Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang
umum, dapat dicegah dan diobati yang ditandai dengan gejala pernapasan
dan keterbatasan aliran udara yang disebabkan oleh saluran napas dan /
atau kelainan alveolar yang biasanya disebabkan oleh paparan signifikan
terhadap partikel atau gas yang berbahaya.1
Keterbatasan aliran udara yang kronis merupakan karakteristik dari
PPOK yang disebabkan oleh campuran penyakit saluran udara kecil
(bronkiolitis obstruksi) dan kerusakan parenkim (empisema).1

2.2. Epidemiologi5
Prevalensi PPOK berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000
penduduk, dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3
banding 1. Penderita PPOK umumnya berusia minimal 40 tahun, akan
tetapi tidak tertutup kemungkinan PPOK terjadi pada usia kurang dari 40
tahun. Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih
banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita.
Hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001
menunjukkan bahwa sebanyak 62,2% penduduk laki-laki merupakan
perokok dan hanya 1,3% perempuan yang merokok. Sebanyak 92,0% dari
perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah, ketika
bersama anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar
anggota rumah tangga merupakan perokok pasif.
Di Amerika, kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat
darurat mencapai angka 1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah
sakit dan 119.000 meninggal selama tahun 2000. Sebagai penyebab
kematian, PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung,
kanker dan penyakit serebro vascular. WHO memperkirakan bahwa

2
3

menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat. Akibat sebagai


penyebab penyakit tersering peringkatnya akan meningkat dari ke
duabelas menjadi ke lima dan sebagai penyebab kematian akan meningkat
dari ke enam menjadi ke tiga. Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga
Dep. Kes. RI tahun 1992, PPOK bersama asma bronchial menduduki
peringkat ke enam. Merokok merupakan farktor risiko terpenting
penyebab PPOK di samping faktor risiko lainnya seperti polusi udara,
faktor genetik dan lain-lainnya.

2.3. Faktor Risiko


Faktor-faktor yang dapat memicu terjadi PPOK ini, yaitu:
1. Kebiasaan merokok11,2,5
Pada perokok berat kemungkinan untuk mendapatkan
PPOK menjadi lebih tinggi. WHO menyatakan hampir 75% kasus
bronkitis kronik dan emfisema diakibatkan oleh rokok. Perokok
lebih beresiko 45% untuk terkena PPOK dibanding yang bukan
perokok.
Secara umum telah diketahui bahwa merokok dapat
menyebabkan gangguan pernapasan. Terdapat beberapa alasan
yang mendasari pernyataan ini. Pertama, salah satu efek dari
penggunaan nikotin akan menyebabkan konstriksi bronkiolus
terminal paru, yang meningkatkan resistensi aliran udara ke dalam
dan keluar paru. Kedua, efek iritasi asap rokok menyebabkan
peningkatan sekresi cairan ke dalam cabang-cabang bronkus serta
pembengkakan lapisan epitel.
Ketiga, nikotin dapat melumpuhkan silia pada permukaan
sel epitel pernapasan yang secara normal terus bergerak untuk
memindahkan kelebihan cairan dan partikel asing dari saluran
pernapasan. Akibatnya lebih banyak debris berakumulasi dalam
jalan napas dan kesukaran bernapas menjadi semakin bertambah.
Hasilnya, semua perokok baik berat maupun ringan akan
4

