalam koridor sistem yang dibangun dalam UUD
1945. Ada tiga hal sangat penting yang perlu dicermati dalam hal ini.

 Pertama, dalam UUD 1945, Perpu diatur dalam Pasal 22 yang diletakkan
pada Bab VII tentang DPR. Konstruksi yang demikian harus dipahami betul
mengingat ketentuan Pasal 22 erat hubungannya dengan kewenangan DPR
sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Pasal 22 UUD 1945 berisikan tiga
hal, yaitu 1). pemberian kewenangan kepada Presiden untuk membuat
Perpu, 2). Kewenangan itu hanya digunakan apabila terdapat keadaan

21
genting dan memaksa, 3). Perpu harus mendapat persetujuan DPR pada
persidangan berikutnya.
 Kedua, UUD 1945 membedakan dengan jelas Perpu dengan Peraturan
Pemerintah (PP). PP sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dibuat untuk
tujuan menjalankan undang-undang. Sementara, Perpu yang diatur dalam
Bab DPR materi muatannya seperti yang diatur dalam undang-undang,
bukan untuk melaksanakan undang-undang. Karenanya, jika terjadi
kekosongan undang-undang, entah oleh sebab apa sehingga materi undang-
undang itu belum diproses untuk menjadi undang-undang sebagaimana tata
cara yang berlaku, maka Pasal 22 menyediakan pranata khusus yaitu
memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membuat Peraturan
Pemerintah (sebagai) Pengganti Undang-Undang. Dalam hal ini, yang
terpenting ialah adanya situasi dan kondisi mendesak yang membutuhkan
aturan (undang-undang), sementara proses normal pembuatan undang-
undang memerlukan waktu lama sehingga kebutuhan akan hukum yang
mendesak itu tak dapat diatasi. Sederhananya, Perpu diperlu kan apabila
memenuhi tiga parameter, yakni :

1. Ada keadaan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat


berdasarkan undang-undang,
2. Terjadi kekosongan hukum karena undang-undang yang dibutuhkan untuk
itu belum ada,
3. Kekosongan hukum tidak teratasi jika harus menempuh prosedur legislasi
biasa yang perlu waktu lama sedangkan keadaan mendesak perlu cepat
mendapatkan kepastian untuk diselesaikan.

 Ketiga, pengertian kegentingan memaksa dalam Pasal 22 ayat (1) tak bisa
dimaknai hanya dengan mengkaitkannya dengan adanya keadaan bahaya
sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945. Keadaan bahaya memang
dapat menyebabkan proses legislasi normal tidak dapat dilaksanakan, tetapi
itu bukan satu-satunya penyebab timbulnya kegentingan memaksa.

22
2. Dapat Diuji

Berdasarkan dan berkutat pada sistem konstitusi di atas, Pasal 22 UUD 1945
yang berbunyi “Dalam keadaan kegentingan memaksa, Presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang" harus
dimaknai sebagai berikut.

 Pertama, Peraturan pemerintah pada Pasal itu adalah sebagai pengganti


undang-undang. Artinya, materi yang diatur dalam peraturan pemerintah itu
seharusnya diatur dalam wadah undang-undang. Tetapi karena kegentingan
memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk
menetapkannya, bukan kepada DPR. Kenapa bukan DPR? Karena apabila
diserahkan ke DPR, proses dan mekanisme pengambilan keputusannya akan
memakan waktu lama mengingat diperlukannya rapat-rapat DPR dengan
berbagai tingkatan. Sehingga, kebutuhan hukum secara cepat jelas tak
dimungkinkan.
 Kedua, frase ”Presiden berhak” pada Pasal 22 ayat (1) mengesankan adanya
subyektifitas dan tergantung sepenuhnya pada Presiden dalam hal
pembuatan Perpu. Memang, pembuatan Perpu di tangan Presiden yang
bergantung pada penilaian subyektifnya. Namun, itu tidak berarti penilaian
subyektif itu bersifat absolut dan tanpa dilandasi hal mendasar. Penilaian
subyektif Presiden itu harus didasarkan pada keadaan obyektif berupa
terpenuhinya tiga parameter adanya kegentingan memaksa.