merasakan adanya tahanan pernapasan dan kualitas hidup


berkurang.
2. Pekerjaan1,2,5
Pekerja yang bekerja di lingkungan yang berdebu akan
lebih mudah terkena PPOK. Perjalanan debu yang masuk ke
saluran pernapasan dipengaruhi oleh ukuran partikel tersebut.
Partikel yang berukuran 5 μm atau lebih akan mengendap di
hidung, nasofaring, trakea dan percabangan bronkus.
Partikel yang berukuran kurang dari 2 μm akan berhenti di
bronkiolus respiratorius dan alveolus. Partikel yang berukuran
kurang dari 0,5 μm biasanya tidak sampai mengendap di saluran
pernapasan akan tetapi akan dikeluarkan lagi. Apabila terdapat
debu yang masuk ke sakkus alveolus, makrofag yang ada di
dinding alveolus akan memfagositosis debu tersebut. Akan tetapi
kemampuan fagositik makrofag terbatas, sehingga tidak semua
debu dapat difagositosis.
Debu yang ada di dalam makrofag sebagian akan di bawa
ke bulu getar yang selanjutnya akan dibatukkan dan sebagian lagi
tetap tertinggal di interstisium bersama debu yang tidak sempat di
fagositosis. Debu organik dapat menimbulkan fibrosis sedangkan
debu mineral (inorganik) tidak selalu menimbulkan akibat fibrosis
jaringan. Reaksi tersebut dipengaruhi juga oleh jumlah dan
lamanya pemaparan serta kepekaan individu untuk menghadapi
rangsangan yang.
3. Faktor Genetik1,2,5
Faktor genetik yang paling sering disebutkan dalam literatur
adalah defisiensi dari alpha- 1 antitripsin yang merupakan inhibitor
dari serine protease yang terbanyak beredar dalam sirkulasi.
Defisiensi ini jarang ditemukan namun paling sering dijumpai pada
ras yang berasal dari North Europe. Penyebab genetik lainnya
adalah kelainan pada kromosom 2q, perubahan dari transforming
5

growth factor beta 1 (TGF-beta1), microsomal epoxide hydrolase 1


(mEPHX1), dan tumor necrosis factor alpha (TNFa).
Defisiensi enzim alfa 1 antitripsin merupakan faktor
predisposisi untuk berkembangnya PPOK secara dini.1 Alfa 1
antitripsin merupakan sejenis protein tubuh yang diproduksi oleh
hati, berfungsi dalam melindungi paru-paru dari kerusakan.2 Enzim
ini berfungsi untuk menetralkan tripsin yang berasal dari rokok.
Jika enzim ini rendah dan asupan rokok tinggi maka akan
mengganggu sistem kerja enzim tersebut yang bisa mengakibatkan
infeksi saluran pernafasan. Defisiensi enzim ini menyebabkan
emfisema pada usia muda yaitu pada mereka yang tidak merokok,
onsetnya sekitar usia 53 tahun manakala bagi mereka yang
merokok sekitar 40 tahun.
4. Berbagai faktor lain yakni7:
1. Jenis kelamin, dimana pasien pria lebih banyak daripada wanita.
Ini dikarenakan perokok pria lebih banyak 2 kali lipat daripada
wanita.
2. Usia, di mana ini berhubungan dengan lamanya seseorang
merokok, berapa banyak bungkus rokok yang telah dihabiskan.
Semakin dewasa usia seseorang maka semakin banyak rokok
yang telah dihisap.
3. Infeksi saluran pernapasan adalah faktor resiko yang berpotensi
untuk perkembangan dan progresi PPOK pada orang dewasa.
Infeksi saluran pernapasan pada anak-anak juga dipercaya
berpotensi sebagai faktor predisposisi perkembangan PPOK.
Walaupun infeksi saluran pernapasan adalah salah satu
penyebab penting terjadinya eksaserbasi PPOK, hubungan
infeksi saluran pernapasan dewasa dan anak-anak dengan
perkembangan PPOK masih belum bisa dibuktikan
6

4. Hiperresponsif saluran pernapasan. Ini bisa menjurus kepada


remodelling saluran pernapasan yang menyebabkan terjadinya
lebih banyak obstruksi pada penderita PPOK.

2.4 Klasifikasi1,2
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease (GOLD) 2019, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat
berikut:
Tabel 1. Klasifikasi PPOK

2.5. Patogenesis 1,2


Peradangan merupakan salah satu proses patogenesis dari PPOK.
Inhalasi asap rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi makrofag dan
sel epitel untuk melepaskan faktor kemotaktik yang merekrut lebih banyak
makrofag dan neutrofil. Kemudian, makrofag dan neutrofil ini melepaskan
protease yang merusak elemen struktur pada paru-paru. Protease
sebenarnya dapat diatasi dengan antiprotease endogen namun tidak
berimbangnya antiprotease terhadap dominasi aktivitas protease yang pada
akhirnya akan menjadi predisposisi terhadap perkembangan PPOK.
Pembentukan spesies oksigen yang sangat reaktif seperti superoxide,
radikal bebas hydroxyl dan hydrogen peroxide telah diidentifikasi sebagai
faktor yang berkontribusi terhadap patogenesis karena substansi ini dapat
meningkatkan penghancuran antiprotease.
Beberapa karakteristik inflamasi yang terjadi pada pasien PPOK,
yakni, peningkatan jumlah neutrofil (didalam lumen saluran nafas),
7

makrofag (lumen saluran nafas, dinding saluran nafas, dan parenkim),


limfosit T terutama CD 8+ (dinding saluran nafas dan parenkim). Yang
mana hal ini dapat dibedakan dengan inflamasi yang terjadi pada penderita
asma. Sel-sel radang yang teraktivasi akan mengeluarkan berbagai
mediator seperti Leukotrien B4, IL8, TNF yang mampu merusak struktur
paru dan atau mempertahankan inflamasi neutrofilik. Disamping inflamasi
ada 2 proses lain yang juga penting yaitu imbalance proteinase dan anti
proteinase di paru dan stres oksidatif.
Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai disaluran
napas besar (central airway), saluran napas kecil (peripheral airway),
parenkim paru dan vaskuler pulmonal. Pada saluran napas besar dijumpai
infiltrasi sel-sel radang pada permukaan epitel. Kelenjar-kelenjar yang
mensekresi mukus membesar dan jumlah sel goblet meningkat. Kelainan
ini menyebabkan hipersekresi bronkus.
Pada saluran napas kecil terjadi inflamasi kronis yang
menyebabkan berulangnya siklus injury dan repair dinding saluran napas.
Proses repair ini akan menghasilkan struktural remodeling dari dinding
saluran napas dengan peningkatan kandungan kolagen dan pembentukan
jaringan ikat yang menyebabkan penyempitan lumen dan obstruksi kronis
saluran pernapasan.
Pada parenkim paru terjadi destruksi yang khas terjadi pada
emfisema sentrilobuler. Kelainan ini lebih sering dibagian atas pada kasus
ringan namun bila lanjut bisa terjadi diseluruh lapangan paru dan juga
terjadi destruksi pulmonary capilary bed. Perubahan vaskular pulmonal
ditandai oleh penebalan dinding pembuluh darah yang dimulai sejak awal
perjalanan ilmiah PPOK. Perubahan struktur yang pertama kali terjadi
adalah penebalan intima diikuti peningkatan otot polos dan infiltrasi
dinding pembuluh darah oleh sel-sel radang. Jika penyakit bertambah
lanjut jumlah otot polos, proteoglikan dan kolagen bertambah sehingga
dinding pembuluh darah bertambah tebal.
8

Pada bronkitis kronis maupun emfisema terjadi penyempitan


saluran napas. Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi dan
menimbulkan sesak. Pada bronkitis kronik, saluran pernapasan yang
berdiameter kecil (< 2mm) menjadi lebih sempit dan berkelok-kelok.
Penyempitan ini terjadi karena metaplasi sel goblet. Saluran napas besar
juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mukus. Pada
emfisema paru, penyempitan saluran napas disebabkan oleh berkurangnya
elastisitas paru-paru.
Obstruksi saluran udara menghasilkan alveoli yang tidak
terventilasi atau kurang terventilasi; perfusi berkelanjutan pada alveoli ini
akan menyebabkan hypoxemia (PaO2 rendah) oleh ketidakcocokan antara
ventilasi dan aliran darah (V/Q tidak sesuai). Ventilasi dari alveoli yang
tidak berperfusi atau kurang berperfusi meningkatkan ruang buntu (Vd),
menyebabkan pembuangan CO2 yang tidak efisien. Hiperventilasi
biasanya akan terjadi untuk mengkompensasi keadaan ini, yang kemudian
akan meningkatkan kerja yang dibutuhkan untuk mengatasi resistensi
saluran napas yang telah meningkat, pada akhirnya proses ini gagal, dan
terjadilah retensi CO2 (hiperkapnia) pada beberapa pasien dengan PPOK
berat.
9

Gambar 1. Patogenesis PPOK


10

2.6. Manifestasi Klinis 2,3,4


Pasien yang mengalami eksaserbasi akut dapat ditandai dengan gejala
yang khas seperti :
1. Sesak napas yang semakin bertambah berat
2. Napas yang dangkal dan cepat
3. Batuk produktif dengan perubahan volume atau purulensi
sputum, atau dapat memberikan gejala yang tidak khas
seperti : malaise, fatigue, dan gangguan susah tidur.
Gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh,
peningkatan denyut nadi, serta gangguan status mental.