Sebagai instrumen mengatasi kebutuhan hukum dalam kegentingan memaksa,


maka tentu saja Perpu melahirkan norma hukum. Sebagai norma hukum baru, Perpu
akan menimbulkan :

1. Status hukum baru,


2. Hubungan hukum baru,
3. Akibat hukum baru. Norma hukum lahir sejak Perpu disahkan.

23
Hanya saja, nasibnya norma hukum itu sangat bergantung pada DPR, apakah
menerima atau menolak norma hukum Perpu. Meski demikian, sebelum DPR
berpendapat untuk menyetujui atau menolak Perpu, norma hukum itu adalah sah
dan berlaku mengikat.

Oleh karena keberadaannya yang melahirkan norma hukum dengan kekuatan setara
undang-undang itulah maka sudah seharusnya Perpu dapat dimohonkan untuk diuji
materi di MK. Singkat cerita, MK mestinya berwenang menguji Perpu terhadap
UUD 1945 sebelum adanya persetujuan atau penolakan oleh DPR. Untuk Perpu
pasca persetujuan DPR tentu saja MK berwenang karena Perpu telah menjadi UU.

Terhadap nasib kedua Perpu, memang belum terbaca indikasinya. Yang pasti,
putusan atas perkara itu adalah preseden. Tak perlu sampai jauh pada isi putusan
MK apakah Perpu bertentangan atau tidak dengan UUD 1945, sebab ketegasan
yang dinyatakan dalam putusan bahwa MK berwenang menguji Perpu sudah
merupakan ‘pahala’ besar bagi rakyat negeri ini.

3. Hak Subyektif “Terbatas” Presiden

“Keberanian” Presiden SBY mengeluarkan Perpu tidak lepas dari perdebatan


tentang subyektifitas presiden dalam menafsirkan “hal kegentingan memaksa” yang
diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Penafsiran subyektif Presiden dalam pasal 22
harus dibedakan dengan penafsiran obyektif yang diatur dalam Pasal 12 UUD 1945.
Dalam kondisi bahaya atau tidak normal, UUD Negara RI Tahun 1945 memberikan
kewenangan kepada presiden untuk melakukan tindakan khusus. Tindakan khusus
yang diberikan oleh UUD 1945 diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 22. Pasal 12
menyebutkan Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya
keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. UUD 1945 dengan tergas
mengamanatkan adanya undang-undang yang mengatur keadaan bahaya yang saat
ini diatur lebih lanjut dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
Terhadap keadaan bahaya yang diatur dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 ini,

24
Presiden hanya dapat menafsirkan secara obyektif. Dalam hukum tata negara tidak
tertulis dikenal dengan doktrinnoodstaatsrecht.

Menurut Harun Al Rasyid (dalam Kleden & Waluyo, Ed., 1981: 76-77 dan 105),
dalamnoodstaatsrecht, undang-undang keadaan bahaya selalu ada, pelaksanaan
berlakunya keadaan bahaya dituangkan dalam keputusan presiden. Noodstaatsrecht
harus dibedakan dari staatsnoodrecht. Menurut doktrin staatnoodrecht, jika negara
dalam keadaan darurat kepala negara boleh bertindak apapun bahkan melanggar
undang-undang dasar sekalipun demi untuk menyelamatkan negara. Staatnoodrecht
merupakan hak darurat negara, bukan hukum. Di Indonesia, Dekrit Presiden 5 Juli
1949 yang menetapkan berlakunya kembali UUD 1945, menurut Prof.
Wiryono didasarkan pada doktrin staatnoodrecht. Mahfud MD pembenaran dekrit
tidak hanya didasarkan pada staatnoodrecht tetapi juga berdasarkan pada prinsip
salus populis supreme lex (keselamatan rakyat adalah dasar hukum tertinggi). Akan
tetapi, menurutM. Hatta, Prawoto Mangkusasmito (dalam Mahfud MD: 2001:
136) serta Yusril Ihza Mahendra (2001) yang menyetujui pendapat Prof.
Logeman, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah sebuah revolusi hukum di bidang
ketatanegaraan.

Menelisik ke belakang, ketentuan Pasal 22 (dan Pasal 12) merupakan teks asli UUD
1945 yang tidak diamandemen. Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 menerangkan
bahwa, Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini
memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh
pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk
bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari
pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, peraturan pemerintah
dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan
pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Indrianto Seno Adji (2002) mengatakan, dalam Hukum Tata Negara dikenal asas
hukum darurat untuk kondisi darurat atau abnormale recht voor abnormale tijden.