2.7. Diagnosis1,2,3
a. Anamnesis
 Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
 Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
 Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan
lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap
rokok dan polusi udara
 Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
 Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi
o Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
o Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal
sebanding)
o Penggunaan otot bantu napas
o Hipertropi otot bantu napas
o Pelebaran sela iga
11

o Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena


jugularis leher dan edema tungkai
o Penampilan pink puffer atau blue bloater
2. Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
3. Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
4. Auskultasi
a. suara napas vesikuler normal, atau melemah
b. terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa
c. ekspirasi memanjang
d. bunyi jantung terdengar jauh
Keterangan :
 Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit
kemerahan dan pernapasan pursed – lips breathing.
 Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis,
terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis
sentral dan perifer.
 Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu
dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai
mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi
sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang
terjadi pada gagal napas kronik.
12

c. Pemeriksaan Penunjang 1,2


Pemeriksaan yang diperlukan untuk menilai tingkat keparahan pasien
PPOK yang mengalami eksaserbasi akut adalah :
1. Tes fungsi paru (mungkin sukar dilakukan untuk pasien yang
kondisinya parah).
- PEF < 100 L/menit atau FEV1 < 1 L mengindikasikan
adanya ekssaserbasi yang parah.
 Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP
o Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan
atau VEP1/KVP (%).
Obstruksi: % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75%
o VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai
untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan
penyakit.
o Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat
dipakai sebagai alternative dengan memantau variability
harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
 Uji Bronkodilator
o Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak
ada gunakan APE meter. Setelah pemberian
bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,
perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan <200
ml.
o Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
13

2. Pemeriksaan Analisis Gas Darah


- PaO2 <8,2 kPa (60 mmHg) dan atau Sa O2 <90% dengan
atau tanpa PaCO2 > 6,7 kPa (50 mmHg), saat bernapas
dalam udara ruangan, mengindikasikan adanya gagal napas.
- PaO2 < 6,7 kPa (50 mmHg), PaCO2 > 9,3 kPa (70 mmHg)
dan PH < 7,30, memberi kesan episode yang mengancam
jiwa dan perlu dilakukan monitor ketat dan penanganan
intensif.
3. Foto toraks
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan
penyakit paru lain. Pada foto thorak akan tampak gambaran
seperti :
a. Hiperinflasi
b. Hiperlusen
c. Corakan brokovaskuler meningkat
d. Diafragma mendatar
e. Ruang interkoastal melebar
f. Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop /
eye drop appearance)
14

Gambar 2. Foto Rontgen PPOK.

Normal Hyperinflation

4. Kultur dan sensitivitas kuman


Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk
memilih antibiotik yang tepat. Kuman penyebab eksaserbasi
akut adalah Streptococcus pneumonia, moravella catarhalis dan
H. Influenza. Infeksi saluran napas berulang merupakan
penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.
5. Darah Rutin
Hemoglobin, Hematokrit, Leuosit
15

2.8. Diagnosis Banding1,2


Terdapat perbedaan klinis dan hasil pemeriksaan spirometri pada PPOK,
asma bronkial dan gagal jantung kronik.
Tabel 2. Diagnosis Banding PPOK

Tabel 3. Penilaian gejala sesak menurut GOLD 2019

CAT merupakan kuesioner yang sudah tervalidasi dan


terstandarisasi yang digunakan untuk menilai status kesehatan pasien
PPOK.1
 CAT dapat digunakan bersama-sama dengan spirometri dalam
penilaian klinis pasien PPOK untuk mengetahui apakah
16

penatalaksanaan sudah optimal. CAT juga tidak dapat


menggantikan terapi PPOK, tetapi dapat membantu dalam
memonitor efek terapi.
 CAT Development Steering Group and GOLD menyarankan agar
pasien mengisi kuesioner CAT setiap 2-3 bulan untuk menilai
perubahan.

Tabel 4. COPD Assessment Test (CAT)1

2.9. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan :
1. Mengurangi gejala
2. Mencegah eksaserbasi berulang
3. Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
4. Meningkatkan kualiti hidup penderita
17

PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan


nonreversibel, sehingga penatalaksanaan PPOK terbagi atas
penatalaksanaan pada keadaan stabil dan penatalaksanaan pada
eksaserbasi akut.
a. Edukasi1
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat
dilaksanakan ditentukan skala prioriti bahan edukasi sebagai
berikut :
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada
waktu diagnosis PPOK ditegakkan
2. Pengunaan obat – obatan
 Macam obat dan jenisnya
 Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI
atau nebuliser )
 Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan
selangwaku tertentu atau kalau perlu saja.
 Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
 Kapan oksigen harus digunakan
 Berapa dosisnya
 Mengetahui efek samping kelebihan dosis
oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau
terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
 Batuk atau sesak bertambah
 Sputum bertambah
 Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
18

7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan


aktivitas.
b. Farmakologi 1,2

Tabel 5. Algoritma untuk penilaian, inisiasi dan tindak lanjut dan


pengobatan farmakologi menurut GOLD 2019

o Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat
penyakit ( lihat tabel 6 ). Pemilihan bentuk obat diutamakan
inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka
panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas
lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang (long acting).
Macam - macam bronkodilator :
a. Golongan antikolinergik

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping


sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir
(maksimal 4 kali perhari).
b. Golongan agonis beta – 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak,
peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor
19

timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan


sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek
panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk
mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk
penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan
atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
c. Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat
efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai
tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan
obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah
penderita.
d. Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan
pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat
sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus
atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan
kadar aminofilin darah.
o Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau
injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi,
dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk
inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti
uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pasca
bronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
o Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang
digunakan :
 Lini I : amoksisilin, makrolid
20

 Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin,


kuinolon, makrolid baru
Perawatan di Rumah Sakit :
dapat dipilih
 Amoksilin dan klavulanat
 Sefalosporin generasi II & III injeksi
 Kuinolon per oral
ditambah dengan yang anti pseudomonas
 Aminoglikose per injeksi
 Kuinolon per injeksi
 Sefalosporin generasi IV per injeksi
o Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,
digunakan N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK
dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai
pemberian yang rutin
o Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis
kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi
pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai
pemberian rutin.
o Antitusif
Diberikan dengan hati-hati
21

Tabel 6. Obat pada PPOK1


22

2.10. Komplikasi1,2,7

a. PPOK Eksaserbasi Akut


b. Pneumonia
c. Pneumotorak
d. Hipertensi plumonal
2.11. PPOK Eksaserbasi Akut1
1. Definisi
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan
dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan
infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya
komplikasi.
2. Etiologi
Tabel 7. Etiologi PPOK Eksaserbasi Akut
Primer Sekunder
o Infeksi trakeobronkial o Pnemonia
(biasanya karena o Gagal jantung kanan, atau kiri, atau
virus) aritmia
o Emboli paru
o Pneumotoraks spontan
o Penggunaan oksigen yang tidak tepat
o Penggunaan obat-obatan (obat penenang,
diuretik) yang tidak tepat
o Penyakit metabolik (DM, gangguan
elektrolit)
o Nutrisi buruk
o Lingkunagn memburuk/polusi udara
o Aspirasi berulang
o Stadium akhir penyakit respirasi
(kelelahan otot respirasi)
23

3. Klasifikasi
Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :
a. Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas
ditambah infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam
tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau
peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau
frekuensi nadi > 20% baseline
4. Manifestasi Klinis
Gejala eksaserbasi :
 Sesak bertambah
 Produksi sputum meningkat
 Perubahan warna sputum
5. Penatalaksanaan
Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk
eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang
dan berat)
Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan dirumah oleh
penderita yang telah diedukasi dengan cara :
a. Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk
bronkodilator yang digunakan dari bentuk inhaler, oral dengan
bentuk nebuliser
b. Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur
c. Menambahkan mukolitik
d. Menambahkan ekspektoran
Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke
dokter. Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan
secara rawat jalan atau rawat inap dan dilakukan di :
24

Tabel 8. Rawatan PPOK Eksaserbasi Akut


Indikasi :
o Eksaserbasi ringan sampai sedang
o Gagal napas kronik
o Tidak ada gagal napas akut pada gagal
Poliklinik rawat jalan napas kronik
o Sebagai evaluasi rutin meliputi :
- Pemberian obat-obatan yang optimal
- Evaluasi progresifiti penyakit
- Edukasi
Unit Gawat Darurat Penanganan di gawat darurat
1. Tentukan masalah yang menonjol,
misalnya :
- Infeksi saluran napas
- Gangguan keseimbangan asam basa
- Gawat napas
2. Triase untuk ke ruang rawat atau ICU