25
Asas ini kemudian menjadi hak prerogatif presiden seperti dalam ketentuan Pasal
22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Jimly Ashiddiqie (2006: 80-85),
Perpu sebagai emergency legislation yang didasarkan pada alasan inner nootstand
(keadaan darurat yang bersifat internal) dalam keadaan :

1. mendesak dari segi substansi, dan


2. genting dari segi waktunya.

Sementara itu, Bagir Manan dalam buku Teori dan Politik Konstitusi (2004)
mengatakan, hal ihwal kegentingan yang memaksa" merupakan syarat konstitutif
yang menjadi dasar kewenangan presiden dalam menetapkan perppu. Apabila tidak
dapat menunjukkan syarat nyata keadaan itu, presiden tidak berwenang menetapkan
perppu. Perppu yang ditetapkan tanpa adanya hal ihwal kegentingan maka batal
demi hukum (null and void), karena melanggar asas legalitas yaitu dibuat tanpa
wewenang. Hal ihwal kegentingan yang memaksa juga harus menunjukkan
beberapa syarat adanya krisis, yang menimbulkan bahaya atau hambatan secara
nyata terhadap kelancaran menjalankan fungsi pemerintahan. Oleh karena itu,
muatan perppu hanya terbatas pada pelaksanaan (administratiefrechtelijk).

Tentang muatan dan cakupan Perpu sendiri, Jimly Ashiddiqie membenarkan


pendapat Bagir Manan, bahwa sifat inner notstand sebagai alasan pokok hanya
dapat dijadikan alasan ditetapkannya Perpu sepanjang berkaitan dengan
kepentingan internal pemerintahan yang memerlukan dukungan payung hukum
setingkat undang-undang. Beranjak dari hal-hal tersebut di atas, jelas bahwa
Presiden mempunyai keterbatasan dalam menggunakan hak subyektifnya dalam
mengeluarkan perpu. Presiden hanya bisa menggunakan haknya sepanjang
berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan. perlu ditegaskan bahwa
ketentuan UUD 1945 tentang hak presiden menafsirankan keadaan darurat dan
kegetingan memaksa bukan merupakan hak tanpa batas. Hak mengeluarkan perpu
(atau bahkan Dekrit) tanpa batas akan menjadikan bangsa Indonesia berjalan
mundur.

26
Mahkamah Konstitusi berhak dan berwenang untuk melakukan pengujian
Perputerhadap Undang-Undang Dasar 1945. Kesimpulan tersebut dilatar belakangi
oleh sudut perspektif dalam menginterprestasikan hukum secara subyektif.Sebagai
negara hukum, sedianya tidak hanya bersandarkan pada konsep hukumtertulis
sebagaimana diketahui Mahkamah Konstitusi tidak berhak menguji Perpudengan
alasan tidak ditemukan pengaturan dalam UUD 1945, namun jugamemperhatikan
sumber hukum lainnya seperti asas-asas hukum, prinsip Hak Asasi Manusia dan
kepentingan sebagian besar masyarakat. Dengan memperhatikan pluralisme
sumber hukum tersebut, suatu produk konstitusi dapat senantiasa bertahan sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.Diperlukannya pengujian adalalah untuk
:

1. Menghindari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power);


2. Menghindari kekakuan hukum; dan
3. Menghindari kerugian yang dapat berdampak luas pada masyarakat.

27
BAB III. PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Dalam penerbitan suatu perppu, istilah “hal ikhwal kegentingan yang
memaksa” pada dasarnya adalah merupakan hak subyektif Presiden yang
kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan
sebagai undang-undang. Namun demikian, karena tidak adanya pengaturan
secara jelas, tegas dan terperinci mengenai pengertian istilah
“hal ihwal kegentingan yang memaksa” dalam mekanisme penerbitan
sebuah perppu sebagaimana harus tercermin dalam konsiderans “menimbang”
dari perppu tersebut, maka menjadi terbuka peluang bagi Presiden untuk
menterjemahkan istilah “hal ihwal kegentingan yang memaksa” secara
multitafsir. Dengan demikian, selain akan menghasilkan sebuah produk
undang-undang yang cacat hukum, juga akan semakin mudah bagi seorang
Presiden untuk memanfaatkan kewenangan penerbitan perppu terhadap
kepentingan-kepentingan tertentu, di luar daripada kepentingan bangsa dan
negara.
Lebih parahnya lagi, kewenangan mutlak Presiden dalam mengeluarkan
sebuah perppu akan dapat memberikan peluang bagi Presiden untuk berlaku
sewenang-wenang, baik dalam upaya mempertahankan pemerintahannya,
maupun untuk menindas lawan-lawan politiknya. Meskipun ada keharusan uji
objektif perppu di DPR, dalam kondisi pemerintahan otoritarian, Presiden dapat
saja menyimpangi ketentuan tersebut, dan menghindari penolakan dari DPR.
Presiden dapat mengeluarkan perppu untuk jangka waktu tertentu, untuk
selanjutnya dicabut kembali oleh Presiden atau ditolak oleh DPR.
Oleh karena itu, untuk menghindari adanya kebebasan yang berlebihan
dalam menafsirkan istilah “hal ihwal kegentingan yang memaksa” dalam
penerbitan perppu, maka sudah seharusnya undang-undang menerjemahkan
secara lebih detail kehendak dari Pasal 22 UUD 1945. Undang-Undang harus
menguraikan secara rinci pengertian, unsur-unsur dan indikator dari “hal ihwal
kegentingan yang memaksa”, sehingga dengan demikian, makapemberlakuan

28
perppu akan dapat lebih bermanfaat sesuai dengan salah satu asas hukum (asas
kemanfaatan) dan menghindari terjadinya pemerintahan yang otoriter

29
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang:

1. Undang-Undang Dasar 1945.


2. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
3. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang- Undangan
4. Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009
5. Peraturan Presiden No. 87 Th. 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan
6. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 2 Tahun
2018 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahum 2014 Tentang Tata Tertib
7. Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum

Buku:

1. Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-Undangan: Prosesdan


Teknik Pembentukannya (2), Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm. 79-
85.
2. Abdul Hamid Saleh Atamimi, “UUD 1945-TAP MPR- Undang-
Undang”, dalam Padmo Wahjono, “Masalah Ketatanegaraan (himpunan
tulisan)”,Ghalia Indonesia,1984,hlm.131.
3. Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi
(Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM), Konstitusi Press, 2006,
hlm. 32

30
Jurnal:

1. https://jurnal.ugm.ac.id/jmh/article/viewFile/16208/10754

31
Tanya Jawab

1. Dampak kalau PERPU ditolak dan contoh PERPU yang ditolak di Indonesia?
(Hanafi)
Dulu ada peristiwa bom Bali pada Oktober 2007. Atas desakan internasional
dibuatlah PERPU antiterorisme. Kemudian dibahas di DPR dalam masa sidang
terdekat. Saat mau dibahas kemudian Pemerintah meminta DPR untuk menolak
PERPU tersebut. UU definitife (bukan dari keadaan yang memaksa)

2. Batasan dan keadaan mendesak atau kegentingan yang memaksa dalam


pembuatan PERPU? (Dian Rukmana)
Berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 ada tiga syarat sebagai
parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan
PERPU yaitu:

4. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah


hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
5. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi
kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; dan
6. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat
Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu
yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu
kepastian untuk diselesaikan.

3. Apa pengganti PERPU yang dicabut? (Tika)

Dalam hal PERPU tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna
(ditolak), maka sebagai tindak lanjut dari dikeluarkannya Keputusan Rapat
Paripurna DPR yang menolak PERPU yang bersangkutan, PERPU tersebut
harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 52 ayat [5] UU 12/2011).

32
Kemudian dalam Pasal 52 ayat (6) dan ayat (7) UU 12/2011 yang berbunyi:
(6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus
dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang
tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
(7) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Dari pasal-pasal di atas dapat kita ketahui bahwa secara hukum, DPR atau
Presidenlah yang mengajukan Rancangan Undang-Undang ("RUU")
tentang pencabutan PERPU. RUU yang diajukan itu juga mengatur segala
akibat hukum dari pencabutan PERPU.

4. Batasan Waktu PERPU itu berapa lama? Apakah masih ada mekanisme kalau
PERPU ditolak? Apakah banding di MK? (William)
Dalam Pasal 22 UUD 1945 yang berbunyi:
(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

Maka Jelas dalam ayat 2 bahwa batas waktu PERPU sampai persidangan Dewan
Perwakilan Rakyat yang selanjutnya dan jika ditolak dalam ayat 3 maka PERPU
harus dicabut.
PERPU tidak ada upaya banding/hukum selanjutnya.

33

Anda mungkin juga menyukai