Penanganan di ruang rawat untuk eksaserbasi


sedang dan berat (belum memerlukan
ventilasi mekanik)
1. Obat-obatan adekuat diberikan secara
intravena dan nebuliser
2. Terapi oksigen dengan dosis yang tepat,
gunakan ventury mask
3. Evaluasi ketat tanda-tanda gagal napas
4. Segera pindah ke ICU bila ada indikasi
penggunaan ventilasi mekanik
25

Penatalaksanaan rawat inap


Indikasi rawat :
1. Eksaserbasi sedang dan berat
2. Terdapat komplikasi
- infeksi saluran napas berat
- gagal napas akut pada gagal napas
kronik
- gagal jantung kanan

Selama perawatan di rumah sakit harus


diperhatikan :
Ruang Rawat 1. Menghindari intubasi dan penggunaan
mesin bantu napas dengan cara evaluasi
klinis yang tepat dan terapi adekuat
2. Terapi oksigen dengan cara yang tepat
3. Obat-obatan maksimal, diberikan dengan
drip, intrvena dan nebulizer
4. Perhatikan keseimbangan asam basa
5. Nutrisi enteral atau parenteral yang
seimbang
6. Rehabilitasi awal
7. Edukasi untuk pasca rawat

Indikasi perawatan ICU


1. Sesak berat setelah penangan adekuat di
ruang gawat darurat atau ruang rawat
2. Kesadaran menurun, lethargi, atau
ICU
kelemahan otot-otot respirsi
3. Setelah pemberian osigen tetap terjadi
hipoksemia atau perburukan
4. Memerlukan ventilasi mekanik (invasif atau
26

non invasif)
Tujuan perawatan ICU
1. Pengawasan dan terapi intemsif
2. Hindari inturbasi, bila diperlukan intubasi
gunakan pola ventilasi mekanik yang tepat
3. Mencegah kematian

Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah


mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal
napas. Bila telah menjadi gagal napas segera atasi untuk mencegah
kematian. Beberapa hal yang harus diperhatikan meliputi :1
1. Diagnosis beratnya eksaerbasi
a. Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal
b. Kesadaran
c. Tanda vital
d. Analisis gas darah
e. Pneomonia
2. Terapi oksigen adekuat
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama
dan utama, bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah
keadaan yang mengancam jiwa. dapat dilakukan di ruang gawat
darurat, ruang rawat atau di ICU. Sebaiknya dipertahankan Pao2 > 60
mmHg atau Sat O2 > 90%, evaluasi ketat hiperkapnia. gunakan
sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury masks) 24%,
28% atau 32%.
Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau nonrebreathing,
tergantung kadar Paco2 dan Pao2. Bila terapi oksigen tidak dapat
mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi
mekanik. Dalam penggunaan ventilasi mekanik usahakan dengan
Noninvasive Positive Pressure Ventilation (NIPPV), bila tidak
berhasil ventilasi mekanik digunakan dengan intubasi.
27

3. Pemberian obat-obatan yang maksimal


Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut
a. Antibiotik
- Peningkatan jumlah sputum
- Sputum berubah menjadi purulen
- Peningkatan sesak
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman
setempat dan komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir.
Pemberian antibiotik di rumah sakit sebaiknya per drip atau
intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi sedang
sebaiknya kombinasi dengan makrolide, bila ringan dapat
diberikan tunggal.
b. Bronkodilator
Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus
diberikan dengan peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif
bila digunkan dengan cara yang tepat, nebuliser dapat digunakan
agar bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan
nebuliser yang memakai oksigen sebagai kompressor, karena
penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat
menyebabkan retensi CO2.
Golongan xantin diberikan bersamasama dengan
bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot
diafragma. Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator
diberikan secara intravena dan nebuliser, dengan pemberian lebih
sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi sebagai
efek samping bronkodilator.
c. Kortikosteroid
Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi.
Pada eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30
mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat diberikan secara
intravena. Pemberian lebih dari 2 minggu tidak memberikan
28

manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek


samping.
4. Nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan
hipoksemia berkepanjangan, dan menghindari kelelahan otot bantu
napas
5. Ventilasi mekanik
Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaerbasi berat akan
mengurangi mortaliti dan morbiditi, dan memperbaiki simptom.
Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan
ventilasi mekanik dengan intubasi
6. Kondisi lain yang berkaitan
- Monitor balans cairan elektrolit
- Pengeluaran sputum
- Gagal jantung atau aritmia
7. Evaluasi ketat progesiviti penyakit
Penanganan yang tidak adekuat akan memperburuk
eksaserbasi dan menyebabkan kematian. Monitor dan penanganan
yang tepat dan segera dapat mencegah dan gagal napas berat dan
menghindari penggunaan ventilasi mekanik.
Indikasi penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi :
o Sesak napas berat, pernapasan > 35 x/menit
o Penggunaan obat respiratori dan pernapasan abdominal
o Kesadaran menurun - Hipoksemia berat Pao2 < 50 mmHg
o Asidosis pH < 7,25 dan hiperkapnia Paco2 > 60 mmHg
o Komplikasi kardiovaskuler, hipotensi
o Komplikasi lain, gangguan metabolik, sepsis, pneumonia,
barotrauma, efusi pleura dan emboli masif
o Penggunaan NIPPV yang gagal
29

Gambar 3. Algoritme penatalaksanaan PPOK eksaerbasi akut di rumah dan


pelayanan kesehatan primer / Puskesmas

Tabel 9. Kriteria follow up menurut GOLD 2019

Kriteria dan rekomendasi untuk tindak lanjut


 Pemeriksaan laboratorium lengkap dan tanda gejala
 Pemeriksaan terapi sebelumnya
 Teknik pemberian inhaler
 Pemberian steroid dan atau antibiotik
 Pemberian oksigen secara terus-menerus,
 Tatalaksana untuk penyakit komorbid
 Pastikan tindak lanjut jangka cepat < 4 minggu dan jangka panjang <12
minggu
Follow-up 1-4 minggu
 Evaluasi kebiasaan dan lingkungan sekitar pasien
 Pemeriksaan regimen pengobatan sebelumnya
 Teknik pemberian inhaler
 Pemberian oksigen secara terus-menerus
 Menanyakan kemampuan aktivitas fisik dan aktivitas sehari-hari pada pasien
30

 Menanyakan gejala sesuai CAT atau mMRC


 Mengetahui kemungkinan penyakit komorbid
12-16 minggu follow-up
 Evaluasi kebiasaan dan lingkungan sekitar pasien
 Pemeriksaan regimen pengobatan sebelumnya
 Teknik pemberian inhaler
 Pemberian oksigen secara terus-menerus
 Menanyakan kemampuan aktivitas fisik dan aktivitas sehari-hari pada pasien
 Menanyakan gejala sesuai CAT atau mMRC
 Mengetahui kemungkinan penyakit komorbid
 Tes spirometri untuk mengetahui FEV1

Tabel 10. Intervensi pengobatan pada PPOK eksaserbasi

Golongan Intervensi
LABA
Brokodilator LAMA
LABA+LAMA
LABA + ICS
Kortikosteroid kombinasi
LABA + LAMA + ICS
Anti-inflamasi Non-steroid Roflumilast
Vaksin
Anti-infeksi
Makrolida
Asetil-sistein
Mukoregulator
Carbo-sistein

2.12. Prognosis7

Beberapa penelitian menunjukkan predictor mortalitas pasie PPOK


adalah usia tua dan penurunan FEV1. Pasien usia muda dengan PPOK
memiliki tingkat mortalitas lebih rendah kecuali pada keadaan defisiensi
alpha1-antirypsin, abnormalitas genetik yang menyebabkan panlobular
emfisema pada usia dewasa muda. Defisiensi alpha1-antitrypsin harus
dicurigai ketika PPOK muncul pada lebih muda dari 45 tahun dan tidak
ada riwayat bronkitis kronis atau pemnggunaan tembakau, atau ada
anggota keluarga dengan riwayat penyakit paru obstruktif pada usia muda.
31

DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease


(GOLD). Global Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention
of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. 2019
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK): Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. 2016
3. Amin, 1996. Polusi Udara dan Rokok Alfa-I Antitripsin.
Surabaya: Air Langga University Press.
4. Casaburi R, ZuWallack R. Pulmonary rehabilitation for
management of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. N Engl J med
2009: 360:1329- 35.
5. Depkes RI, 2002. Profil Kesehatan Indonesia 2001. Survei
Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS).
6. Guyton AC, Hall JE. 2006. Ventilasi Paru dalam Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hal 495-506.
7. Kleinchmidct P. Chronic obstructive pulmonary disease
and emphysema in emergency medicine. Available in :
https://emedinice.medscape/article/297664-overview

Anda mungkin juga menyukai